NovelToon NovelToon

CINTA KANAYA

part 1

"Selamat pagi, Yah, Bun." sapa Naya.

"Pagi, Sayang," balas Liana—Bunda Naya—

"Pagi, princess." Faizal—Ayah Naya— tersenyum kearah putrinya.

"Mau sarapan apa, Sayang."

"Roti selai kacang, Bunda."

"Tunggu, ia. Bunda buatin dulu."

"Ia, Bunda."

Naya melirik Ayahnya. "Ayah gak masuk kerja?"

"Mana mungkin Ayah masuk kerja, sedangkan putri Ayah lagi di rumah." Dengan lembut Faizal menatap Putrinya. Putri satu-satunya yang begitu dia jaga seperti menjaga kaca yang akan pecah jika di pegang oleh orang-orang.

"Ini, Sayang." Liana menyodorkan sebuah piring yang berisi roti yang sudah diberi selai kacang. "Saatnya sarapan, jadi gak boleh bicara, oke!"

Naya dan Faizal menganggukkan kepalanya dengan kompak.

Merekapun melanjutkan sarapannya tanpa ada suara, Selin detingan sendok dengan piring yang saling bersahutan.

Setelan sarapan, merekapun berkumpul di ruang keluarga untuk menikmati kebersamaan mereka.

"Naya?" Panggil Faizal, lalu menepuk-nepuk sofa yang ada di sampingnya. "Sini."

Tanpa pikir panjang, Naya langsung duduk di samping Ayahnya. "Ada apa, Yah?"

"Bagaimana Kuliah mu, princess?" tanya Faizal dengan lembut.

"Alhamdulillah, lancar Yah." Naya tersenyum ke arah Ayahnya.

"Alhamdulillah." Faizal mengelus kepala sang putri yang tertutupi oleh hijab. "Masih suka main ke rumah Kiyai Ibrahim dan Umi Hafizah?"

"Hmm, udah gak sesering dulu, Yah. Naya kan, sekarang sibuk banget, jadi gak sempet ke rumah Umi Hafizah," jawab Naya dengan wajah yang sedih.

"Naya," panggil Faizal dengan lembut.

Naya memandang ke arah Ayahnya. "Apa, Yah?"

Faizal membuang nafasnya sedikit kasar. "Ayah ingin menjodohkan mu dengan Anak sahabat Ayah."

"Hah, dijodohkan?" tanya Naya sedikit syok.

"Ia, princess Ayah, keberatan?" tanya Faizal.

"T–tapi, Ya—"

"Ayah sudah menjodohkan kamu dengan putra Kiyai Ibrahim, sahabat Ayah," potong Faizal.

"Putra Kiyai Ibrahim?" tanya Naya memastikan pendengarannya.

Faizal menganggukkan kepalanya. "Ia, Sayang."

Naya tersenyum manis sebelum menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, kalo dirinya setuju dengan perjodohan ini.

"Alhamdulillah."

****

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Arkan saat memasuki rumah Abi dan Uminya.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Umi Hafizah. "Arkan!"

"Umi." Arkan langsung menyalami dan mencium tangan Uminya. "Apa kabar, Umi?"

Hafizah langsung memeluk tubuh Putranya. "Kenapa baru pulang sekarang? hiks ..., Kamu gak rindu sama Umi?"

Arkan hanya terdiam sambil memeluk Uminya dengan erat. Dia sangat merindukan wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan dirinya. "Maafin Arkan, Umi. Karena Arkan baru pulang sekarang."

"Dipaksa pulang, baru mau pulang," sindir Kiyai Ibrahim yang baru saja datang. "Kalo Abi gak memaksamu pulang, pasti kamu gak pulang."

Arkan melepaskan pelukannya. "Pekerjaan Arkan, banyak Bi. Jadi gak sempat pulang."

"Ayo, sayang." Hafizah menarik tangan putra untuk duduk di sofa. "Mas, jangan marah-marah, Arkan baru saja datang, biarkan dia istirahat dulu."

Arkan duduk di sofa yang ada diruang keluarga.

"Tidak perna berubah," batin Arkan setelah memandang sekeliling rumahnya.

"Keenan, mana, Umi?" tanya Arkan.

