“Peringkat pertama dalam seleksi tahun ini ditempati oleh Liu Xing Sheng!” bisik-bisik kembali terdengar, semua mata memandang pria muda yang keluar dari barisan.
Pakaian berwarna biru pudar membalut tubuh mudanya. Pria itu memiliki alis pedang dan wajah adil yang berbanding terbalik dengan pakaian lusuh yang dia kenakan. Usianya seharusnya berkisar di angka lima belas tahun, batas usia tertinggi yang dapat mengikuti seleksi ini.
Pria muda itu keluar dari barisan tengah dan berjalan menuju barisan depan dengan punggung lurus. Wajahnya tidak menunjukkan sikap pengecut maupun sombong. Tidak rendah diri maupun arogan. Sikap ini cukup memuaskan para tetua yang berdiri tinggi di platform, sikap yang mencerminkan pembudidaya yang bermartabat lagi benar.
“Murid ini Liu Xing Sheng, berharap di ijinkan memasuki puncak seribu pedang dan menjadikan tuan puncak sebagai guru!” ucapannya lantang dengan postur hormat yang tepat.
Suara bisikan menghilang, wajah para panatua membeku, dan hening merayap. Para peserta yang telah lolos berpikir jika permintaan itu dapat di maklumi. Pemimpin sekte adalah eksistensi yang tinggi, terlebih sekte besar seperti sekte awan melonjak. Jika para anak muda ini di berikan kesempatan, sebagian besar akan memilih tuan puncak sebagai guru. Bukan karena tuan puncak yang juga pemimpin sekte adalah wanita yang elegan, tetapi lebih kepada puncak itu sendiri. Sejak sekte Awan melonjak berdiri, pahlawan yang lahir dari puncak itu tidak lagi dapat di hitung.
Puncak seribu pedang dari sekte Awan melonjak adalah impian setiap pemuda berdarah panas yang mencintai pertempuran.
Liu Xing Sheng dapat mendengar bisik-bisik dari barisan belakang. Dia tidak tahu apakah dia dapat di kategorikan sebagai pemuda berdarah panas yang mencintai pertempuran atau tidak, tapi satu hal yang pasti. Alasannya berjuang menjadi peserta terdepan tidak lain adalah karena tuan sekte itu sendiri.
Dia lahir dari keluarga sederhana, dengan kehidupan yang juga sederhana. Hingga usia lima tahun dia masih dapat menikmati hangatnya rumah, pada usia enam tahun perang pecah. Semua orang di desa mengungsi, keluarga yang harmonis kehilangan rumah hangat mereka. Seolah surga merasa kepahitan itu belum cukup, rombongan bandit gunung menyerang karavan pengungsi. Merampok harta yang tidak seberapa, menjarah wanita dalam kelompok.
Liu Xing Sheng dan beberapa anak lain di sembunyikan dalam semak-semak oleh ibu mereka. Mereka menggigil ketakutan tapi tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan suara. Saling merangkul dengan lengan kurus mereka, membentuk kerumunan di balik semak.
Dari celah dedaunan, di bawah cahaya bulan yang lembut dia melihat bagaimana darah berceceran ; disunyinya malam mereka mendengar teriakan menggema memecah keheningan, raungan memekakkan telinga penuh umpatan. Liu Xing Sheng melihat kerabat laki-laki mereka kehilangan nyawa di bawah golok bandit, melihat kerabat perempuan mereka bunuh diri untuk menjaga martabat.
Kehidupan yang beberapa saat lalu bersenda gurau kini menjadi seonggok mayat yang tidak lagi utuh.
Sekelompok kriminal tampak puas dengan hasil jarahan malam itu. Sama sekali mengabaikan nyawa manusia yang melayang di bawah senjata mereka. Mereka tertawa puas dan beberapa kali mengumpat karena tidak mendapatkan satu wanita pun.
Gigi Liu Xing Sheng bergemerutuk.
“Periksa sekitar! Jangan biarkan siapapun lolos!” pria yang nampaknya pemimpin para bandit memberi perintah. Kalimat pendek itu cukup membuat empat anak yang bersembunyi di balik semak gemetaran.
Mereka segera menutup mulut dengan kedua tangan ketika seorang bandit mendekat. Air mata mengalir deras dari mata yang memerah, membasuh pipi kurus penuh debu.
Liu Xing Sheng melihat tangan besar dan kasar menjangkau semak tempat mereka bersembunyi, aroma anyir darah membuatnya mual. Itu adalah darah kerabatnya, kerabat mereka.
Melihat tangan bernoda itu, di matanya hanya ada merah. Seperti tirai kasa merah yang membentang. Keinginan membalas dendam menggelak memenuhi dada, tanpa berpikir Liu Xing Sheng menggigit tangan yang terulur menyibak semak.
Pekikan kasar mengejutkan bandit lain. Dua orang anak berpakaian lusuh berlari keluar hanya untuk menemui akhir yang sama. Dua onggok mayat tak utuh jatuh ke tanah, warna merah merembes dari luka yang terbuka.
Tangan kasar dikibaskan, Liu Xing Sheng menghantam tanah keras. Suara patahan terdengar di telinga dan bahunya terasa menyakitkan. Rasa karat memenuhi rongga mulut, dia meludahkan seteguk darah.
Pria besar dengan mantel serigala coklat mendekat dengan langkah lebar yang tidak tergesa, seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus buruannya. Wajah pria itu penuh kepuasan dengan senyum bengis dan golok bernoda merah di genggam erat. Liu Xing Sheng merasa jantungnya berhenti berdetak dalam setiap langkah lebar bandit, ajalnya kian mendekat.
Tangan kecilnya menggaruk tanah, mencengkeram dengan erat. Liu Xing Sheng menolak untuk menutup mata! Dia harus mengingat orang-orang ini, mengingat kebenciannya. Setelah kematian, dia akan menjadi hantu jahat dan membalas manusia-manusia busuk itu.
Liu Xing Sheng telah mengantisipasi golok besar itu akan mengayun, merobek kulitnya dengan menyakitkan dan merah akan tumpah. Dia melebarkan kedua mata dengan mulut terbuka lebar. Sosok berpakaian putih berdiri di hadapannya, denting logam terdengar nyaring. Menggetarkan hatinya yang telah putus asa.
Lengan jubah lebar melambai ketika sosok itu memukul mundur bandit yang memiliki tubuh dua kali lebih besar darinya.
Liu Xing Sheng terpaku di tempatnya, tidak mampu menggerakkan tubuhnya seinci pun, seolah dia adalah salah satu dari pohon di hutan. Hanya pandangannya yang bergerak, mengikuti gerakan cepat sosok berpakaian putih itu.
Itu adalah seorang wanita, dengan pedang di tangan menjatuhkan gerombolan bandit yang telah membunuh kerabat dan teman-temannya. Gerakan wanita itu begitu ringan, seolah menari di antara angin.
Sosok itu bagai abadi dalam dongeng yang pernah dia dengar.
Setelah itu, dengan satu kali sapuan pedang, lubang dalam memanjang tercipta. Sosok itu membantu mereka menguburkan para pengungsi yang terbunuh.
Kemudian mengantarnya dan satu-satunya teman yang selamat ke kota. Memasuki rumah kesejahteraan bagi para anak-anak pengungsi.
Bahkan setelah bertahun-tahun, Liu Xing Sheng masih dapat mengingat sosok abadi itu. Posturnya saat memegang pedang, serangan elegan bagai tarian.
Dan setelah bertanya-tanya, dia mengetahui jika sosok itu adalah murid utama puncak pertama sekte Awan melonjak. Dengan penuh tekad, dia dan satu-satunya anak selamat dalam peristiwa itu pergi dari daratan utara ke daratan tengah yang makmur ini. Meski harus menjadi pengemis dan pekerja kasar di sepanjang jalan, mereka tidak juga menyerah.
Dan sekarang, sosok penyelamat yang dia kagumi telah menduduki posisi master sekte yang agung. Hatinya di penuhi kepuasan.
Liu Xing Sheng menunggu dalam posisi hormat yang tidak berubah. Meski para murid baru berpikir permintaannya adalah hal yang wajar, tapi keheningan dari para tuan puncak menimbulkan benih keraguan di hati.
Para tuan puncak melihat pada master sekte yang terdiam. Tanpa wanita ini berbicara, mereka telah mengetahui jawabannya dengan pasti. Seperti tahun-tahun yang lampau, belum ada seorangpun bakat yang mampu masuk ke mata master sekte ini.
Hualing yang berdiri di belakang Cao Ping memperhatikan pria muda yang masih memberi hormat. Dia tidak dapat melihat wajah pria itu, tetapi dia dapat melihat aura emas yang cemerlang darinya. Energi abadi samar-samar dapat dia rasakan.
Hualing menutup mata ketika kilasan peristiwa membanjiri otak, itu adalah seorang pria muda. Mendaki satu demi satu tangga abadi, membuka surga kesembilan. Menduduki takhta yang telah kosong selama sepuluh ribu tahun.
Wajahnya adil dengan aura abadi yang kental.
Ketika kilasan itu berhenti, Hualing kembali membuka mata. Iris yang tadinya berwarna coklat kini berubah menjadi emas, dia berjalan menuju ujung platform.
Hualing dapat mendengar tarikan napas terkejut dari sekeliling, tapi tidak seorangpun tuan puncak menegur tindakannya itu.
“Angkat wajahmu!” perintahnya pada Liu Xing Sheng yang masih menunduk. Suaranya yang ringan menggema di seluruh aula. Di wajahnya tidak ada kebahagiaan atau kebencian, seperti semua yang dia lihat tidak cukup menarik di matanya.
Mendengar suara seorang wanita, Liu Xing Sheng berpikir itu adalah master sekte yang berbicara. Dengan cepat dia mengangkat wajah, dan seorang wanita berpakaian hijau dengan kombinasi putih menatapnya dari tepi platform. Wanita itu memiliki warna mata yang tidak biasa, berwarna emas yang seolah bersinar.
Sesaat setelah dia melihat mata itu, dia merasa seperti semua rahasia terdalamnya terbuka, pikirannya di kuliti. Dan hanya setelah mata emas itu tidak lagi menatapnya, Liu Xing Sheng merasa punggungnya basah oleh peluh.
Mengabaikan Liu Xing Sheng yang tampaknya telah di takuti oleh Xue Hualing, para tuan puncak mengikuti langkah murid termuda tuan puncak kedua menuju master sekte. Membisikkan beberapa hal, yang entah mengapa meski tuan puncak ini memiliki budidaya yang tinggi tapi mereka tidak dapat mendengar satupun suku kata.
Para tuan puncak saling melihat. Ada pemahaman diam-diam yang di setujui oleh keempatnya.
Yang di bisikkan Xue Hualing kepada master sekte adalah rahasia surga!
“Apakah kamu yakin?” Zhang Junqing bertanya dengan kening berkerut. Bukan karena dia tidak mempercayai Hualing, melainkan kalimat yang telah Hualing bisikkan terlalu luar bisa.
Dia melihat wajah murid termuda tuan puncak kedua yang masih tidak berubah bahkan setelah lima puluh tahun. Melihatnya dengan wajah bersungguh-sungguh dengan kedua iris mata berwarna emas, hatinya bergetar dengan tidak nyaman. Meski beberapa kali melihat, Zhang Junqing masih tidak terbiasa dengan mata emas Hualing.
Pertama kali dia melihat mata emas ini adalah lima puluh tahun yang lalu. Saat itu tuan puncak kedua, dan juga adik bela diri gurunya membawa kembali seorang murid dari luar.
Murid itu di panggil Xue Hualing.
Usianya tidak lebih dari empat belas atau lima belas tahun dengan akar spiritual petir yang langka.
Saat itu dengan mata yang berubah warna menjadi emas, Hualing memperingatkan gurunya tentang iblis hati yang tidak juga menghilang. Hualing mengatakan jika iblis hati gurunya adalah karma dari kehidupan sebelumnya, itu akan terus mengikuti hingga kehidupan ini habis di periode membagi jiwa.
Dan ucapan itu sungguh menjadi kenyataan delapan tahun yang lalu.
Gurunya dan tuan puncak Cao Ping berasal dari generasi yang sama, juga berasal dari guru yang sama. Jika saja paman bela diri Cao Ping gagal menembus ranah memecah kekosongan, usianya akan habis di tahun-tahun yang lalu, sama seperti gurunya.
“Aku mengerti,” ucapnya dengan persetujuan kemudian melihat pemuda yang berdiri di depan barisan, “permintaanmu di setujui!"
Liu Xing Sheng tidak tahu bagaimana harus menggambarkan perasaannya, tapi itu pasti adalah kegembiraan ekstrim.
Para tuan puncak saling melihat, kemudian melihat anak muda yang masa depannya berada di bawah rahasia surga dengan pandangan pengertian.
Sementara itu para murid yang berdiri di belakang tuan puncak merasa sedikit bingung, 'mengapa master sekte yang selalu menolak untuk menerima murid kini membuat pengecualian? Mungkinkah karena ucapan bibi bela diri Xue?’
Ketika para murid sedang menebak ucapan Xue Hualing, yang bersangkutan sedang melihat pada satu arah tanpa berkedip. Bibirnya terbuka lebar dengan wajah penuh sukacita. Dalam sekali gerakan, dia melompat dari platform kemudian berjalan di antara peserta seleksi.
“Dewa,” dia berbisik di setiap langkah yang dia ambil.
Cao Ping yang berdiri di platform mengerutkan kening, dia sangat mengerti arti bisikan 'dewa' Hualing. Matanya mengikuti murid yang pernah menyelamatkannya menghentikan langkah, berdiri di depan seorang peserta seleksi.
“Siapa namamu?” Hualing bertanya dengan antusias.
“Yuan Qing.” Dia menjawab dengan patuh, meski tidak mengerti mengapa wanita ini menanyakan namanya.
“Ah! Yuan Qing, nama yang bagus!” katanya dengan kepala mengangguk beberapa kali, 'Dia juga memiliki nama yang sama dengan dewa!’ pikirnya.
Hualing sangat yakin, anak muda ini adalah dewanya. Atau mungkin inkarnasi dari dewanya, mengingat perang yang konon telah terjadi itu.
“Guru, aku ingin dia menjadi saudara juniorku!” kalimat itu di ucapkan dengan lirih, tetapi para tuan yang berdiri di kejauhan dapat mendengarnya dengan jelas.
Dewanya ada di hadapannya, dia tidak akan melepaskan.
“Guru, tolong biarkan dia memasuki puncak bambu hijau.” Ulangnya ketika tidak mendengar tanggapan dari gurunya. Kedua matanya yang telah kembali menjadi coklat menatap lurus pada pemuda di hadapannya.
“Kamu telah mendengarnya saat itu, kamu adalah murid terakhir yang di ambil tuan ini. Jika kamu ingin dia memasuki puncak bambu hijau, tuan ini akan mengalokasikan tempat sebagai murid dalam di puncak bambu hijau.”
“Begitu juga baik, terima kasih guru!” jawabnya kemudian memberi hormat pada Cao Ping. Dia berdiri di samping pemuda itu, mengabaikan tatapan kesal dari seseorang yang berdiri di platform. Mengabaikan pria muda di sampingnya yang beberapa kali melihat, dan mengabaikan tatapan Chen Qinyang yang kebingungan karena peristiwa ini berbeda dengan plot yang telah dia baca.
“Mengapa berbeda dengan yang tertulis di buku?” Chen Qinyang berbicara dengan lirih. Yuan Qing ini seharusnya memasuki puncak kelima dan terus dianiaya sehingga Protagonis wanita dapat memberinya kebaikan yang akan terus di ingat.
Jadi sekarang, jika Yuan Qing memasuki puncak kedua, dari mana kebencian umpan meriam Zhou Liangyi ini berasal? Dari mana kecemburuan umpan meriam ini berasal?
'Kenapa para karakter ini tidak berjalan sesuai jalur!’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments