Masa Lalu yang Kembali

Dhika berjalan menuju ruang tunggu bandara, matanya menyusuri orang-orang yang duduk di ruang tunggu. Raut wajahnya terlihat kesal dan marah. Bagaimana tidak, ia harus membatalkan makan malam bersama Tiara demi menjemput seseorang yang tidak ia kenal.

Sekali lagi ia mendengus karena tak jua menemukan orang yang dicari sambil dalam hati mengutuk Andre karena memberi tugas menyebalkan ini. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan seseorang hanya dengan bermodalkan baju warna merah. Orang memakai baju merah di bandara ini bukan hanya satu, gerutu Dhika dalam hati.

"Dhika!" seru seseorang.

Merasa dipanggil, Dhika menoleh. "Rian!" serunya tak percaya.

"Bener, elo Dhika?" Pemuda yang dipanggil Rian itu bertanya meyakinkan. Ia mengamati Dhika dari rambut hingga kaki.

"Iya, ini gue," kekeh Dhika seraya mengulurkan tangan dan disambut hangat oleh Rian.

"Lama nggak ketemu, elo apa kabar?" tanya Rian.

"Baik. Elo sendiri?" Dhika balik bertanya.

"Seperti yang elo lihat," jawab Rian dengan senyum lebar.

"Oh iya, elo ngapain di sini?" tanya Dhika lagi.

"Lagi pengen nyobain liburan di Surabaya, sekalian jenguk kakak gue," jawab Rian.

"Tunggu," sergah Dhika, "jangan-jangan elo adiknya Mas Andre?"

Dhika baru ingat bahwa adiknya Andre bernama Adrian. Rian juga memiliki ciri seperti yang disebutkan Andre. Memakai kaos oblong warna merah, dipadu jaket kulit warna hitam. Rambut semi gondrongnya diselipkan ke belakang telinga, menampakkan sebuah anting kecil di sana. Gayanya sudah seperti anak boyband yang menjadi kegilaan remaja jaman sekarang.

"Iya. Oh, jadi elo yang disuruh kakak gue buat jemput gue? Ah, bener-bener deh kakak gue, nyuruh orang jemput tapi nggak ngasih tau siapa orangnya. Untung gue kenal elo, kalo nggak, sampai subuh gue di sini," oceh Rian.

Dhika terkekeh pelan, "Ya udah, kalo gitu langsung jalan aja, yuk," ajak Dhika.

"Ayo. Eh, apa kita cari makan dulu, gue masih pengen ngobrol sama elo," tawar Rian.

Dhika melirik arlojinya, waktu baru menunjukkan pukul sembilan, tapi ia sudah merasa lelah. Ditambah rencana makan malam bersama Tiara yang batal membuat mood-nya rusak dan malas melakukan apapun.

"Kayaknya lain kali aja, Yan. Udah malam, elo pasti capek, Mas Andre juga pasti udah nungguin elo di rumah," kata Dhika beralasan.

"Oke. Ayo!" sahut Rian kemudian melangkah mengikuti Dhika yang sudah lebih dulu berjalan.

Dengan langkah lebar, Dhika berjalan menuju parkiran. Tanpa banyak bicara ia membantu Rian memasukkan barang-barangnya ke bagasi.

"Bro, gue ke toilet bentar, yah," pamit Rian setelah selesai memasukkan barang, Dhika hanya mengangguk setuju.

Dhika memasuki mobil dengan lesu. Pertemuannya yang tak terduga dengan Rian membuatnya kembali mengingat pada masa lalu yang mati-matian berusaha ia lupakan. Dhika menjatuhkan kepalanya di atas kemudi. Kepalanya terasa berdenyut dan dadanya sesak. Ia pikir, ia sudah melupakan masa itu, ternyata tidak. Rasanya masih tetap sama. Sakit.

Nada dering ponsel mengalihkan pikiran Dhika. Cepat ia meraih ponselnya, melihat siapa yang baru saja mengiriminya pesan. Ternyata dari Rena yang menanyakan apakah ia sudah bertemu dengan Rian.

Setelah membalas pesan Rena, Dhika bermaksud menyimpan ponselnya. Namun, matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah nama di dalam daftar chat-nya. Membaca namanya saja sudah membuatnya tersenyum. Siapa lagi kalau bukan Tiara.

Tangan Dhika bergerak otomatis, membuka profil Tiara. Foto Tiara dengan wajah belepotan cream, memegang kue tart dengan angka 23 di atasnya. Foto yang diabadikan Rena hampir setahun lalu. Sekali lagi ia tersenyum. Lalu jemarinya bergerak menekan icon telepon.

Seperti tak sabar menunggu si penerima menjawab panggilannya, Dhika bersenandung pelan. Hampir satu menit, waktu yang terasa seperti satu jam baginya, akhirnya terdengar jawaban dari ujung telepon.

"Halo, assalamu'alaikum," sapa suara di seberang sana yang terdengar seperti baru bangun tidur.

"Wa'alaikum salam. Udah nyampai rumah?" tanya Dhika.

"Udah, udah tidur malah."

"Maaf, kalau bangunin. Cuma mau mastiin aja kalau kamu udah nyampai rumah. Maaf, Mas nggak bisa ngantar kamu pulang, dan makan malamnya juga batal," ujar Dhika merasa tak enak.

"Santai aja kali, Mas. Kayak Ara nggak biasa pulang sendiri aja." Terdengar kekehan pelan di seberang sana.

"Ya udah, lanjut tidur lagi sana. Besok juga libur, kan? Puas-puasin deh tuh tidurnya.

"Iya."

Sambungan telepon pun terputus, tapi senyum senang belum hilang dari bibir Dhika. Ia bahkan tak menyadari Rian sudah kembali.

"Yang habis teleponan sama pacar, senang banget kayaknya," ledek Rian.

"Apaan, sih," sahut Dhika sambil berusaha bersikap biasa saja. "Gimana, kita jalan sekarang?" tanya Dhika, mengalihkan pembicaraan. Rian hanya mengangguk sebagai jawaban.

Mobil pun melaju meninggalkan bandara. Selama dalam perjalanan, Dhika lebih banyak diam. Pertanyaan basa-basi Rian hanya dijawab sekenanya.

"Oh iya, Bro, jadi elo sekarang kerja apa?" tanya Rian setelah cukup lama berbasa-basi.

"Gue kerja sama kakak gue, buka usaha minimarket, tapi karena kakak gue sekarang memilih jadi ibu rumah tangga, jadi usahanya gue sendiri yang jalanin," terang Dhika. "Elo sendiri?" Dhika balik bertanya.

Rian terkekeh, "Gue jadi pengacara sekarang. Pengangguran banyak acara," kata Rian diiringi tawa.

Dhika ikut tertawa, "Bokap elo kan punya banyak usaha, kenapa nggak kerja sama bokap elo aja?" tanyanya.

Rian menggeleng. "Bokap udah nggak percaya lagi sama gue, karena gue udah terlalu banyak mengecewakan dia. Kuliah nggak kelar. Dikasih modal buat usaha, habis buat foya-foya. Belum lagi kasus-kasus yang bikin dia malu. Sekarang, bokap gue nggak mau tau lagi. Makanya gue ke sini, mau merubah hidup. Berharap kakak gue bisa bantu," cerita Rian.

Dhika menepuk-nepuk bahu Rian. "Gue yakin kakak lo bakal bantu. Semoga hidup elo akan lebih baik di sini," kata Dhika menyemangati, walaupun ia sendiri tidak yakin kata-kata itu tulus dari hati.

"Bro ... gue minta maaf untuk kejadian lima tahun lalu," ujar Rian dengan nada serius setelah beberapa saat terdiam.

"Yan, gue udah lupain itu. Nggak usah dibahas lagi, oke?" balas Dhika dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

Rian pun terdiam, padahal ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada Dhika. Dhika selalu tampak menghindar tiap kali ia menyinggung kejadian lima tahun lalu, yang menimbulkan banyak kesalahpahaman di antara mereka. Keduanya lebih banyak diam sampai akhirnya tiba di rumah Rena.

💛💛💛

Setengah berlari Tiara keluar dari kamar mandi. Air masih menetes dari rambutnya dan membasahi handuk yang dikenakannya, tapi tak dihiraukannya. Ia lebih peduli dengan gawainya yang terus berdering sejak tadi. Dengan cepat ia menyambar gawai-nya, melihat nama penelepon sekilas, lalu menggeser icon hijau.

"Halo, assalamu'alaikum, Mas Dhika" ucap Tiara diiringi senyum, walaupun ia tahu si penelepon tidak akan melihat ia tersenyum.

"Wa'alaikum salam. Lama banget ngangkat teleponnya, baru bangun, ya?" sahut orang di seberang telepon.

"Enak aja! Ara baru selesai mandi," dengus Tiara.

"Oh. Kirain belum bangun. Biasanya 'kan orang kalau lagi libur suka molor sampai sore." Terdengar kekehan pelan.

"Ara nggak semalas itu kali." Tiara mencebik.

"Eh, Ra, kamu kerja aja, deh, hari ini. Di sini sepi nggak ada kamu."

"Enak aja, hari ini kan giliran Ara libur. Lagian, sepi gimana? Kan ada Kang Abdul, yang lain juga banyak," kata Tiara sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Iya, sih, tapi ngobrol sama mereka nggak asyik."

"Mas bilang nggak asyik karena Mas jarang ngobrol sama mereka. Makanya, jadi orang jangan kaku amat kayak kanebo kering, jadi nggak punya temen, toh?" ledek Tiara.

"Iya, bawel." Terdengar Dhika mendengus kesal.

"Udah dulu, ya, Mas. Ara mau siap-siap, mau jalan-jalan nikmatin libur. Selamat menikmati kesendirian, Mas Dhika. Bye!" kata Tiara dengan nada mengejek.

"Eh, Ra ...."

Terlambat, Tiara sudah mematikan sambungan telepon. Ia tersenyum simpul, pasti Dhika sedang kesal sekarang. Tidak apa-apa, sekali-kali gantian dirinya yang membuat laki-laki itu kesal, pikir Tiara. Tebakannya tepat. Tak lama kemudian, sebuah pesan whatsapp masuk ke ponselnya.

Mau jalan-jalan ke mana, sih? Buru-buru amat. Mas belum selesai ngomong.

Tiara hanya tersenyum membaca isi pesan dari Dhika, kemudian dengan cepat mengetik pesan balasan.

Mau ke toko buku.

Jawaban singkat itu pun sudah dikirimnya.

Tak lama kemudian, gawai-nya kembali berdering, tapi diabaikannya. Ia lebih memilih sibuk bersiap diri.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈

N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈

ada kisah masa lalu apakah antara dhika dan ryan

2022-12-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!