NovelToon NovelToon

It'S Not Your Fault

PROLOG

1 Januari 2001.

07:00.

Suara alarm jam weker, membangunkan Arthur dari tidur singkatnya.

Belum sampai satu jam Arthur memejamkan mata, setelah pekerjaan yang dia lakukan sejak kemarin pagi, lalu disambung dengan bergadang sia-sia, hingga menghabiskan waktunya semalam suntuk.

Benar-benar sia-sia dan membuang waktunya begitu saja, tanpa menghasilkan apa-apa hingga Arthur dipaksa untuk kembali ke apartemennya, dan akhirnya tertidur tanpa dia sadari.

——————

"Kamu tidak bisa ikut dalam kasus ini! Kamu tidak berpikiran jernih!"

"Aku tidak akan mencampuri urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Aku hanya ingin melihatnya!"

"Kamu bisa melihatnya, setelah semua selesai diperiksa. Jangan mempersulit pekerjaanku!"

"Aaarrrghh! Kamu—"

"Arthur! ... Aku mengerti perasaanmu. Tapi, sesuai perintah Atasan, kamu hanya bisa melihatnya, setelah pemeriksaan selesai dilakukan!"

"Josh! Please ...!"

"Maafkan aku kawan ... Aku tidak mau kamu menyesalinya nanti."

"Brengsek! F*cking as*hole!"

"Hufftt ...! Tahan emosimu ... Meskipun kamu mencoba memancing kemarahan ku, kamu tetap tidak boleh masuk ...! Aku akan mengabari mu nanti!"

——————

Sembari berselonjor di atas tempat tidurnya, Arthur memegang kepalanya dengan kedua tangannya.

Perasaan yang campur aduk antara lelah dan frustrasi, membuatnya hampir tidak bisa beranjak turun dari pembaringannya itu.

Mesin pembuat kopi yang diatur otomatis baru saja mati, begitu juga roti panggang berwarna kecoklatan yang baru saja matang, menonjol keluar dari alat pemanggang roti.

Setelah mandi dan berpakaian, Arthur menuangkan cairan kopi tanpa campuran gula ke dalam satu cangkir berukuran sedang.

Walaupun sebenarnya hari ini adalah hari liburnya, namun Arthur tetap harus bersiap-siap untuk pergi lagi hari ini.

Arthur tidak mau berdiam diri di rumah, sebelum memastikan dengan melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Kopi Arthur masih tersisa lebih dari setengah cangkir, namun Arthur sudah berdiri dari tempat duduk, dan beranjak keluar dari dalam apartemen.

Sisa-sisa perayaan malam tahun baru, masih terlihat dengan jelas, ketika Arthur menginjakkan kakinya di trotoar di depan gedung apartemen, yang menjadi tempat tinggalnya selama kurang lebih sepuluh tahun belakangan ini.

Arthur tahu dengan pasti, kalau dia akan kesulitan untuk menemukan taksi di waktu-waktu seperti sekarang.

Arthur mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, dan menghubungi salah satu rekan kerjanya di kantor.

"Jemput aku!" Kata Arthur, setelah mendengar sambutan dari seberang telepon.

Tidak perlu berbicara panjang lebar di ponselnya itu, Arthur lantas memutus sambungan telepon dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaketnya.

Kurang lebih lima belas menit kemudian, sebuah mobil berlambang kesatuan kepolisian, berhenti tepat di depan gedung apartemen tempat tinggal Arthur.

Arthur yang sedari tadi menunggu sambil berdiri, segera bergegas masuk ke dalam mobil itu.

"Bukannya hari ini kamu libur?"

"Iya. Antarkan aku ke rumah sakit!"

"Apa kamu sudah mendapat izin untuk melihatnya?"

"Antarkan saja, aku! Aku tidak akan membuat keributan. Aku hanya akan menunggu di luar, hingga Josh mengizinkan aku masuk."

"Kamu pasti bercanda ...!"

"Tolong, jangan banyak bicara. Jalankan saja mobilmu, dan antar aku ke sana."

Akhirnya, rekan kerjanya itu mau saja menuruti permintaan Arthur, dan menjalankan mobilnya yang sejak tadi terdiam terparkir dengan kondisi mesin menyala.

"Maafkan aku, kawan...." celetuk rekan kerja Arthur itu, tak lama setelah mereka melaju di jalanan.

Arthur yang menatap lurus ke arah jalanan di depannya, hanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.

"... Aku mungkin tidak pernah menghadapi situasi seperti yang kamu alami saat ini. Tapi, sekedar saran dariku, apapun hasil pemeriksaannya nanti, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri," lanjut rekan kerja Arthur itu.

"Hufftt ...!" Arthur mendengus kasar. "Aku seharusnya bisa berusaha lebih keras—"

"Arthur ...! Yang kamu hadapi bukan orang biasa. Mengenyampingkan kondisinya, kamu sudah tahu bagaimana besarnya pengaruh keluarga di belakangnya itu." Timpal Rekan kerja Arthur itu, yang berbicara dengan nada suara kecewa.

Hingga mereka tiba di pelataran parkir rumah sakit tujuannya, baik Arthur maupun rekan kerjanya itu, tidak mengeluarkan sepatah katapun lagi.

Arthur membuka pintu mobil dan bersiap untuk keluar dari dalam situ, namun rekan kerjanya menahan Arthur.

"Arthur! Tolong jangan membuat keributan ...! Ingat! Bukan hanya pekerjaanmu yang dipertaruhkan, Josh juga akan ikut dipersalahkan."

Arthur menganggukkan kepalanya, lantas keluar dari dalam mobil.

"Terimakasih!" ucap Arthur sambil membungkuk untuk melihat rekannya dari jendela mobil.

"Sama-sama."

Seketika itu juga, rekan kerja Arthur yang mengantarkan Arthur tadi, bergegas membawa mobilnya pergi dari rumah sakit, meninggalkan Arthur berdiri sendiri di situ.

Arthur melihat ke salah satu arah, di mana mobilnya terparkir, lantas berjalan pelan menuju ke mobilnya itu.

Tadi, Arthur dipaksa pulang dengan diantarkan oleh salah satu petugas kepolisian dengan menggunakan mobil dinas, seperti seorang kriminal, karena Arthur yang tetap memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam rumah sakit.

Arthur mengambil bungkusan rokoknya dari atas dashboard mobilnya, sesaat setelah membuka pintu mobil, lalu menutup pintu mobil itu kembali.

Sambil bersandar di samping mobilnya, Arthur memandangi dua orang berseragam polisi yang berdiri berjaga di depan pintu masuk rumah sakit.

Kalau Arthur tidak mau diusir lagi, Arthur tidak boleh mendekat ke sana, dan mau tidak mau, hanya bisa menunggu di pelataran parkir itu.

Ketika Arthur mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusannya, dan menyalakannya, asap rokok yang di hisapnya hanya membuatnya semakin teringat akan Alexa.

Alexa.

Arthur sama sekali tidak menyangka, kalau dia akan jatuh cinta kepada wanita itu pada pandangan pertama.

Wajahnya yang pucat tanpa memakai riasan sedikitpun, baju setelan atasan dan celana rumah sakit berwarna biru muda polos, di padankan dengan sendal slip on, Alexa tetap terlihat cantik di mata Arthur.

"Arthur!"

Suara teriakan yang menyebut namanya, mengejutkan Arthur dari lamunannya, hingga membuatnya mengangkat pandangannya, dan melihat ke arah datangnya suara.

Josh tampak berjalan tergesa-gesa, mengarah di mana Arthur berdiri.

"Kenapa kamu tidak beristirahat saja dulu ...?" tanya Josh, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tampak tidak percaya saat melihat Arthur berada di tempat itu.

"Aku sudah istirahat tadi. Apa ada yang penting yang kamu temukan?" ujar Arthur yang berusaha keras agar tetap terlihat tenang, agar Josh tidak mengusirnya pulang.

"Kelihatannya tidak ada yang mencurigakan. Semua sesuai dengan dugaan awal," jawab Josh datar.

"Apa kamu yakin?" Arthur rasanya masih tidak percaya dengan perkataan Josh kepadanya.

"..." Josh kelihatannya ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tampak berusaha menahan mulutnya agar tidak berbicara.

"Ada apa? Apa aku sudah bisa menemuinya?" desak Arthur.

"Kita pergi dari sini. Aku khawatir kalau ada yang mendengarkan pembicaraan kita, atau melihat apa yang akan aku berikan kepadamu," jawab Josh, yang terlihat ragu.

"Aku tidak mau kemana-mana," sahut Arthur tegas.

"Kamu memang keras kepala!" Josh mendengus. "Hufftt ...! Kalau begitu, kita bicara di dalam mobil saja."

Tanpa menunggu persetujuan dari Arthur, Josh segera membuka pintu mobil Arthur dan duduk di dalamnya.

Begitu juga Arthur yang lantas ikut masuk ke dalam mobil, dan duduk di jok supir.

"Ini!" Josh menyodorkan secarik kertas yang terlipat rapi, yang baru saja dia keluarkan dari saku jaketnya.

Arthur tidak segera menerima selembar kertas itu, melainkan menatap Josh lekat-lekat.

"Alexa menuliskan ini untukmu!"

Part 1

1 Januari 2000.

Pukul 06:00 di awal tahun milenium, di saat orang-orang merayakan tahun baru bersama keluarga dan orang-orang terdekatnya, menjadi tanggal istimewa di mana pertemuan Arthur dan Alexa terjadi untuk yang pertama kalinya.

Pihak rumah sakit yang kekurangan tenaga kerja, meminta bantuan dari beberapa orang untuk menjadi sukarelawan di rumah sakit.

Arthur yang menerima pekerjaan itu di hari libur kerjanya sebagai seorang detektif di satuan kepolisian kota, melihat Alexa yang diantar ke rumah sakit itu menggunakan ambulans.

Masih teringat dengan jelas dalam benak Arthur, ketika wanita itu tersenyum kepadanya, saat Arthur menghampirinya, lalu mendorongnya dengan kursi roda untuk berkumpul dengan pasien lain.

Baik penampilan maupun postur tubuhnya, Alexa memang jauh berbeda dari wanita kebanyakan yang pernah berkencan dengan Arthur.

Raut wajah Alexa yang maskulin, berambut pendek sebatas telinga, bentuk tubuh kurusnya yang tampak rata saat memakai baju rumah sakit yang longgar, tidak terlihat seperti wanita sesungguhnya.

Bahkan, saat Alexa berbicara dengan Arthur, suaranya juga terdengar berat seperti suara seorang laki-laki.

Saat itu, Arthur sempat mengira kalau dia jatuh hati kepada seorang laki-laki, hingga membuatnya kembali memeriksa berkas pasien yang diletakkan di atas meja di dalam ruangan perawatan Alexa.

"Apa ada yang salah?"

Suara Alexa yang bertanya saat itu terdengar sangat mengejutkan, ketika Arthur menunda untuk mendorong kursi rodanya, dan menyempatkan untuk berbalik dan memeriksa berkas milik Alexa.

"Ugh ...? Maafkan aku ... Alexa ...?" Arthur seketika itu juga jadi gelagapan.

Alexa kembali memperlihatkan senyuman di wajahnya, hingga membuat jantung Arthur terasa berhenti berdetak untuk sesaat.

"Iya. Alexa. Tapi kamu bisa memanggilku Alex," jawab Alexa sambil tersenyum.

Senyuman lebar Alexa.

Hanya jika Alexa tersenyum seperti itu saja yang bisa membuat sisi feminimnya terlihat.

Dengan satu gigi gingsul di bagian kiri atas barisan gigi Alexa, terlihat sangat menarik di mata Arthur, dan membuat Arthur tertular akan keindahannya hingga ikut tersenyum.

Arthur mendorong kursi roda di mana Alexa duduk, dengan perlahan sambil berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ke Aula.

"Apa yang akan dilakukan di sana?" tanya Alexa.

"Umm ... Selain makan pagi bersama? Mungkin saling menyapa dan mengucapkan selamat tahun baru," kata Arthur.

"Tapi, aku tidak mengenal mereka," kata Alexa.

"Justru itu, kalau kamu ikut berkumpul di sana, maka kamu akan mengenal mereka yang lain," kata Arthur.

"Umm ... Begitu ya?! ... Jadi, kamu susah payah mengantarkan aku ke sana, hanya agar aku bisa saling mengenal dengan yang lain. Lalu, bagaimana denganmu? Apa aku bisa mengenalmu?" tanya Alexa.

"Arthur ... Namaku Arthur Smith," jawab Arthur.

"Arthur...." Alexa kemudian mengangkat tangan kanannya, dan mengarahkannya kepada Arthur yang berada di belakangnya.

Arthur menyambut tangan Alexa yang terasa sangat dingin, saat bersentuhan dengan tangannya, untuk berjabat tangan.

"Nama yang bagus. Tanganmu terasa hangat. Apa aku bisa memanggilmu Arty?" tanya Alexa tanpa melepaskan genggamannya di tangan Arthur.

Arthur merasa kalau nafasnya sedikit sesak, saat Alexa menggenggam tangannya seerat itu.

"Ka—kamu bisa memanggilku sesukamu," jawab Arthur terbata-bata.

"Bagus!" kata Alexa terdengar bersemangat, lalu melepaskan genggamannya dari tangan Arthur.

Di dalam aula, sambil menikmati makan pagi bersama, raut wajah Alexa terlihat datar dan dingin saat ada orang lain yang menyapanya, baik itu sesama pasien, maupun petugas medis yang ada di sana.

Anehnya, Alexa akan tersenyum saat matanya beradu pandang dengan Arthur.

Arthur tahu kalau Alexa tidak sedang menggodanya, karena senyum di wajah wanita itu terlihat tulus bagi Arthur.

Namun, senyuman yang berulang yang dilihat Arthur, sanggup untuk membuat Arthur semakin jatuh hati kepada wanita itu.

Arthur semakin penasaran dengan wanita bernama Alexa, yang kembali tersenyum untuk ke sekian kalinya, saat Arthur menatapnya.

Arthur mengusir keraguannya jauh-jauh, dan nekat menghampiri Alexa yang masih duduk di kursi roda, di seberang ruangan di dalam aula rumah sakit.

"Kenapa kamu tersenyum kepadaku? Apa ada yang salah?" tanya Arthur memberanikan diri.

Alexa tertawa kecil.

"Maaf kalau aku mungkin membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi, aku mencium bau rokok darimu. Apa kamu membawanya sekarang?" tanya Alexa.

"Hmm ... Aku membawa sebungkus rokok. Tapi, apa tidak akan jadi masalah untukku nanti, jika aku memberikannya kepadamu?" ujar Arthur ragu.

"Tidak. Aku diberitahu kalau aku masih bisa merokok di tempat ini—" Kata Alexa.

Arthur menatap Alexa lekat-lekat, dan hampir menyela perkataan wanita itu.

"... Maksudku bukan di dalam ruangan ini. Melainkan di luar, asalkan masih di dalam area rumah sakit. Karena aku tidak akan diizinkan untuk pergi dari rumah sakit ini," sambung Alexa.

"Baiklah! Aku akan mendorongmu keluar dari ruangan ini, setelah aku mendapat izin dari mereka," sahut Arthur, sambil menunjuk dengan matanya, para petugas medis yang ada di dalam ruangan itu.

Alexa hanya menganggukkan kepalanya.

Setelah mendapatkan izin dari salah satu petugas medis, Arthur segera kembali menghampiri Alexa dan mendorongnya keluar dari ruangan itu.

Di taman rumah sakit, Arthur menyalakan sebatang rokok miliknya, kemudian memberikannya kepada Alexa.

"Apa kamu kedinginan?" tanya Arthur, karena melihat tangan Alexa yang tampak gemetar, saat menyambut rokok dari tangan Arthur.

Arthur melepaskan jaket yang dia pakai, lalu memasangkannya kepada Alexa, meskipun wanita itu tidak menjawab pertanyaannya.

Sambil mengangkat jaket yang baru dipakaikan Arthur di badannya itu sedikit, Alexa kemudian tampak mengendusnya.

Melihat gerak-gerik Alexa itu, membuat Arthur sedikit merasa khawatir, kalau-kalau Alexa akan merasa risih dengan aroma tubuh Arthur yang lengket di jaket itu.

"Apa aroma jaket ku mengganggumu? Aku sudah memakainya sejak kemarin pagi," ujar Arthur malu-malu.

"Tidak ada masalah. Tidak ada aroma yang mengganggu penciumanku. Bahkan menurutku, aroma mu yang bercampur dengan aroma rokok, cukup menarik," sahut Alexa yang tampak santai berbicara tanpa beban.

Arthur kemudian menyalakan sebatang rokok untuk dirinya sendiri, sambil berusaha menstabilkan detak jantungnya yang berdegup kencang.

"Selain kurus, apa yang membuatmu hingga harus di rawat di tempat ini? Karena aku merasa, kalau tidak yang salah denganmu," celetuk Arthur, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kamu bukan pegawai tetap di tempat ini?"

Arthur menatap Alexa lekat-lekat, saat wanita itu tidak menjawab pertanyaan Arthur, melainkan mengajukan pertanyaan yang melenceng dari hal yang ingin diketahui oleh Arthur.

"Iya. Aku hanya sukarelawan," jawab Arthur.

"Lalu, untuk apa kamu ingin tahu, kenapa aku bisa berakhir di tempat ini?" Pertanyaan Alexa seakan-akan memukul dada Arthur.

Raut wajah Alexa pun jadi begitu dingin, dengan sorot mata yang tajam menatap Arthur.

"Maafkan aku ... Aku hanya ingin sekedar mengisi waktu ini, daripada kita berdua hanya terdiam," sahut Arthur.

"Aku akan bercerita kepadamu ... Kalau kamu datang lagi nanti," ujar Alexa datar.

"Kalau kamu memang mau aku menemuimu, maka setiap hari aku akan datang ke sini," sahut Arthur.

"Apa kamu mau berjanji kepadaku?" tanya Alexa.

"Tentu saja," jawab Arthur yakin.

Alexa kemudian tampak tersenyum lebar.

Part 2

7 Januari 2000.

09:13.

Sembari memeriksa berkas laporan kasus kriminal yang baru saja diberikan Josh, Arthur yang berjanji kepada Alexa untuk menemuinya lagi, sesekali melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Bla ... Bla ... Bla...." Arthur sama sekali tidak memperhatikan, apa yang sedang dikatakan Josh kepadanya.

Tepukan yang mendadak terasa di punggungnya, hampir membuat Arthur menjatuhkan lembaran berkas di tangannya.

"Ada apa denganmu? Apa kamu masih hangover?" tanya Josh dengan raut wajah heran.

"Ugh ...! Tentu saja tidak. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu," jawab Arthur datar.

"Apa itu?" tanya Josh tampak penasaran.

"Umm...." Arthur tidak menjawab pertanyaan Josh, dan hanya bergumam.

Arthur merasa ragu untuk menceritakan apa yang dia pikirkan, karena dia tidak mau kalau Josh hanya akan menertawakannya nanti.

"Apa yang kamu pikirkan? Tentang pekerjaan—berkas laporan—di tanganmu? Atau sesuatu yang lain?" tanya Josh lagi.

"Aku mau pergi keluar sebentar."

Arthur meletakkan lembaran kertas berkas ke atas meja, kemudian berdiri dari bangku kerjanya, dan beranjak pergi dari kantor.

"Hey ...! Arthur!"

Teriakan Josh yang memanggilnya, tidak dihiraukan oleh Arthur dan tetap berjalan meninggalkan Josh yang menatapnya, dengan raut wajah kebingungan.

Arthur segera berkendara dengan satu tujuan pasti, yaitu, Arthur akan menemui Alexa di rumah sakit.

Dari koridor rumah sakit, Arthur bisa melihat Alexa yang tampak sedang berdiri menghadap salah satu pohon, yang tumbuh segar di dalam taman rumah sakit.

Alexa berdiri di dekat bangku taman, yang menjadi tempatnya berbincang-bincang dengan Arthur kemarin.

"Alexa ...!" seru Arthur, sambil berjalan menghampiri wanita itu.

Alexa yang berdiri membelakangi Arthur, kemudian segera berbalik dan tersenyum, ketika Arthur menghampirinya.

"Kamu datang...." kata Alexa.

Alexa tampak memandangi Arthur dari ujung rambut, hingga ke ujung kakinya, dan membuat Arthur merasa sedikit grogi, dengan pandangan menyelidik dari Alexa itu.

"Apa ada yang salah?" tanya Arthur heran.

"Tidak." kata Alexa. "Tapi, apa aku boleh tahu, apa pekerjaanmu yang sebenarnya?"

"Detektif ba—" kata Arthur.

"Hebat! Aku punya beberapa kenalan, yang mungkin saja adalah rekan kerjamu, atau bisa jadi mereka adalah atasanmu," Alexa menyela perkataan Arthur.

"... Oh! Apa kamu mau duduk dulu sambil mengobrol?" lanjut Arthur, tanpa menyelesaikan apa yang hendak dia katakan sebelumnya.

Alexa kemudian duduk di bangku taman, dan Arthur juga ikut duduk di situ, bersebelahan dengan Alexa.

"Rambutmu masih basah ... Bukankah hari ini cukup dingin?" ujar Arthur, lalu melepaskan jaket yang dia pakai.

"Tidak perlu. Aku tidak merasa kedinginan," sahut Alexa.

Melihat wajah pucat dan bibir Alexa yang agak membiru, membuat Arthur tetap memasangkan jaketnya, untuk menutupi bagian punggung Alexa.

Seperti sebelumnya, kali ini, Alexa juga tampak mengendus bagian dalam jaket Arthur.

"Kamu membuatku merasa gugup," celetuk Arthur.

"Pffftt ...! Untuk apa kamu merasa gugup? Bukannya aku sudah bilang, kalau aroma jaket mu tidak menggangu. Justru aromanya menarik, hingga aku mau menciumnya," ujar Alexa.

"Apa kamu membawa rokok?" sambung Alexa.

Arthur tahu kalau wajahnya pasti merona merah saat ini, dan pertanyaan Alexa bisa mengalihkan rasa berdesir-desir di dalam hati Arthur.

Dengan tergesa-gesa, Arthur mengeluarkan rokok dan pemantik dari dalam kantong jaket, yang sekarang sedang dipakai Alexa.

Arthur kemudian menyalakan sebatang rokoknya, dan memberikannya kepada Alexa.

Alexa tampak santai menghisap rokoknya, dan menghembuskan kepulan asap dari mulut dan hidungnya bersamaan.

"Kamu pasti menunggu ceritaku, hingga membuatmu datang untuk menemuiku. Tapi, kamu mau aku menceritakannya dari mana?" kata Alexa.

"Terserah kamu saja. Asalkan kamu merasa nyaman untuk bicara," sahut Arthur. "Kalau kamu mau menceritakan sejak masa kecilmu, aku akan lebih senang untuk mendengarkannya."

"Umm ... Okay!"

———***———

29 Februari 1972.

14:37.

Tanggal yang hanya ada dalam kalender setiap empat tahun sekali, menjadi tanggal kelahiran paling langka di dunia.