"Dia belum pulang," jawab Umi Hafizah.

Arkan tertawa kecil, dia tidak sabar melihat kakanya itu. Terkahir kali melihatnya setelah kejadian. "Apa dia makin tinggi?"

"Setinggi dengan mu." Hafizah tersenyum ke arah putranya.

"Apa dia masih dingin dan c—"

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam dari luar.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Hafizah mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Bibirnya kembali tersenyum saat melihat putra pertamanya berdiri di sana. "Kamu udah pulang?"

Laki-laki itu berdiri kaku ditempatnya, matanya terpaku pada sosok laki-laki yang duduk di samping Uminya. Laki-laki yang dulunya sangat dia sayangi. Dengan sekuat tenaga dia menahan dirinya agar tidak berlari untuk memeluk sang Adik. Dia benci dengan keadaan ini, kenapa masa lalu sangat sulit dia lupakan.

"I–ia, Umi," ucap laki-laki itu dengan sedikit gemetar. "Keenan ke kamar dulu."

Ia, laki-laki itu adalah Arsyad Keenan Utsman. Putra pertama Kiyai Ibrahim dan Umi Hafizah.

Dengan langkah cepat, Keenan meninggalkan Uminya dan Arkan diruang keluarga.

Berbeda dengan Keenan yang memandang Arkan penuh kebencian, Arkan malah memandang Keenan penuh dengan kerinduan. Ia Arkan sangat merindukan sosok Kakaknya itu, tapi selain kerinduan, Arkan juga merasa bersalah, karena dirinya lah Keenan menjadi seperti sekarang.

"Andai Aku bisa memutar waktu, Aku tidak akan melakukan kesalahan sebesar ini." batin Arkan.

Matanya berkaca-kaca saat melihat melihat kakaknya berlalu begitu saja tanpa menyapa dirinya.

"Gak usah sedih, semuanya akan baik-baik saja." Hafizah mengelus pundak sang putra.

"Apa Dia masih marah sama aku, Umi?" tanya Arkan, lalu terkekeh kecil. "Konyol sekali, jelas dia masih marah."

"Udah, gak usah dipikirkan, sekarang kamu istirahat."

"Baiklah."

****

Naya duduk di meja belajarnya, lalu memandang buku diary yang berwarna pink di atas mejanya.

Naya membuka diary itu, lalu menulis sesuatu didalamnya. Ini sudah kebiasaannya sejak masuk ke pesantren beberapa tahun yang lalu. Dan ini buku diary yang ke tiga.

Tangannya menari-nari di atas buku. Menulis sesuatu yang menurutnya harus diabadikan lewat diary.

Bibirnya tersenyum saat mengingat dirinya akan di jodohkan dengan putra Kiyai Ibrahim. Siapa yang akan menolak, jika akan di jodohkan dengan seorang Gus? hanya wanita bodoh yang menolak perjodohan ini, apalagi dia adalah sosok laki-laki yang Naya cintai selama ini.

Naya mengelus nama yang terukir indah di ujung kertas. Nama yang selama ini dia langit kan untuk bersanding dengan namanya di lauhul Mahfudz.

"Semoga Allah menciptakan kita untuk melengkapi satu sama lain." Mata Naya semakin berbinar. Dia tidak sabar menanti perjodohan ini.

Tok, tok, tok.

"Sayang, ayo turun makan malam," kata Liana dari luar.

"Ia, Bunda." Naya menutup buku diary nya, sebelum turun untuk makan malam.

"Hay Ayah," sapa Naya saat sudah berada di meja makan, berhadapan dengan Ayahnya yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Hy juga, Princess."

Merekapun menikmati makan malam dengan hikmat.

Saat keluarga Faizal menikmati makan malam mereka dengan bahagia, maka berbeda dengan keluarga Kiyai Ibrahim yang kelihatan tegang karena membahas tentang perjodohan.

BRAK ....

Dengan murka, Keenan menggebrak meja yang ada di depannya. Matanya menyalah penuh dengan kebencian dan kemarahan. "Berapa kali Keenan bilang, kalo Keenan tidak ingin di jodohkan!"

"Astaghfirullah hal'adzim." Hafizah mengelus dadanya karena terkejut. "Keenan."

