Terlahir Untuk Menghilang
Manusia fana menggambarkan surga kesembilan penuh dengan dewi seindah giok dengan suara bak nyanyian murai, terbang di antara awan dan menggoda kupu-kupu. Seluruh tanah di tutupi bunga warna-warni dengan langit biru sebagai atap. Para abadi akan memetik sitar dengan lengan jubah lebar tersebar di samping, cangkir anggur berdenting dan udara abadi dari dupa persembahan.
Faktanya, beberapa gambaran tentang surga kesembilan benar adanya. Tapi hal itu tidak berlaku untuk saat ini.
Awan gelap membentang dari ufuk timur ke ufuk barat. Sesekali suara gelegar guntur terdengar, cangkir giok dalam genggaman seorang abadi berpakaian biru terlepas. Berdenting nyaring ketika membentur lantai. Sang abadi bergegas keluar dari istananya, menengadah. Langit biru dengan awan putih mengambang kini menghilang, di gantikan awan gelap menggantung. Bukan karena malam, karena surga kesembilan tidak memiliki malam namun hanya senja.
Awan hitam itu bergerak, berduyun-duyun menuju satu arah yang sama. Itu adalah istana dewa perang Xue Yuan Qing!
"Astaga!" Dia memekik ketika awan gelap semakin bergulung. Surga kesembilan yang selalu terang seolah kehilangan semua sinar. Guntur kembali terdengar beberapa kali, peristiwa ini mengingatkan sang abadi ketika dia hendak naik ke surga kesembilan. Mengingatkannya akan kesengsaraan surgawi yang akan di lalui setiap pembudidaya.
Gelap di mana-mana. Sang abadi berpakaian biru menjentikkan ujung kaki, berpindah puluhan meter dalam sekejap mendekati tempat awan gelap berkumpul.
Beberapa abadi lain telah sampai, menyaksikan awan hitam yang terus bergulung di atas istana dewa perang. Tidak ada sapaan ramah yang mereka pertukarkan, hanya ada kerutan dalam di kening masing-masing.
"Bagaimana menjadi seperti ini?" Suara itu menarik perhatian para abadi, mereka memberi hormat serempak pada sang penguasa Langit berjubah emas dengan mahkota tirai manik-manik.
"Menjawab Kaisar langit, Tuanku sedang menyempurnakan sebuah artefak tingkat surga. Tuanku menyebutnya Lonceng pemecah takdir. Benda ini dapat membolak-balik ruang dan waktu tanpa memperingatkan hukum surgawi."
Tarikan napas seketika terdengar ketika pelayan abadi sang dewa perang berbicara. Untuk menciptakan artefak yang menentang surga seperti ini, tidak salah jika mampu menarik guntur kesengsaraan, memperingatkan hukum surgawi.
Seolah menjawab pemikiran para abadi, guntur menggelegar, petir ungu berderak. Menyambar dari langit gelap yang menggantung, membentuk retakan di langit, menyambar semua yang di sentuh. Ledakan keras terdengar dari istana dewa perang, pohon di sisi halaman yang rimbun seketika berubah menjadi cabang gundul berbau asap.
Aura kuat menyebar, menekan para abadi. Memaksa mereka melangkah mundur, berdiri di kejauhan.
Ini adalah hukum surgawi!
Guntur kembali menggelegar dan petir ungu menyambar, kali ini meledakkan atap istana yang kokoh.
Bak kembang api ungu yang di sulut terus menerus, petir menyambar berulang kali. Aura tirani terakumulasi, memaksa para abadi untuk menjatuhkan lutut.
Setelah sembilan puluh sembilan kali sambaran petir ungu, awan hitam perlahan menyebar dan menghilang meninggalkan tetes hujan. Langit yang semula kelabu kini mendapatkan kembali warnanya, rintik hujan membasahi jubah brokat para abadi.
Setiap tetes air mengandung energi abadi yang kaya, meremajakan setiap tanaman yang hangus. Memulihkan cedera akibat paksaan hukum surgawi.
Meski kesengsaraan surgawi telah berakhir, tidak ada seorangpun abadi yang memiliki cukup keberanian untuk memasuki istana dewa perang. Dan tidak butuh menunggu waktu lama, seorang pria berpakaian ungu melangkah keluar.
Pria itu memiliki wajah adil dengan rahang tegas dan mata phoenix. Bibir membentuk garis lurus, membuat wajahnya yang adil tampak dingin dan terpisah bagai es abadi di puncak gunung.
Ujung pakaiannya tampak compang camping seolah telah terbakar. Terdapat bekas robekan di lengan kanan dengan cairan merah menetes di antara jari-jarinya. Sebuah lonceng giok ada di genggaman tangan kiri, itu seharusnya artefak yang baru saja di sempurnakan dengan sembilan puluh sembilan guntur surgawi.
Lonceng pemecah takdir.
•
•
•
“Dapatkan Lonceng pemecah takdir!” Seorang pria bersurai hitam berseru. Sepasang tanduk hitam di kening tampak bersinar dengan cahaya kemerahan. Sosok itu memiliki iris kuning dengan pupil menyempit.
Dia berseru pada ribuan tentara berbaju zirah hitam di belakang. Ribuan tentara dengan tanduk atau sisik menyerbu semakin brutal atas seruannya.
Energi hitam penuh kebencian menguar dari masing-masing mereka.
Di seberang, tentara berbaju zirah putih berusaha memblokir. Menghalangi musuh menginvasi.
“Jangan biarkan iblis menang!” Seorang pria muda menaiki kuda dengan tombak di tangan. Baju zirah perak tampak berkilau di bawah sinar matahari, beberapa bekas merah dan hitam menodai beberapa tempat. Wajahnya yang adil penuh semangat perjuangan.
“Jangan biarkan iblis menang!” tentara di belakangnya menjawab seruan.
Dua kubu maju di tanah lapang, debu mengepul. Tombak dan pedang mengayun, menuai kehidupan lawan. Darah merah dan hitam tumpah menjadi satu, mewarnai tanah coklat menjadi kehitaman. Kulit pecah, anggota tubuh terputus menjadi pemandangan yang lumrah.
Teriakan semangat dan raungan melebur dalam medan syura.
Langit tertutup, awan menggantung dengan tetes-tetes air seolah berduka. Rintik ringan berubah menjadi guyuran deras, membilas kekotoran dan anyir yang merebak.
Sosok pria berdiri melayang di ketinggian dengan jubah ungu yang tertutup baju zirah emas. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi tapi tatapan sepasang matanya tampak nanar. Aliran bening mengalir menuruni pipi dan dagu, tidak jelas apakah itu air mata atau tetes hujan.
•
•
•
Xue Hualing terdiam, dia melihat sekeliling dengan bingung. Tempatnya berada hanya memiliki satu warna, itu adalah putih yang dingin sejauh mata memandang. Itu terlihat seperti gua yang di penuhi es dan salju. Dinding batu hitam hampir tidak lagi terlihat, hanya putih dan putih.
Dia mendongak, cahaya menyilaukan menyerang mata. Hualing mengangkat lengan, menghalau cahaya terang itu. Di antara jari-jarinya dia melihat biru yang tinggi.
Kening Hualing berkerut, bibirnya mengerucut. Hualing ingat dengan benar, dia adalah pelayan dewa tertinggi Xue Yuan Qing sang dewa perang di surga ke sembilan. Dia adalah satu-satunya pelayan yang di ijinkan mengikuti dewa tertinggi kemanapun dewanya pergi. Dia juga mengingat jika beberapa saat lalu dia masih menemani dewanya di ruang belajar. Jadi mengapa dia ada di tempat serba putih yang dingin ini sekarang?
Hualing berdiri kemudian menunduk, melihat kaki putih dengan jari bulat dan merah muda yang meringkuk beberapa saat dan berjalan menuju sekeliling dengan kakinya yang tanpa alas menginjak salju lembut.
Tempat ini sangat aneh, tidak ada energi abadi di udara. Lingkungan ini lebih seperti alam fana yang pernah dia kunjungi dengan dewanya
Hualing terus berjalan. Suara air yang mengalir deras terdengar jelas di telinganya. Dia mengikuti arah suara, air terjun rendah terlihat di depan. Air jernih mengaliri dinding beku putih. Kolam kecil tampak menampung derasnya air yang mengalir. Sebatang teratai putih beristirahat di tepi kolam dengan bermandikan sinar dari celah yang terbuka di atap gua.
Aroma harum menggelitik hidungnya. Hualing mendekat, jarinya yang ramping menyentuh kelopak lembut teratai. Membuat tetes air mengalir turun dari helai kelopak, memercik dan membentuk riak di sekitar daun yang tenang. Hualing mendekatkan hidung, mencoba menghirup aroma harum yang menyenangkan itu. Dia menutup mata, kemudian membuka setelah merasa cukup membaui.
Kedua belah bibir Hualing terbuka, menengok ke kanan dan kiri di sekitar kolam. Teratai putih itu telah menghilang.
Dia mengangkat tangan ketika merasakan sesuatu di dalam genggaman, itu adalah setangkai biji teratai.
Hualing tidak mengerti bagaimana setangkai bunga bisa hilang begitu saja, dan setangkai biji teratai muncul di tangannya. Namun dia enggan untuk memikirkannya jadi dia berjalan menjauh, mencari jalan keluar dari gua putih ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments