part 3

"B-bunda." Akhirnya kristal bening itu menetes juga dari pelupuk matanya.

"Naya, ada apa, Sayang?" tanya Liana dengan lembut.

Saat ini mereka sedang berada di kamar Kanaya, setelah meminta izin kepada suaminya dan keluarga Kiyai Ibrahim untuk menyetujui permintaan Naya yang ingin berbicara berdua dengan dirinya.

"Bunda tau?" tanya Naya dengan air mata yang mengalir.

Liana terdiam, inilah yang Dia takut semalam saat mengetahui bukan Keenan yang akan di jodohkan dengan putrinya, tapi Arkan. Dirinya tau, Naya mencintai Keenan, dan menginginkan Keenan sebagai suaminya kelak. "Naya, maafin Bunda."

"Hiks, kenapa Bunda gak ngomong sama Naya." Naya menghapus air matanya dengan kasar. "Bunda sama Ayah bohongi Naya!"

"Sayang, dengerin Bunda dulu!" Liana mencoba memegang tangan sang putri, tapi ditepis oleh Naya.

"Naya gak mau dengar apapun!" pekik Naya, lalu mengalihkan pandangannya.

Liana membuang nafasnya dengan kasar. "Naya, apa kamu menyayangi Ayahmu?"

Naya tidak merespon perkataan Bundanya.

"Saat kamu memandang mata Ayahmu, apa yang kamu lihat?"

Air mata Naya semakin mengalir.

"Ayahmu sangat bahagia, Naya. Ini impian Dia dari dulu, semenjak kamu lahir ke dunia, Dia sudah berjanji akan menjodohkan mu dengan Putra Sahabatnya." Air mata Liana menetes tanpa di minta. "Selama ini, Dia sangat menjagamu dengan baik, Dia tidak menginginkan apapun, kecuali kebahagian mu."

"Kebahagiaan?" batin Naya.

Hatinya semakin hancur mendengar perkataan Bundanya. Benar, Ayahnya sangat menyayanginya, mencintainya, memberikan apapun yang Dia inginkan. Dan sekarang?

"Jika kamu menolak perjodohan ini, hati Ayahmu akan hancur," ucap Liana. "Bukan cuman Ayahmu, tapi keluarga Kiyai Ibrahim akan merasa sangat kecewa."

Naya menutup matanya saat membayangkan Ayahnya kecewa karena dirinya. Tanpa Naya sadari, Dia menggelengkan kepalanya, Dia tidak ingin Ayahnya kecewa.

"Baiklah, Bunda akan menyampaikan keputusan Kamu pada mereka." Liana berdiri dari duduknya.

"B-bunda, Naya menerima perjodohan ini." Setelah berpikir begitu lama, akhirnya Naya memutuskan menerima perjodohan ini, demi Ayahnya. Ia demi Ayahnya, Dia tidak bisa melihat Ayahnya kecewa dan sedih karena dirinya.

"Kamu serius, Sayang?" tanya Liana.

Naya menghapus air matanya sekali lagi. "Ia, Bunda."

"Makasih, Sayang." Liana menari Putrinya kedalam pelukannya. "Bunda sangat menyayangi mu."

"Naya lebih menyayangi kalian."

"Ayo kita ke bawah, pasti mereka sudah menunggu terlalu lama."

"Hmm."

Semua mata memandang kearah mereka saat berjalan menuruni anak tangga dan menuju ke ruang keluarga, dimana mereka sedang berkumpul.

"Maaf, pasti kalian menunggu terlalu lama," kata Liana.

"Tidak masalah, Lia." Hafizah tersenyum. Dirinya memaklumi.

Mereka juga sedikit kaget saat Faizal memberitahu mereka, kalo Naya belum mengetahui tentang Arkan.

"Jadi, bagaimana Sayang?" lanjut Hafizah dengan suara yang lembut.

Naya mengangkat kepalanya, lalu menatap kearah Ayah dan Bundanya.

Sebisa mungkin Naya menampilkan senyumnya, Naya menjawab pertanyaan Umi Hafizah. "Bismillahirrahmanirrahim, Naya menerima lamaran Kak Arkan."

Semua orang menghela nafasnya dengan lega.

"Alhamdulillah."

Kiyai Ibrahim dan Faizal langsung berdiri dan saling berpelukan.

"Sebentar lagi, kita akan menjadi besan." Faizal menepuk-nepuk punggung sahabatnya. "Aku tidak sabar."

Hafizah dan Liana tertawa kecil melihat tingkah Suaminya. Sedangkan Naya hanya menundukkan kepalanya, dan Arkan menatap Naya yang kelihatan sangat sedih.

"Apa dia terpaksa?" batin Arkan bertanya-tanya.

Sedangkan Keenan sedari tadik hanya diam dan diam, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Dirinya juga gak akan ikut jika Uminya tidak memaksa.