Namun di tanggal itu, hadirlah bayi Alexa yang segera membuka mulutnya lebar-lebar, untuk mengeluarkan suara tangisan pertamanya.

Hanya Alexa, tanpa ada nama belakang yang di sisipkan oleh kedua orang tuanya di dalam nama itu.

Meskipun lahir di tanggal yang spesial, bukan berarti keberadaan Alexa di dunia ini dianggap istimewa.

Orang tuanya berpisah saat Alexa masih berusia satu tahun.

Alexa bahkan belum sempat disapih sebagaimana layaknya bayi pada umumnya, dan terpaksa meminum susu formula dari tangan kerabat jauh dari pihak ayah yang merawatnya, karena kedua orang tuanya mengabaikannya.

Alexa tumbuh menjadi anak yang pintar dan penuh rasa ingin tahu.

Di usianya yang masih belum genap empat tahun, dengan diajarkan oleh salah satu kerabat yang berprofesi sebagai guru di primary school, Alexa sudah bisa membaca, menulis, bahkan bisa mengerjakan perhitungan sederhana.

Ketika berusia lima tahun, kerabat yang mengajarkan Alexa itu, kemudian mengajak Alexa untuk mendaftar sekolah agar bisa mengikuti pengajaran formal.

Namun, pertumbuhan fisiknya tidak sebaik perkembangan inteligensinya.

Tubuh Alexa yang lemah, membuatnya sering mengalami sakit yang berulang, hingga membuatnya tidak bisa beraktifitas selayaknya anak-anak yang sebaya dengannya.

Rasanya, tidak ada satupun bulan dalam kalender hidupnya, tanpa Alexa merasakan yang namanya jatuh sakit.

Oleh karena itu, di masa kecil Alexa, lebih banyak dia habiskan dengan membaca buku yang menjadi hobinya—mau tidak mau menjadi kebiasaan—karena tidak ada yang lain yang bisa dia lakukan.

Entah itu membaca buku di perpustakaan sekolah, ataupun membaca buku di rumah, sambil mengurung diri di dalam kamar.

Sebagai seorang anak kecil, tentu saja ada saatnya Alexa ingin seperti teman-temannya yang lain, yang bisa berkumpul dan bermain sepuasnya.

Walaupun demikian, Alexa tidak pernah mengeluhkan ketidaknyamanannya kepada keluarga yang merawatnya, melainkan mengalihkan pikirannya, dan terfokus kepada hobi membacanya.

Bukan tanpa alasan.

Dalam sakitnya, Alexa pernah secara tidak sengaja mendengar percakapan dari keluarga yang merawatnya itu.

Alexa dianggap terlalu merepotkan dan menghabiskan biaya hidup keluarga, untuk obat-obatan yang sering Alexa konsumsi, untuk semua sakit penyakit yang Alexa alami.

Alexa bertekad untuk tidak menjadi beban bagi keluarga yang merawatnya, dan berusaha sebisanya untuk menjaga kesehatannya agar tidak sampai jatuh sakit.

———***———

"... Aku rasa untuk hari ini, cukup itu saja dulu ya?!" ujar Alexa. "Ketika kamu datang lagi, aku akan menceritakan hal yang lain."

Arthur menganggukkan kepalanya, lalu melihat waktu di arloji di pergelangan tangannya.

10:45.

"Aku masih punya waktu sebentar, sebelum aku kembali ke kantor. Apa kamu masih bisa duduk di sini bersamamu?" tanya Arthur.

"Iya. Seperti yang kamu lihat, aku tidak ada kesibukan lain di tempat ini," jawab Alexa.

Arthur bisa melihat kesedihan yang terpancar di mata Alexa, saat wanita itu berbicara, hingga membuatnya ingin memeluk wanita itu.

"Umm ... Lalu, bagaimana denganmu? Apa tidak yang mau kamu ceritakan kepadaku?" lanjut Alexa, mengejutkan Arthur.

"Tidak ada yang menarik. Tapi aku berjanji, kalau aku akan menceritakan tentang diriku di lain waktu," jawab Arthur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!