Pemuda tinggi itu menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang, mengabaikan dua wanita --ibu dan kakaknya-- yang duduk di seberangnya. Ia meraih remote lalu mengganti channel TV, walaupun sebenarnya ia tak berminat untuk menonton. Kedua wanita yang tadi tampak serius berbincang, entah apa yang mereka bahas, mendadak diam lalu saling pandang dan saling sikut.
"Besok kamu jadi pulang ke Surabaya, Ka?" tanya ibunya memulai pembicaraan.
"Jadi, Bu. Lagian, Ibu juga udah agak mendingan, ada Mbak Rena juga yang nemenin Ibu sampai benar-benar sehat," jawab pemuda itu.
"Kenapa buru-buru sekali?" tanya ibunya lagi, seperti tak rela anak laki-laki satu-satunya itu pergi.
"Ya 'kan Dhika harus kerja, Bu. Dhika udah dua hari di sini, kerjaan di minimarket pasti numpuk," jelasnya.
"Alasan aja tuh, Bu, padahal udah kangen sama seseorang," celetuk Rena.
Dhika menatap malas pada wanita yang dua tahun lebih tua darinya itu, sedang yang ditatap hanya menyeringai licik.
"Mbak Rena, apaan, sih," ujarnya.
"Kamu punya pacar di Surabaya?" tanya ibunya dengan tatapan menyelidik.
Cepat Dhika menggeleng, "Nggak. Nggak ada," jawabnya.
Wanita yang sudah menginjak kepala lima itu menghela napas berat. Sebenarnya, ia sudah bosan mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa yang tak juga menemukan jawaban yang memuaskan.
"Kamu itu, kapan mau bawain calon buat ibu?" Pertanyaan yang sudah sering ia ajukan kembali ia tanyakan.
"Calon? Calon apaan?" Dhika balik bertanya, pura-pura bodoh. Ia tahu arah pembicaraan ibunya, dan ia tidak suka membahas hal ini.
"Calon pembantu, buat bantu Ibu beres-beres rumah ini," balas ibunya ketus. Dhika mengernyit bingung, sementara Rena terkikik pelan. "Ya calon mantu lah," lanjut ibunya. Kesal karena Dhika selalu berkelit jika ia menanyakan soal calon.
"Sabar, Bu. Kalau udah ada, pasti Dhika kenalin ke Ibu," jawab Dhika berusaha menenangkan ibunya.
"Calonnya sih udah ada, Bu, tapi Dhika-nya yang ... aw!" Kata-kata Rena terputus karena Dhika sudah melemparnya dengan bantal.
"Oh, iya, Ren, siapa itu, gadis yang sering kamu ceritain? Yang kata kamu deket sama Dhika?" Ibunya beralih pada Rena.
"Oh, Tiara?" Rena balik bertanya, bermaksud memancing sekaligus menggoda Dhika.
Dhika hanya mendengus pelan sembari melempar tatapan kesal pada Rena. Kakaknya itu selalu memojokkannya di depan ibunya.
"Ah, iya. Kenapa nggak coba bawa ke sini, siapa tau Ibu suka, trus cocok jadi calon mantu. Ya, nggak, Ren?" balas ibunya antusias.
Rena menegapkan posisi duduknya, mimiknya berubah serius. "Bener, Ka. Kalian udah lama deket, loh. Tiga tahun, ketemu tiap hari, masa kamu nggak ada rasa gitu ke Tiara. Tiara kurang apa coba, cantik, baik juga. Trus, kayaknya dia juga belum punya pacar. Saran Mbak nih, ya, mending cepet gaet, deh, sebelum keduluan orang lain," kata Rena panjang lebar.
"Mbak ngomong apa, sih? Aku anggap Tiara itu udah kayak adik sendiri. Tiara pun sama. Jadi, berhenti berpikiran macam-macam," balas Dhika penuh penekanan. "Ibu juga, jangan terlalu percaya omongan Mbak Rena, takutnya nanti Ibu sendiri yang kecewa," lanjutnya pelan.
