ALICE MORGAN terbangun dan menjerit ketika jendela kamarnya berderak keras.
Kengerian seolah-olah mencekiknya, meskipun ia masih setengah mengantuk.
Ia berteriak lagi ketika bunyi di jendela terdengar makin keras. "Tidak... Jangan! Jangan masuk!"
Ia berusaha turun dari tempat tidurnya, tapi kakinya tersangkut selimut. Napasnya terengah-engah, ia mencoba tidak panik, lalu menyentakkan kakinya dan terhuyung-huyung menuju jendela---bersamaan dengan itu, ayahnya menyerbu masuk ke dalam kamar.
"Alice... Ada apa?"
Alice berlari pada ayahnya untuk berlindung, sambil menunjuk ke arah jendela. "Ada orang di luar sana," jawabnya tergagap-gagap.
Bunyi ribut di jendela terdengar semakin keras.
"Hah?" Ayahnya mengerjap-ngerjapkan matanya sambil mendekati jendela. Kacamatanya pasti belum sempat ditemukan dalam gelap. Didengarkannya bunyi itu. Ia menggeleng-geleng seolah berusaha membuat dirinya benar-benar terjaga, lalu mengencangkan ikat jubah mandinya.
Alice mencoba menghentikannya, namun ayahnya meloncat mendekati jendela. "Dad, jangan, tunggu..." Ayahnya selalu saja bertindak nekat. Kapan dia pernah berpikir sebelum bertindak?
Alice melompat ke belakang dan menabrak meja di samping tempat tidurnya. "Auw!" Pesawat telepon terbanting ke lantai, membuat ia terkejut.
Ia ingin lari, ke luar kamar, ke luar rumah. Tapi ia tak dapat meninggalkan ayahnya.
Tiba-tiba ayahnya tertawa.
Kenapa ia malah tertawa?
"Kemari, Alice."
"Apa?" Ia menarik rambut hitam ikal gelombangnya yang kusut dengan tangannya.
"Kemari, kataku."
Dengan ragu Alice melangkah mendekati jendela.
Sambil tersenyum lebar dan menggeleng-geleng, ayahnya menyingsingkan tirai dan menunjuk ke luar. "Itu rampokmu," katanya setengah terkekeh.
Alice mendengar ketukan lagi. Bunyi ketukan keras diikuti dengan gesekan. Ia masih di tengah kamar, tidak berani lebih dekat lagi. "Cabang pohon, ya?"
"Benar."
"Kenapa ribut-ribut?" Mrs. Morgan buru-buru masuk ke dalam kamar Alice dan menyalakan lampu. "Apa yang terjadi?"
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan," jawab Mr. Morgan seraya memandang ke langit. "Bulan purnama. Lihat. Bulan selalu begitu besar di bulan Agustus."
"Aku tak ingin dengar soal bulan. Aku ingin tahu soal teriakan-teriakan tadi," kata ibu Alice sedikit menuntut.
Mr. Morgan melepaskan pegangannya pada tirai. Lalu mengencangkan kembali ikat pinggang jubah mandinya. "Alice mendengar pohon mengetuk jendelanya."
"Pohon?!"
Alice mengembuskan napasnya keras-keras. "Kukira rampok," ia berkata seraya menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. "Aku sedang tidur, tiba-tiba rasanya bunyi itu membangunkanku dan..."
"Kau tak usah nonton berita sebelum tidur," kata Mrs. Morgan. Ia mendekat, lalu menggenggam tangan putrinya. "Berita-berita tentang rampok itu membuatmu gelisah."
"Ya, tapi memang ada Rampok di Ghostroses," bantah Alice, suaranya meninggi beberapa oktaf. "Aku tidak berkhayal, Mom. Ada rampok yang sering menyatroni rumah-rumah di Ghostroses dan..."
"Kita sudah tinggal di Ghostroses selama lima tahun," kata ibunya, sambil menyibakkan rambut tebal Alice di dahinya. "Kita belum pernah mendapat masalah. Kau tak pernah menyisir rambutmu, ya?"
"Aku suka yang berantakan."
"Hei... Apa itu yang kau pakai?" Mr. Morgan menarik lengan Alice.
"Kupikir ini salah satu piyama lama Dad."
"Aku sudah mencarinya ke mana-mana!" Seru ayahnya, seraya mendongak ke langit-langit. Ia selalu mengadu langsung ke langit. "Berjam-jam kuaduk-aduk lemariku dan..."
"Maaf. Kupikir ini sudah lama."
"Memang sudah lama. Itulah sebabnya aku suka memakainya. Kenapa kau tidak pakai piyamamu sendiri? Aku tidak pernah memakai bajumu, kan?"
Alice tertawa. Berat badan ayahnya hampir seratus kilo, lebih dari dua kali lipat dari berat badannya. "Boleh saja, Dad. Kapan pun Dad mau."
Mrs. Morgan melirik radio jam di atas meja samping tempat tidur Alice dan mengerutkan kening. "Kenapa kita meributkan soal pakaian pada pukul setengah empat pagi begini?"
"Sorry, Mom," kata Alice. Ia menyelusup ke bawah selimut. "Aku baik-baik saja. Kita dapat tidur kembali sekarang."
"Jam berapa kau tidur tadi malam?" Tanya ibunya. "Pasti terlalu malam."
"Yeah. Agak malam. Entah jam berapa?"
"Agak malam atau terlalu malam?"
"Mom," sahut Alice tak sabar. Ia menarik tubuhnya hingga duduk. "Liburan musim panas tinggal seminggu lagi. Aku dan Aaron tak pernah sempat bersama-sama. Dia berlibur dengan orangtuanya ke tempat yang jauh selama dua minggu dan..."
"Dan akibatnya kau menjerit-jerit, membayangkan rampok. Kau terlalu capek, Alice!"
Alice mengerang. Penjelasan ibunya untuk segala hal yang terjadi adalah, "kau terlalu capek." Kalau nilai ulanganmu jelek, atau nafsu makanmu berkurang, atau mood-mu berantakan, itu pasti karena kau terlalu capek.
"Mom, untuk terakhir kalinya kukatakan, Rampok Ghostroses bukan tokoh rekaan. Hampir setiap hari beritanya ada di koran dan televisi."
"Di sini sangat panas," ibunya berkata. Satu lagi kebiasaan buruk ibunya---cepat mengganti topik pembicaraan. Pikirannya melayang dari satu hal ke hal lainnya seperti lebah yang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga yang lain. "Di luar suhunya 27 derajat. Kenapa tidak kaubuka saja jendela itu?"
"Aku... Sebenarnya aku lebih suka ditutup," jawab Alice terbata-bata. Sebersit rasa takutnya kembali muncul.
"Ya sudah. Kalau begitu ayo kembali tidur. Kau ikut tidak, Mike?" Ia menarik lengan suaminya.
"Yah, tentu. Tapi ke sini sebentar, Alice. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
"Hah? Memangnya tidak bisa menunggu sampai besok pagi?" Tiba-tiba Alice merasa ngantuk sekali.
"Tidak. Ayolah." Mr. Morgan melepaskan tangannya dari genggaman istrinya, kemudian meraih kedua tangan putrinya dan menghelanya dari tempat tidur. "Aku ingin menunjukkan sesuatu yang bisa membuatmu merasa lebih baik."
Mr. Morgan tampak semakin serius ketika menarik Alice melintasi koridor menuju kamarnya sendiri.
"Mike, biarkan dia tidur. Dia kecapekan," Mrs. Morgan berkata seraya mengikuti keduanya.
"Cuma sebentar kok. Aku hanya ingin menenangkannya," sahut Mr. Morgan seraya menekan tombol lampu langit-langit.
Lalu ketiganya melangkah ke dalam kamar tidur berukuran luas bernuansa biru, yang selalu harum semerbak oleh aroma parfum Mrs. Morgan.
Mr. Morgan menarik Alice ke dekat meja di samping tempat tidur, kemudian melepaskan tangan Alice dan menarik laci meja tadi sejauh mungkin. Setelah itu tangannya merogoh bagian belakang laci itu. "Ini dia," katanya. Seulas senyum yakin muncul di wajah bundarnya. Ia menarik tangannya keluar dan mengacungkan sepucuk pistol berwarna perak berukuran kecil.
Alice ternganga kaget. "Pistol? Ini pistol sungguhan?"
Mr. Morgan menaruh pistol itu di telapak tangan putrinya. Ternyata lebih berat dari kelihatannya. "Tentu saja ini pistol sungguhan."
Pistol mungil itu terasa dingin di telapak tangan Alice.
"Dan ini sudah ada pelurunya," Mr. Morgan menambahkan.
Alice langsung gementar dan cepat-cepat mengembalikan pistol itu pada ayahnya.
"Hey, jangan ketakutan begitu. Mr. Morgan kemudian memutar-mutar pistol itu di jarinya. "Kau tahu kan aku sudah belajar berburu sejak umur sepuluh tahun. Aku tahu sedikit-sedikit soal senjata."
"Sudahlah, Mike, simpan pistol itu," sergah Mrs. Morgan dari sisi lain tempat tidur. Ia menguap lebar-lebar.
Mr. Morgan menoleh pada istrinya. "Aku membelinya segera sesudah membaca berita tentang Rampok di Ghostroses saat pertama kali. Aku hanya ingin menunjukkan pada Alice, kalau sampai rampok itu berani memasuki rumah ini, aku sudah siap menyambutnya."
"Thanks, Dad!" Alice berkata seraya menyibakkan rambut kusut di dahinya. Biasanya dia menanggapi ayahnya dengan gurauan atau sindiran, tapi sekarang ia terlalu letih untuk bergurau.
"Nah, sekarang kau sudah tahu senjata ini tersedia di sini," kata ayahnya seraya mengembalikan pistol itu dengan hati-hati ke tempatnya semula dan menutup kembali lacinya.
"Selamat malam," kata Alice.
"Selamat malam," balas ibunya yang sudah meringkuk di balik selimut.
"Aku ingin piyamaku kembali besok," sambung Mr. Morgan.
Alice melambaikan tangannya sekilas. Perlahan ia kembali ke kamarnya dan mematikan lampu. Kemudian naik ke tempat tidur.
Cabang pohon tadi masih mengetuk-ngetuk kaca jendela.
Alice menarik selimutnya hingga menutupi kepala dan mencoba tak menghiraukan suara itu.
Ia berbaring terlentang, beberapa menit kemudian ia memiringkan tubuhnya. Meskipun lelah, ia tak juga segera tidur.
Benar-benar malam yang mengerikan!
Pertama, bertengkar dengan Aaron. Lalu ribut-ribut soal rampok.
Pikiran Alice beralih pada Aaron. Ia sangat gembira bertemu dengan cowok itu setelah berpisah selama dua minggu penuh. Kulit Aaron terlihat kecokelatan akibat sering berjemur di pantai, ia kelihatan lebih tampan.
Alice ingin bercerita banyak, sehingga ia tidak keberatan ketika Aaron mengajaknya pergi ke Golden Hill Avanue dengan mengendarai mobil ayahnya.
Tempat itu terletak jauh di atas sungai di perbatasan kota. Salah satu tempat terindah sekaligus tempat kencan favorit anak muda di Ghostroses. Dikenal juga sebagai bukit Edelweiss.
Aaron melajukan mobilnya dalam kecepatan yang sangat tinggi.
Alice meminta Aaron untuk mengurangi kecepatannya.
Tapi Aaron tak menghiraukannya. Dan akhirnya mereka sampai di suatu tempat terpencil di tepi sungai. Mesin dan lampu mobil pun dimatikan.
"Nah, sekarang ceritakan liburanmu. Kau ketemu cewek cakep, ya?" Alice menggoda Aaron.
Aaron tidak menjawab, tapi malah menarik Alice mendekat dan memeluknya, lama sekali.
"Aaron, kita ke sini untuk mengobrol. Sudah berminggu-minggu kita tidak bertemu."
Kedua tangan Aaron menyibakkan rambut Alice ke belakang bahunya. "Kita bisa bicarakan nanti," katanya. Lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Alice.
"Jangan, Aaron..."
Tetapi Aaron tidak mempedulikan ucapan Alice.
Dan sebelum Alice menyadarinya, Aaron tahu-tahu sudah menciumnya.
Alice terkejut dan berusaha mendorong tubuhnya seraya memalingkan muka. "Kubilang, Jangan!" Ia bersiap-siap membuka pintu mobil.
Aaron terpana. Kemudian memelotinya. "Kau tak suka ketemu aku?"
"Aku ingin mengobrol!" Alice balas memelotinya.
Aaron meminta maaf berulang-ulang. Tapi bagaimanapun, malam itu sudah berantakan.
Apa yang terjadi pada cowok itu? Pikir Alice heran. Belum pernah dia bertindak selancang itu.
"Ayo kita mulai," usul Aaron setelah itu. Tapi wajahnya terlihat muram, tak sedap dipandang.
Mereka berusaha bercakap-cakap seolah tak terjadi apa-apa, tapi tak berhasil memulihkan keadaan. Alice masih kesal dan sedikit terguncang. Sementara Aaron terlihat jelas bahwa ia sangat jengkel. Akhirnya mereka pulang dicekam kesunyian.
Aaron meminta maaf lagi setelah mobil berhenti di depan rumah Alice. Kelihatannya ia benar-benar menyesal.
Alice meremas tangan cowok itu sebentar, kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Ia lebih jengkel kepada dirinya sendiri ketimbang pada Aaron.
Sekarang ia berguling-guling di atas tempat tidurnya, mencari posisi paling nyaman. Tapi udara dalam kamarnya terasa panas. Rambutnya basah dan terasa lengket di belakang lehernya. Ia merasa bersalah telah mengacaukan kencan mereka. Mungkin tingkahnya sedikit keterlaluan. Meskipun Aaron memang sering merasa dirinya sangat hebat. Tapi dia sayang pada Alice. Selama ini sikapnya juga cukup baik.
Alice masih melamun, tak bisa terlelap. Sementara jam sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Ia memukul-mukul bantalnya, mengacak-acaknya.
Dahan pohon tadi mengetuk jendelanya lagi. Tiga ketukan pendek.
Lalu Alice membayangkan ayahnya mengeluarkan pistol dari laci mejanya dengan tersenyum yakin.
"Senjata ini tersedia di sini," katanya.
Meskipun udara dalam kamarnya terasa panas, tubuh Alice tetap saja menggigil.
Ada sesuatu yang mengerikan dengan pistol kecil berwarna perak itu, tergeletak di dalam laci, menunggu digunakan.
.
.
.
Mungkin seharusnya aku mengikat rambutku, pikir Alice. Ia menelungkup di ranjangnya, mencoba membaca buku. Satu tangannya menarik-narik rambutnya, sedangkan tangannya yang lain masih terus menyibak-nyibakkan rambut yang menutupi wajahnya.
"Kenapa kau tidak potong rambut saja sebelum masuk sekolah lagi?" Shannon Meyer, sahabatnya, bertanya pada Alice beberapa hari yang lalu.
Rambut Shannon lurus sempurna dan berwarna hitam mengkilat, selalu tergerai indah sampai ke bahunya.
"Aku suka berantakan begini," jawab Alice. Lagi pula, apa gunanya punya rambut jika tidak bisa dikibaskan, ditarik-tarik, dimain-mainkan dan diayun-ayunkan?
Alice tidak menginginkan rambut yang sempurna---ia menginginkan rambut yang berkepribadian!
Tapi rambutnya benar-benar mengganggu ketika ia sedang membaca.
Kenapa aku malah membaca novel horor? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Tadi malam aku ketakutan gara-gara ranting mengetuk jendela, dan sekarang aku malah membaca cerita seram. Dasar!
Alice melanjutkan membaca sebentar, kemudian mengangkat kepalanya.
Tiba-tiba saja kamarnya terasa dingin.
Cuma perasaannyakah?
Tidak. Dingin, seperti angin musim dingin berhembus memasuki kamarnya.
Gadis itu melihat ke jendela.
Matahari sore masih begitu tinggi di atas langit. Tirai jendelanya juga tidak bergerak. Tidak ada angin sama sekali. Tapi Alice masih kedinginan.
Alice menutup bukunya dan berdiri.
Bayang-bayang pohon di luar jendelanya menari-nari di dinding kamarnya.
Dari bawah terdengar pintu depan terbanting!
"Aku pulang!" Ayahnya berseru.
Dad pulang lebih cepat, batin Alice. Ada apa?
"Alice... Kau di rumah?" Mr. Morgan bertanya dari kaki tangga.
"Ya, aku di sini, Daddy." Rasa dingin di kamarnya sejenak terlupakan. Alice melemparkan novel di tangannya ke tempat tidur, kemudian berlari menuruni tangga. Ia segera merasa hangat setelah keluar dari kamar.
Dengan kacamata melorot sampai ke hidung seperti biasa, Mr. Morgan mengawasi putrinya menuruni tangga. Senyum aneh menghiasi wajahnya.
"Kenapa tersenyum, Daddy? Apakah Daddy tidak pulang kepagian?"
Mr. Morgan pura-pura tersinggung. "Apa kau tak senang melihat ayahmu?"
"Tidak. Tidak sama sekali," jawab Alice dengan mimik serius.
"Baiklah, kupikir kau akan gembira kalau melihat apa yang kubawa untukmu. Di mana ibumu?"
"Mommy terbang ke Florida. Sedang berjemur untuk memberi kejutan pada Daddy saat makan malam. Apa yang Daddy bawa untukku?"
"Ayolah. Sebetulnya di mana ibumu?"
"Di mall. Di mana lagi?"
Mr. Morgan tampak kecewa. "Oh, ya sudah lah. Kalau begitu aku tak harus menunggunya. Aku harus menunjukkan sesuatu padamu." Mr. Morgan masih berdiri di tempatnya dan pelan-pelan mendorong kacamatanya ke atas. Tapi kacamatanya itu melorot lagi ke tempat semula.
"Apa itu? Ayolah! Daddy sengaja ya membuatku tegang?"
Mr. Morgan tertawa. "Mungkin sebaiknya kusuruh kau menebak kejutan ulang tahunmu sendiri."
"Kejutan ulang tahun?" Alice membelalakkan kedua matanya. "Tapi ulang tahunku kan baru Jumat nanti." Alice segera memutar otak, mencoba menebak apa yang mungkin dihadiahkan ayahnya.
Sebelumnya Mr. Morgan tidak menanyakan apa yang diinginkan Alice.
Apa yang diinginkan Alice?
Alice tak dapat memikirkannya. Ponsel baru, mungkin. Atau apa...
"Mungkin sebaiknya kau menunggu sampai Jumat nanti," kata ayahnya, terang-terangan menggodanya. "Kita bicarakan yang lain saja." Ia mengendurkan dasi dan mulai melepaskan jasnya.
"Jangan!" Teriak Alice memprotes ayahnya. "Dad yang mulai. Sekarang Dad juga yang harus menyelesaikannya."
Mr. Morgan merogoh saku jasnya kemudian menaruh satu set kunci di tangan Alice. "Oke. Kau menang. Selamat ulang tahun!"
Alice memandangi kunci-kunci itu dengan raut wajah kebingungan. "Apa ini?"
"Lihat!" Ayahnya membuka pintu depan.
Sebuah Pontiac Firebird warna biru berkilau terparkir di jalan mobil di halaman rumah mereka.
"Dad bergurau?" Alice berteriak, setelah menyadarinya. "Itu untukku?"
Ayahnya hanya menyeringai seraya mengangguk.
"Aku tak percaya!" Alice melompat memeluk ayahnya hingga nyaris terjengkang. Setelah itu ia mendorong pintu depan dan berlari menghambur keluar untuk melihat mobil barunya.
"Coba saja masuk!" Mr. Morgan menyuruhnya setelah mereka mengelilingi mobil itu selusin kali.
"Aku tak percaya ini kepunyaanku." Alice duduk di belakang kemudi dan menarik napas panjang, menghirup wanginya mobil baru. Diusapkannya tangannya ke permukaan jok berbahan kulit, kemudian mencoba setirnya.
"Mungkin aku akan meminjamnya kapan-kapan," kata ayahnya seraya membungkukkan badannya yang besar, lalu duduk di samping Alice.
"Dad, ini terlalu banyak."
"Apa maksudmu?"
"Dad tahu maksudku. Mobil ini terlalu mewah."
Mr. Morgan tertawa. "Yeah, kau memang terlalu dimanjakan. Dimanjakan habis-habisan. Mungkin sebaiknya mobil ini kuambil lagi saja."
Mr. Morgan menyambar kunci kontak dari tangan Alice, tapi Alice segera merebutnya kembali. "Setelah kupikir-pikir, tidak ada salahnya kan dimanjakan habis-habisan?" Alice menyeringai.
Mr. Morgan menghela napas. Seketika senyumnya memudar. "Dulu waktu aku sebaya denganmu, aku sudah merasa cukup beruntung kalau aku bisa mendapat mobil mainan. Suasana ulang tahun dalam keluargaku saat itu memprihatinkan."
"Ya, aku tahu. Grandma tidak mampu memesan kue ulang tahun, sehingga dia membeli kue ulang tahun basi yang lupa diambil orang. Pada ulang tahun ketiga, Daddy mengatakan pada setiap orang bahwa nama Dad adalah Seymour, karena itulah nama yang terukir di kue."
Mr. Morgan menggeleng-geleng. "Kau sudah hafal semua lelucon kunoku. Dengar, aku sendiri merasa senang kalau bisa memberimu hadiah yang bagus. Itu membuatku sadar betapa besar kemajuan yang telah kucapai selama sekian tahun ini."
Alice mencium pipi ayahnya. "Aku akan menunjukkan mobil ini pada Shannon. Boleh aku menjalankannya?"
Mr. Morgan mengangkat bahu dan keluar dari mobil. "Ini milikmu. Pergilah. Tapi jangan terlalu lama. Ibumu akan kecewa kalau tidak melihatnya."
"Asyik! Shannon pasti takkan percaya!" Alice bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan SIM-nya, lalu kembali ke mobilnya.
Mr. Morgan masih berdiri di samping mobil itu, sedang menyeka noda di kap mobil dengan lengan jasnya.
Alice duduk di belakang kemudi dan berhati-hati menutup pintu mobilnya.
"Kau kelihatan hebat," puji ayahnya. "Rambutmu seperti baru saja tertiup angin, padahal kau belum bergerak."
"Lucu, Dad. Ingatkan aku untuk tertawa nanti kalau sudah pulang."
Kenapa setiap orang selalu mengejek rambutnya?
Alice memutar kunci kontak dengan kesal. Mobilnya mulai bergetar dengan lembut. Ia menoleh ke jendela belakang dan mulai memundurkan mobilnya perlahan dengan sangat hati-hati.
Ayahnya masih berdiri mengawasinya.
Aku akan menabrak pagar, Alice membatin, menyadari dirinya begitu tegang mengendarai mobil yang bagus itu.
Namun mobil itu menggelinding keluar dengan selamat kemudian meluncur keluar Ghostroses dan tiba di Artland tak lama kemudian. Alice membelokkan mobil ke arah jembatan dan meluncur ke arah perbatasan tempat Shannon Meyer tinggal.
Mobil barunya tidak sulit dikendalikan dan nyaman. Hanya saja di jembatan sangat macet, banyak orang pulang kerja tapi sebagian besar berlawanan arah dengan Alice.
Matahari sudah tertutup pepohonan di ujung jembatan, tetapi udara masih terasa panas dan lembab.
Alice membelok ke jalan alternatif untuk menghindari kemacetan, kemudian menginjak pedal gas keras-keras. Mobil itu segera meraung dan melaju kencang.
Tunggu sampai Aaron melihat ini, pikirnya. Ia mendahului sebuah truk sayur yang berjalan lambat, kemudian kembali ke jalur kanan. Tunggu sampai semua orang melihat ini!
Diliriknya spidometer. Kecepatan mencapai 120 kilo meter per jam. Buru-buru gadis itu mengurangi kecepatannya.
Sekarang laju mobilnya berlawanan arah dengan sinar matahari. Diturunkannya tebeng kaca depan, namun tetap tak mengurangi kesilauannya.
Tiba-tiba saja mobilnya melenceng ke kanan dengan sendirinya. Alice memekik. Dicengkeramnya kemudi dengan erat. Jantungnya berdegup kencang.
Apa yang terjadi? Apakah mobilnya ditarik ke kanan? Tidak. Peristiwa itu terjadi begitu saja, seolah ada seseorang yang memutar setir selain dirinya.
Gadis itu mendadak merasa dingin. Didekatkannya sebelah tangannya ke lubang AC, untuk memeriksa kalau-kalau AC itu menyala. Tapi ternyata tidak.
Sinar terang matahari menyelubungi kaca depan, namun di dalam mobil terasa sangat dingin.
Alice memperlambat laju mobilnya, dengan tangan masih mencengkeram kemudi. Ia baru saja merasa sedikit rileks ketika tiba-tiba mobil itu tersentak lagi, melenceng ke kanan. Ban mobilnya berputar arah ke bahu jalan. Ia berusaha mengendalikannya.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Lagi-lagi seperti ada seseorang yang menyentakkan kemudi.
Alice mencengkeram setir kuat-kuat dan duduk tegak. Buku-buku jarinya sampai memutih akibat cengkeramannya yang terlalu kuat. Laju mobil diturunkannya sampai empat puluh. Ada yang tak beres dengan mobil ini, batinnya.
Tiba-tiba sesuatu mendesis di telinga Alice.
Suara apa itu?
Terdengar seperti bisikan. Begitu dekat. Tidak, itu angin.
Ia mendengarnya lagi. Lalu gemetar kedinginan, terkejut dan mendadak takut. Dicengkeramnya kemudi mobil erat-erat dan ia terbelalak memandang ke depan.
Suara itu kembali berdesis di telinganya.
Apa katanya?
Ia bisa mendengarnya dengan jelas sekarang. Bisikan itu tepat di telinganya.
Namanyakah yang disebut?
Ya, seperti begitu.
Aaalliiiiiiice...
Cuma angin. Angin dingin di telinganya. Angin dingin yang berbisik lembut di telinganya.
Aaaaliiiiiiice...
Rumah Shannon hanya tinggal beberapa blok lagi. Aku pasti bisa sampai di sana, pikirnya, sambil mengacuhkan bisikan angin yang mengulang-ulang namanya dengan nada mendesak.
Aku pasti bisa jika aku tetap dapat menguasai mobil...
Tapi lagi-lagi, seperti ada seseorang yang menyentakkan setir, berusaha merebut kendali kemudi.
"Tidak!" Teriaknya, ketika mobil itu tiba-tiba melenceng tajam, kali ini ke kiri, melintasi batas tengah dan masuk ke jalur truk tangki minyak yang sedang melaju kencang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!