It'S Not Your Fault
1 Januari 2001.
07:00.
Suara alarm jam weker, membangunkan Arthur dari tidur singkatnya.
Belum sampai satu jam Arthur memejamkan mata, setelah pekerjaan yang dia lakukan sejak kemarin pagi, lalu disambung dengan bergadang sia-sia, hingga menghabiskan waktunya semalam suntuk.
Benar-benar sia-sia dan membuang waktunya begitu saja, tanpa menghasilkan apa-apa hingga Arthur dipaksa untuk kembali ke apartemennya, dan akhirnya tertidur tanpa dia sadari.
——————
"Kamu tidak bisa ikut dalam kasus ini! Kamu tidak berpikiran jernih!"
"Aku tidak akan mencampuri urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Aku hanya ingin melihatnya!"
"Kamu bisa melihatnya, setelah semua selesai diperiksa. Jangan mempersulit pekerjaanku!"
"Aaarrrghh! Kamu—"
"Arthur! ... Aku mengerti perasaanmu. Tapi, sesuai perintah Atasan, kamu hanya bisa melihatnya, setelah pemeriksaan selesai dilakukan!"
"Josh! Please ...!"
"Maafkan aku kawan ... Aku tidak mau kamu menyesalinya nanti."
"Brengsek! F*cking as*hole!"
"Hufftt ...! Tahan emosimu ... Meskipun kamu mencoba memancing kemarahan ku, kamu tetap tidak boleh masuk ...! Aku akan mengabari mu nanti!"
——————
Sembari berselonjor di atas tempat tidurnya, Arthur memegang kepalanya dengan kedua tangannya.
Perasaan yang campur aduk antara lelah dan frustrasi, membuatnya hampir tidak bisa beranjak turun dari pembaringannya itu.
Mesin pembuat kopi yang diatur otomatis baru saja mati, begitu juga roti panggang berwarna kecoklatan yang baru saja matang, menonjol keluar dari alat pemanggang roti.
Setelah mandi dan berpakaian, Arthur menuangkan cairan kopi tanpa campuran gula ke dalam satu cangkir berukuran sedang.
Walaupun sebenarnya hari ini adalah hari liburnya, namun Arthur tetap harus bersiap-siap untuk pergi lagi hari ini.
Arthur tidak mau berdiam diri di rumah, sebelum memastikan dengan melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Kopi Arthur masih tersisa lebih dari setengah cangkir, namun Arthur sudah berdiri dari tempat duduk, dan beranjak keluar dari dalam apartemen.
Sisa-sisa perayaan malam tahun baru, masih terlihat dengan jelas, ketika Arthur menginjakkan kakinya di trotoar di depan gedung apartemen, yang menjadi tempat tinggalnya selama kurang lebih sepuluh tahun belakangan ini.
Arthur tahu dengan pasti, kalau dia akan kesulitan untuk menemukan taksi di waktu-waktu seperti sekarang.
Arthur mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, dan menghubungi salah satu rekan kerjanya di kantor.
"Jemput aku!" Kata Arthur, setelah mendengar sambutan dari seberang telepon.
Tidak perlu berbicara panjang lebar di ponselnya itu, Arthur lantas memutus sambungan telepon dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaketnya.
Kurang lebih lima belas menit kemudian, sebuah mobil berlambang kesatuan kepolisian, berhenti tepat di depan gedung apartemen tempat tinggal Arthur.
Arthur yang sedari tadi menunggu sambil berdiri, segera bergegas masuk ke dalam mobil itu.
"Bukannya hari ini kamu libur?"
"Iya. Antarkan aku ke rumah sakit!"
"Apa kamu sudah mendapat izin untuk melihatnya?"
"Antarkan saja, aku! Aku tidak akan membuat keributan. Aku hanya akan menunggu di luar, hingga Josh mengizinkan aku masuk."
"Kamu pasti bercanda ...!"
"Tolong, jangan banyak bicara. Jalankan saja mobilmu, dan antar aku ke sana."
Akhirnya, rekan kerjanya itu mau saja menuruti permintaan Arthur, dan menjalankan mobilnya yang sejak tadi terdiam terparkir dengan kondisi mesin menyala.
"Maafkan aku, kawan...." celetuk rekan kerja Arthur itu, tak lama setelah mereka melaju di jalanan.
Arthur yang menatap lurus ke arah jalanan di depannya, hanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.
"... Aku mungkin tidak pernah menghadapi situasi seperti yang kamu alami saat ini. Tapi, sekedar saran dariku, apapun hasil pemeriksaannya nanti, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri," lanjut rekan kerja Arthur itu.
"Hufftt ...!" Arthur mendengus kasar. "Aku seharusnya bisa berusaha lebih keras—"
"Arthur ...! Yang kamu hadapi bukan orang biasa. Mengenyampingkan kondisinya, kamu sudah tahu bagaimana besarnya pengaruh keluarga di belakangnya itu." Timpal Rekan kerja Arthur itu, yang berbicara dengan nada suara kecewa.
Hingga mereka tiba di pelataran parkir rumah sakit tujuannya, baik Arthur maupun rekan kerjanya itu, tidak mengeluarkan sepatah katapun lagi.
Arthur membuka pintu mobil dan bersiap untuk keluar dari dalam situ, namun rekan kerjanya menahan Arthur.
"Arthur! Tolong jangan membuat keributan ...! Ingat! Bukan hanya pekerjaanmu yang dipertaruhkan, Josh juga akan ikut dipersalahkan."
Arthur menganggukkan kepalanya, lantas keluar dari dalam mobil.
"Terimakasih!" ucap Arthur sambil membungkuk untuk melihat rekannya dari jendela mobil.
"Sama-sama."
Seketika itu juga, rekan kerja Arthur yang mengantarkan Arthur tadi, bergegas membawa mobilnya pergi dari rumah sakit, meninggalkan Arthur berdiri sendiri di situ.
Arthur melihat ke salah satu arah, di mana mobilnya terparkir, lantas berjalan pelan menuju ke mobilnya itu.
Tadi, Arthur dipaksa pulang dengan diantarkan oleh salah satu petugas kepolisian dengan menggunakan mobil dinas, seperti seorang kriminal, karena Arthur yang tetap memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam rumah sakit.
Arthur mengambil bungkusan rokoknya dari atas dashboard mobilnya, sesaat setelah membuka pintu mobil, lalu menutup pintu mobil itu kembali.
Sambil bersandar di samping mobilnya, Arthur memandangi dua orang berseragam polisi yang berdiri berjaga di depan pintu masuk rumah sakit.
Kalau Arthur tidak mau diusir lagi, Arthur tidak boleh mendekat ke sana, dan mau tidak mau, hanya bisa menunggu di pelataran parkir itu.
Ketika Arthur mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusannya, dan menyalakannya, asap rokok yang di hisapnya hanya membuatnya semakin teringat akan Alexa.
Alexa.
Arthur sama sekali tidak menyangka, kalau dia akan jatuh cinta kepada wanita itu pada pandangan pertama.
Wajahnya yang pucat tanpa memakai riasan sedikitpun, baju setelan atasan dan celana rumah sakit berwarna biru muda polos, di padankan dengan sendal slip on, Alexa tetap terlihat cantik di mata Arthur.
"Arthur!"
Suara teriakan yang menyebut namanya, mengejutkan Arthur dari lamunannya, hingga membuatnya mengangkat pandangannya, dan melihat ke arah datangnya suara.
Josh tampak berjalan tergesa-gesa, mengarah di mana Arthur berdiri.
"Kenapa kamu tidak beristirahat saja dulu ...?" tanya Josh, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tampak tidak percaya saat melihat Arthur berada di tempat itu.
"Aku sudah istirahat tadi. Apa ada yang penting yang kamu temukan?" ujar Arthur yang berusaha keras agar tetap terlihat tenang, agar Josh tidak mengusirnya pulang.
"Kelihatannya tidak ada yang mencurigakan. Semua sesuai dengan dugaan awal," jawab Josh datar.
"Apa kamu yakin?" Arthur rasanya masih tidak percaya dengan perkataan Josh kepadanya.
"..." Josh kelihatannya ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tampak berusaha menahan mulutnya agar tidak berbicara.
"Ada apa? Apa aku sudah bisa menemuinya?" desak Arthur.
"Kita pergi dari sini. Aku khawatir kalau ada yang mendengarkan pembicaraan kita, atau melihat apa yang akan aku berikan kepadamu," jawab Josh, yang terlihat ragu.
"Aku tidak mau kemana-mana," sahut Arthur tegas.
"Kamu memang keras kepala!" Josh mendengus. "Hufftt ...! Kalau begitu, kita bicara di dalam mobil saja."
Tanpa menunggu persetujuan dari Arthur, Josh segera membuka pintu mobil Arthur dan duduk di dalamnya.
Begitu juga Arthur yang lantas ikut masuk ke dalam mobil, dan duduk di jok supir.
"Ini!" Josh menyodorkan secarik kertas yang terlipat rapi, yang baru saja dia keluarkan dari saku jaketnya.
Arthur tidak segera menerima selembar kertas itu, melainkan menatap Josh lekat-lekat.
"Alexa menuliskan ini untukmu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
$uRa
menarik.tapi masih belum begitu paham..
2022-10-22
1