Terjerat CEO Arrogant
"Sudahlah, untuk apa kau terus meratapi nasibmu. Sudah kukatakan bukan? Bahwa kau hanyalah seorang anak yang tidak diinginkan. Jadi apa salahnya jika kau membalasnya dengan mengikuti keinginan kami?" kata seorang wanita paruh baya sambil memandang rendah seorang wanita yang tengah menangis meringkuk disudut ruangan.
Sambil sesenggukan, wanita itu terus menangis mendengar perkataan yang keluar dari bibir bibinya itu. Ia membiarkan rambutnya menutupi seluruh wajahnya, sambil sesekali mukul dadanya yang terasa sesak.
"Sudahi tangismu yang tidak berguna itu, Kira! Kau pikir, kami akan luluh melihatnya? Huh, yang benar saja," ucap suami dari wanita paruh baya tersebut sambil duduk di sofa dengan angkuhnya.
"A-apa salahku kepada kalian?Mengapa kalian memperlakukanku seperti ini?" tanya wanita itu merintih.
"Memperlakukanmu seperti apa kakakku yang tercinta?Memperlakukanmu seperti ini!" ucap anak dari wanita paruh baya tersebut sambil menjambak rambutnya hingga kepalanya mendongak keatas.
Tak ada pertolongan yang didapatkannya, malah sebaliknya. Ia ditertawakan oleh mereka bertiga sambil memandang rendah kepadanya. Sesekali ia memegang kepalanya guna mengurangi rasa sakit dari jambakan yang diterimanya.
"Dengar ini baik-baik sepupuku yang kusayangi. Kau adalah beban bagi keluarga kami, dan sudah seharusnya beban sepertimu harus dimusnahkan dari keluarga ini," ucap wanita yang menjambaknya sambil memberi penekanan disetiap katanya.
Setelah merasa puas dengan aktivitasnya itu, ia pun melepaskan dengan kasar tangannya dari rambut wanita itu hingga kepalanya terbentur ke dinding. Mereka semua tertawa melihatnya, seolah yang ada di hadapan mereka itu adalah sebuah pertunjukan yang lucu. Setelah puas menertawakannya, mereka bertiga pun keluar dari kamar itu dengan angkuhnya.
Namun, baru akan memegang gagang pintu, wanita paruh baya itu kembali berbalik dan mengatakan sesuatu.
"Ohh, aku melupakan satu hal. Bersihkan dirimu dan bersiap-siaplah untuk hari esok. Karena esok hari kau akan pergi dan harus mengikuti perintah kami," ucap wanita paruh baya itu dengan diiringi seringainya lalu menutup pintu dengan keras dan menguncinya dari luar.
Setelah kepergian mereka, tak banyak yang bisa dilakukan oleh gadis malang itu. Ketika ia sudah merasa lelah dengan tangisannya, barulah ia bangun dan membersihkan diri.
Tiba-tiba saja semua menjadi gelap dan tidak ada lagi terdengar suara.
"Ckk, Nurfa! Ini handphone aku kok kamu matiin sih? Orang lagi enak-enakan nonton juga" Teriak wanita yang memakai hijab berwarna biru muda itu, sambil memasang wajah cemberut menghadap kedepan.
"Apa? Mau marah?" tanyanya dengan santai.
"Ishh, kamu mah nyebelin. Kapan lagikan nonton drama pakai Wi-Fi gratis kayak gini," jawab wanita itu dengan kesal.
"Nona Annisa Adzkia Nazwa, jangan bertingkah seperti kau tidak memiliki wi-fi dirumahmu. Lagipula, kamu kesinikan mau curhat sama aku, kok malah asik nonton drama sih? Ngak lihat pengunjung udah ramai?" tanya wanita yang memakai hijab berwarna hitam itu, sambil sesekali melihat para pengunjung yang terus berdatangan masuk melalui pintu cafe.
"Heheh ..., maaf dong Fa. Lagiankan kamu punya karyawan di cafe ini, santai dikit bisalah," jawab wanita itu sambil nyengir.
"Ya ngak bisa gitu Nis, kasian ibu aku juga harus turun tangan ngadepin pelanggan," kata wanita itu sambil melihat kearah ibunya.
Memang, cafe ini adalah milik ibunya dan sudah memiliki beberapa karyawan. Namun, tetap saja ia ikut membantu dalam melayani para pelanggan, terlebih saat-saat seperti ini.
