Déjà Visible

Déjà Visible

Chapter 1

ALICE MORGAN terbangun dan menjerit ketika jendela kamarnya berderak keras.

Kengerian seolah-olah mencekiknya, meskipun ia masih setengah mengantuk.

Ia berteriak lagi ketika bunyi di jendela terdengar makin keras. "Tidak... Jangan! Jangan masuk!"

Ia berusaha turun dari tempat tidurnya, tapi kakinya tersangkut selimut. Napasnya terengah-engah, ia mencoba tidak panik, lalu menyentakkan kakinya dan terhuyung-huyung menuju jendela---bersamaan dengan itu, ayahnya menyerbu masuk ke dalam kamar.

"Alice... Ada apa?"

Alice berlari pada ayahnya untuk berlindung, sambil menunjuk ke arah jendela. "Ada orang di luar sana," jawabnya tergagap-gagap.

Bunyi ribut di jendela terdengar semakin keras.

"Hah?" Ayahnya mengerjap-ngerjapkan matanya sambil mendekati jendela. Kacamatanya pasti belum sempat ditemukan dalam gelap. Didengarkannya bunyi itu. Ia menggeleng-geleng seolah berusaha membuat dirinya benar-benar terjaga, lalu mengencangkan ikat jubah mandinya.

Alice mencoba menghentikannya, namun ayahnya meloncat mendekati jendela. "Dad, jangan, tunggu..." Ayahnya selalu saja bertindak nekat. Kapan dia pernah berpikir sebelum bertindak?

Alice melompat ke belakang dan menabrak meja di samping tempat tidurnya. "Auw!" Pesawat telepon terbanting ke lantai, membuat ia terkejut.

Ia ingin lari, ke luar kamar, ke luar rumah. Tapi ia tak dapat meninggalkan ayahnya.

Tiba-tiba ayahnya tertawa.

Kenapa ia malah tertawa?

"Kemari, Alice."

"Apa?" Ia menarik rambut hitam ikal gelombangnya yang kusut dengan tangannya.

"Kemari, kataku."

Dengan ragu Alice melangkah mendekati jendela.

Sambil tersenyum lebar dan menggeleng-geleng, ayahnya menyingsingkan tirai dan menunjuk ke luar. "Itu rampokmu," katanya setengah terkekeh.

Alice mendengar ketukan lagi. Bunyi ketukan keras diikuti dengan gesekan. Ia masih di tengah kamar, tidak berani lebih dekat lagi. "Cabang pohon, ya?"

"Benar."

"Kenapa ribut-ribut?" Mrs. Morgan buru-buru masuk ke dalam kamar Alice dan menyalakan lampu. "Apa yang terjadi?"

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan," jawab Mr. Morgan seraya memandang ke langit. "Bulan purnama. Lihat. Bulan selalu begitu besar di bulan Agustus."

"Aku tak ingin dengar soal bulan. Aku ingin tahu soal teriakan-teriakan tadi," kata ibu Alice sedikit menuntut.

Mr. Morgan melepaskan pegangannya pada tirai. Lalu mengencangkan kembali ikat pinggang jubah mandinya. "Alice mendengar pohon mengetuk jendelanya."

"Pohon?!"

Alice mengembuskan napasnya keras-keras. "Kukira rampok," ia berkata seraya menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. "Aku sedang tidur, tiba-tiba rasanya bunyi itu membangunkanku dan..."

"Kau tak usah nonton berita sebelum tidur," kata Mrs. Morgan. Ia mendekat, lalu menggenggam tangan putrinya. "Berita-berita tentang rampok itu membuatmu gelisah."

"Ya, tapi memang ada Rampok di Ghostroses," bantah Alice, suaranya meninggi beberapa oktaf. "Aku tidak berkhayal, Mom. Ada rampok yang sering menyatroni rumah-rumah di Ghostroses dan..."

"Kita sudah tinggal di Ghostroses selama lima tahun," kata ibunya, sambil menyibakkan rambut tebal Alice di dahinya. "Kita belum pernah mendapat masalah. Kau tak pernah menyisir rambutmu, ya?"

"Aku suka yang berantakan."

"Hei... Apa itu yang kau pakai?" Mr. Morgan menarik lengan Alice.

"Kupikir ini salah satu piyama lama Dad."

"Aku sudah mencarinya ke mana-mana!" Seru ayahnya, seraya mendongak ke langit-langit. Ia selalu mengadu langsung ke langit. "Berjam-jam kuaduk-aduk lemariku dan..."

"Maaf. Kupikir ini sudah lama."

"Memang sudah lama. Itulah sebabnya aku suka memakainya. Kenapa kau tidak pakai piyamamu sendiri? Aku tidak pernah memakai bajumu, kan?"

Alice tertawa. Berat badan ayahnya hampir seratus kilo, lebih dari dua kali lipat dari berat badannya. "Boleh saja, Dad. Kapan pun Dad mau."

Mrs. Morgan melirik radio jam di atas meja samping tempat tidur Alice dan mengerutkan kening. "Kenapa kita meributkan soal pakaian pada pukul setengah empat pagi begini?"

"Sorry, Mom," kata Alice. Ia menyelusup ke bawah selimut. "Aku baik-baik saja. Kita dapat tidur kembali sekarang."

"Jam berapa kau tidur tadi malam?" Tanya ibunya. "Pasti terlalu malam."

"Yeah. Agak malam. Entah jam berapa?"

"Agak malam atau terlalu malam?"

"Mom," sahut Alice tak sabar. Ia menarik tubuhnya hingga duduk. "Liburan musim panas tinggal seminggu lagi. Aku dan Aaron tak pernah sempat bersama-sama. Dia berlibur dengan orangtuanya ke tempat yang jauh selama dua minggu dan..."

"Dan akibatnya kau menjerit-jerit, membayangkan rampok. Kau terlalu capek, Alice!"

Alice mengerang. Penjelasan ibunya untuk segala hal yang terjadi adalah, "kau terlalu capek." Kalau nilai ulanganmu jelek, atau nafsu makanmu berkurang, atau mood-mu berantakan, itu pasti karena kau terlalu capek.

"Mom, untuk terakhir kalinya kukatakan, Rampok Ghostroses bukan tokoh rekaan. Hampir setiap hari beritanya ada di koran dan televisi."

"Di sini sangat panas," ibunya berkata. Satu lagi kebiasaan buruk ibunya---cepat mengganti topik pembicaraan. Pikirannya melayang dari satu hal ke hal lainnya seperti lebah yang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga yang lain. "Di luar suhunya 27 derajat. Kenapa tidak kaubuka saja jendela itu?"

"Aku... Sebenarnya aku lebih suka ditutup," jawab Alice terbata-bata. Sebersit rasa takutnya kembali muncul.

"Ya sudah. Kalau begitu ayo kembali tidur. Kau ikut tidak, Mike?" Ia menarik lengan suaminya.

"Yah, tentu. Tapi ke sini sebentar, Alice. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

"Hah? Memangnya tidak bisa menunggu sampai besok pagi?" Tiba-tiba Alice merasa ngantuk sekali.

"Tidak. Ayolah." Mr. Morgan melepaskan tangannya dari genggaman istrinya, kemudian meraih kedua tangan putrinya dan menghelanya dari tempat tidur. "Aku ingin menunjukkan sesuatu yang bisa membuatmu merasa lebih baik."

Mr. Morgan tampak semakin serius ketika menarik Alice melintasi koridor menuju kamarnya sendiri.

"Mike, biarkan dia tidur. Dia kecapekan," Mrs. Morgan berkata seraya mengikuti keduanya.

"Cuma sebentar kok. Aku hanya ingin menenangkannya," sahut Mr. Morgan seraya menekan tombol lampu langit-langit.

Lalu ketiganya melangkah ke dalam kamar tidur berukuran luas bernuansa biru, yang selalu harum semerbak oleh aroma parfum Mrs. Morgan.

Mr. Morgan menarik Alice ke dekat meja di samping tempat tidur, kemudian melepaskan tangan Alice dan menarik laci meja tadi sejauh mungkin. Setelah itu tangannya merogoh bagian belakang laci itu. "Ini dia," katanya. Seulas senyum yakin muncul di wajah bundarnya. Ia menarik tangannya keluar dan mengacungkan sepucuk pistol berwarna perak berukuran kecil.

Alice ternganga kaget. "Pistol? Ini pistol sungguhan?"

Mr. Morgan menaruh pistol itu di telapak tangan putrinya. Ternyata lebih berat dari kelihatannya. "Tentu saja ini pistol sungguhan."

Pistol mungil itu terasa dingin di telapak tangan Alice.

"Dan ini sudah ada pelurunya," Mr. Morgan menambahkan.

Alice langsung gementar dan cepat-cepat mengembalikan pistol itu pada ayahnya.

"Hey, jangan ketakutan begitu. Mr. Morgan kemudian memutar-mutar pistol itu di jarinya. "Kau tahu kan aku sudah belajar berburu sejak umur sepuluh tahun. Aku tahu sedikit-sedikit soal senjata."

"Sudahlah, Mike, simpan pistol itu," sergah Mrs. Morgan dari sisi lain tempat tidur. Ia menguap lebar-lebar.

Mr. Morgan menoleh pada istrinya. "Aku membelinya segera sesudah membaca berita tentang Rampok di Ghostroses saat pertama kali. Aku hanya ingin menunjukkan pada Alice, kalau sampai rampok itu berani memasuki rumah ini, aku sudah siap menyambutnya."

"Thanks, Dad!" Alice berkata seraya menyibakkan rambut kusut di dahinya. Biasanya dia menanggapi ayahnya dengan gurauan atau sindiran, tapi sekarang ia terlalu letih untuk bergurau.

"Nah, sekarang kau sudah tahu senjata ini tersedia di sini," kata ayahnya seraya mengembalikan pistol itu dengan hati-hati ke tempatnya semula dan menutup kembali lacinya.

"Selamat malam," kata Alice.

"Selamat malam," balas ibunya yang sudah meringkuk di balik selimut.

"Aku ingin piyamaku kembali besok," sambung Mr. Morgan.

Alice melambaikan tangannya sekilas. Perlahan ia kembali ke kamarnya dan mematikan lampu. Kemudian naik ke tempat tidur.

Cabang pohon tadi masih mengetuk-ngetuk kaca jendela.

Alice menarik selimutnya hingga menutupi kepala dan mencoba tak menghiraukan suara itu.

Ia berbaring terlentang, beberapa menit kemudian ia memiringkan tubuhnya. Meskipun lelah, ia tak juga segera tidur.

Terpopuler

Comments

Esther Nelwan

Esther Nelwan

aku suka klw genrenya d luar negri ni semangat thor

2022-11-04

1

miqaela_isqa

miqaela_isqa

top cer pak 👍🏿

2022-11-02

0

miqaela_isqa

miqaela_isqa

mencurigakan lu pak 🙄

2022-11-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!