Takdir Cinta Rembulan
Sah
Sah
sah
Di salah satu desa terpencil di daerah A, pernikahan sakral telah di laksanakan dengan sederhana. Tampak pengantin pria melirik wanita cantik yang sedang menunduk malu.
"Kamu cantik," rayu pria yang baru saja sah menjadi suaminya itu. Wanita bangir tersenyum malu meraih tangan suaminya kemudian menempelkan ke hidung.
Dia adalah Rembulan, bunga desa yang menjadi rebutan para pemuda di daerahnya. Dan pada akhirnya bunga itu di petik seorang pemuda tampan yang sedang kuliah semester 6 di kota Jakarta dan tinggal di daerah itu hanya sekitar dua bulan, karena sedang melaksanakan KKN.
Flashback on
Rembulan yang biasa di panggil Bulan. Ia adalah anak seorang petani, hari-harinya membantu sang ibu menjual hasil panen ke pasar. Yakni sayur kangkung dan kacang panjang.
Dengan semangat gadis berkerudung sederhana itu mengayuh sepeda goes ambil sayuran ke ladang. Namun bukan tanah yang luas seperti ladang milik tetangga, melainkan hanya sebidang tanah peninggalan almarhum ayahnya.
"Ibu, sayuranya sudah di petik?" tanya Bulan kaki jenjangnya segera menurunkan standar.
"Sudah Nak," bu Fatimah segera mengangkat karung kemudian dengan cepat Bulan mengambil alih. "Aku saja Bu," tangan halus itu setelah lulus SMK menjadi kasar lantaran sering angkat junjung karung.
"Saya berangkat Bu," ucapnya setelah meletakan satu karung sayuran kemudian di ikat dengan tambang, Bulan menaikan setandar kemudian menggoes.
"Hati-hati nak,"
"Iya Bu,"
Rembulan segera menggoes sepeda menuju pasar, ketika melewati balai desa. Ia berpapasan dengan beberapa mahasiswa yang berasal dari kampus ternama yang sedang melaksankan tugas kampus yakni KKN. Para mahasiswa sedang membuat saluran irigasi ke sawah-sawah untuk membantu para petani.
Para mahasiswa jurusan pertanian itu menatap kagum kecantikan Rembulan yang sedang melintasi jalan tersebut. Rembulan memang gadis desa yang cantik, hidung mancung, sholehah, sopan, dan rajin bekerja. "Hai..." sapa salah satu pemuda yang bernama Ananta menghadang laju sepeda Bulan.
"Permisi Kak, saya mau lewat," Rembulan berkata santun.
Ananta menatap pemuda yang sedang berdiri di belakang Bulan dan memberi isyarat mengedipkan mata agar minggir. Ananta segera menyingkir, karena Ananta tahu sahabatnya itu sangat mencintai Rembulan.
"Assalamualaikum..." ucap mahasiswa yang paling tampan dari belakang Rembulan. Rembulan seketika menoleh ternyata pemuda itu yang tidak ada bosanya selalu mengejarnya.
"Waalaikumsalam..."
Rembulan menjawab seraya mengangguk, sambil memegangi sepeda yang membawa karung berisi sayuran.
"Saya permisi ke pasar dulu Kak" walupun tidak menyukai orang sekalipun, Bulan tetap hormat dan sopan, kemudian mendorong sepeda dengan tangan.
"Boleh saya antar..." Pria yang bernama Pradipta Bumantara dan biasa di panggil Tara itu mengulas senyum manis memegang sepeda Bulan bagian belakang.
"Tidak usah Kak, terimakasih," Bulan pun segera kembali menggoes sepeda meninggalkan Tara yang masih menatapnya kagum.
"Ahaha..." tawa Ananta meledek Tara sahabatnya yang sudah beberapa kali di cuekin Rembulan.
"Diam loe, cepat selesaikan tugas! Bawa selang itu ke sawah," kata Bumantara menunjuk selang yang sedang di gulung seperti lingkaran untuk membantu para warga yang sedang membuat selokan. Dan untuk mengaduk semen harus menyelang air dari kali. "Enak aja loe" Ananta kesal sebab Bumantara mengintrupsi dengan nada perintah seperti boss dan anak buah.
"Gw pergi dulu," Bumantara menyadak sepeda milik warga yang kebetulan sedang ada keperluan ke bale desa lalu cepat menggoesnya.
"Eh sepeda saya!" seru pria pemilik sepeda karena Tara sudah agak menjauh.
"Pinjam bentar Bang," jawab Bumantara sambil berlalu.
"Huh! dasar anak muda, bilang pinjam tapi sudah kabur," gerutu pemilik sepeda.
Sementara Bumantara sudah bisa mengejar Bulan, mereka menggoes sepeda bersebelahan sambil pede kate mengajak Bulan bicara ini itu.
"Sini aku yang turunkan," ucap Bumantara menahan lengan Rembulan yang hendak menurunkan karung. Bulan terkejut lantas menatap mata Tara yang selama ini belum pernah sedekat ini.
Mereka saling pandang dada mereka berdebar hebat.
"Maaf" ucap Tara. Ketika Rembulan menarik tanganya cepat, menyadari jika lenganya di pegang Tara. Mulai saat itu cinta Rembulan mulai tumbuh. Hanya dalam kurun waktu satu bulan mereka berpacaran kemudian Bumantara melamar Rembulan.
"Kamu yakin? Akan menikahi anak saya, kalian ini baru kenal satu bulan," Fatimah menatap Bulan dan Tara bergantian.
Fatimah merasa heran tiba-tiba anaknya di lamar pria asing, bahkan pria itu masih kuliah tidak tahu siapa orang tuanya, dan dimana tempat tinggalnya. Ada perasaan ragu di hati Fatimah sebagai orang tua. Hanya Bulan yang Fatimah punya di dunia ini, tidak ingin putri satu-satunya hidupnya lantas tidak bahagia.
"Saya sungguh-sungguh, ingin menikahi Bulan Bu," Bumantara memohon.
"Ibu percaya sama kamu Nak Tara, tapi apa tidak sebaiknya kamu bicarakan dengan kedua orang tuamu dulu, agar silaturahmi kesini," nasehat Fatimah.
Dengan berbagai macam alasan Bumantara tidak bisa menghadirkan kedua orang tuanya.
Flashback off.
Sore harinya di dalam kamar, Bulan. Kamar yang sederhana tidak ada pintunya hanya di sekat dengan gorden, bersebelahan dengan kamar bu Fatimah. Tara ingin memeluk atau mencium istrinya namun rasanya malu, khawatir kepergok mertunya.
"Terimakasih... karena kamu sudah bersedia menjadi istriku," tersirat binar bahagia di mata Tara.
"Aku yang seharusnya berterimakasih pada Abang, karena Abang juga sudah mau menikahi wanita yang tidak punya apa-apa, seperti aku," Bulan yang berdiri berhadapan dengan Tara salting meremas kedua telapak tangannya.
"Kamu punya segalanya Bulan, tidak hanya wajahmu yang cantik, tapi kamu punya hati yang baik," Tara menyandak kedua tangan Bulan kemudian menciumnya lembut.
"Abang... bisa saja," keduanya tersenyum.
"Oh iya, aku mau ke kamar mandi, kamar mandinya di sebelah mana?" tanya Tara memindai sekeliling kamar tapi tidak ada kamar mandi.
"Di luar Bang, ayo aku antar."
Bumantara mengikuti istrinya, menuju belakang rumah. Rumah Bulan bukan terbuat dari tembok melainkan kayu yang di tata rapi.
"Ini kamar mandinya Bang" Bulan menunjuk kamar mandi yang hanya ditutup seng setengah.
Tara tertegun menatap kamar mandinya Bulan. "Nanti kalau ada orang bagaimana?" Tara menggaruk tengkuknya.
"Nggak kelihatan Bang, mandinya kan sambil jongkok," Bulan menjelaskan.
"Aku tinggal dulu Bang," Bulan kemudian pergi khawatir suaminya malu terhadapnya.
"Eh tunggu Bulan," cegah Tara tapi bulan sudah menjauh.
Grendeeng
Tara mendorong pintu seng terlonjak kaget, mendengar suara nya yang berisik. Ia sebenarnya bukan ingin mandi tapi, panggilan alam sudah tidak tahan. Ketika ingin berjongkok di closet Tara melihat dulu ember besar tapi tidak ada airnya.
"Duuh... dimana kran airnya? Mana sudah kebelet lagi," gumam Tara. Mengerlingkan mata kesana kemari tidak ada keran air.
Tara kembali keluar di sebelah kamar mandi, ada sumur yang ada kerek dan ember kecil berwarna hitam, lalu melongok dalam sumur airnya tampak jernih.
Kreeeeekkkkkk.... boooomm.
*******
Hahaha... kira-kira Bumantara sanggup nggak ya? hidup dalam keadaan seperti ini? Sedangkan di kota ia biasa hidup mewah, semua sudah tersedia.
Semoga ada yang mau mampir dalam kisah pria kota dan gadis desa ini, lalu konflik apa yang akan mereka hadapi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Aninda Peto
kangen banget ceritanya budhe, udah lama gak on di NT huhuhu
2023-05-19
1
auliasiamatir
kayaknya seru ini
2023-01-23
0
Nurasiah Marpaung
saya mampir menarik
2023-01-08
1