"Jadi, kapang acara pernikahannya?" tanya Hafizah.

"Minggu depan," jawab Kiyai Ibrahim dan Faizal secara bersamaan.

Lihatlah, mereka sangat berniat untuk menjadi besan.

Naya tertawa kecut mendengar perkataan Ayahnya.

"Baiklah, minggu depan."

Merekapun setuju, Minggu depan adalah hari pernikahan Arkan dan Kanaya.

****

"Arkan, kamu mau kemana?" tanya Kiyai Ibrahim saat melihat putranya akan keluar dari rumah.

"Arkan harus menemui klien dulu, Bi."

"Jangan pulang terlalu malam, ingat! besok adalah hari pernikahan mu,"

"In Syaa Allah, Bi." Arkan menyalami tangan Abi nya, sebelum berangkat. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

"Mas, Arkan mau kemana?" tanya Hafizah saya melihat Anaknya pergi dengan mobilnya.

"Menemui klien katanya."

"Jam 8 malam?" Heran Hafizah.

"Hmm." Kiyai Ibrahim duduk di sofa. "Gak usah cemas, Dia bukan anak kecil lagi, bukankah selama ini dia hidup sendiri?"

"Tapi, Mas. Besok hari pernikahannya." Hafizah ikut mendudukkan dirinya di samping suaminya.

"Tenang, Dia akan pulang cepat."

Perasaan Hafizah tidak tenang. Dia berharap Arkan baik-baik saja.

"Keenan mana?" tanya Kiyai Ibrahim. Sejak tadik pagi putranya itu tidak kelihatan batang hidungnya. Dia memiliki Dua putra, tapi rasanya seperti tak punya sama sekali, saat mereka sudah beranjak dewasa dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Sejak umur 15 tahun, Arkan memutuskan untuk sekolah di luar pesantren. Dia ingin mengejar cita-citanya sebagai pebisnis yang sukses, meskipun jauh dari pesantren, Arkan tetap memegang teguh prinsip Abi nya, agar selalu ingat pada Allah di manapun dirinya berada. Sedangkan Keenan masih berada di pesantren karena ingin mendalami agama lebih baik lagi, dan sampai sekarang Keenan masih memilih tinggal di pesantren, walaupun dia sudah memiliki rumahnya sendiri, yang sudah dia bangun dengan jerih payahnya sebagai seorang dosen di kampus milik Abi nya.

"Dia belum pu-"

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Keenan.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Kiyai Ibrahim dan Hafizah.

Keenan masuk kedalam rumahnya, lalu menyalami tangan Abi dan Uminya.

"Dari mana?" tanya Kiyai Ibrahim.

"Dari kampus, tapi mampir dulu ke rumah untuk solat magrib dan isya," jawab Keenan. "Ada apa, Bi?"

"Gak apa-apa," jawab Kiyai Ibrahim.

Keenan memutar bola matanya dengan malas, lalu menatap kearah Uminya yang sedang tersenyum manis kearahnya. Inilah yang keenan suka dari Uminya.

Dengan gerakan cepat, Keenan langsung memeluk Uminya dengan erat. "Capeknya Keenan langsung hilang saat melihat senyuman Umi."

Hafizah menyambut dengan hangat pelukan sang Anak. "Jangan terlalu bekerja dengan keras."

"Keenan hanya mengajar di kampus dan di Pesantren, Umi."

Hafizah tersenyum semakin lebar dan tangannya mengelus kepada sang putra. "Sudah makan?"

"Hmm, sudah, Umi." Mata Keenan tertutup menikmati tangan sang Umi yang sedang mengelus rambutnya.

Inilah Keenan jika bersama Uminya, Dia akan menjadi sosok yang hangat dan lembut.

****

Jam terus berputar dan waktu terus berlalu, tanpa terasa, hari ini datang juga, hari yang di tunggu-tunggu oleh dua keluarga besar yang tidak sabar untuk meriahkan pernikahan Anak-anak mereka.

Rumah Naya sudah dihias sedemikian rupa, mulai dari luar sampai ke dalam kamar Naya, semuanya tampak indah, tapi tidak bagi Naya.

Seandainya Dia bisa kabur dari Ayahnya, sudah Dia lakukan beberapa hari yang lalu, tapi Dia tidak ingin melihat Ayahnya kecewa karena dirinya. Dan membuat hubungan dua keluarga merenggang.

"Sayang, jangan menangis." Liana penghapus air mata putrinya.

"Apa mereka sudah datang?" tanya Naya dengan senyuman dipaksa.

"Mereka sudah ada di jalan, dan sebentar lagi mereka akan sampai."

Naya membuang nafasnya dengan sedikit kasar. "Aku takut, Bunda."

"Kenapa takut, sayang?"

"Naya takut, jika nanti Naya tidak bisa membuka hati untuk Kak Arkan." Naya memasang wajah yang sedih dan cemas.

"Percaya sama Bunda, semuanya akan baik-baik saja, selama Naya melibatkan Allah didalamnya. Masalah cinta, itu urusan belakangan, yang penting kamu terus berdo'a pada Allah agar pernikahan ini bukan sekedar pernikahan di dunia, tapi sampai ke surga-Nya juga." Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Liana mengelus pundak Putrinya. " Allah maha membolak-balikkan hati seseorang, saat ini kamu tidak mencintai Arkan, tapi siapa yang akan tau hari esok? boleh jadi, kamu akan tergila-gila padanya."

"Selalu do'ain Naya, Bunda. Untuk saat ini, Naya hanya butuh do'a dari Bunda, agar pernikahan Naya sakina mawadah warahmah."

"Aamiin," ucap Liana. "do'a terbaik dari bunda, selalu menyertai mu, Sayang."

"Makasih, Bunda."

"Sama-sama, Sayang. Sekarang hapus air matamu!" tutur Liana.

Terdengar sebuah iring-iringan mobil pengantin memasuki area parkir khusus untuk mereka. "Mereka sudah datang."

Naya hanya tersenyum pahit dengan semua kenyataan ini. Semuanya sudah terlanjur, apalagi yang harus dia harapkan? Semuanya end, cintanya kepada Keenan benar-benar sudah end.

Naya menguatkan hatinya dengan dzikir, saat ini hanya Allah yang bisa menenangkan dirinya.

Sedangkan disisi lain, Arkan dan Abi nya sudah duduk di depan Faizal untuk memulai ijab kabul. Jangan tanyakan Keenan ada dimana, Dia masih ada di perjalanan untuk menunju kesini.

"Kamu kenapa?" bisik Kiyai Ibrahim pada putranya yang kelihatan gelisah. "Ada masalah?"

"A-abi, sebenarnya, A-arkan sud-" perkataan Arkan terpotong saat tiba-tiba Keenan duduk di samping kirinya.

"Ada apa, Arkan?" tanya Kiyai Ibrahim yang sedikit curiga dengan gelagat Arkan yang sedikit mencurigakan.

"Ah, gak ada, Bi." Arkan mengalihkan pandangannya dari Abi nya. Dia benar-benar dilanda masalah sangat besar.

"Apa ada hubungannya dengan kamu yang baru pulang tadi pagi?" tanya Kiyai Ibrahim dengan suara yang kecil.

Ia, semalam Arkan menemui kliennya, dan pulangnya di pagi buta dengan keadaan yang berantakan.

"T-tidak ada, Bi," jawab Arkan dengan gugup.

Setelah mengatakan itu, Arkan melirik ponselnya, seakan-akan dia menunggu kabar dari seseorang.

"Kita bisa mulai, sekarang?" tanya Faizal saat semuanya udah siap.

"Bisa." Kiyai Ibrahim tersenyum. "Arkan?"

"Hah, ya, Bi?"

"Ijab kabulnya akan dimulai." Mata Kiyai Ibrahim menatap Arkan dengan tatapan tajam, agar fokus ke acaranya.

Arkan meletakkan ponselnya didalam kantong jasnya, lalu menyambut tangan Faizal untuk memulai ijab kabul.

Faizal menarik nafasnya. "Bismillahirrahmanirrahim, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Arkana keyvan utsman bin Ibrahim Utsman dengan anak saya yang bernama Humaira adinda Kanaya dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,"

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Humaira adinda Kanaya binti Muhammad faizal dengan maskawin terseb-" perkataan Arkan terpotong saat merasakan getaran dari ponselnya.

Tanpa berpikir panjang Arkan langsung memeriksa ponselnya. Matanya berkaca-kaca saat membaca pesan yang baru saja dia terima.

"Arkan?" panggil Kiyai Ibrahim.

"Maaf, Bi." Arkan langsung menyadari kesalahannya. "Arkan tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Arkan harus pergi, maafin Ark-"

PLAK ....

Sebuah tamparan mengenai wajah Arkan.

"Apa maksudnya, Arkan?" tanya Kiyai Ibrahim dengan marah.

"Maaf, Bi. Arkan haru pergi, Assalamualaikum." Arkan langsung pergi meninggalkan acara dengan mengendari motor Keenan.

"ARKAN!" teriak Kiyai Ibrahim berharap putranya itu mendengarkan dirinya, tapi tidak, Arkan tetap melanjutkan motor yang dia pake untuk keluar dari gerbang rumah Faizal.

"Maafin Arkan, Bi, Arkan akan jelasin sama Abi suatu saat nanti," batin Arkan.

Keenan yang sadar akan motornya, hanya bisa pasrah.

"Sialan, Arkan selalu buat masala setiap akhir acara."

Terpopuler

Comments

Abdul Razak Al Maliki

Abdul Razak Al Maliki

loh kenapa? jangan2 sudah nikah Arkan ea

2022-11-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!