"Udah ngak masalah kok buat ibu, Fa. Kamu temenin aja Annisa disini, mungkin ada hal yang penting," ucap wanita paruh baya itu dengan lembut sambil tersenyum, dan meletakkan dua cangkir gelas di meja mereka dengan rasa yang berbeda.
"Makasih banyak Tante Myshel, yang cantik pakek banget," ucap Annisa sambil tersenyum, sambil memasang cengiran diwajahnya.
Wanita paruh baya yang bernama 'Myshel' itupun membalasnya dengan tersenyum manis, lalu berlalu pergi dari hadapan mereka berdua.
"Jadi kamu mau ngomongin apa, Nis?" tanya wanita itu sambil menyeruput secangkir kopi didepannya.
"Jadi gini, Fa. Kok aku susah banget ya buat move on dari mantan pacar aku, Rendi. Padahal aku udah ngikutin apa kata kamu loh. Aku udah sholat, udah ngaji, bahkan aku udah pakek hijab juga.Tapi kenapa aku ngak bisa lupain dia sih?" tanya Annisa dengan wajah lesu,sambil menyeruput secangkir greentea yang ada di depannya itu.
"Haduh ... jadi sebenarnya kamu ngelakuin itu niatnya karena mau move on, Nis?" tanya wanita itu dan dibalas dengan anggukan oleh temannya.
"Ya Allah, Nis. Kalau kita memang mau beribadah itu niatnya hanya karena Allah, Nis. Pantas aja kamu ngak bisa ngelupainnya, niat kamu aja udah salah," tungkas wanita itu.
"Jadi, aku harus gimana? Aku jalin hubungan dengan dia juga bukan dalam kurun waktu yang sebentar dua tahun loh, Fa," kata Annisa sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya.
Ya, Annisa memang tipikal wanita yang setia. Ketika dia sudah memutuskan untuk berkomitmen dengan seseorang, dia akan menjaganya dan benar-benar percaya kepada kekasihnya itu. Namun, sayang dia salah memilih berkomitmen dengan pria yang bernama Rendi. Pria yang notabennya adalah seorang playboy.
"Hmm ..., aku punya saran terakhir buat kamu. Kamukan udah ngejalanin komitmen sama si Rendi udah dua tahun. Pasti banyak dong kamu lihat keburukan-keburukan yang ada pada dirinya. Nah, kamu ingat aja keburukannya itu dan kamu tanya sama diri kamu sendiri, kamu mau ngak balikan lagi dengan orang yang udah nyakitin hati kamu?" tanya wanita itu yang dibalas gelengan oleh Annisa.
"Nah, kalau udah gitu gampang deh kamu tinggal jalanin saja hari-harimu seperti biasanya. Jangan mau mengorbankan hatimu lagi untuk terluka kesekian kalinya, hanya untuk laki-laki seperti dia. Lagian kalau dia emang benar-benar cinta sama kamu, dia pasti udah nikahin kamu," jawab wanita itu memberikan saran.
"Iya juga ya, Fa. Kok aku bisa kayak bodoh banget sih mau pertahanin dia. Apa jangan-jangan aku dipelet lagi sama dia, Fa?" tanya Annisa.
"Hush ... gak boleh su'udzhon gitu. Dosa kamu nuduh ngak ada buktinya," jawab wanita itu.
"Iya Nona Nurfa Mysha Zahwa. My hoeny bunny sweatty," jawab Annisa dengan nada yang di imut-imutkan.
"Ishh, yaudahla aku mau bantuin Ibu dulu," jawab Zahira lalu dengan segera pergi meninggalkan Annisa yang terlihat ingin menahannya.
Baru beberapa langkah, ia melihat terjadi keributan didepan pintu masuk cafe.Terlihat dua orang pria yang menggunakan jas dan pakaian formal kerja, serta dua wanita seksi yang masing-masing berada di samping kedua pria tersebut.
Tapi, tunggu ....
Sepertinya ia mengenal atau lebih tepatnya hanya sekedar tahu dari salah satu pria tersebut. Ia pun dengan segera menghampiri dan berusaha menengahi keributan yang sedang terjadi.
Beberapa langkah lagi akan mencapai tempat terjadinya keributan tersebut, Nurfa sedikit kaget karena keberadaan Annisa yang sudah ada di samping kanannya.
Ia hanya menggeleng melihat kelakuan temannya itu, yang dibalas cengiran lebar oleh Annisa. Lalu melanjutkan langkah yang sempat terhenti.
"Maaf, apa yang sedang terjadi disini?" tanya Nurfa kepada karyawati yang tampak sedang menjelaskan entah apa kepada dua pria tersebut.
"Begini, Mbak. Pelanggan kita ingin memesan ruangan khusus. Tetapi, menurut peraturan yang ada di cafe ini, tidak diizinkan laki-laki dan perempuan berada di tempat khusus, kecuali mereka sudah menikah atau yang memiliki ikatan darah," jelas karyawati itu dengan sopan, sambil mencuri pandang kearah salah satu pria tersebut.
"Baiklah, kamu boleh pergi," jawab Nurfa yang dibalas anggukan sopan oleh karyawati tersebut sambil sesekali melirik kearah kedua pria tersebut.
Namun, tidak hanya karyawati itu saja yang curi-curi pandang terhadap dua pria tersebut. Tapi, seluruh penghuni cafe atau lebih tepatnya seluruh wanita yang ada disitu.
Bagaimana tidak?
Salah satu pria yang ada di depannya ini adalah Brayen Marqes Zacky seorang pengusaha yang sudah terkenal di Indonesia, maupun dunia. Nurfa berdehem guna menstabilkan suasana yang seketika menjadi riuh, karena kedatangan para pelanggan yang didominasi oleh wanita.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya Nurfa dengan hati-hati tepat dihadapan keempat orang tersebut. Lebih tepatnya ke arah Brayen, karena kehadirannya yang sangat mendominasi cafe mereka pada saat ini.
"Hmm .... kau pemilik tempat ini?" tanya Brayen dengan nada yang entah mengapa di telinga Nurfa seperti nada yang sedang mencemooh. Entah itu benar atau tidak, tapi melihat tatapan pria itu yang meneliti penampilannya dari bawah hingga atas, jelas saja itu membuat dia risih.
"Benar, apa ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Nurfa berbicara dengan sedikit kesal.
"Lalu, apa kau juga yang membuat peraturan kuno dan menyebalkan itu? Karena jujur saja, bagaimana bisa kalian menolak pelanggan dengan cara yang tidak sopan seperti ini." Suara Brayen terkesan dingin dan seolah-olah sedang mengintimidasi Nurfa saat ini.
"Maaf, tapi sepertinya anda harus merevisi kata-kata anda yang barusan. Pertama kami membuat peraturan itu bukan tanpa sebab, kami tidak ingin tempat ini menjadi tempat maksiat. Oleh karena itu kami mewanti-wantinya dengan menerapkan peraturan tersebut," jawab Nurfa berusaha untuk tenang dan tidak terpancing setelah mendengar apa yang barusan pria itu ucapkan.
"Kedua, kami tidak pernah mengatakan bahwa kami menolak anda. Anda tetap bisa bergabung dengan yang lain, tapi tidak untuk berada di ruangan eksklusif. Karena itu merupakan peraturan yang sudah kami buat, dan itu tidak dapat di ganggu gugat," sambung Nurfa kepada mereka lagi.
"Sepertinya niat baikmu benar-benar tidak dianggap, Brayen," ucap teman pria itu dengan memasang senyum yang sulit untuk dimengerti.Jika dilihat, pria itu seperti menahan diri untuk tertawa dan menganggap apa yang dikatakannya tadi adalah suatu hal yang lucu.
"Kau benar, Alex. Aku hanya mencoba untuk menyalurkan uangku kepada yang membutuhkan, dan aku melihat cafe kecil ini. Melihat bagaimana orang-orang kecil disini memperlakukanku, membuat aku kehilangan minat untuk tetap berada ditempat ini. Lebih baik aku tak pernah menginjakkan kakiku disini, hanya membuang waktu berhargaku saja." Brayen mengatakan itu dengan sinis dan angkuh.
"Ya, kalau begitu mengapa anda tidak pergi saja sejak tadi!"
"Apa?!"
Perkataan Nurfa yang satu itu berhasil membuat mereka semua terkejut, tak terkecuali Annisa.
"Anda memiliki banyak hotel yang mewah, kenapa harus mencari tempat eksklusif di cafe kami?"sindir Nurfa.
"Huh, jadi kau mengenalku ternyata," jawab Brayen dengan sombong "Baiklah Nona, kau yang membuat ini tidak mudah. Katakan kau ingin aku bayar berapa, aku tidak masalah dengan itu. Tidak usah membuat drama dengan mengatas namakan peraturan kuno itu," sambung Brayen dengan sombong dan angkuh,tanpa menurunkan egonya sedikitpun.
"Maaf, Tuan. Sepertinya anda belum mengerti juga, peraturan tetap peraturan. Itu tidak akan berubah walau anda ingin membayarnya sekalipun." Nurfa tidak tahan lagi, jika dibiarkan pria ini akan terus memijak harga dirinya. Apakah pria itu pikir semua akan berakhir hanya dengan uang?
Mendengar perkataan yang di ucapkan Nurfa, membuat emosi Brayen menjadi memuncak.Ia menggemertak tertahan sambil terus menatap Nurfa dengan tatapan dingin.
"****! What are you f*cking said?!" ujar salah seorang wanita yang berada disebelah Brayen dan mencoba untuk maju kalau saja tangan Brayen tidak menahannya.
"Baiklah, Nona. Aku tidak akan pernah melupakan ini. Kau telah membuat masalah dengan memperlakukanku seperti ini. So, wait and see," ucap Brayen dengan penuh penekanan disetiap katanya. Lalu mereka melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Dan jangan lupakan bagaimana para wanita yang berada di samping kedua pria itu mentapnya. Bola mata mereka seakan ingin keluar dari tempatnya.
Setelah mereka benar-benar menghilang, para pengunjung yang datang terlebih para wanita memasang wajah kecewa, bahkan temannya Annisa. Ia bahkan menekuk wajahnya dan mengerucutkan bibirnya.
"Apa sih, Nis?" tanya Nurfa seakan tidak tahu.
"Kamu kenapa harus kayak gitu sih, Fa? Hal-hal kayak itukan udah biasa untuk Brayen. Lagi pula diakan udah tinggal di Amerika lama, jadi itu hal yang wajar, Fa." Anin mengerucutkan bibirnya sebal. Ya, dia merasa marah karena tidak dapat berkenalan. Oke, lupakanlah soal Brayen, karena memang dia tidak akan pernah mendapatkannya. Tapi teman pria itu yang bernama Alex, dia tidak kalah tampan dengan Brayen. Ya, itu menurut pandangannya.
"Aku ngak peduli, Nis. Mau dia tinggal dimana sekalipun, jika dia tidak memiliki sopan santun itu adalah masalah." Setelah mengatakan itu, Nurfa ingin pergi namun kembali lagi dan mengatakan sesuatu pada Annisa.
"Hapus foto teman pria itu yang kamu ambil secara diam-diam tadi. Jangan sampai kamu jadi patah hati lagi karena masalah cowok. Nanti kamu balik lagi kesini sambil nangis ngak jelas," ucap Nurfa pada Annisa dan langsung pergi dari sana meninggalkan temannya yang sendirian.
"Ish ..., Nurfa!" ucap Annisa dengan kesal namun Nurfa bahkan tidak berbalik badan lagi.
Nurfa hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya itu. Baru saja merasakan patah hati, eh malah udah dapat gebetan baru. Yah, begitulah Annisa sangat mudah goyah karena laki-laki. Ujung-ujungnya jika dia sudah disakiti, dia akan datang lagi kepadanya dan menangis lagi. Yah, selalu saja begitu.
Namun, apapun yang terjadi hari ini, itu diluar ekspektasinya. Kedatangan seorang pengusaha muda yang terkenal, lalu dengan tegas mengolok-olok reputasi mereka. Kalau dia menginginkan tempat yang eksklusif, kenapa tidak ketempat lain yang memang berada pada kelas expensive. Kenapa dia tidak hotel-hotelnya saja. Bukankah itu lebih baik, dari pada datang kesini dan bersikap sombong dan menganggap segalanya bisa diselesaikan oleh uang.
Ya ampun, semakin dia memikirkannya, semakin dia tidak menyukai sikap pria itu. Dia berharap tidak akan pernah bertemu dengan pria angkuh itu lagi.
.
.
.
Bersambung ....
See you later ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments