Perhatian yang Berlebihan

Hm, kangen, ya? Baru ditinggal dua hari.

Kata-kata Dhika kembali terngiang di telinga Tiara. Ia tersenyum miris kemudian menggeleng pelan, menepis harapan-harapan yang muncul setiap kali lelaki itu berkata manis padanya. Lelaki itu bukan siapa-siapa, hanya orang asing yang ia tak tahu apapun tentangnya, selain fakta bahwa lelaki itu adalah bos di tempat ia mencari rezeki. Lelaki itu selalu bersikap baik dan perhatian padanya, walau kadang suka membuatnya kesal.

Ia akui, ia pernah atau mungkin masih menaruh rasa pada pemuda yang dulu ia sebut gunung es. Namun, pemuda itu hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Tiga tahun ia mencoba meredam perasaannya, tersiksa sendiri setiap kali perasaan itu membuncah. Berulangkali ia mencoba melupakan, tapi tetap saja hatinya sulit berpaling. Perhatian Dhika yang berlebihan membuatnya merasa seperti sebuah layangan yang terus ditarik ulur, sulit untuk mengartikan perasaan lelaki itu padanya.

"Hm!"

Dengan cepat Tiara menoleh ke sumber suara, terkesiap melihat Dhika berdiri di belakangnya dengan tangan didekap ke dada. Entah sudah berapa lama ia melamun, hingga tak menyadari kehadiran Dhika.

"Eh, maaf, Mas." Tiara tergagap, kemudian berusaha fokus kembali pada pekerjaannya.

"Buruan, Mas mau malmingan, nih," balas Dhika sembari pura-pura melirik arloji-nya.

"Emang sekarang malam Minggu?" tanya Tiara, sedetik kemudian ia menepuk jidat, menyadari kebodohannya. Jelas-jelas tampilan waktu pada komputernya menunjukkan bahwa hari ini hari Sabtu, yang artinya ya malam Minggu.

"Makanya cari pacar. Jadi tahu kapan waktunya malam Minggu. Kelamaan jomblo, sih, jadi lola," ejek Dhika.

"Ngatain orang jomblo, kayak punya pacar aja," kata Tiara tanpa menoleh pada Dhika, tetap fokus pada lembaran uang yang sedang dihitungnya.

"Udah, jangan ngambek. Ntar jomblonya tambah lama," ujar Dhika sembari mengacak rambut Tiara gemas, membuat Tiara makin dongkol.

"Ih!" Tiara menepis tangan Dhika kasar, lalu merapikan rambutnya yang berantakan.

"Mas tunggu di ruangan Mas. Kalau udah selesai langsung antar, ya," ujar Dhika yang dibalas Tiara hanya dengan gumaman. Dengan senyum tersungging ia melangkah menuju ruangannya. Diabaikannya Tiara yang masih tampak kesal.

Setelah Dhika berlalu, Tiara menoleh, menatap tajam punggung lebar lelaki berkemeja biru itu seolah akan menikamnya. Ia menghela napas pelan. Kalau tidak berpikir bahwa Dhika adalah bosnya, ia pasti sudah mengacak-acak wajah lelaki itu. Lelaki itu selalu saja meledek tentang kesendiriannya, seolah ia adalah manusia paling mengenaskan.

Ya, ia memang jomblo, meski keberatan dengan sebutan itu. Ia lebih suka disebut single. Lalu, apa bedanya? Beda. Menurutnya, jomblo itu nasib sedangkan single itu prinsip. Jika hanya sekadar pacar, ia yakin bisa mendapatkannya, meski dengan penampilannya yang pas-pasan. Namun, karena suatu alasan, akhirnya ia memilih untuk sendiri, tanpa seorang laki-laki istimewa dalam hidupnya, selain ayahnya tentunya.

Tak ingin larut dalam pikirannya sendiri, Tiara menghela napas pelan lalu cepat menyelesaikan pekerjaannya. Kalau tidak, Dhika akan mendatanginya lagi dan membuatnya semakin kesal.

"Ini, Mas. Silakan cek dulu," ujar Tiara seraya menyerahkan map berisi laporan penjualan hari itu.

"Besok aja nge-ceknya. Mas udah mau pulang," ujar Dhika sambil memasukkan map yang diberikan Tiara tadi ke dalam laci. "Oh, iya, temenin makan, ya, laper nih." Dhika mengusap-usap perutnya yang rata.

"Loh! Katanya mau malam mingguan, kenapa malah ngajakin makan?" protes Tiara.

"Batal. Jadi sebagai gantinya kamu harus temenin Mas. Nggak ada penolakan." Dhika menjolak pelan kening Tiara dengan telunjuk lalu berjalan santai mendahului Tiara ke luar dari ruangan.

Tiara memanyunkan bibirnya, mendengus pelan lalu melangkah menyusul Dhika.

💛💛💛

Setelah menempuh perjalanan selama hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di salah satu mall yang terletak di pusat Kota Pahlawan itu. Dhika memarkirkan motor maticnya di salah satu sisi parkiran, setelah itu berjalan beriringan dengan Tiara memasuki mall.

Suasana mall begitu ramai, mungkin karena malam Minggu. Melihat beberapa pasang muda-mudi yang berjalan bergandengan, membuat Tiara tersenyum kecut, ada rasa iri yang mengusiknya. Ia dan Dhika sudah biasa jalan bersama, tapi tak pernah sekalipun Dhika menggandeng atau sekadar memegang tangannya ketika berjalan. Kadang timbul di benaknya keinginan untuk merasakan bagaimana rasanya berjalan bergandengan tangan dengan orang yang dicintai.

"Eh, Ra, makan di situ aja, yuk!" Dhika menunjuk salah satu restoran seafood.

Tanpa menunggu persetujuan Tiara, Dhika sudah menarik tangan Tiara menuju tempat yang dimaksud. Tiara yang sejak tadi asyik dengan pemikirannya sendiri, bagai kerbau dicucuk hidungnya, menuruti saja ke mana Dhika membawanya. Ia memandangi tangannya yang digenggam oleh Dhika, sedang hatinya tiba-tiba terasa hangat.

Baru saja akan memasuki restoran, dering ponsel Dhika menghentikan langkah mereka. Dhika merogoh sakunya, mengambil ponselnya lalu mengecek siapa yang menelepon.

"Mas Andre," kata Dhika pada Tiara yang menatap Dhika dengan tatapan bertanya, lalu menggeser icon hijau "Halo, assalamualaikum, Mas," ucapnya.

"Dhika, Mas boleh minta tolong?" tanya suara di seberang telepon tanpa basa-basi.

"Minta tolong apa, Mas?" Dhika menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengira-ngira pertolongan apa yang diminta kakak iparnya itu.

"Begini, Adik Mas namanya Adrian, dia baru datang dari Makassar, sekarang dia ada di bandara. Kebetulan Mas sekarang ada kerjaan yang harus dikerjakan. Kamu bisa gantiin Mas jemput Adrian?"

Dhika tampak berpikir sejenak apakah ia akan menyetujuinya atau tidak, tapi akhirnya ia berkata, "Bisa, Mas."

"Ya udah, makasih, Ka. Kamu jemputnya pakai mobil Mbakmu aja ya, mobilnya ada di rumah, terus nanti antar Adrian langsung ke rumah, ya."

"Oke, Mas," balas Dhika lalu mematikan sambungan telepon.

"Ra, kayaknya makan kita batal, deh. Mas ada tugas negara," kata Dhika penuh sesal.

Bukannya kecewa, Tiara justru tertawa. Ia sudah paham jika Dhika bilang tugas negara, artinya ada tugas penting dari Rena atau Andre.

