Mengungkit Masa Lalu

Sambil mengobrol, Dhika dan Rian berjalan menuju restaurant yang berada tak jauh dari toko buku. Dhika membatalkan niatnya untuk mencari Tiara di toko buku, toh Tiara juga belum tentu ada di sana. Tidak ada salahnya juga ia menuruti ajakan Rian. Hitung-hitung ia menepati janji atas tolakan tadi malam.

Keduanya memasuki restaurant dengan langkah mantap, membuat beberapa mata tertuju pada mereka, terutama para remaja yang asyik bergosip. Namun, keduanya tak merasa terusik. Lebih tepatnya, Dhika yang pura-pura tak terusik, sementara Rian tetap santai, seolah hal itu adalah makanan sehari-hari baginya.

Rian mengambil posisi di sudut ruangan, diikuti Dhika di belakangnya. Setelah memanggil seorang pelayan dan memesan makanan, Dhika dan Rian kembali mengobrol.

"Kok orang-orang pada lihat ke sini, sih?" kata Rian sambil melirik serombongan gadis remaja yang duduk tidak jauh dari mereka.

"Mereka ngelihatin lo. Dikira lo anak boyband dari Jepang kali, atau oppa-oppa Korea gitu," kekeh Dhika.

"Boyband apaan?" Rian ikut terkekeh. "Mereka terpesona sama lo kali, Bro."

Dhika hanya menggeleng pelan, tak berniat menanggapi. Seorang pelayan yang mengantarkan pesanan mereka menginterupsi obrolan mereka. Setelah pelayanan tersebut pergi, keduanya melanjutkan obrolan.

"Eh, tapi lo sekarang berubah, Bro, udah kayak pengusaha muda. Setelan rapi, kemeja, celana kain, sepatu kulit, nggak kalah lah sama orang kantoran. Mana ngomongnya cool banget. Pokoknya beda banget lah sama jaman kuliah dulu," puji Rian.

"Perubahan itu perlu, Yan. Waktu berjalan, usia bertambah, masa mau begitu terus. Setidaknya ada sedikit pergerakan ke arah yang lebih baik," kata Dhika sambil mengaduk minumannya.

"Tuh, bicara aja bijak banget. Lo berubah kayak gini, pasti ada yang merubah lo. Siapa dia? Pasti cewek. Kenalin sama gue lah, Bro," rong-rong Rian.

"Iya. Gue berubah karena cewek, orang itu Mbak Rena dan Ibu gue, orang yang selalu ada saat gue susah," jelas Dhika penuh penekanan." Dan seseorang yang yang berhasil membuat gue bangkit dari keterpurukan, lanjutnya dalam hati.

"Lo nggak punya cewek? Ah, masa cowok sekeren lo, nggak punya cewek? Nggak percaya gue," kata Rian penuh selidik.

"Terserah, mau percaya atau nggak," jawab Dhika sambil menyeruput minumannya.

"Trus yang lo telepon tadi malam, yang bikin lo senyum-senyum, nggak mungkin cowok, kan?" goda Rian.

"Ya bukanlah, emang gue apaan. Itu si Mitha, adek sepupu gue," kata Dhika berbohong. Entah kenapa ia tak ingin bercerita apapun tentang Tiara pada Rian.

"Dhika, Dhika, nggak mungkin teleponan sama adik sepupu senyumnya sampai sebahagia itu," kata Rian tidak percaya.

"Dia cerita tentang anaknya yang baru umur empat tahun. Gue senyum-senyum karena ingat sama anak itu," kata Dhika sambil dalam hati berdoa semoga Rian percaya.

"Oo." Rian menanggapi sambil manggut-manggut.

Setelah itu tak ada yang bersuara, keduanya melanjutkan makan dalam diam. Suasana mendadak kaku. Rian tampak berulang kali ingin mengajukan pertanyaan, tapi diurungkannya, sementara Dhika tampak merasa takut, takut kalau Rian akan membahas kejadian lima tahun lalu.

"Tapi gue masih nggak percaya kalau Lo nggak punya cewek. Apa karena kejadian lima tahun lalu, lo jadi menjaga jarak sama cewek?" tanya Rian hati-hati.

Dhika mengakui tuduhan Rian. Sejak kejadian lima tahun lalu, ia memang menjaga jarak dengan wanita. Selama lima tahun ini hanya ada empat wanita dalam hidupnya. Ibunya, Rena, Mitha, terakhir Tiara.

"Yan, gue nggak mau bahas itu lagi," kata Dhika pelan. Tenaganya seperti tersedot seketika. Dhika merasa kembali ke dirinya lima tahun yang lalu, sosok lelaki yang terpuruk dengan memendam perasaan sedih, marah dan kecewa, yang berbaur menjadi satu.

"Oke, gue sadar, kesalahan gue mungkin nggak bisa lo maafin, tapi ...."

"Yan, please, nggak usah dibahas lagi," potong Dhika. "Gue udah maafin lo, kalau nggak, nggak mungkin gue mau nurutin ajakan lo sekarang," lanjut Dhika berusaha tersenyum.

Apakah ia sudah memaafkan Rian? Ia sendiri pun tidak yakin. Mengingat bagaimana tersiksanya ia ketika mencoba meredam luka itu, rasanya tidak semudah itu baginya untuk memaafkan Rian. Bahkan jejak luka itu masih ada sampai sekarang. Luka yang membuatnya terlalu takut untuk mencintai, takut kejadian sama akan terulang kembali.

"Oh iya, hubungan lo sama Sherly, gimana?" tanya Dhika setelah ia bisa menguasai perasaannya.

Rian menggeleng, "Nggak lama setelah lo tiba-tiba menghilang, gue putus sama Sherly.

"Kok bisa?" tanya Dhika tak percaya.

"Ceritanya panjang. Lo ingat Nisa?" tanya Rian, Dhika mengangguk begitu mengingat adik tingkatnya itu. "Ini ada hubungannya sama dia. Dan tujuan gue ke Surabaya, buat cari Nisa," jelas Rian.

"Yan, kayaknya banyak hal yang gue nggak tau. Lo bisa ceritain semuanya?" pinta Dhika.

Rian menggeleng, "Gue bakal cerita semuanya, tapi nggak sekarang. Gue janji, setelah urusan gue sama Nisa selesai, gue bakal cerita sama lo," lanjut Rian sembari tersenyum meyakinkan.

Dhika pun mengangguk setuju, walaupun di benaknya kini timbul berbagai pertanyaan. Apa yang terjadi antara Sherly dan Rian hingga akhirnya mereka putus? Bukankah dulu Sherly begitu tergila-gila pada Rian? Lalu, Nisa. Rian dan Nisa memang akrab, karena berada di kelas yang sama dengan Rian. Namun, bagaimana bisa Nisa terlibat di antara hubungan Rian dan Sherly?

Berbagai pertanyaan itu terus berkecamuk di kepala Dhika, hingga keningnya berkerut karena berpikir keras.

"Hoi, lo kenapa?" tanya Rian mengalihkan pikiran Dhika.

"Nggak apa-apa." Dhika menggeleng.

Baru saja Dhika akan kembali bertanya pada Rian, nada dering ponsel menginterupsinya. Dhika meraih ponselnya, membuka pesan whatsapp. Raut wajahnya berubah semringah, ternyata pesan balasan dari Tiara yang memberitahukan bahwa ia berada di toko yang akan didatangi Dhika tadi.

Dhika melirik jam tangannya, lalu bangkit berdiri dan berkata, "Yan, gue harus balik ke minimarket lagi, nih . Inget, ya, lo utang banyak penjelasan sama gue."

"Oke, oke," jawab Rian meski ia sedikit heran dengan sikap Dhika yang mendadak berubah ceria.

Dhika menjabat tangan Rian, lalu melangkah lebar keluar dari restaurant itu. Semua pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya tadi seolah tidak penting lagi. Yang terpenting sekarang adalah menemui Tiara.

Tiara keluar dari toko buku sambil menenteng paper bag yang berisi buku-buku yang dibelinya. Dengan senyum semringah, ia menghampiri Dhika yang sudah menunggunya di atas motor maticnya. Dhika baru saja memberitahunya bahwa ia menunggunya di depan toko buku.

"Ngapain, sih, nyusul ke sini?" tanya Tiara setelah tiba di depan Dhika.

"Kangen kamu .... "Belum sempat Dhika menyelesaikan ucapannya, Tiara sudah menghantam bahunya dengan paper bag berisi buku. "Aw! Sakit, Ra," ringisnya sambil mengusap-usap bahunya.

"Makanya, kalau ditanya jawabnya yang benar," ketus Tiara.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈

N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈

padahal udah dijawab yg bener ya dik...emg beneran kangen...

2022-12-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!