Dhika menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa, dalam hati ia mengeluh, sampai kapan ia harus melontarkan alasan penuh kebohongan ini. Meski ia selalu menyangkal, tapi dalam hati sangat membenarkan ucapan Rena. Andai saja ia berani mengakui kalau ia sudah menaruh rasa pada gadis sederhana itu sejak pandangan pertama, tapi apalah daya ia hanya bisa menjaga gadis itu di sisinya dengan embel-embel status 'adik'.
"Dhika, Dhika," Rena menggeleng sambil mendengus pelan, "semua yang lihat perhatian kamu ke Tiara juga tau, perasaan kamu ke Tiara bukan seperti yang selalu kamu bilang."
"Terserah Mbak mau ngomong apa," balas Dhika malas, kemudian bangkit dan meninggalkan kedua wanita yang kini hanya saling pandang.
"Jangan menyesal kalau akhirnya Tiara digaet orang duluan!" teriak Rena sebelum Dhika menghilang di balik pintu kamar.
💛💛💛
Keesokan harinya, menjelang pukul lima Dhika baru tiba di Surabaya. Tanpa pulang ke rumah, ia langsung mampir ke Minimarket untuk mengecek kinerja para karyawannya. Namun, itu hanya alasan lain. Alasan utamanya adalah untuk bertemu seseorang yang membuatnya merasa tak sabar ingin pulang jika berada di Malang.
Dengan langkah penuh karisma Dhika memasuki bangunan berpintu kaca itu, membuat beberapa karyawan yang kebetulan melihatnya lewat menunduk hormat sambil menyapa yang dibalas Dhika hanya dengan anggukan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang lengang karena memang mendekati waktu tutup. Ia memerhatikan para karyawan sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan masing-masing.
Pandangannya terhenti pada salah satu meja kasir, tampak seorang gadis berambut ikal sedang fokus menata barang-barang di sekitar kassa, sepertinya tidak menyadari kehadiran bosnya itu. Bahkan ketika Dhika menghampirinya, gadis itu tetap sibuk dengan pekerjaannya, hingga timbul niat iseng Dhika untuk menggodanya.
BRAKK!!!
"Mampus!"
Tepukan keras di meja berhasil membuat gadis mungil itu mengeluarkan kata-kata khasnya. Juga beberapa karyawati menoleh ke arahnya. Untung saja minimarket itu sudah sepi, jadi tidak akan mengganggu pengunjung.
"Mas Dhika!" geram gadis itu seraya mengelus dada begitu menyadari siapa yang baru saja membuat jantungnya nyaris melompat.
"Melamun aja terus."
Gadis bermata bulat itu melotot sambil berkacak pinggang, bola mata hitam pekatnya berkilat bak mutiara. Alih-alih takut, Dhika justru merasa ingin menarik pipinya karena gemas.
"Coba kalau datang tuh ngucap salam kek, apa kek. Kalau Ara jantungan, gimana?" omelnya.
"Iya, Maaf. Lagian serius amat kerjanya sampai nggak sadar ada yang datang. Kalau yang masuk itu tadi rampok, gimana?" balas pemuda berkulit sawo matang itu.
"Hehehe, maaf." Gadis bernama Tiara itu mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. "Eh, dari mana aja, sih, kok baru nongol?" lanjutnya.
"Hm, kangen, ya? Baru ditinggal dua hari." Dhika menyilangkan kedua tangannya di dada, menatap Tiara dengan senyum jail.
Tiara memanyunkan bibirnya, melirik Dhika sinis. "Ara cuma basa-basi, nggak usah kepedean," ujarnya ketus.
"Yah, padahal ngarep bakal dijawab 'iya', tapi nggak apa-apa, Mas bakal jawab pertanyaan kamu. Mas pulang ke rumah Ibu. Jelas?"
Tiara manggut-manggut dengan bibir mengerucut membentuk huruf O. Sebenarnya ia sudah menebak demikian, karena Dhika memang sering pulang untuk mengunjungi ibunya yang tinggal di Malang.
"Ibu gimana? Sehat?" tanya Tiara kemudian. Walaupun ia belum pernah bertemu langsung dengan wanita itu, tapi karena Dhika sering bercerita tentang ibunya, ia pun merasa seperti sudah mengenal wanita itu.
"Kemarin sakit, makanya Mas pulang, tapi sekarang udah baikan, kok. Oh iya, Ibu titip salam buat kamu," jawab Dhika.
"Salam balik. Kapan-kapan, ajak Ara ketemu Ibu, ya. Ara pengen ketemu Ibu," kata Tiara.
"Buat Apa?" tanya Dhika pura-pura tak suka.
"Mau ngelamar jadi pembantu," balas Tiara ketus. Sementara Dhika terkekeh pelan, suka melihat wajah cemberut gadis berkulit kuning langsat itu.
"Kebetulan, Ibu emang lagi nyari pembantu, tuh," lanjut Dhika masih dengan kekehannya.
Tiara hanya mendengus kesal, tak menanggapi lagi gurauan Dhika. Karena kalau dituruti, tak akan ada habisnya. Gadis itu hanya memanyunkan bibir sambil mengibaskan tangannya, mengisyaratkan Dhika untuk pergi, lalu ia melanjutkan pekerjaannya.
"Udah, nggak usah manyun. Jelek, tau. "Dhika menarik hidung mungil Tiara.
"Sakit!" jerit Tiara sambil memukul tangan Dhika.
"Maaf," ucapnya, membuat gadis itu mendelik tajam. "Ya udah, langsung print Laporan Penjualan, ya. Trus antar ke ruangan Mas," lanjutnya kemudian berlalu.
Tiara mengangguk paham, lalu segera melaksanakan apa yang diperintahkan Dhika.
Sebelum menghilang di balik pintu ruang kerjanya, Dhika masih sempat menoleh pada Tiara yang masih manyun, kesal dengan godaannya tadi.
Pembantu atau menantu?
Cepat-cepat Dhika menggeleng, menepis pemikiran yang sempat melintas di kepalanya.
Bersambung.
Hm, kangen, ya? Baru ditinggal dua hari.
Kata-kata Dhika kembali terngiang di telinga Tiara. Ia tersenyum miris kemudian menggeleng pelan, menepis harapan-harapan yang muncul setiap kali lelaki itu berkata manis padanya. Lelaki itu bukan siapa-siapa, hanya orang asing yang ia tak tahu apapun tentangnya, selain fakta bahwa lelaki itu adalah bos di tempat ia mencari rezeki. Lelaki itu selalu bersikap baik dan perhatian padanya, walau kadang suka membuatnya kesal.
Ia akui, ia pernah atau mungkin masih menaruh rasa pada pemuda yang dulu ia sebut gunung es. Namun, pemuda itu hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Tiga tahun ia mencoba meredam perasaannya, tersiksa sendiri setiap kali perasaan itu membuncah. Berulangkali ia mencoba melupakan, tapi tetap saja hatinya sulit berpaling. Perhatian Dhika yang berlebihan membuatnya merasa seperti sebuah layangan yang terus ditarik ulur, sulit untuk mengartikan perasaan lelaki itu padanya.
"Hm!"
Dengan cepat Tiara menoleh ke sumber suara, terkesiap melihat Dhika berdiri di belakangnya dengan tangan didekap ke dada. Entah sudah berapa lama ia melamun, hingga tak menyadari kehadiran Dhika.
"Eh, maaf, Mas." Tiara tergagap, kemudian berusaha fokus kembali pada pekerjaannya.
"Buruan, Mas mau malmingan, nih," balas Dhika sembari pura-pura melirik arloji-nya.
"Emang sekarang malam Minggu?" tanya Tiara, sedetik kemudian ia menepuk jidat, menyadari kebodohannya. Jelas-jelas tampilan waktu pada komputernya menunjukkan bahwa hari ini hari Sabtu, yang artinya ya malam Minggu.
