Sah
Sah
sah
Di salah satu desa terpencil di daerah A, pernikahan sakral telah di laksanakan dengan sederhana. Tampak pengantin pria melirik wanita cantik yang sedang menunduk malu.
"Kamu cantik," rayu pria yang baru saja sah menjadi suaminya itu. Wanita bangir tersenyum malu meraih tangan suaminya kemudian menempelkan ke hidung.
Dia adalah Rembulan, bunga desa yang menjadi rebutan para pemuda di daerahnya. Dan pada akhirnya bunga itu di petik seorang pemuda tampan yang sedang kuliah semester 6 di kota Jakarta dan tinggal di daerah itu hanya sekitar dua bulan, karena sedang melaksanakan KKN.
Flashback on
Rembulan yang biasa di panggil Bulan. Ia adalah anak seorang petani, hari-harinya membantu sang ibu menjual hasil panen ke pasar. Yakni sayur kangkung dan kacang panjang.
Dengan semangat gadis berkerudung sederhana itu mengayuh sepeda goes ambil sayuran ke ladang. Namun bukan tanah yang luas seperti ladang milik tetangga, melainkan hanya sebidang tanah peninggalan almarhum ayahnya.
"Ibu, sayuranya sudah di petik?" tanya Bulan kaki jenjangnya segera menurunkan standar.
"Sudah Nak," bu Fatimah segera mengangkat karung kemudian dengan cepat Bulan mengambil alih. "Aku saja Bu," tangan halus itu setelah lulus SMK menjadi kasar lantaran sering angkat junjung karung.
"Saya berangkat Bu," ucapnya setelah meletakan satu karung sayuran kemudian di ikat dengan tambang, Bulan menaikan setandar kemudian menggoes.
"Hati-hati nak,"
"Iya Bu,"
Rembulan segera menggoes sepeda menuju pasar, ketika melewati balai desa. Ia berpapasan dengan beberapa mahasiswa yang berasal dari kampus ternama yang sedang melaksankan tugas kampus yakni KKN. Para mahasiswa sedang membuat saluran irigasi ke sawah-sawah untuk membantu para petani.
Para mahasiswa jurusan pertanian itu menatap kagum kecantikan Rembulan yang sedang melintasi jalan tersebut. Rembulan memang gadis desa yang cantik, hidung mancung, sholehah, sopan, dan rajin bekerja. "Hai..." sapa salah satu pemuda yang bernama Ananta menghadang laju sepeda Bulan.
"Permisi Kak, saya mau lewat," Rembulan berkata santun.
Ananta menatap pemuda yang sedang berdiri di belakang Bulan dan memberi isyarat mengedipkan mata agar minggir. Ananta segera menyingkir, karena Ananta tahu sahabatnya itu sangat mencintai Rembulan.
"Assalamualaikum..." ucap mahasiswa yang paling tampan dari belakang Rembulan. Rembulan seketika menoleh ternyata pemuda itu yang tidak ada bosanya selalu mengejarnya.
"Waalaikumsalam..."
Rembulan menjawab seraya mengangguk, sambil memegangi sepeda yang membawa karung berisi sayuran.
"Saya permisi ke pasar dulu Kak" walupun tidak menyukai orang sekalipun, Bulan tetap hormat dan sopan, kemudian mendorong sepeda dengan tangan.
"Boleh saya antar..." Pria yang bernama Pradipta Bumantara dan biasa di panggil Tara itu mengulas senyum manis memegang sepeda Bulan bagian belakang.
"Tidak usah Kak, terimakasih," Bulan pun segera kembali menggoes sepeda meninggalkan Tara yang masih menatapnya kagum.
"Ahaha..." tawa Ananta meledek Tara sahabatnya yang sudah beberapa kali di cuekin Rembulan.
"Diam loe, cepat selesaikan tugas! Bawa selang itu ke sawah," kata Bumantara menunjuk selang yang sedang di gulung seperti lingkaran untuk membantu para warga yang sedang membuat selokan. Dan untuk mengaduk semen harus menyelang air dari kali. "Enak aja loe" Ananta kesal sebab Bumantara mengintrupsi dengan nada perintah seperti boss dan anak buah.
"Gw pergi dulu," Bumantara menyadak sepeda milik warga yang kebetulan sedang ada keperluan ke bale desa lalu cepat menggoesnya.
"Eh sepeda saya!" seru pria pemilik sepeda karena Tara sudah agak menjauh.
"Pinjam bentar Bang," jawab Bumantara sambil berlalu.
"Huh! dasar anak muda, bilang pinjam tapi sudah kabur," gerutu pemilik sepeda.
Sementara Bumantara sudah bisa mengejar Bulan, mereka menggoes sepeda bersebelahan sambil pede kate mengajak Bulan bicara ini itu.
"Sini aku yang turunkan," ucap Bumantara menahan lengan Rembulan yang hendak menurunkan karung. Bulan terkejut lantas menatap mata Tara yang selama ini belum pernah sedekat ini.
