Episode 4

Diruangan yang serba putih ini, dan jangan lupakan bau obat-obatan yang menyeruak di ruangan tersebut. Seorang wanita tengah terbaring lemah di atas brankar dengan kondisi yang lemah, dan tangan kiri yang sedang di infus. Wanita itu tak dapat berbuat banyak, hanya sesekali tangan kanannya bergerak naik ke atas perutnya dan mengelus-elus pelan.

"Sudah aku bilang, jangan mencoba tren memakan keripik pedas itu, Nis. Lihat apa yang kau dapat?" kata Nurfa pada Anisa yang terbaring diatas brankar.

"Tau tuh, Fa. Marahin aja, Fa!" tukas Zahra dengan nada provokasi yang kentara.

"Ish, iya-iya. Lo juga jangan gitu dong, Zah. Sakit banget nih perut gue, lo malah marahin gue aja lagi." Dengus Anisa sambil sesekali memasang wajah merintih dan mengelus perutnya.

"Hilih, gini bau tau rasa lo. Bandel banget sih, lo. Untung aja kita sempat bawa lo kerumah sakit. Kalau lo mati karena makan keripikkan ngak lucu. Ngak ada estetik-estetiknya!" kata Zahra kembali dan terus menatap sinis ke arah Anisa yang sedang memasang wajah kaget dan melotot akibat ucapan dari teman minim akhlaknya itu. Sedangkan Nurfa hanya mengeleng melihat kelakuan dua temannya ini.

Setelah pulang dari kediaman keluarga Zacky, tak berapa lama Nurfa mendapatkan panggilan telepon dari Anisa. Saat ia mengangkat telpon tersebut, terdengar suara ringisan dan rintihan minta tolong dari Anisa. Lalu, dengan segera ia dan Zahra pergi dan setelah sampai dirumah Anisa, mereka melihat Anisa yang sudah meringkuk diatas sofa dan menangis. Setelahnya mereka membawa Anisa kerumah sakit, karena kebetulan orang tua Anisa sedang tidak ada dirumah.

"Eh Nis, lo tau ngak hal tergoblok hari ini yang dibuat si Nurfa?" Anisa yang tadinya meringkuk kesakitan tiba-tiba berubah dan segera duduk bersandar dan menghadap penuh ke Zahra.

"Ha?! Apaan?!" tanya Anisa dengan tidak sabar, dan entah kemana rasa sakit yang tadi dideritanya.

"Bisa-bisanya dia ngenolak jadi sekretaris di perusahan Zacky Corporation yang ditawarkan secara langsung oleh pemiliki perusahaannya. Kan Astaghfirullah banget!" terang Zahra dengan meluap-luap kepada Anisa yang dibalas lototan olehnya, serta langsung menatap ke arah Nurfa yang sekarang tengah memberenggut kesal.

"KENAPA DITOLAK SIH, FA?! Ya Allah, bisa-bisanya gua punya temen kayak, lo. Jadi sekretaris loh, Fa! S. E. K. R. E. T. A. R. I. S!" kata Anisa dengan keras dan menekan kata sekretaris kepada Nurfa.

Nurfa hanya berdecak kesal mendengar perkataan kedua temannya itu. Kenapa dia merasa dia telah membuat suatu hal yang salah? Sudah jelas alasan dia tidak mau menjadi sekretaris di perusahaan itu. Lalu apakah dia tidak berhak menolak dan harus menerimanya saja? Setelah mendengar apa yang dilakukan pria itu kepada para sekretarisnya? Oh, maaf saja. Harga dirinya lebih penting dari pada bekerja bersama pria itu.

Hih ...

Membayangkannya saja membuat Nurfa merinding, apa lagi menjadi sekretaris pria itu. Entahlah, dia tidak bisa membayangkannya.

"Kamu ngak tau aja Nis, apa yang terjadi pada sekretaris-sekretarisnya!" kata Nurfa dengan nada kesal.

"Emang apa yang dilakukannya pada setiap sekretarisnya?" tanya Anisa dengan kernyitan di dahinya.

"Dia meniduri setiap sekretaris yang dia punya. Lalu menggantinya dan selalu melakukan hal yang sama!" jawab Nurfa dengan emosi yang meluap-luap serta dengan kekesalan yang tidak bisa ditahannya lagi. Mendengar hal tersebut Anisa menjadi mengangnga lebar, tidak tahu bereaksi seperti apa lagi setelah mendengar itu.

