Benar-benar malam yang mengerikan!
Pertama, bertengkar dengan Aaron. Lalu ribut-ribut soal rampok.
Pikiran Alice beralih pada Aaron. Ia sangat gembira bertemu dengan cowok itu setelah berpisah selama dua minggu penuh. Kulit Aaron terlihat kecokelatan akibat sering berjemur di pantai, ia kelihatan lebih tampan.
Alice ingin bercerita banyak, sehingga ia tidak keberatan ketika Aaron mengajaknya pergi ke Golden Hill Avanue dengan mengendarai mobil ayahnya.
Tempat itu terletak jauh di atas sungai di perbatasan kota. Salah satu tempat terindah sekaligus tempat kencan favorit anak muda di Ghostroses. Dikenal juga sebagai bukit Edelweiss.
Aaron melajukan mobilnya dalam kecepatan yang sangat tinggi.
Alice meminta Aaron untuk mengurangi kecepatannya.
Tapi Aaron tak menghiraukannya. Dan akhirnya mereka sampai di suatu tempat terpencil di tepi sungai. Mesin dan lampu mobil pun dimatikan.
"Nah, sekarang ceritakan liburanmu. Kau ketemu cewek cakep, ya?" Alice menggoda Aaron.
Aaron tidak menjawab, tapi malah menarik Alice mendekat dan memeluknya, lama sekali.
"Aaron, kita ke sini untuk mengobrol. Sudah berminggu-minggu kita tidak bertemu."
Kedua tangan Aaron menyibakkan rambut Alice ke belakang bahunya. "Kita bisa bicarakan nanti," katanya. Lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Alice.
"Jangan, Aaron..."
Tetapi Aaron tidak mempedulikan ucapan Alice.
Dan sebelum Alice menyadarinya, Aaron tahu-tahu sudah menciumnya.
Alice terkejut dan berusaha mendorong tubuhnya seraya memalingkan muka. "Kubilang, Jangan!" Ia bersiap-siap membuka pintu mobil.
Aaron terpana. Kemudian memelotinya. "Kau tak suka ketemu aku?"
"Aku ingin mengobrol!" Alice balas memelotinya.
Aaron meminta maaf berulang-ulang. Tapi bagaimanapun, malam itu sudah berantakan.
Apa yang terjadi pada cowok itu? Pikir Alice heran. Belum pernah dia bertindak selancang itu.
"Ayo kita mulai," usul Aaron setelah itu. Tapi wajahnya terlihat muram, tak sedap dipandang.
Mereka berusaha bercakap-cakap seolah tak terjadi apa-apa, tapi tak berhasil memulihkan keadaan. Alice masih kesal dan sedikit terguncang. Sementara Aaron terlihat jelas bahwa ia sangat jengkel. Akhirnya mereka pulang dicekam kesunyian.
Aaron meminta maaf lagi setelah mobil berhenti di depan rumah Alice. Kelihatannya ia benar-benar menyesal.
Alice meremas tangan cowok itu sebentar, kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Ia lebih jengkel kepada dirinya sendiri ketimbang pada Aaron.
Sekarang ia berguling-guling di atas tempat tidurnya, mencari posisi paling nyaman. Tapi udara dalam kamarnya terasa panas. Rambutnya basah dan terasa lengket di belakang lehernya. Ia merasa bersalah telah mengacaukan kencan mereka. Mungkin tingkahnya sedikit keterlaluan. Meskipun Aaron memang sering merasa dirinya sangat hebat. Tapi dia sayang pada Alice. Selama ini sikapnya juga cukup baik.
Alice masih melamun, tak bisa terlelap. Sementara jam sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Ia memukul-mukul bantalnya, mengacak-acaknya.
Dahan pohon tadi mengetuk jendelanya lagi. Tiga ketukan pendek.
Lalu Alice membayangkan ayahnya mengeluarkan pistol dari laci mejanya dengan tersenyum yakin.
"Senjata ini tersedia di sini," katanya.
Meskipun udara dalam kamarnya terasa panas, tubuh Alice tetap saja menggigil.
Ada sesuatu yang mengerikan dengan pistol kecil berwarna perak itu, tergeletak di dalam laci, menunggu digunakan.
.
.
.