"Nggak apa-apa. Kayak nggak ada lain kali aja. Ya udah, sana gih," kata Tiara.

"Beneran, nggak apa-apa? Atau kita makan dulu sebentar, tanggung udah sampai sini," tawar Dhika.

"Nggak usah, makannya lain kali aja. Mas pergi aja, nanti ditungguin," tolak Tiara.

"Kamu?"

"Ya pulanglah, ngapain di sini."

"Sama siapa?"

"Gampang, bisa naik ojek atau apa aja nanti," jawab Tiara.

"Mas antar kamu aja dulu, ya?" tawar Dhika lagi.

"Nggak usah, Ara bisa pulang sendiri."

"Yakin? Atau nggak, ikut Mas aja, yuk," ajak Dhika.

"Nggak mau, ah," tolak Tiara cepat.

"Ya udah. Mas pesenin taksi online aja," kata Dhika lalu membuka aplikasi pada ponselnya. "Nggak ada penolakan," tegas Dhika saat dilihatnya Tiara akan protes.

Tiara hanya mengangguk pasrah. Entah kenapa kata-kata 'nggak ada penolakan' selalu ampuh untuk membuatnya menuruti kata-kata Dhika. Setelah selesai memesan, keduanya berjalan keluar dari mall itu dengan perasaan kecewa yang tergambar jelas di wajah Dhika. Bisa jalan-jalan seperti ini bersama Tiara adalah kesempatan yang sangat langka. Sekarang pun kesempatan itu lagi-lagi hilang.

"Udah, Mas, sampai sini aja. Kalau Mas mau pergi, pergi aja," kata Tiara setelah keduanya sampai di luar mall.

"Nggak apa-apa, Mas temenin sampai taksinya datang ... nah, ini driver-nya telepon," kata Dhika segera menjawab panggilan telepon itu.

Tiara memandangi Dhika yang sedang berbicara di telepon. Dalam hati ia mengeluh, lagi-lagi Dhika seperhatian ini padanya. Bagaimana bisa ia menghapus perasaannya pada lelaki itu jika terus-terusan diperlakukan seperti seorang kekasih.

"Ayo, Tiara. Mobilnya udah datang," kata Dhika seraya menunju mobil --yang berhenti di pinggir jalan-- diikuti Tiara.

Dhika membukakan pintu untuk Tiara dan mempersilakan Tiara masuk.

"Hati-hati." Dhika mengusap rambut Tiara lembut, "kalau udah sampai, telepon Mas," pesannya sebelum menutup pintu mobil, yang dibalas Tiara hanya dengan anggukan.

Mobil pun melaju perlahan, meninggalkan Dhika yang masih tampak kecewa dan kesal. Tiara menoleh, dilihatnya Dhika berjalan lesu menuju tempat motornya terparkir tadi.

"Yang tadi itu pacarnya, ya, Mbak?" tanya sang supir.

Tiara tergagap."Ah, bukan. Itu kakak saya," jawab Tiara cepat.

"Oh, kirain pacarnya. Si Masnya perhatian banget soalnya," kekeh si supir.

Tiara tersenyum kecut, malas menanggapi kata-kata sang supir. Ini bukan pertama kalinya ada yang mengira Dhika pacarnya. Namun, seperti sudah terprogram dalam otaknya, setiap kali orang lain bertanya tentang siapa Dhika, ia otomatis menjawab bahwa Dhika kakaknya. Perhatian Dhika memang berlebihan layaknya seorang pacar, tapi itulah kenyataannya, Dhika memang bukan siapa-siapanya.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈

N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈

penasaran gmna awalnya karyawan bisa dianggap adek sama mas bos

2022-12-13

0

Rian Novita Sari

Rian Novita Sari

komentar pertama
bagus lo ceritanya, alirnya juga bagus, bahasanya bagus
sabar ya otor bentar lagi jiga banyak yg mampir
syemangaaaat

2022-11-18

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!