"Makanya cari pacar. Jadi tahu kapan waktunya malam Minggu. Kelamaan jomblo, sih, jadi lola," ejek Dhika.
"Ngatain orang jomblo, kayak punya pacar aja," kata Tiara tanpa menoleh pada Dhika, tetap fokus pada lembaran uang yang sedang dihitungnya.
"Udah, jangan ngambek. Ntar jomblonya tambah lama," ujar Dhika sembari mengacak rambut Tiara gemas, membuat Tiara makin dongkol.
"Ih!" Tiara menepis tangan Dhika kasar, lalu merapikan rambutnya yang berantakan.
"Mas tunggu di ruangan Mas. Kalau udah selesai langsung antar, ya," ujar Dhika yang dibalas Tiara hanya dengan gumaman. Dengan senyum tersungging ia melangkah menuju ruangannya. Diabaikannya Tiara yang masih tampak kesal.
Setelah Dhika berlalu, Tiara menoleh, menatap tajam punggung lebar lelaki berkemeja biru itu seolah akan menikamnya. Ia menghela napas pelan. Kalau tidak berpikir bahwa Dhika adalah bosnya, ia pasti sudah mengacak-acak wajah lelaki itu. Lelaki itu selalu saja meledek tentang kesendiriannya, seolah ia adalah manusia paling mengenaskan.
Ya, ia memang jomblo, meski keberatan dengan sebutan itu. Ia lebih suka disebut single. Lalu, apa bedanya? Beda. Menurutnya, jomblo itu nasib sedangkan single itu prinsip. Jika hanya sekadar pacar, ia yakin bisa mendapatkannya, meski dengan penampilannya yang pas-pasan. Namun, karena suatu alasan, akhirnya ia memilih untuk sendiri, tanpa seorang laki-laki istimewa dalam hidupnya, selain ayahnya tentunya.
Tak ingin larut dalam pikirannya sendiri, Tiara menghela napas pelan lalu cepat menyelesaikan pekerjaannya. Kalau tidak, Dhika akan mendatanginya lagi dan membuatnya semakin kesal.
"Ini, Mas. Silakan cek dulu," ujar Tiara seraya menyerahkan map berisi laporan penjualan hari itu.
"Besok aja nge-ceknya. Mas udah mau pulang," ujar Dhika sambil memasukkan map yang diberikan Tiara tadi ke dalam laci. "Oh, iya, temenin makan, ya, laper nih." Dhika mengusap-usap perutnya yang rata.
"Loh! Katanya mau malam mingguan, kenapa malah ngajakin makan?" protes Tiara.
"Batal. Jadi sebagai gantinya kamu harus temenin Mas. Nggak ada penolakan." Dhika menjolak pelan kening Tiara dengan telunjuk lalu berjalan santai mendahului Tiara ke luar dari ruangan.
Tiara memanyunkan bibirnya, mendengus pelan lalu melangkah menyusul Dhika.
💛💛💛
Setelah menempuh perjalanan selama hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di salah satu mall yang terletak di pusat Kota Pahlawan itu. Dhika memarkirkan motor maticnya di salah satu sisi parkiran, setelah itu berjalan beriringan dengan Tiara memasuki mall.
Suasana mall begitu ramai, mungkin karena malam Minggu. Melihat beberapa pasang muda-mudi yang berjalan bergandengan, membuat Tiara tersenyum kecut, ada rasa iri yang mengusiknya. Ia dan Dhika sudah biasa jalan bersama, tapi tak pernah sekalipun Dhika menggandeng atau sekadar memegang tangannya ketika berjalan. Kadang timbul di benaknya keinginan untuk merasakan bagaimana rasanya berjalan bergandengan tangan dengan orang yang dicintai.
"Eh, Ra, makan di situ aja, yuk!" Dhika menunjuk salah satu restoran seafood.
Tanpa menunggu persetujuan Tiara, Dhika sudah menarik tangan Tiara menuju tempat yang dimaksud. Tiara yang sejak tadi asyik dengan pemikirannya sendiri, bagai kerbau dicucuk hidungnya, menuruti saja ke mana Dhika membawanya. Ia memandangi tangannya yang digenggam oleh Dhika, sedang hatinya tiba-tiba terasa hangat.
Baru saja akan memasuki restoran, dering ponsel Dhika menghentikan langkah mereka. Dhika merogoh sakunya, mengambil ponselnya lalu mengecek siapa yang menelepon.
"Mas Andre," kata Dhika pada Tiara yang menatap Dhika dengan tatapan bertanya, lalu menggeser icon hijau "Halo, assalamualaikum, Mas," ucapnya.
"Dhika, Mas boleh minta tolong?" tanya suara di seberang telepon tanpa basa-basi.
"Minta tolong apa, Mas?" Dhika menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengira-ngira pertolongan apa yang diminta kakak iparnya itu.
"Begini, Adik Mas namanya Adrian, dia baru datang dari Makassar, sekarang dia ada di bandara. Kebetulan Mas sekarang ada kerjaan yang harus dikerjakan. Kamu bisa gantiin Mas jemput Adrian?"
Dhika tampak berpikir sejenak apakah ia akan menyetujuinya atau tidak, tapi akhirnya ia berkata, "Bisa, Mas."
"Ya udah, makasih, Ka. Kamu jemputnya pakai mobil Mbakmu aja ya, mobilnya ada di rumah, terus nanti antar Adrian langsung ke rumah, ya."
"Oke, Mas," balas Dhika lalu mematikan sambungan telepon.
"Ra, kayaknya makan kita batal, deh. Mas ada tugas negara," kata Dhika penuh sesal.
Bukannya kecewa, Tiara justru tertawa. Ia sudah paham jika Dhika bilang tugas negara, artinya ada tugas penting dari Rena atau Andre.
"Nggak apa-apa. Kayak nggak ada lain kali aja. Ya udah, sana gih," kata Tiara.
"Beneran, nggak apa-apa? Atau kita makan dulu sebentar, tanggung udah sampai sini," tawar Dhika.
"Nggak usah, makannya lain kali aja. Mas pergi aja, nanti ditungguin," tolak Tiara.
"Kamu?"
"Ya pulanglah, ngapain di sini."
"Sama siapa?"
"Gampang, bisa naik ojek atau apa aja nanti," jawab Tiara.
"Mas antar kamu aja dulu, ya?" tawar Dhika lagi.
"Nggak usah, Ara bisa pulang sendiri."
"Yakin? Atau nggak, ikut Mas aja, yuk," ajak Dhika.
"Nggak mau, ah," tolak Tiara cepat.
"Ya udah. Mas pesenin taksi online aja," kata Dhika lalu membuka aplikasi pada ponselnya. "Nggak ada penolakan," tegas Dhika saat dilihatnya Tiara akan protes.
Tiara hanya mengangguk pasrah. Entah kenapa kata-kata 'nggak ada penolakan' selalu ampuh untuk membuatnya menuruti kata-kata Dhika. Setelah selesai memesan, keduanya berjalan keluar dari mall itu dengan perasaan kecewa yang tergambar jelas di wajah Dhika. Bisa jalan-jalan seperti ini bersama Tiara adalah kesempatan yang sangat langka. Sekarang pun kesempatan itu lagi-lagi hilang.
"Udah, Mas, sampai sini aja. Kalau Mas mau pergi, pergi aja," kata Tiara setelah keduanya sampai di luar mall.
"Nggak apa-apa, Mas temenin sampai taksinya datang ... nah, ini driver-nya telepon," kata Dhika segera menjawab panggilan telepon itu.
Tiara memandangi Dhika yang sedang berbicara di telepon. Dalam hati ia mengeluh, lagi-lagi Dhika seperhatian ini padanya. Bagaimana bisa ia menghapus perasaannya pada lelaki itu jika terus-terusan diperlakukan seperti seorang kekasih.
"Ayo, Tiara. Mobilnya udah datang," kata Dhika seraya menunju mobil --yang berhenti di pinggir jalan-- diikuti Tiara.
Dhika membukakan pintu untuk Tiara dan mempersilakan Tiara masuk.
"Hati-hati." Dhika mengusap rambut Tiara lembut, "kalau udah sampai, telepon Mas," pesannya sebelum menutup pintu mobil, yang dibalas Tiara hanya dengan anggukan.
Mobil pun melaju perlahan, meninggalkan Dhika yang masih tampak kecewa dan kesal. Tiara menoleh, dilihatnya Dhika berjalan lesu menuju tempat motornya terparkir tadi.
"Yang tadi itu pacarnya, ya, Mbak?" tanya sang supir.
Tiara tergagap."Ah, bukan. Itu kakak saya," jawab Tiara cepat.
"Oh, kirain pacarnya. Si Masnya perhatian banget soalnya," kekeh si supir.
Tiara tersenyum kecut, malas menanggapi kata-kata sang supir. Ini bukan pertama kalinya ada yang mengira Dhika pacarnya. Namun, seperti sudah terprogram dalam otaknya, setiap kali orang lain bertanya tentang siapa Dhika, ia otomatis menjawab bahwa Dhika kakaknya. Perhatian Dhika memang berlebihan layaknya seorang pacar, tapi itulah kenyataannya, Dhika memang bukan siapa-siapanya.
Bersambung.
Dhika berjalan menuju ruang tunggu bandara, matanya menyusuri orang-orang yang duduk di ruang tunggu. Raut wajahnya terlihat kesal dan marah. Bagaimana tidak, ia harus membatalkan makan malam bersama Tiara demi menjemput seseorang yang tidak ia kenal.
Sekali lagi ia mendengus karena tak jua menemukan orang yang dicari sambil dalam hati mengutuk Andre karena memberi tugas menyebalkan ini. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan seseorang hanya dengan bermodalkan baju warna merah. Orang memakai baju merah di bandara ini bukan hanya satu, gerutu Dhika dalam hati.
"Dhika!" seru seseorang.
Merasa dipanggil, Dhika menoleh. "Rian!" serunya tak percaya.
"Bener, elo Dhika?" Pemuda yang dipanggil Rian itu bertanya meyakinkan. Ia mengamati Dhika dari rambut hingga kaki.
"Iya, ini gue," kekeh Dhika seraya mengulurkan tangan dan disambut hangat oleh Rian.
"Lama nggak ketemu, elo apa kabar?" tanya Rian.
"Baik. Elo sendiri?" Dhika balik bertanya.
"Seperti yang elo lihat," jawab Rian dengan senyum lebar.
"Oh iya, elo ngapain di sini?" tanya Dhika lagi.
"Lagi pengen nyobain liburan di Surabaya, sekalian jenguk kakak gue," jawab Rian.
"Tunggu," sergah Dhika, "jangan-jangan elo adiknya Mas Andre?"
Dhika baru ingat bahwa adiknya Andre bernama Adrian. Rian juga memiliki ciri seperti yang disebutkan Andre. Memakai kaos oblong warna merah, dipadu jaket kulit warna hitam. Rambut semi gondrongnya diselipkan ke belakang telinga, menampakkan sebuah anting kecil di sana. Gayanya sudah seperti anak boyband yang menjadi kegilaan remaja jaman sekarang.
"Iya. Oh, jadi elo yang disuruh kakak gue buat jemput gue? Ah, bener-bener deh kakak gue, nyuruh orang jemput tapi nggak ngasih tau siapa orangnya. Untung gue kenal elo, kalo nggak, sampai subuh gue di sini," oceh Rian.
Dhika terkekeh pelan, "Ya udah, kalo gitu langsung jalan aja, yuk," ajak Dhika.
"Ayo. Eh, apa kita cari makan dulu, gue masih pengen ngobrol sama elo," tawar Rian.
Dhika melirik arlojinya, waktu baru menunjukkan pukul sembilan, tapi ia sudah merasa lelah. Ditambah rencana makan malam bersama Tiara yang batal membuat mood-nya rusak dan malas melakukan apapun.
"Kayaknya lain kali aja, Yan. Udah malam, elo pasti capek, Mas Andre juga pasti udah nungguin elo di rumah," kata Dhika beralasan.
"Oke. Ayo!" sahut Rian kemudian melangkah mengikuti Dhika yang sudah lebih dulu berjalan.
Dengan langkah lebar, Dhika berjalan menuju parkiran. Tanpa banyak bicara ia membantu Rian memasukkan barang-barangnya ke bagasi.
"Bro, gue ke toilet bentar, yah," pamit Rian setelah selesai memasukkan barang, Dhika hanya mengangguk setuju.
Dhika memasuki mobil dengan lesu. Pertemuannya yang tak terduga dengan Rian membuatnya kembali mengingat pada masa lalu yang mati-matian berusaha ia lupakan. Dhika menjatuhkan kepalanya di atas kemudi. Kepalanya terasa berdenyut dan dadanya sesak. Ia pikir, ia sudah melupakan masa itu, ternyata tidak. Rasanya masih tetap sama. Sakit.
Nada dering ponsel mengalihkan pikiran Dhika. Cepat ia meraih ponselnya, melihat siapa yang baru saja mengiriminya pesan. Ternyata dari Rena yang menanyakan apakah ia sudah bertemu dengan Rian.
Setelah membalas pesan Rena, Dhika bermaksud menyimpan ponselnya. Namun, matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah nama di dalam daftar chat-nya. Membaca namanya saja sudah membuatnya tersenyum. Siapa lagi kalau bukan Tiara.
Tangan Dhika bergerak otomatis, membuka profil Tiara. Foto Tiara dengan wajah belepotan cream, memegang kue tart dengan angka 23 di atasnya. Foto yang diabadikan Rena hampir setahun lalu. Sekali lagi ia tersenyum. Lalu jemarinya bergerak menekan icon telepon.
Seperti tak sabar menunggu si penerima menjawab panggilannya, Dhika bersenandung pelan. Hampir satu menit, waktu yang terasa seperti satu jam baginya, akhirnya terdengar jawaban dari ujung telepon.
"Halo, assalamu'alaikum," sapa suara di seberang sana yang terdengar seperti baru bangun tidur.
"Wa'alaikum salam. Udah nyampai rumah?" tanya Dhika.
"Udah, udah tidur malah."
"Maaf, kalau bangunin. Cuma mau mastiin aja kalau kamu udah nyampai rumah. Maaf, Mas nggak bisa ngantar kamu pulang, dan makan malamnya juga batal," ujar Dhika merasa tak enak.
"Santai aja kali, Mas. Kayak Ara nggak biasa pulang sendiri aja." Terdengar kekehan pelan di seberang sana.
"Ya udah, lanjut tidur lagi sana. Besok juga libur, kan? Puas-puasin deh tuh tidurnya.
"Iya."
Sambungan telepon pun terputus, tapi senyum senang belum hilang dari bibir Dhika. Ia bahkan tak menyadari Rian sudah kembali.
"Yang habis teleponan sama pacar, senang banget kayaknya," ledek Rian.
"Apaan, sih," sahut Dhika sambil berusaha bersikap biasa saja. "Gimana, kita jalan sekarang?" tanya Dhika, mengalihkan pembicaraan. Rian hanya mengangguk sebagai jawaban.
Mobil pun melaju meninggalkan bandara. Selama dalam perjalanan, Dhika lebih banyak diam. Pertanyaan basa-basi Rian hanya dijawab sekenanya.
"Oh iya, Bro, jadi elo sekarang kerja apa?" tanya Rian setelah cukup lama berbasa-basi.
"Gue kerja sama kakak gue, buka usaha minimarket, tapi karena kakak gue sekarang memilih jadi ibu rumah tangga, jadi usahanya gue sendiri yang jalanin," terang Dhika. "Elo sendiri?" Dhika balik bertanya.
Rian terkekeh, "Gue jadi pengacara sekarang. Pengangguran banyak acara," kata Rian diiringi tawa.
Dhika ikut tertawa, "Bokap elo kan punya banyak usaha, kenapa nggak kerja sama bokap elo aja?" tanyanya.
Rian menggeleng. "Bokap udah nggak percaya lagi sama gue, karena gue udah terlalu banyak mengecewakan dia. Kuliah nggak kelar. Dikasih modal buat usaha, habis buat foya-foya. Belum lagi kasus-kasus yang bikin dia malu. Sekarang, bokap gue nggak mau tau lagi. Makanya gue ke sini, mau merubah hidup. Berharap kakak gue bisa bantu," cerita Rian.
Dhika menepuk-nepuk bahu Rian. "Gue yakin kakak lo bakal bantu. Semoga hidup elo akan lebih baik di sini," kata Dhika menyemangati, walaupun ia sendiri tidak yakin kata-kata itu tulus dari hati.
"Bro ... gue minta maaf untuk kejadian lima tahun lalu," ujar Rian dengan nada serius setelah beberapa saat terdiam.
"Yan, gue udah lupain itu. Nggak usah dibahas lagi, oke?" balas Dhika dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Rian pun terdiam, padahal ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada Dhika. Dhika selalu tampak menghindar tiap kali ia menyinggung kejadian lima tahun lalu, yang menimbulkan banyak kesalahpahaman di antara mereka. Keduanya lebih banyak diam sampai akhirnya tiba di rumah Rena.
💛💛💛
Setengah berlari Tiara keluar dari kamar mandi. Air masih menetes dari rambutnya dan membasahi handuk yang dikenakannya, tapi tak dihiraukannya. Ia lebih peduli dengan gawainya yang terus berdering sejak tadi. Dengan cepat ia menyambar gawai-nya, melihat nama penelepon sekilas, lalu menggeser icon hijau.
"Halo, assalamu'alaikum, Mas Dhika" ucap Tiara diiringi senyum, walaupun ia tahu si penelepon tidak akan melihat ia tersenyum.
"Wa'alaikum salam. Lama banget ngangkat teleponnya, baru bangun, ya?" sahut orang di seberang telepon.
"Enak aja! Ara baru selesai mandi," dengus Tiara.
"Oh. Kirain belum bangun. Biasanya 'kan orang kalau lagi libur suka molor sampai sore." Terdengar kekehan pelan.
"Ara nggak semalas itu kali." Tiara mencebik.
"Eh, Ra, kamu kerja aja, deh, hari ini. Di sini sepi nggak ada kamu."
"Enak aja, hari ini kan giliran Ara libur. Lagian, sepi gimana? Kan ada Kang Abdul, yang lain juga banyak," kata Tiara sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Iya, sih, tapi ngobrol sama mereka nggak asyik."
"Mas bilang nggak asyik karena Mas jarang ngobrol sama mereka. Makanya, jadi orang jangan kaku amat kayak kanebo kering, jadi nggak punya temen, toh?" ledek Tiara.
"Iya, bawel." Terdengar Dhika mendengus kesal.
"Udah dulu, ya, Mas. Ara mau siap-siap, mau jalan-jalan nikmatin libur. Selamat menikmati kesendirian, Mas Dhika. Bye!" kata Tiara dengan nada mengejek.
"Eh, Ra ...."
Terlambat, Tiara sudah mematikan sambungan telepon. Ia tersenyum simpul, pasti Dhika sedang kesal sekarang. Tidak apa-apa, sekali-kali gantian dirinya yang membuat laki-laki itu kesal, pikir Tiara. Tebakannya tepat. Tak lama kemudian, sebuah pesan whatsapp masuk ke ponselnya.
Mau jalan-jalan ke mana, sih? Buru-buru amat. Mas belum selesai ngomong.
Tiara hanya tersenyum membaca isi pesan dari Dhika, kemudian dengan cepat mengetik pesan balasan.
Mau ke toko buku.
Jawaban singkat itu pun sudah dikirimnya.
Tak lama kemudian, gawai-nya kembali berdering, tapi diabaikannya. Ia lebih memilih sibuk bersiap diri.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!