"Sudahlah, untuk apa kau terus meratapi nasibmu. Sudah kukatakan bukan? Bahwa kau hanyalah seorang anak yang tidak diinginkan. Jadi apa salahnya jika kau membalasnya dengan mengikuti keinginan kami?" kata seorang wanita paruh baya sambil memandang rendah seorang wanita yang tengah menangis meringkuk disudut ruangan.
Sambil sesenggukan, wanita itu terus menangis mendengar perkataan yang keluar dari bibir bibinya itu. Ia membiarkan rambutnya menutupi seluruh wajahnya, sambil sesekali mukul dadanya yang terasa sesak.
"Sudahi tangismu yang tidak berguna itu, Kira! Kau pikir, kami akan luluh melihatnya? Huh, yang benar saja," ucap suami dari wanita paruh baya tersebut sambil duduk di sofa dengan angkuhnya.
"A-apa salahku kepada kalian?Mengapa kalian memperlakukanku seperti ini?" tanya wanita itu merintih.
"Memperlakukanmu seperti apa kakakku yang tercinta?Memperlakukanmu seperti ini!" ucap anak dari wanita paruh baya tersebut sambil menjambak rambutnya hingga kepalanya mendongak keatas.
Tak ada pertolongan yang didapatkannya, malah sebaliknya. Ia ditertawakan oleh mereka bertiga sambil memandang rendah kepadanya. Sesekali ia memegang kepalanya guna mengurangi rasa sakit dari jambakan yang diterimanya.
"Dengar ini baik-baik sepupuku yang kusayangi. Kau adalah beban bagi keluarga kami, dan sudah seharusnya beban sepertimu harus dimusnahkan dari keluarga ini," ucap wanita yang menjambaknya sambil memberi penekanan disetiap katanya.
Setelah merasa puas dengan aktivitasnya itu, ia pun melepaskan dengan kasar tangannya dari rambut wanita itu hingga kepalanya terbentur ke dinding. Mereka semua tertawa melihatnya, seolah yang ada di hadapan mereka itu adalah sebuah pertunjukan yang lucu. Setelah puas menertawakannya, mereka bertiga pun keluar dari kamar itu dengan angkuhnya.
Namun, baru akan memegang gagang pintu, wanita paruh baya itu kembali berbalik dan mengatakan sesuatu.
"Ohh, aku melupakan satu hal. Bersihkan dirimu dan bersiap-siaplah untuk hari esok. Karena esok hari kau akan pergi dan harus mengikuti perintah kami," ucap wanita paruh baya itu dengan diiringi seringainya lalu menutup pintu dengan keras dan menguncinya dari luar.
Setelah kepergian mereka, tak banyak yang bisa dilakukan oleh gadis malang itu. Ketika ia sudah merasa lelah dengan tangisannya, barulah ia bangun dan membersihkan diri.
Tiba-tiba saja semua menjadi gelap dan tidak ada lagi terdengar suara.
"Ckk, Nurfa! Ini handphone aku kok kamu matiin sih? Orang lagi enak-enakan nonton juga" Teriak wanita yang memakai hijab berwarna biru muda itu, sambil memasang wajah cemberut menghadap kedepan.
"Apa? Mau marah?" tanyanya dengan santai.
"Ishh, kamu mah nyebelin. Kapan lagikan nonton drama pakai Wi-Fi gratis kayak gini," jawab wanita itu dengan kesal.
"Nona Annisa Adzkia Nazwa, jangan bertingkah seperti kau tidak memiliki wi-fi dirumahmu. Lagipula, kamu kesinikan mau curhat sama aku, kok malah asik nonton drama sih? Ngak lihat pengunjung udah ramai?" tanya wanita yang memakai hijab berwarna hitam itu, sambil sesekali melihat para pengunjung yang terus berdatangan masuk melalui pintu cafe.
"Heheh ..., maaf dong Fa. Lagiankan kamu punya karyawan di cafe ini, santai dikit bisalah," jawab wanita itu sambil nyengir.
"Ya ngak bisa gitu Nis, kasian ibu aku juga harus turun tangan ngadepin pelanggan," kata wanita itu sambil melihat kearah ibunya.
Memang, cafe ini adalah milik ibunya dan sudah memiliki beberapa karyawan. Namun, tetap saja ia ikut membantu dalam melayani para pelanggan, terlebih saat-saat seperti ini.
"Udah ngak masalah kok buat ibu, Fa. Kamu temenin aja Annisa disini, mungkin ada hal yang penting," ucap wanita paruh baya itu dengan lembut sambil tersenyum, dan meletakkan dua cangkir gelas di meja mereka dengan rasa yang berbeda.
"Makasih banyak Tante Myshel, yang cantik pakek banget," ucap Annisa sambil tersenyum, sambil memasang cengiran diwajahnya.
Wanita paruh baya yang bernama 'Myshel' itupun membalasnya dengan tersenyum manis, lalu berlalu pergi dari hadapan mereka berdua.
"Jadi kamu mau ngomongin apa, Nis?" tanya wanita itu sambil menyeruput secangkir kopi didepannya.
"Jadi gini, Fa. Kok aku susah banget ya buat move on dari mantan pacar aku, Rendi. Padahal aku udah ngikutin apa kata kamu loh. Aku udah sholat, udah ngaji, bahkan aku udah pakek hijab juga.Tapi kenapa aku ngak bisa lupain dia sih?" tanya Annisa dengan wajah lesu,sambil menyeruput secangkir greentea yang ada di depannya itu.
"Haduh ... jadi sebenarnya kamu ngelakuin itu niatnya karena mau move on, Nis?" tanya wanita itu dan dibalas dengan anggukan oleh temannya.
"Ya Allah, Nis. Kalau kita memang mau beribadah itu niatnya hanya karena Allah, Nis. Pantas aja kamu ngak bisa ngelupainnya, niat kamu aja udah salah," tungkas wanita itu.
"Jadi, aku harus gimana? Aku jalin hubungan dengan dia juga bukan dalam kurun waktu yang sebentar dua tahun loh, Fa," kata Annisa sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya.
Ya, Annisa memang tipikal wanita yang setia. Ketika dia sudah memutuskan untuk berkomitmen dengan seseorang, dia akan menjaganya dan benar-benar percaya kepada kekasihnya itu. Namun, sayang dia salah memilih berkomitmen dengan pria yang bernama Rendi. Pria yang notabennya adalah seorang playboy.
"Hmm ..., aku punya saran terakhir buat kamu. Kamukan udah ngejalanin komitmen sama si Rendi udah dua tahun. Pasti banyak dong kamu lihat keburukan-keburukan yang ada pada dirinya. Nah, kamu ingat aja keburukannya itu dan kamu tanya sama diri kamu sendiri, kamu mau ngak balikan lagi dengan orang yang udah nyakitin hati kamu?" tanya wanita itu yang dibalas gelengan oleh Annisa.
"Nah, kalau udah gitu gampang deh kamu tinggal jalanin saja hari-harimu seperti biasanya. Jangan mau mengorbankan hatimu lagi untuk terluka kesekian kalinya, hanya untuk laki-laki seperti dia. Lagian kalau dia emang benar-benar cinta sama kamu, dia pasti udah nikahin kamu," jawab wanita itu memberikan saran.
"Iya juga ya, Fa. Kok aku bisa kayak bodoh banget sih mau pertahanin dia. Apa jangan-jangan aku dipelet lagi sama dia, Fa?" tanya Annisa.
"Hush ... gak boleh su'udzhon gitu. Dosa kamu nuduh ngak ada buktinya," jawab wanita itu.
"Iya Nona Nurfa Mysha Zahwa. My hoeny bunny sweatty," jawab Annisa dengan nada yang di imut-imutkan.
"Ishh, yaudahla aku mau bantuin Ibu dulu," jawab Zahira lalu dengan segera pergi meninggalkan Annisa yang terlihat ingin menahannya.
Baru beberapa langkah, ia melihat terjadi keributan didepan pintu masuk cafe.Terlihat dua orang pria yang menggunakan jas dan pakaian formal kerja, serta dua wanita seksi yang masing-masing berada di samping kedua pria tersebut.
Tapi, tunggu ....
Sepertinya ia mengenal atau lebih tepatnya hanya sekedar tahu dari salah satu pria tersebut. Ia pun dengan segera menghampiri dan berusaha menengahi keributan yang sedang terjadi.
Beberapa langkah lagi akan mencapai tempat terjadinya keributan tersebut, Nurfa sedikit kaget karena keberadaan Annisa yang sudah ada di samping kanannya.
Ia hanya menggeleng melihat kelakuan temannya itu, yang dibalas cengiran lebar oleh Annisa. Lalu melanjutkan langkah yang sempat terhenti.
"Maaf, apa yang sedang terjadi disini?" tanya Nurfa kepada karyawati yang tampak sedang menjelaskan entah apa kepada dua pria tersebut.
"Begini, Mbak. Pelanggan kita ingin memesan ruangan khusus. Tetapi, menurut peraturan yang ada di cafe ini, tidak diizinkan laki-laki dan perempuan berada di tempat khusus, kecuali mereka sudah menikah atau yang memiliki ikatan darah," jelas karyawati itu dengan sopan, sambil mencuri pandang kearah salah satu pria tersebut.
"Baiklah, kamu boleh pergi," jawab Nurfa yang dibalas anggukan sopan oleh karyawati tersebut sambil sesekali melirik kearah kedua pria tersebut.
Namun, tidak hanya karyawati itu saja yang curi-curi pandang terhadap dua pria tersebut. Tapi, seluruh penghuni cafe atau lebih tepatnya seluruh wanita yang ada disitu.
Bagaimana tidak?
Salah satu pria yang ada di depannya ini adalah Brayen Marqes Zacky seorang pengusaha yang sudah terkenal di Indonesia, maupun dunia. Nurfa berdehem guna menstabilkan suasana yang seketika menjadi riuh, karena kedatangan para pelanggan yang didominasi oleh wanita.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya Nurfa dengan hati-hati tepat dihadapan keempat orang tersebut. Lebih tepatnya ke arah Brayen, karena kehadirannya yang sangat mendominasi cafe mereka pada saat ini.
"Hmm .... kau pemilik tempat ini?" tanya Brayen dengan nada yang entah mengapa di telinga Nurfa seperti nada yang sedang mencemooh. Entah itu benar atau tidak, tapi melihat tatapan pria itu yang meneliti penampilannya dari bawah hingga atas, jelas saja itu membuat dia risih.
"Benar, apa ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Nurfa berbicara dengan sedikit kesal.
"Lalu, apa kau juga yang membuat peraturan kuno dan menyebalkan itu? Karena jujur saja, bagaimana bisa kalian menolak pelanggan dengan cara yang tidak sopan seperti ini." Suara Brayen terkesan dingin dan seolah-olah sedang mengintimidasi Nurfa saat ini.
"Maaf, tapi sepertinya anda harus merevisi kata-kata anda yang barusan. Pertama kami membuat peraturan itu bukan tanpa sebab, kami tidak ingin tempat ini menjadi tempat maksiat. Oleh karena itu kami mewanti-wantinya dengan menerapkan peraturan tersebut," jawab Nurfa berusaha untuk tenang dan tidak terpancing setelah mendengar apa yang barusan pria itu ucapkan.
"Kedua, kami tidak pernah mengatakan bahwa kami menolak anda. Anda tetap bisa bergabung dengan yang lain, tapi tidak untuk berada di ruangan eksklusif. Karena itu merupakan peraturan yang sudah kami buat, dan itu tidak dapat di ganggu gugat," sambung Nurfa kepada mereka lagi.
"Sepertinya niat baikmu benar-benar tidak dianggap, Brayen," ucap teman pria itu dengan memasang senyum yang sulit untuk dimengerti.Jika dilihat, pria itu seperti menahan diri untuk tertawa dan menganggap apa yang dikatakannya tadi adalah suatu hal yang lucu.
"Kau benar, Alex. Aku hanya mencoba untuk menyalurkan uangku kepada yang membutuhkan, dan aku melihat cafe kecil ini. Melihat bagaimana orang-orang kecil disini memperlakukanku, membuat aku kehilangan minat untuk tetap berada ditempat ini. Lebih baik aku tak pernah menginjakkan kakiku disini, hanya membuang waktu berhargaku saja." Brayen mengatakan itu dengan sinis dan angkuh.
"Ya, kalau begitu mengapa anda tidak pergi saja sejak tadi!"
"Apa?!"
Perkataan Nurfa yang satu itu berhasil membuat mereka semua terkejut, tak terkecuali Annisa.
"Anda memiliki banyak hotel yang mewah, kenapa harus mencari tempat eksklusif di cafe kami?"sindir Nurfa.
"Huh, jadi kau mengenalku ternyata," jawab Brayen dengan sombong "Baiklah Nona, kau yang membuat ini tidak mudah. Katakan kau ingin aku bayar berapa, aku tidak masalah dengan itu. Tidak usah membuat drama dengan mengatas namakan peraturan kuno itu," sambung Brayen dengan sombong dan angkuh,tanpa menurunkan egonya sedikitpun.
