Brother Zone
Pemuda tinggi itu menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang, mengabaikan dua wanita --ibu dan kakaknya-- yang duduk di seberangnya. Ia meraih remote lalu mengganti channel TV, walaupun sebenarnya ia tak berminat untuk menonton. Kedua wanita yang tadi tampak serius berbincang, entah apa yang mereka bahas, mendadak diam lalu saling pandang dan saling sikut.
"Besok kamu jadi pulang ke Surabaya, Ka?" tanya ibunya memulai pembicaraan.
"Jadi, Bu. Lagian, Ibu juga udah agak mendingan, ada Mbak Rena juga yang nemenin Ibu sampai benar-benar sehat," jawab pemuda itu.
"Kenapa buru-buru sekali?" tanya ibunya lagi, seperti tak rela anak laki-laki satu-satunya itu pergi.
"Ya 'kan Dhika harus kerja, Bu. Dhika udah dua hari di sini, kerjaan di minimarket pasti numpuk," jelasnya.
"Alasan aja tuh, Bu, padahal udah kangen sama seseorang," celetuk Rena.
Dhika menatap malas pada wanita yang dua tahun lebih tua darinya itu, sedang yang ditatap hanya menyeringai licik.
"Mbak Rena, apaan, sih," ujarnya.
"Kamu punya pacar di Surabaya?" tanya ibunya dengan tatapan menyelidik.
Cepat Dhika menggeleng, "Nggak. Nggak ada," jawabnya.
Wanita yang sudah menginjak kepala lima itu menghela napas berat. Sebenarnya, ia sudah bosan mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa yang tak juga menemukan jawaban yang memuaskan.
"Kamu itu, kapan mau bawain calon buat ibu?" Pertanyaan yang sudah sering ia ajukan kembali ia tanyakan.
"Calon? Calon apaan?" Dhika balik bertanya, pura-pura bodoh. Ia tahu arah pembicaraan ibunya, dan ia tidak suka membahas hal ini.
"Calon pembantu, buat bantu Ibu beres-beres rumah ini," balas ibunya ketus. Dhika mengernyit bingung, sementara Rena terkikik pelan. "Ya calon mantu lah," lanjut ibunya. Kesal karena Dhika selalu berkelit jika ia menanyakan soal calon.
"Sabar, Bu. Kalau udah ada, pasti Dhika kenalin ke Ibu," jawab Dhika berusaha menenangkan ibunya.
"Calonnya sih udah ada, Bu, tapi Dhika-nya yang ... aw!" Kata-kata Rena terputus karena Dhika sudah melemparnya dengan bantal.
"Oh, iya, Ren, siapa itu, gadis yang sering kamu ceritain? Yang kata kamu deket sama Dhika?" Ibunya beralih pada Rena.
"Oh, Tiara?" Rena balik bertanya, bermaksud memancing sekaligus menggoda Dhika.
Dhika hanya mendengus pelan sembari melempar tatapan kesal pada Rena. Kakaknya itu selalu memojokkannya di depan ibunya.
"Ah, iya. Kenapa nggak coba bawa ke sini, siapa tau Ibu suka, trus cocok jadi calon mantu. Ya, nggak, Ren?" balas ibunya antusias.
Rena menegapkan posisi duduknya, mimiknya berubah serius. "Bener, Ka. Kalian udah lama deket, loh. Tiga tahun, ketemu tiap hari, masa kamu nggak ada rasa gitu ke Tiara. Tiara kurang apa coba, cantik, baik juga. Trus, kayaknya dia juga belum punya pacar. Saran Mbak nih, ya, mending cepet gaet, deh, sebelum keduluan orang lain," kata Rena panjang lebar.
"Mbak ngomong apa, sih? Aku anggap Tiara itu udah kayak adik sendiri. Tiara pun sama. Jadi, berhenti berpikiran macam-macam," balas Dhika penuh penekanan. "Ibu juga, jangan terlalu percaya omongan Mbak Rena, takutnya nanti Ibu sendiri yang kecewa," lanjutnya pelan.
Dhika menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa, dalam hati ia mengeluh, sampai kapan ia harus melontarkan alasan penuh kebohongan ini. Meski ia selalu menyangkal, tapi dalam hati sangat membenarkan ucapan Rena. Andai saja ia berani mengakui kalau ia sudah menaruh rasa pada gadis sederhana itu sejak pandangan pertama, tapi apalah daya ia hanya bisa menjaga gadis itu di sisinya dengan embel-embel status 'adik'.
"Dhika, Dhika," Rena menggeleng sambil mendengus pelan, "semua yang lihat perhatian kamu ke Tiara juga tau, perasaan kamu ke Tiara bukan seperti yang selalu kamu bilang."
"Terserah Mbak mau ngomong apa," balas Dhika malas, kemudian bangkit dan meninggalkan kedua wanita yang kini hanya saling pandang.
"Jangan menyesal kalau akhirnya Tiara digaet orang duluan!" teriak Rena sebelum Dhika menghilang di balik pintu kamar.
💛💛💛
Keesokan harinya, menjelang pukul lima Dhika baru tiba di Surabaya. Tanpa pulang ke rumah, ia langsung mampir ke Minimarket untuk mengecek kinerja para karyawannya. Namun, itu hanya alasan lain. Alasan utamanya adalah untuk bertemu seseorang yang membuatnya merasa tak sabar ingin pulang jika berada di Malang.
Dengan langkah penuh karisma Dhika memasuki bangunan berpintu kaca itu, membuat beberapa karyawan yang kebetulan melihatnya lewat menunduk hormat sambil menyapa yang dibalas Dhika hanya dengan anggukan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang lengang karena memang mendekati waktu tutup. Ia memerhatikan para karyawan sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan masing-masing.
Pandangannya terhenti pada salah satu meja kasir, tampak seorang gadis berambut ikal sedang fokus menata barang-barang di sekitar kassa, sepertinya tidak menyadari kehadiran bosnya itu. Bahkan ketika Dhika menghampirinya, gadis itu tetap sibuk dengan pekerjaannya, hingga timbul niat iseng Dhika untuk menggodanya.
BRAKK!!!
"Mampus!"
Tepukan keras di meja berhasil membuat gadis mungil itu mengeluarkan kata-kata khasnya. Juga beberapa karyawati menoleh ke arahnya. Untung saja minimarket itu sudah sepi, jadi tidak akan mengganggu pengunjung.
"Mas Dhika!" geram gadis itu seraya mengelus dada begitu menyadari siapa yang baru saja membuat jantungnya nyaris melompat.
"Melamun aja terus."
Gadis bermata bulat itu melotot sambil berkacak pinggang, bola mata hitam pekatnya berkilat bak mutiara. Alih-alih takut, Dhika justru merasa ingin menarik pipinya karena gemas.
"Coba kalau datang tuh ngucap salam kek, apa kek. Kalau Ara jantungan, gimana?" omelnya.
"Iya, Maaf. Lagian serius amat kerjanya sampai nggak sadar ada yang datang. Kalau yang masuk itu tadi rampok, gimana?" balas pemuda berkulit sawo matang itu.
"Hehehe, maaf." Gadis bernama Tiara itu mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. "Eh, dari mana aja, sih, kok baru nongol?" lanjutnya.
"Hm, kangen, ya? Baru ditinggal dua hari." Dhika menyilangkan kedua tangannya di dada, menatap Tiara dengan senyum jail.
Tiara memanyunkan bibirnya, melirik Dhika sinis. "Ara cuma basa-basi, nggak usah kepedean," ujarnya ketus.
"Yah, padahal ngarep bakal dijawab 'iya', tapi nggak apa-apa, Mas bakal jawab pertanyaan kamu. Mas pulang ke rumah Ibu. Jelas?"
Tiara manggut-manggut dengan bibir mengerucut membentuk huruf O. Sebenarnya ia sudah menebak demikian, karena Dhika memang sering pulang untuk mengunjungi ibunya yang tinggal di Malang.
"Ibu gimana? Sehat?" tanya Tiara kemudian. Walaupun ia belum pernah bertemu langsung dengan wanita itu, tapi karena Dhika sering bercerita tentang ibunya, ia pun merasa seperti sudah mengenal wanita itu.
"Kemarin sakit, makanya Mas pulang, tapi sekarang udah baikan, kok. Oh iya, Ibu titip salam buat kamu," jawab Dhika.
"Salam balik. Kapan-kapan, ajak Ara ketemu Ibu, ya. Ara pengen ketemu Ibu," kata Tiara.
"Buat Apa?" tanya Dhika pura-pura tak suka.
"Mau ngelamar jadi pembantu," balas Tiara ketus. Sementara Dhika terkekeh pelan, suka melihat wajah cemberut gadis berkulit kuning langsat itu.
"Kebetulan, Ibu emang lagi nyari pembantu, tuh," lanjut Dhika masih dengan kekehannya.
Tiara hanya mendengus kesal, tak menanggapi lagi gurauan Dhika. Karena kalau dituruti, tak akan ada habisnya. Gadis itu hanya memanyunkan bibir sambil mengibaskan tangannya, mengisyaratkan Dhika untuk pergi, lalu ia melanjutkan pekerjaannya.
"Udah, nggak usah manyun. Jelek, tau. "Dhika menarik hidung mungil Tiara.
"Sakit!" jerit Tiara sambil memukul tangan Dhika.
"Maaf," ucapnya, membuat gadis itu mendelik tajam. "Ya udah, langsung print Laporan Penjualan, ya. Trus antar ke ruangan Mas," lanjutnya kemudian berlalu.
Tiara mengangguk paham, lalu segera melaksanakan apa yang diperintahkan Dhika.
Sebelum menghilang di balik pintu ruang kerjanya, Dhika masih sempat menoleh pada Tiara yang masih manyun, kesal dengan godaannya tadi.
Pembantu atau menantu?
Cepat-cepat Dhika menggeleng, menepis pemikiran yang sempat melintas di kepalanya.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
vote pertama buat tiara dan dhika
2022-12-13
0