Ara pandangan Keenan beralih kearah Uminya yang sedang berdiri di dekat pintu kamarnya. Pandangan langsung melunak saat melihat Uminya. "Umi."

Hafizah berjalan ke arah Putranya. "Kenapa, Sayang."

Keenan hanya diam.

"Cerita sam Umi." Hafizah mengelus rambut Putranya. "Tahan amarahmu, Keenan."

Inilah yang Hafizah takutkan, jika Keenan jauh darinya. Keenan sulit mengendalikan amarahnya, dan semakin sulit, semenjak kejadian itu, yang menyebabkan hubungannya dengan Arkan renggang. Berbeda dengan Arkan, meskipun Arkan adik, tapi Arkan sudah bisa menahan amarahnya.

"Mas, ada apa?" tanya Hafizah pada suaminya yang sedari tadik berdiri di depannya. "Kenapa Keenan bisa lepas kendali?"

"Maafin Mas, Sayang," ucap Kiyai Ibrahim. "Mas ingin menjodohkan Keenan dengan Putri Faizal, Kanaya."

"Keenan tidak ingin menikah, apalagi di jodohkan," kata Keenan yang masih di dalam pelukan sang Umi.

"Jika Keenan tidak mau, biar Arkan aja." tiba-tiba, Arkan datang dari luar. "Arkan siap kok di jodohkan."

part 2

"Bunda, jam berapa mereka datang?" tanya Naya.

"Selesai solat magrib," jawab Liana. "Kenapa?"

"Gak apa-apa." Naya tersenyum kearah Bundanya. "Apa masih banyak, Bunda?"

"Tinggal sedikit Sayang."

Saat ini, Ibu dan Anak itu sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan tamu spesial mereka nanti malam.

Ia, nanti malam, keluarga Kiyai Ibrahim akan datang untuk melanjutkan perjodohan ini.

Liana melirik jam dinding yang tergantung indah di salah satu dinding dapurnya, jam sudah menunjukkan pukul 17:30, dan 30 menit lagi akan masuk waktu sholat magrib.

"Sudah jam setengah enam. Naya kamu mandi terus siap-siap untuk solat magrib. Biar umi, yang lanjutin sisanya, Sayang."

"Tapi, Umi ini tingg-"

"Udah sana!"

"Hmm, baiklah, Naya ke kamar dulu," pamit Naya, lalu mencium pipi Bundanya sebelum meninggalkan dapur.

****

"Arkan mana?" tanya Kiyai Ibrahim saat tidak mendapatkan Arkan berada di ruang keluarga.

"Masih siap-siap, Mas," jawab Hafizah.

"Suruh Dia cepat dikit, kita udah te-"

"Arkan udah siap, kita boleh berangkat sekarang." Arkan berjalan kearah Abi dan Uminya.

"Ayo, Keenan." Hafizah menarik tangan Keenan untuk ikut berdiri.

Keenan berdiri dengan malas. "Keenan bawah mobil sendiri."

"Kamu gak boleh bawah mobil sendiri," ujar Hafizah.

"Keenan mau bawah mob-"

Arkan yang mengerti dengan keadaan, langsung memotong perkataan Keenan. "Biar Arkan aja yang bawah mobil sendiri."

"Emang, Kamu tau alamat rumah Faizal?" tanya Kiyai Ibrahim.

Arkan menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. "Hehehe ..., gak tau."

"Umi akan kirim alamatnya lewat chat." Hafizah mengirimkan alamat Faizal ke Arkan.

"Makasih, Umi." Arkan tersenyum saat melihat pesan yang baru saja di kirim Uminya.

Kiyai Ibrahim berdiri dari tempat duduknya. "Ayo!"

Merekapun berjalan ke arah mobil masing-masing.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Kiyai Ibrahim memanggil salah satu Ustadz yang mengajar di pesantren miliknya.

Setelah menyampaikan pesannya, untuk menjaga pesantren dan anak santri saat dirinya keluar, Kiyai Ibrahim pun masuk kedalam mobil.

"Bismillahirrahmanirrahim." Kiyai menjalankan mobilnya, di ikuti mobil Arkan yang ada di belakang.

"Mas, apa Faizal udah tau, kalo kita datang malam ini?" tanya Hafizah.

"Sudah," jawab Kiyai Ibrahim tanpa mengalihkan tatapannya dari jalan. "Aku sudah menelpon kemarin malam, dan dia setuju."

"Dia tau, kalo Keenan menolak perjodohan ini?" tanya Hafizah dengan hati-hati, takut Keenan marah lagi.

Kiyai Ibrahim melirik Keenan melalui kaca spion tengah mobil. Putranya terlihat santai memainkan ponselnya.

"Faizal udah tau kok, kalo Arkan yang akan dijodohkan."

"Faizal menerimanya?" tanya Hafizah.

Kiyai Ibrahim terkekeh. "Kalo Faizal tidak mau, kenapa kita harus kerumahnya sekarang?"

Hafizah tertawa kecil saat menyadari pertanyaannya. "Aku suka Naya, gadis itu sangat cantik dan baik."

"Dia juga lucu, semoga Dia dan Arkan cocok."

"Aamiin."

Setelah melakukan perjalanan terbilang cukup jauh, akhirnya mereka sudah sampai di depan rumah Faizal.

Senyuman di bibir Kiyai Ibrahim tak pernah luntur saat melihat sahabatnya berdiri di depan rumah untuk menyambut kedatangannya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Kiyai Ibrahim saat sudah berdiri didepan Faizal.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Faizal langsung memeluk sahabatnya itu. "Bagaimana kabarmu dan keluargamu, Ibra?"

"Alhamdulillah, baik, Zal."

"Ayo, kita ngobrol didalam aja," ajak Liana.

"Oh iya, ayo masuk Ib." Dengan semangat Faizal menarik tangan sahabatnya untuk masuk kedalam.

Sedangkan Naya, menatap dari kamarnya lewat jendela. Bibirnya semakin tersenyum lebar saat melihat siapa yang datang. "Mereka sudah datang."

Naya tidak dapat berbohong, kalau saat ini dirinya sangat bahagia, jantung berdetak dengan kencang saat ini.

"Tarik nafas, buang." Naya duduk di tepi ranjangnya. "Tenang Naya, ini baru lamaran, bukan pernikahan."

Tok, tok, tok.

"Astaghfirullah hal'adzim." Naya mengelus dadanya saat terkejut mendengar ketukan pintu dari luar.

Krek ....

Pintu terbuka dari luar, lalu Liana masuk dengan wajah tersenyum. "Ayo, turun."

"Bunda." Naya menahan tangan Bundanya.

Liana menatap putrinya. "Kenapa?"

"Malu," cicit Naya dengan wajah yang memerah.

"Gak usah malu, Sayang." Liana manarik tangan putrinya agar berdiri dari duduknya. "Ayo! jangan buat mereka menunggu terlalu lama."

"Bismillahirrahmanirrahim." Naya berdiri dari duduknya, dan mengikuti langkah Bundanya.

Mereka menuruni anak tangga satu persatu. Jantung Naya semakin berdetak kencang, saat melihat orang-orang sedang duduk diruang tamu memandang kearahnya, kecuali Keenan yang terlihat cuek dan lebih memperhatikan ponselnya.

Mata Naya terpaku pada sosok itu, sosok yang begitu dia kagumi dengan diam. "Gus Keenan." batinnya.

Tanpa Naya sadari, Dia sudah duduk di tengah Ayah dan Bundanya.

"Maa syaa Allah, cantiknya," puji Hafizah saat melihat Naya duduk di depannya.

Naya hanya tersenyum mendengar pujian Umi Hafizah. Dia tidak tau mau ngomong apa untuk membalas pujian itu, saat ini entah kenapa dia tidak tidak memiliki kata-kata untuk di ucapkan.

"Apa Arkan masih lama?" tanya Faizal.

Naya melirik Ayahnya dari samping, kepalanya di penuhi pertanyaan tentang siapa itu Arkan, dan kenapa Ayahnya menanyakan keberadaannya.

"Bentar lagi, pasti dia nyam-" perkataan Kiyai Ibrahim terhenti saat seseorang mengucapkan salam dari luar.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Terlihat seorang laki-laki berjalan masuk ke dalam rumah, rambutnya sedikit berantakan, dan lengan kemenja hitamnya tergulung sampai ke siku.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka secara bersamaan, kecuali Keenan dan Kanaya.

"Apa acaranya udah dimulai?" tanya Arkan, sebelum duduk di samping Abi nya.

Keenan memutar bola matanya dengan malas. "Bagaimana bisa di mulai, yang punya acara aja telat."

Jantung Naya semakin tidak normal, saat mendengar perkataan Keenan barusan. Entah kenapa malam ini otaknya sangat sulit untuk bekerja.

"Maaf, Kita bisa mulai sekarang?" tanya Arkan.

"Alhamdulillah, Bisa." jawab Faizal dengan tersenyum bahagia.

Arkan menarik nafasnya sebelum memulai ucapannya. "Bismillahirrahmanirrahim, Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan. Izinkan aku menjadikan Kamu pasangan dalam hidupku untuk meraih cinta dari sebenar-benarnya cinta, Humaira adinda kanaya, maukah kau melengkapi separuh dari imanku, menjadi pasanganku dan ibu dari anak-anak kita?"

DEG

Naya gelisah di tempat duduknya, tangannya berkeringat karena gugup sekaligus kecewa dan sedih. Dirinya ingin menolak, tapi Ayahnya.

"Sejujurnya, Saya sudah menerima lamaran ini, sebelum kalian datang. Tapi, tetap aja keputusan ada di tangan Naya." Faizal mengelus kepala sang putri dengan penuh kasih sayang.

"Bagaimana, Nak Naya? apa kamu bersedia untuk menjadi istri putra kami, Arkan keyvan utsman?" Suara Hafizah sangat lembut ditelinga Naya. Dan ini benar-benar kesulitan yang Naya alami.

Dengan mata yang berkaca-kaca dan bibir yang gemetar menahan tangisan, serta tenggorokannya terasa dicekik tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.

Naya melirik kearah Ayah yang sedang menatap dirinya dengan senyuman yang sangat tulus dan tatapan mata yang memancarkan penuh pengharapan.

Dengan cepat Naya mengalihkan tatapannya dari mata sang Ayah, Dia tidak sanggup menatap mata itu, Dia tidak sanggup melihat senyuman itu. Ingin rasanya Naya menghilang ke dasar laut.

part 3

"B-bunda." Akhirnya kristal bening itu menetes juga dari pelupuk matanya.

"Naya, ada apa, Sayang?" tanya Liana dengan lembut.

Saat ini mereka sedang berada di kamar Kanaya, setelah meminta izin kepada suaminya dan keluarga Kiyai Ibrahim untuk menyetujui permintaan Naya yang ingin berbicara berdua dengan dirinya.

"Bunda tau?" tanya Naya dengan air mata yang mengalir.

Liana terdiam, inilah yang Dia takut semalam saat mengetahui bukan Keenan yang akan di jodohkan dengan putrinya, tapi Arkan. Dirinya tau, Naya mencintai Keenan, dan menginginkan Keenan sebagai suaminya kelak. "Naya, maafin Bunda."

"Hiks, kenapa Bunda gak ngomong sama Naya." Naya menghapus air matanya dengan kasar. "Bunda sama Ayah bohongi Naya!"

"Sayang, dengerin Bunda dulu!" Liana mencoba memegang tangan sang putri, tapi ditepis oleh Naya.

"Naya gak mau dengar apapun!" pekik Naya, lalu mengalihkan pandangannya.

Liana membuang nafasnya dengan kasar. "Naya, apa kamu menyayangi Ayahmu?"

Naya tidak merespon perkataan Bundanya.

"Saat kamu memandang mata Ayahmu, apa yang kamu lihat?"

Air mata Naya semakin mengalir.

"Ayahmu sangat bahagia, Naya. Ini impian Dia dari dulu, semenjak kamu lahir ke dunia, Dia sudah berjanji akan menjodohkan mu dengan Putra Sahabatnya." Air mata Liana menetes tanpa di minta. "Selama ini, Dia sangat menjagamu dengan baik, Dia tidak menginginkan apapun, kecuali kebahagian mu."

"Kebahagiaan?" batin Naya.

Hatinya semakin hancur mendengar perkataan Bundanya. Benar, Ayahnya sangat menyayanginya, mencintainya, memberikan apapun yang Dia inginkan. Dan sekarang?

"Jika kamu menolak perjodohan ini, hati Ayahmu akan hancur," ucap Liana. "Bukan cuman Ayahmu, tapi keluarga Kiyai Ibrahim akan merasa sangat kecewa."

Naya menutup matanya saat membayangkan Ayahnya kecewa karena dirinya. Tanpa Naya sadari, Dia menggelengkan kepalanya, Dia tidak ingin Ayahnya kecewa.

"Baiklah, Bunda akan menyampaikan keputusan Kamu pada mereka." Liana berdiri dari duduknya.

"B-bunda, Naya menerima perjodohan ini." Setelah berpikir begitu lama, akhirnya Naya memutuskan menerima perjodohan ini, demi Ayahnya. Ia demi Ayahnya, Dia tidak bisa melihat Ayahnya kecewa dan sedih karena dirinya.

"Kamu serius, Sayang?" tanya Liana.

Naya menghapus air matanya sekali lagi. "Ia, Bunda."

"Makasih, Sayang." Liana menari Putrinya kedalam pelukannya. "Bunda sangat menyayangi mu."

"Naya lebih menyayangi kalian."

"Ayo kita ke bawah, pasti mereka sudah menunggu terlalu lama."

"Hmm."

Semua mata memandang kearah mereka saat berjalan menuruni anak tangga dan menuju ke ruang keluarga, dimana mereka sedang berkumpul.

"Maaf, pasti kalian menunggu terlalu lama," kata Liana.

"Tidak masalah, Lia." Hafizah tersenyum. Dirinya memaklumi.

Mereka juga sedikit kaget saat Faizal memberitahu mereka, kalo Naya belum mengetahui tentang Arkan.

"Jadi, bagaimana Sayang?" lanjut Hafizah dengan suara yang lembut.

Naya mengangkat kepalanya, lalu menatap kearah Ayah dan Bundanya.

Sebisa mungkin Naya menampilkan senyumnya, Naya menjawab pertanyaan Umi Hafizah. "Bismillahirrahmanirrahim, Naya menerima lamaran Kak Arkan."

Semua orang menghela nafasnya dengan lega.

"Alhamdulillah."

Kiyai Ibrahim dan Faizal langsung berdiri dan saling berpelukan.

"Sebentar lagi, kita akan menjadi besan." Faizal menepuk-nepuk punggung sahabatnya. "Aku tidak sabar."

Hafizah dan Liana tertawa kecil melihat tingkah Suaminya. Sedangkan Naya hanya menundukkan kepalanya, dan Arkan menatap Naya yang kelihatan sangat sedih.

"Apa dia terpaksa?" batin Arkan bertanya-tanya.

Sedangkan Keenan sedari tadik hanya diam dan diam, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Dirinya juga gak akan ikut jika Uminya tidak memaksa.

"Jadi, kapang acara pernikahannya?" tanya Hafizah.

"Minggu depan," jawab Kiyai Ibrahim dan Faizal secara bersamaan.

Lihatlah, mereka sangat berniat untuk menjadi besan.

Naya tertawa kecut mendengar perkataan Ayahnya.

"Baiklah, minggu depan."

Merekapun setuju, Minggu depan adalah hari pernikahan Arkan dan Kanaya.

****

"Arkan, kamu mau kemana?" tanya Kiyai Ibrahim saat melihat putranya akan keluar dari rumah.

"Arkan harus menemui klien dulu, Bi."

"Jangan pulang terlalu malam, ingat! besok adalah hari pernikahan mu,"

"In Syaa Allah, Bi." Arkan menyalami tangan Abi nya, sebelum berangkat. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

"Mas, Arkan mau kemana?" tanya Hafizah saya melihat Anaknya pergi dengan mobilnya.

"Menemui klien katanya."

"Jam 8 malam?" Heran Hafizah.

"Hmm." Kiyai Ibrahim duduk di sofa. "Gak usah cemas, Dia bukan anak kecil lagi, bukankah selama ini dia hidup sendiri?"

"Tapi, Mas. Besok hari pernikahannya." Hafizah ikut mendudukkan dirinya di samping suaminya.

"Tenang, Dia akan pulang cepat."

Perasaan Hafizah tidak tenang. Dia berharap Arkan baik-baik saja.

"Keenan mana?" tanya Kiyai Ibrahim. Sejak tadik pagi putranya itu tidak kelihatan batang hidungnya. Dia memiliki Dua putra, tapi rasanya seperti tak punya sama sekali, saat mereka sudah beranjak dewasa dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Sejak umur 15 tahun, Arkan memutuskan untuk sekolah di luar pesantren. Dia ingin mengejar cita-citanya sebagai pebisnis yang sukses, meskipun jauh dari pesantren, Arkan tetap memegang teguh prinsip Abi nya, agar selalu ingat pada Allah di manapun dirinya berada. Sedangkan Keenan masih berada di pesantren karena ingin mendalami agama lebih baik lagi, dan sampai sekarang Keenan masih memilih tinggal di pesantren, walaupun dia sudah memiliki rumahnya sendiri, yang sudah dia bangun dengan jerih payahnya sebagai seorang dosen di kampus milik Abi nya.

"Dia belum pu-"

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Keenan.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Kiyai Ibrahim dan Hafizah.

Keenan masuk kedalam rumahnya, lalu menyalami tangan Abi dan Uminya.

"Dari mana?" tanya Kiyai Ibrahim.

"Dari kampus, tapi mampir dulu ke rumah untuk solat magrib dan isya," jawab Keenan. "Ada apa, Bi?"

"Gak apa-apa," jawab Kiyai Ibrahim.

Keenan memutar bola matanya dengan malas, lalu menatap kearah Uminya yang sedang tersenyum manis kearahnya. Inilah yang keenan suka dari Uminya.

Dengan gerakan cepat, Keenan langsung memeluk Uminya dengan erat. "Capeknya Keenan langsung hilang saat melihat senyuman Umi."

Hafizah menyambut dengan hangat pelukan sang Anak. "Jangan terlalu bekerja dengan keras."

"Keenan hanya mengajar di kampus dan di Pesantren, Umi."

Hafizah tersenyum semakin lebar dan tangannya mengelus kepada sang putra. "Sudah makan?"

"Hmm, sudah, Umi." Mata Keenan tertutup menikmati tangan sang Umi yang sedang mengelus rambutnya.

Inilah Keenan jika bersama Uminya, Dia akan menjadi sosok yang hangat dan lembut.

****

Jam terus berputar dan waktu terus berlalu, tanpa terasa, hari ini datang juga, hari yang di tunggu-tunggu oleh dua keluarga besar yang tidak sabar untuk meriahkan pernikahan Anak-anak mereka.

Rumah Naya sudah dihias sedemikian rupa, mulai dari luar sampai ke dalam kamar Naya, semuanya tampak indah, tapi tidak bagi Naya.

Seandainya Dia bisa kabur dari Ayahnya, sudah Dia lakukan beberapa hari yang lalu, tapi Dia tidak ingin melihat Ayahnya kecewa karena dirinya. Dan membuat hubungan dua keluarga merenggang.

"Sayang, jangan menangis." Liana penghapus air mata putrinya.

"Apa mereka sudah datang?" tanya Naya dengan senyuman dipaksa.

"Mereka sudah ada di jalan, dan sebentar lagi mereka akan sampai."

Naya membuang nafasnya dengan sedikit kasar. "Aku takut, Bunda."

"Kenapa takut, sayang?"

"Naya takut, jika nanti Naya tidak bisa membuka hati untuk Kak Arkan." Naya memasang wajah yang sedih dan cemas.

"Percaya sama Bunda, semuanya akan baik-baik saja, selama Naya melibatkan Allah didalamnya. Masalah cinta, itu urusan belakangan, yang penting kamu terus berdo'a pada Allah agar pernikahan ini bukan sekedar pernikahan di dunia, tapi sampai ke surga-Nya juga." Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Liana mengelus pundak Putrinya. " Allah maha membolak-balikkan hati seseorang, saat ini kamu tidak mencintai Arkan, tapi siapa yang akan tau hari esok? boleh jadi, kamu akan tergila-gila padanya."

"Selalu do'ain Naya, Bunda. Untuk saat ini, Naya hanya butuh do'a dari Bunda, agar pernikahan Naya sakina mawadah warahmah."

"Aamiin," ucap Liana. "do'a terbaik dari bunda, selalu menyertai mu, Sayang."

"Makasih, Bunda."

"Sama-sama, Sayang. Sekarang hapus air matamu!" tutur Liana.

Terdengar sebuah iring-iringan mobil pengantin memasuki area parkir khusus untuk mereka. "Mereka sudah datang."

Naya hanya tersenyum pahit dengan semua kenyataan ini. Semuanya sudah terlanjur, apalagi yang harus dia harapkan? Semuanya end, cintanya kepada Keenan benar-benar sudah end.

Naya menguatkan hatinya dengan dzikir, saat ini hanya Allah yang bisa menenangkan dirinya.

Sedangkan disisi lain, Arkan dan Abi nya sudah duduk di depan Faizal untuk memulai ijab kabul. Jangan tanyakan Keenan ada dimana, Dia masih ada di perjalanan untuk menunju kesini.

"Kamu kenapa?" bisik Kiyai Ibrahim pada putranya yang kelihatan gelisah. "Ada masalah?"

"A-abi, sebenarnya, A-arkan sud-" perkataan Arkan terpotong saat tiba-tiba Keenan duduk di samping kirinya.

"Ada apa, Arkan?" tanya Kiyai Ibrahim yang sedikit curiga dengan gelagat Arkan yang sedikit mencurigakan.

"Ah, gak ada, Bi." Arkan mengalihkan pandangannya dari Abi nya. Dia benar-benar dilanda masalah sangat besar.

"Apa ada hubungannya dengan kamu yang baru pulang tadi pagi?" tanya Kiyai Ibrahim dengan suara yang kecil.

Ia, semalam Arkan menemui kliennya, dan pulangnya di pagi buta dengan keadaan yang berantakan.

"T-tidak ada, Bi," jawab Arkan dengan gugup.

Setelah mengatakan itu, Arkan melirik ponselnya, seakan-akan dia menunggu kabar dari seseorang.

"Kita bisa mulai, sekarang?" tanya Faizal saat semuanya udah siap.

"Bisa." Kiyai Ibrahim tersenyum. "Arkan?"

"Hah, ya, Bi?"

"Ijab kabulnya akan dimulai." Mata Kiyai Ibrahim menatap Arkan dengan tatapan tajam, agar fokus ke acaranya.

Arkan meletakkan ponselnya didalam kantong jasnya, lalu menyambut tangan Faizal untuk memulai ijab kabul.

Faizal menarik nafasnya. "Bismillahirrahmanirrahim, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Arkana keyvan utsman bin Ibrahim Utsman dengan anak saya yang bernama Humaira adinda Kanaya dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,"

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Humaira adinda Kanaya binti Muhammad faizal dengan maskawin terseb-" perkataan Arkan terpotong saat merasakan getaran dari ponselnya.

Tanpa berpikir panjang Arkan langsung memeriksa ponselnya. Matanya berkaca-kaca saat membaca pesan yang baru saja dia terima.

"Arkan?" panggil Kiyai Ibrahim.

"Maaf, Bi." Arkan langsung menyadari kesalahannya. "Arkan tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Arkan harus pergi, maafin Ark-"

PLAK ....

Sebuah tamparan mengenai wajah Arkan.

"Apa maksudnya, Arkan?" tanya Kiyai Ibrahim dengan marah.

"Maaf, Bi. Arkan haru pergi, Assalamualaikum." Arkan langsung pergi meninggalkan acara dengan mengendari motor Keenan.

"ARKAN!" teriak Kiyai Ibrahim berharap putranya itu mendengarkan dirinya, tapi tidak, Arkan tetap melanjutkan motor yang dia pake untuk keluar dari gerbang rumah Faizal.

"Maafin Arkan, Bi, Arkan akan jelasin sama Abi suatu saat nanti," batin Arkan.

Keenan yang sadar akan motornya, hanya bisa pasrah.

"Sialan, Arkan selalu buat masala setiap akhir acara."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!