Mungkin seharusnya aku mengikat rambutku, pikir Alice. Ia menelungkup di ranjangnya, mencoba membaca buku. Satu tangannya menarik-narik rambutnya, sedangkan tangannya yang lain masih terus menyibak-nyibakkan rambut yang menutupi wajahnya.
"Kenapa kau tidak potong rambut saja sebelum masuk sekolah lagi?" Shannon Meyer, sahabatnya, bertanya pada Alice beberapa hari yang lalu.
Rambut Shannon lurus sempurna dan berwarna hitam mengkilat, selalu tergerai indah sampai ke bahunya.
"Aku suka berantakan begini," jawab Alice. Lagi pula, apa gunanya punya rambut jika tidak bisa dikibaskan, ditarik-tarik, dimain-mainkan dan diayun-ayunkan?
Alice tidak menginginkan rambut yang sempurna---ia menginginkan rambut yang berkepribadian!
Tapi rambutnya benar-benar mengganggu ketika ia sedang membaca.
Kenapa aku malah membaca novel horor? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Tadi malam aku ketakutan gara-gara ranting mengetuk jendela, dan sekarang aku malah membaca cerita seram. Dasar!
Alice melanjutkan membaca sebentar, kemudian mengangkat kepalanya.
Tiba-tiba saja kamarnya terasa dingin.
Cuma perasaannyakah?
Tidak. Dingin, seperti angin musim dingin berhembus memasuki kamarnya.
Gadis itu melihat ke jendela.
Matahari sore masih begitu tinggi di atas langit. Tirai jendelanya juga tidak bergerak. Tidak ada angin sama sekali. Tapi Alice masih kedinginan.
Alice menutup bukunya dan berdiri.
Bayang-bayang pohon di luar jendelanya menari-nari di dinding kamarnya.
Dari bawah terdengar pintu depan terbanting!
"Aku pulang!" Ayahnya berseru.
Dad pulang lebih cepat, batin Alice. Ada apa?
"Alice... Kau di rumah?" Mr. Morgan bertanya dari kaki tangga.
"Ya, aku di sini, Daddy." Rasa dingin di kamarnya sejenak terlupakan. Alice melemparkan novel di tangannya ke tempat tidur, kemudian berlari menuruni tangga. Ia segera merasa hangat setelah keluar dari kamar.
Dengan kacamata melorot sampai ke hidung seperti biasa, Mr. Morgan mengawasi putrinya menuruni tangga. Senyum aneh menghiasi wajahnya.
"Kenapa tersenyum, Daddy? Apakah Daddy tidak pulang kepagian?"
Mr. Morgan pura-pura tersinggung. "Apa kau tak senang melihat ayahmu?"
"Tidak. Tidak sama sekali," jawab Alice dengan mimik serius.
"Baiklah, kupikir kau akan gembira kalau melihat apa yang kubawa untukmu. Di mana ibumu?"
"Mommy terbang ke Florida. Sedang berjemur untuk memberi kejutan pada Daddy saat makan malam. Apa yang Daddy bawa untukku?"
"Ayolah. Sebetulnya di mana ibumu?"
"Di mall. Di mana lagi?"
Mr. Morgan tampak kecewa. "Oh, ya sudah lah. Kalau begitu aku tak harus menunggunya. Aku harus menunjukkan sesuatu padamu." Mr. Morgan masih berdiri di tempatnya dan pelan-pelan mendorong kacamatanya ke atas. Tapi kacamatanya itu melorot lagi ke tempat semula.
"Apa itu? Ayolah! Daddy sengaja ya membuatku tegang?"
Mr. Morgan tertawa. "Mungkin sebaiknya kusuruh kau menebak kejutan ulang tahunmu sendiri."
"Kejutan ulang tahun?" Alice membelalakkan kedua matanya. "Tapi ulang tahunku kan baru Jumat nanti." Alice segera memutar otak, mencoba menebak apa yang mungkin dihadiahkan ayahnya.
Sebelumnya Mr. Morgan tidak menanyakan apa yang diinginkan Alice.
Apa yang diinginkan Alice?
Alice tak dapat memikirkannya. Ponsel baru, mungkin. Atau apa...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
hanz
kangen versi cowok itu berbeda, alice ... 😅😅
2024-12-21
0
miqaela_isqa
gercep amat lu sob 🤣
2022-11-02
0
miqaela_isqa
wow, eksotis 😚
2022-11-02
0