"WHAT?!" Tanya Anisa belum bisa menghilangkan keterkejutan yang dirasakannya. Nurfa yang mendengar hal tersebut langsung menganggukkan kepalanya untuk menjawab Anisa. Lalu, Anisa pun mengerjap-ngerjapkan matanya, masih berusaha mengurangi kekagetannya.

Tak berapa lama, Nurfa merasakan getaran di dalam tasnya.Ternyata ibunya sedang menelfon dirinya. Dengan segera dia langsung mengangkatnya tanpa pergi dari kedua temannya tersebut. Ya, memang kebiasaan Nurfa seperti itu, tapi itu hanya ketika bersama kedua temannya ini. Melihat hal tersebut, Zahra dan Anisa langsung diam dan mendengar apa yang akan dibicarakan oleh ibu Nurfa. Tidak sopan memang, tapi itu sudah sering mereka lakukan ketika salah satu dari mereka ada yang menelpon.

"Halo Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikummussalaam, Fa. Kamu dimana sekarang, Nak?"

"Aku lagi temenin Anisa, Bu dirumah sakit sama Zahra."

"Ha?! Memangnya Anisa kenapa, Fa?"

"Sakit perut, Bu.Tapi udah agak baikan kok sekarang"

"Ya Allah, sampein salam Ibu ke Anisa ya, Fa. Semoga cepat sembuh."

"Iya, Bu.Nanti aku kasih tau sama Anisanya," kata Nurfa sambil melirik kearah Anisa yang dibalas anggukan dan senyuman olehnya.

"Oh iya, Fa. Ada yang nyariin kamu nih.Katanya ada hal yang penting yang mau dia bicarain sama kamu"

"Ha? Siapa, Bu?" tanya Nurfa penasarasaran, bahkan Anisa dan Zahra makin menajamkan pendengaran mereka.

"Laki-laki, Fa dua orang. Kalau ngak salah, salah satunya namanya Brayen. Sekarang mereka tungguin kamu di cafe"

Kenapa pria itu ingin bertemu dirinya?

"Baiklah, Bu. Bentar lagi aku pulang. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikummussalaam"

Mendengar hal tersebut, mau tak mau Nurfa harus segera pulang dengan cepat. Namun, ia tidak dapat menghilangkan rasa bingungnya, ada apa pria itu mencarinya. Bukan hanya dia yang merasa bingung, tetapi dua temannya yang sedari tadi mendengarkan percakapannya pun merasa bingung.

"Sebenarnya apa yang direncanakan oleh pria itu?" tanya Nurfa dalam hati.

...*****...

Dilain tempat, terlihat seorang pria yang tengah menikmati memakan kukis di meja depannya. Sementara orang di samping pria tersebut tengah memandang sinis kearahnya, yang dibalas dengan kedua alis yang dinaikkan keatas. Pria itu lantas langsung memutar malas kedua matanya, lalu memilih berpaling menatapnya.

Sesekali ia melihat kearah jamnya, dan memandang kearah pintu cafe. Ya, pria itu adalah Brayen. Sementara pria disampingnya yang tengah menikmati kukis tadi adalah Alex, temannya. Saat ini pria itu sedang menunggu kedatangan Nurfa, yang entah kapan akan tiba. Sudah setengah jam dia menunggu wanita itu, tapi wanita itu belum juga menunjukkan tanda-tanda. Lalu, ia mengepalkan tangan kananya yang ada di atas meja, serta menahan diri agar tidak menghancurkan meja tersebut.

"Dasar gadis sialan!" Umpat pria itu dalam hati.

Melihat temannya yang sedang menahan emosi, Alex menahan diri agar tidak tertawa. Bisa-bisanya temannya ini rela menunggu seseorang, apalagi itu wanita.Tentu itu menjadi hal yang langka, ditambah ekspresi pria itu yang sedang menahan emosi entah kenapa itu terlihat lucu baginya. Seakan menyadari dia ingin ditertawakan, Brayen langsung memandang tajam kearah Alex.

"Calm down, Dude. Aku rasa, wanita itu akan segera sam-" Perkataan pria itu terpotong, lantaran mendengar suara lonceng dari arah pintu dan menemukan orang yang sedari tadi mereka tunggu.

"See?" lanjut Alex sambil melirik kearah Nurfa yang tengah berjalan kearah mereka berdua, dan menggeser kursi lalu duduk dihadapan mereka berdua yang dihalangi oleh meja.

"Maaf atas keterlambatan saya,"kata Nurfa sambil menelungkupkan tangan kedepan.

"Tidak mas-"

"Dasar lelet! Kau tidak lihat sudah berapa lama kami menunggumu?!" Potong Brayen meluapkan kekesalannya.

Bersambung ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!