"Maaf, Tuan. Sepertinya anda belum mengerti juga, peraturan tetap peraturan. Itu tidak akan berubah walau anda ingin membayarnya sekalipun." Nurfa tidak tahan lagi, jika dibiarkan pria ini akan terus memijak harga dirinya. Apakah pria itu pikir semua akan berakhir hanya dengan uang?
Mendengar perkataan yang di ucapkan Nurfa, membuat emosi Brayen menjadi memuncak.Ia menggemertak tertahan sambil terus menatap Nurfa dengan tatapan dingin.
"****! What are you f*cking said?!" ujar salah seorang wanita yang berada disebelah Brayen dan mencoba untuk maju kalau saja tangan Brayen tidak menahannya.
"Baiklah, Nona. Aku tidak akan pernah melupakan ini. Kau telah membuat masalah dengan memperlakukanku seperti ini. So, wait and see," ucap Brayen dengan penuh penekanan disetiap katanya. Lalu mereka melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Dan jangan lupakan bagaimana para wanita yang berada di samping kedua pria itu mentapnya. Bola mata mereka seakan ingin keluar dari tempatnya.
Setelah mereka benar-benar menghilang, para pengunjung yang datang terlebih para wanita memasang wajah kecewa, bahkan temannya Annisa. Ia bahkan menekuk wajahnya dan mengerucutkan bibirnya.
"Apa sih, Nis?" tanya Nurfa seakan tidak tahu.
"Kamu kenapa harus kayak gitu sih, Fa? Hal-hal kayak itukan udah biasa untuk Brayen. Lagi pula diakan udah tinggal di Amerika lama, jadi itu hal yang wajar, Fa." Anin mengerucutkan bibirnya sebal. Ya, dia merasa marah karena tidak dapat berkenalan. Oke, lupakanlah soal Brayen, karena memang dia tidak akan pernah mendapatkannya. Tapi teman pria itu yang bernama Alex, dia tidak kalah tampan dengan Brayen. Ya, itu menurut pandangannya.
"Aku ngak peduli, Nis. Mau dia tinggal dimana sekalipun, jika dia tidak memiliki sopan santun itu adalah masalah." Setelah mengatakan itu, Nurfa ingin pergi namun kembali lagi dan mengatakan sesuatu pada Annisa.
"Hapus foto teman pria itu yang kamu ambil secara diam-diam tadi. Jangan sampai kamu jadi patah hati lagi karena masalah cowok. Nanti kamu balik lagi kesini sambil nangis ngak jelas," ucap Nurfa pada Annisa dan langsung pergi dari sana meninggalkan temannya yang sendirian.
"Ish ..., Nurfa!" ucap Annisa dengan kesal namun Nurfa bahkan tidak berbalik badan lagi.
Nurfa hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya itu. Baru saja merasakan patah hati, eh malah udah dapat gebetan baru. Yah, begitulah Annisa sangat mudah goyah karena laki-laki. Ujung-ujungnya jika dia sudah disakiti, dia akan datang lagi kepadanya dan menangis lagi. Yah, selalu saja begitu.
Namun, apapun yang terjadi hari ini, itu diluar ekspektasinya. Kedatangan seorang pengusaha muda yang terkenal, lalu dengan tegas mengolok-olok reputasi mereka. Kalau dia menginginkan tempat yang eksklusif, kenapa tidak ketempat lain yang memang berada pada kelas expensive. Kenapa dia tidak hotel-hotelnya saja. Bukankah itu lebih baik, dari pada datang kesini dan bersikap sombong dan menganggap segalanya bisa diselesaikan oleh uang.
Ya ampun, semakin dia memikirkannya, semakin dia tidak menyukai sikap pria itu. Dia berharap tidak akan pernah bertemu dengan pria angkuh itu lagi.
.
.
.
Bersambung ....
See you later ❤️
Entah sudah keberapa kalinya Nurfa mendapatkan kejutan hari ini. Ya, kejutan yang bukan dalam artian baik, lebih tepatnya seperti musibah. Mulai dari cafe mereka yang tiba-tiba ditutup hanya karena sebuah surat sengketa yang jelas di ada-ada. Lalu sekarang ia yang tiba-tiba dipecat dari kantor tempatnya bekerja, dan disaat dia menanyakan apa alasannya, atasannya berkata bahwa dia tidak kompeten.
Wah, sangat luar biasa sekali. Alasan yang sangat tidak masuk akal melihat bagaimana apa saja yang sudah dicapainya dan track record yang sudah dilaluinya, sungguh ini memang sedang di ada-ada.
Dia tidak ingin sombong, dengan mengatakan bahwa dia sudah banyak berjasa pada perusahaan yang bergerak dalam bidang penerbitan itu. Namun, memang begitulah adanya.
Bahkan, beberapa hari yang lalu ia baru saja mendapatkan penghargaan dari perusahaan itu. Lalu sekarang, ia dipecat dengan alasan tidak kompeten dalam bekerja? Wah, sungguh drama yang sangat cacat, dan dia sudah tahu siapa dalang dibalik ini semua.
Dan disinilah dia sekarang, dirumah orang yang sudah membuat kejutan yang sangat merugikan dirinya. Ya, dia berada di kediaman Mr. Zacky, pemilik perusahan Zacky Corporation. Perusahaan yang bergerak dibidang perhotelan, dan bidang lainnya, yang merupakan perusahaan paling bergengsi di Indonesia, maupun dunia.
Mungkin ini tidak ada hubungannya dengan Mr. Zacky, pria paruh baya yang ada didepannya saat ini. Namun, menjadi berhubungan karena orang yang telah melakukan hal ini adalah anak kandungnya sendiri, CEO Zacky Corporation. Siapa lagi kalau bukan Brayen, pria arogan dan sombong yang berkunjung di cafenya kemarin dengan alasan ingin menyumbang untuk cafe kecil yang tak lain adalah cafenya.
Namun berbeda dengan anaknya, Mr. Zacky terlihat sangat sopan dan ramah. Bahkan senyum tulus tidak luput dari bibirnya. Walaupun umur pria itu tidak muda lagi, namun penampilannya masih terlihat muda dan tampan. Nampaknya, keluarga ini memang memiliki garis keturunan yang tidak main-main.
"Tunggulah sebentar, Nak Nurfa. Aku sudah menelepon putraku. Dia akan segera datang. Silahkan diminum, Nak Nurfa dan Nak Zahra," ucap Zacky dengan lembut namun tetap berwibawa, yang dibalas anggukan sopan dan senyum oleh mereka berdua.
Nurfa memang mengajak temannya Zahra untuk menemaninya, dan ternyata Zahra juga mau. Melihat bagaimana sikap Mr. Zacky kepada mereka, sungguh sangat bertabrakan dengan sifat putranya. Ya ampun dia masih membanding-bandingkan itu lagi sejak tadi. Akhirnya mereka menunggu Brayen untuk datang, dan saat ini mereka berada di ruang tamu yang berukuran besar bahkan sofa yang didudukinya sekalipun.
...***...
Kediaman keluarga Zacky, bukan kediaman biasa, kediaman ini bahkan sangat-sangat luar biasa. Kediaman ini merupakan kediaman termewah yang terdapat di kompleks elit di Jakarta. Pagar hitam yang besar yang melindungi sekeliling rumah besar ini, tidak memungkinkan seorangpun yang tanpa kepentingan serius untuk masuk kedalamnya. Bahkan, terdapat banyak penjaga keamanan yang bertugas untuk memeriksa para tamu yang datang dengan sangat ketat.
Sejujurnya, Nurfa dan Zahra juga diperiksa dengan ketat, bahkan ingin digeledah. Beruntung hal itu tidak terjadi, karena ternyata pak Zacky berada diluar tadi. Dan ketika akan masuk, dia melihat Nurfa dan Zahra dan mempersilahkan mereka berdua tanpa perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Beruntung, pak Zacky adalah pria yang bijaksana.
Brayen tiba dengan menggunakan mobil sport merah, lalu dengan asal melemparkan kunci tersebut ke salah satu pelayan yang menyambutnya. Dengan cekatan pula pelayan itu mengambilnya dan menunduk hormat, seakan telah tahu apa yang akan dilakukan. Dengan gaya jalan seperti di catwalk, pria itu masuk kerumahnya yang mewah dan megah.
Para pelayan dan para maid menyambut kedatangan Brayen, dan membawakan sesuatu yang mungkin akan diperlukan tuan muda tampan mereka. Namun, tak jarang para maid disana curi pandang ke arahnya. Mau bagaimana lagi? Tuan muda mereka itu sangat jarang pulang kerumah ini. Dan saat sudah berada disini, mereka tidak akan membuang kesempatan untuk menarik perhatian dari tuan muda tampan mereka.
"Dimana, Dad?" tanya Brayen pada salah seorang maid, sambil memberikan jas nya asal kepada mereka.
"Tuan sedang berada di ruang tamu, Tuan muda," jawab maid tersebut dengan tersenyum malau-malu.
Setelah mendapat jawaban, Brayen langsung pergi dan berniat untuk ke ruang tamu seperti yang diucapkan oleh maid tersebut. Ya, sejujurnya dia juga sedikit kaget ayahnya meneleponnya dan menyuruhnya untuk pulang. Padahal beberapa jam yang lalu, dia masih bersenang-senang dengan minuman dan para wanitanya. Begitulah konteks bersenang-senang baginya.Liar dan bebas.
"Hello, Dad!" sapa Brayen pada ayahnya dengan nada yang dibuat seantusias mungkin dan melihat ayahnya sedang berdiri seperti sedang menunggunya sejak tadi.
"Ada apa Dad memanggilku?" tanya Brayen pada ayahnya, namun tidak direspon. Lalu dia melihat ayahnya berpaling darinya, dan Brayen mengikuti arah pandang ayahnya itu.
Dan ...
Baiklah, dia paham sekarang.
Brayen melihat dua orang wanita tengah melihat kearahnya kali ini, namun keduanya memiliki tatapan yang berbeda. Yang pertama wanita yang menatapnya dengan pandangan kagum dan memuja. Huh, ayolah dia sudah terbiasa dengan itu. Bagaimanapun pesonanya sangat sulit untuk ditolak bukan?
Lalu pandangan wanita yang pernah ditemuinya kemarin. Wanita itu memandangnya dengan tatapan memicing,dan mungkin terdapat kebencian. Lalu ketika Brayen menampilkan senyum andalannya pada wanita itu, anehnya wanita itu memutar matanya malas. Dan segera berpaling kembali menghadap kedepan seperti sedia kala.
"Kau sudah mengerti bukan?" tanya ayahnya dengan datar.
Brayen tidak ambil pusing, dengan santai ia duduk di sofa yang bersebelahan dengan kedua wanita tersebut.
"Mengapa kau mendatangi ayahku? Kenapa tidak langsung datang kepadaku, Nona?" tanya Brayen dengan santai kepada gadis yang berhijab navy tersebut.
"Jika anda lupa, bukankah anda yang tidak mengijinkanku untuk menemui anda. Bahkan menginjakkan kaki di perusahaan anda," jawab Nurfa dengan nada ketus.
"Hm..., benarkah? Aku tidak ingat pernah membuat peraturan seperti itu," kata Brayen tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"BRAYEN!" Sentak Zacky memperingati putranya.
Brayen yang diperlakukan seperti itu, hanya memutar mata jengah, dan tidak terpengaruh.
"Maafkan tingkah anakku, Nak Nurfa. Dia memang memiliki masalah kepribadian," kata Zacky dengan santai, yang dibalas dengan ekspresi terkejut Brayen.
Bagaimana bisa ayahnya berkata seperti itu?.
"What?! Dad,are you kidding me?!"
"Tidak masalah, Pak Zacky. Saya sudah memaklumi hal itu," jawab Nurfa dengan sopan.
"Apa?! Hey Nona! Bagaimana bisa kau memiliki pemikiran seperti itu? Bukannya itu kau?Seumur hidupku, aku baru bertemu dengan seorang karyawan yang mengusir pengunjungnya. Jadi, kata itu lebih cocok untukmu." Brayen berkata sambil melihat memicing kearah Nurfa.
Bersambung ...
"Apa?! Hey Nona! Bagaimana bisa kau memiliki pemikiran seperti itu? Bukannya itu kau?Seumur hidupku, aku baru bertemu dengan seorang karyawan yang mengusir pengunjungnya. Jadi, kata itu lebih cocok untukmu." Brayen berkata sambil melihat memicing kearah Nurfa. Bisa-bisanya wanita itu merendahkannya.
"Maafkan saya, Tuan.Tapi itu semua peraturan yang sudah kami tetapkan dan juga pihak kami tidak pernah mengusir anda. Dan apa yang anda lakukan pada cafe dan pekerjaan saya, itu tidak ada sangkut pautnya." Nurfa menahan dirinya untuk tetap berkata sopan, bagaimanapun tidak baik berkata kasar didepan orang tua.
"Huh, itu adalah pelajaran untukmu. Lainkali, jika kau ingin berurusan dengan seseorang, lihat dulu orang itu siapa," kata Brayen dengan menyeringai sinis dan tanpa merasa bersalah sekalipun.
"Brayen!"
"Kali ini kau diam, dan biar ayah yang berbicara. Bagaimana bisa kau tidak merasa bersalah sedikitpun?" kata Zacky dengan tegas dan Brayen hanya diam saja mendengar apa yang diucapkan oleh ayahnya itu,dan terlihat biasa saja.
"Kau tidak usah khawatir, Nak Nurfa. Masalah sengketa palsu yang dibuat anakku tentang cafemu sangat mudah untuk kuselesaikan. Asalkan kau menerima tawaran yang kuberikan padamu tadi," kata Zacky kepada Nurfa.
Mendengar hal itu Nurfa memandang ke arah Zahra meminta pendapat, yang dibalas mengangkat bahu oleh Zahra. Sebenarnya kesepakatan itu sangat menguntungkan temannya.
"Maaf, Pak Zacky. Mungkin anda ingin meminta pendapat anak anda terlebih dahulu?" tanya Nurfa dengan sopan.
"Kau tidak perlu khawatir, dia pasti akan langsung menyetujuinya. Lagi pula, dia masih berada dibawah kendaliku," kata Zack dengan santai dan memasang senyum tipis kepada Nurfa.
Mendengar dirinya yang dibawa-bawa dalam pembicaraan itu. Brayen langsung saja duduk dengan tegap dan menghadap kearah ayahnya.
"Kesepakatan apa yang telah Dad buat?" tanya Brayen curiga.
"Ayah sudah menetapkan Nak Nurfa sebagai sekretaris barumu," kata Zacky dengan tegas.
"Apa?! Wanita ini yang Dad maksud?!" kata Brayen sambil menunjuk kearah Nurfa.
"Dad, what have you been doing? Aku tidak menyetujuinya. Lagipula, dia tidak termasuk dalam kriteria klasifikasiku." Brayen tidak bisa menahan keterkejutannya dan segera memandang Nurfa dengan sinis.
"Klasifikasi apa yang kau maksud Brayen? Sudah cukup aku membiarkanmu memilih dan mengganti sekretarismu setiap saat, dan akhirnya semua berakhir dengan kau meniduri mereka!" kata Zacky dengan tegas dan menghadap penuh kearah putranya itu.
"Astaghfirullah," ucap Nurfa dan Zahra bersamaan.
Brayen langsung menoleh kepada mereka, dan tidak peduli bagaimana mereka beranggapan tentang dirinya."Heh .... Apa kau mau menjadi sekretarisku, Nona?"
"Tentu saja tidak!" Tolak Nurfa dengan keras serta dengan nafas yang memburu.
"Lihatlah, dia tidak mau menjadi sekretarisku, Dad. Jadi, Dad tidak usah sibuk memikirkannya. Aku akan menemukan sekretarisku dengan segera," kata Brayen dengan santai dan merasa senang karena wanita itu menolak hal tersebut secar tegas.
"Dan kau tenang saja, Nona. Aku akan mengembalikan cafe dan pekerjaanmu itu. Sudah kubilang, aku hanya ingin memberimu sedikit pelajaran," sambung Brayen dan memasang senyum manisnya kearah Nurfa.
"Memang sudah seharusnya kau bertanggung jawab, Nak. Tapi sayang sekali, keinginanmu untuk memiliki perusahaan itu harus kau kubur dalam-dalam," kata Zacky yang membuat Brayen terkejut.
"Apa?! Dad sedang bercanda?Maksudku kenapa Dad ingin sekali wanita itu yang menjadi sekretarisku. Apa istimewanya dirinya sampai-sampai Dad memutuskan hal itu?" Brayen tidak bisa untuk tidak memandang benci kearah Nurfa. Apa yang sudah dilakukan oleh wanita itu?
Sama halnya dengan yang dirasakan Brayen tadi, Nurfa juga tidak kalah terkejutnya mendengar keputusan pria paruh baya yang ada dihadapannya saat ini. Mengapa dia jadi terikut-ikut akan masalah antara anak dan ayah tersebut?
"Nak Nurfa merupakan lulusan terbaik dari Universitas terbaik di negara ini. Dia menguasai jurusan ekonomi serta bisnis, dan mendapat gelar cumlaude dari kampusnya. Dan menurut ayah,dia sangat pantas untuk menjadi sekretarismu," jawab Zacky dengan tegas dan tidak ingin dibantah.
Brayen memutar matanya jengah, mendengar apa yang diucapkan ayahnya tadi."Dad tahu sendiri bahwa aku tidak tertarik dengan lulusan dalam negeri. Aku dapat menemukan yang berkali-kali lipat luar biasa dari wanita itu. Bahkan dengan lulusan yang terbaik yang ada di dunia," jawab Brayen.
Mendengar hal tersebut, Nurfa menjadi kesal. Apa-apaan lelaki itu? Kenapa dia sangat suka menghina dan mencela orang lain.
"Maaf, Pak Zacky. Saya juga tidak berminat menjadi sekretaris putra anda. Terimakasih sudah menerima dan menjamu kami dengan hangat. Kalau begitu,kami pamit undur diri, Pak Zacky," ucap Nurfa sambil menangkupkan tangannya kearah Zacky dan tersenyum sopan.
"Jangan lupa untuk menepati janji anda, karena seorang lelaki yang dipegang adalah perkataannya," kata Nurfa kepada Brayen yang dibalas lirikan sekilas oleh pria tersebut.
"Assalamu'alaikum," ucap Nurfa dan Zahra bersamaan kepada Zacky.
"Wa'alaikummussalaam,kalian tenang saja, Nak Nurfa. Brayen pasti akan menepati janjinya, aku akan memastikan itu,"ucap Zacky tersenyum sopan, sambil melirik kearah putranya.
Melihat hal itu, Nurfa dan Zahra juga membalas dengan senyum sopan, dan melangkah untuk meninggalkan ruangan itu.
"Baiklah, Dad. Kurasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kalau begitu, aku juga akan pergi," ucap Brayen santai kepada ayahnya lalu berdiri,dan melangkah ingin keluar dari ruangan itu.
"Ucapan ayah tidak main-main, Brayen!" kata Zacky dengan tegas sehingga membuat langkah kaki Brayen terhenti dan menatap jengah kearah ayahnya. Bagaimana bisa ayahnya berkata seperti itu?.
"Ya ampun, Dad. Apalagi ini? Dad sudah dengar sendiri, bagaimana wanita itu menolak dengan keras tadi. Bagaimana bisa Dad melupakan itu?" Brayen bertanya pada ayahnya dengan kerutan yang jelas di dahi, serta dengan alis yang saling bertaut.
"Ayah tidak peduli, itu urusanmu. Apapun alasanmu, setelah melihat nak Nurfa membuat ayah yakin bahwa dia adalah wanita yang baik. Produk memang penting Brayen, tapi citra perusahaan jauh lebih penting. Kau tidak bisa setiap saat mengganti sekretarismu hanya karena beralasan bosan," kata Zacky kepada Brayen.
Brayen yang mendengar hal itupun melongo keheranan. Bagaimana bisa ayahnya mengatakan wanita itu adalah wanita baik?
"Bujuklah dia, jika kau berhasil ayah akan mempertimbangkan kau menjadi pemilik perusahan itu," ucap Zacky santai sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya.
"Hanya mempertimbangkan?" tanya Brayen heran kepada ayahnya. Ya ampun, apa yang sudah wanita itu lakukan pada ayahnya?
"Hm ..., setidaknya kau masih memiliki peluang dari pada tidak sama sekali," jawab Zacky dengan santai pada putranya.
Brayen hanya memandang heran kearah ayahnya. Bagaimana bisa ayahnya melakukan hal ini hanya karena alasan yang sangat tidak logis?Apa hebatnya wanita itu? Kenapa dia bisa membuat ayahnya percaya bahwa wanita itu adalah wanita baik? Ayahnya tidak berada pada posisinya saja waktu itu, dan ayahnya mengatakan bahwa wanita itu adalah wanita baik?
Wanita itu?
Baik?
Damn!
Semakin Brayen memikirkannya, semakin dia tidak menyukai kehadiran wanita itu. Dan sekarang dia sudah terjebak oleh alasan konyol ayahnya itu. Dasar!
"Baiklah, aku keluar!" kata Brayen dengan kesal dan langsung melangkah pergi meninggalkan rumahnya yang mewah dan megah itu.
Ya ampun.
Dia harus terpaksa menyetujui apa yang ayahnya katakan. Mau tidak mau, dia harus membuat wanita itu menjadi sekretarisnya. Baiklah, wanita itu yang memulai ini semua dan dia tidak akan tinggal diam.
Tidak mungkin dia melepaskan perusahaan itu dengan begitu saja. Dia akan memastikan perusahaan itu menjadi miliknya.
Brayen kemudian masuk kedalam mobil sport merahnya yang sudah disiapkan oleh pelayan itu, lalu melesat pergi meninggalkan kediamannya.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!