Mereka saling pandang dada mereka berdebar hebat.
"Maaf" ucap Tara. Ketika Rembulan menarik tanganya cepat, menyadari jika lenganya di pegang Tara. Mulai saat itu cinta Rembulan mulai tumbuh. Hanya dalam kurun waktu satu bulan mereka berpacaran kemudian Bumantara melamar Rembulan.
"Kamu yakin? Akan menikahi anak saya, kalian ini baru kenal satu bulan," Fatimah menatap Bulan dan Tara bergantian.
Fatimah merasa heran tiba-tiba anaknya di lamar pria asing, bahkan pria itu masih kuliah tidak tahu siapa orang tuanya, dan dimana tempat tinggalnya. Ada perasaan ragu di hati Fatimah sebagai orang tua. Hanya Bulan yang Fatimah punya di dunia ini, tidak ingin putri satu-satunya hidupnya lantas tidak bahagia.
"Saya sungguh-sungguh, ingin menikahi Bulan Bu," Bumantara memohon.
"Ibu percaya sama kamu Nak Tara, tapi apa tidak sebaiknya kamu bicarakan dengan kedua orang tuamu dulu, agar silaturahmi kesini," nasehat Fatimah.
Dengan berbagai macam alasan Bumantara tidak bisa menghadirkan kedua orang tuanya.
Flashback off.
Sore harinya di dalam kamar, Bulan. Kamar yang sederhana tidak ada pintunya hanya di sekat dengan gorden, bersebelahan dengan kamar bu Fatimah. Tara ingin memeluk atau mencium istrinya namun rasanya malu, khawatir kepergok mertunya.
"Terimakasih... karena kamu sudah bersedia menjadi istriku," tersirat binar bahagia di mata Tara.
"Aku yang seharusnya berterimakasih pada Abang, karena Abang juga sudah mau menikahi wanita yang tidak punya apa-apa, seperti aku," Bulan yang berdiri berhadapan dengan Tara salting meremas kedua telapak tangannya.
"Kamu punya segalanya Bulan, tidak hanya wajahmu yang cantik, tapi kamu punya hati yang baik," Tara menyandak kedua tangan Bulan kemudian menciumnya lembut.
"Abang... bisa saja," keduanya tersenyum.
"Oh iya, aku mau ke kamar mandi, kamar mandinya di sebelah mana?" tanya Tara memindai sekeliling kamar tapi tidak ada kamar mandi.
"Di luar Bang, ayo aku antar."
Bumantara mengikuti istrinya, menuju belakang rumah. Rumah Bulan bukan terbuat dari tembok melainkan kayu yang di tata rapi.
"Ini kamar mandinya Bang" Bulan menunjuk kamar mandi yang hanya ditutup seng setengah.
Tara tertegun menatap kamar mandinya Bulan. "Nanti kalau ada orang bagaimana?" Tara menggaruk tengkuknya.
"Nggak kelihatan Bang, mandinya kan sambil jongkok," Bulan menjelaskan.
"Aku tinggal dulu Bang," Bulan kemudian pergi khawatir suaminya malu terhadapnya.
"Eh tunggu Bulan," cegah Tara tapi bulan sudah menjauh.
Grendeeng
Tara mendorong pintu seng terlonjak kaget, mendengar suara nya yang berisik. Ia sebenarnya bukan ingin mandi tapi, panggilan alam sudah tidak tahan. Ketika ingin berjongkok di closet Tara melihat dulu ember besar tapi tidak ada airnya.
"Duuh... dimana kran airnya? Mana sudah kebelet lagi," gumam Tara. Mengerlingkan mata kesana kemari tidak ada keran air.
Tara kembali keluar di sebelah kamar mandi, ada sumur yang ada kerek dan ember kecil berwarna hitam, lalu melongok dalam sumur airnya tampak jernih.
Kreeeeekkkkkk.... boooomm.
*******
Hahaha... kira-kira Bumantara sanggup nggak ya? hidup dalam keadaan seperti ini? Sedangkan di kota ia biasa hidup mewah, semua sudah tersedia.
Semoga ada yang mau mampir dalam kisah pria kota dan gadis desa ini, lalu konflik apa yang akan mereka hadapi?
Kreeekkk...booomm," Tara tertegun menatap kerek yang meluncur cepat ke bawah, tapi ujung kerek masih nyangkut di atas.
"Ada apa, Bang?" tanya Bulan datang terengah-engah khawatir suaminya terjadi sesuatu.
"Aku mau ambil air Lan, tapi embernya malah merosot," Tara tampak kebingungan.
"Oh maaf Bang, aku lupa tidak mengisi ember dulu," Rembulan yang tingginya 165 cm itu tidak kesulitan mengait ujung kerek.
Tara hanya memandangi saja.
Bulan kemudian menimba air, mengisi ember yang kosong. Tara memperhatikan istrinya nimba tampak menarik ember terasa berat hatinya mencelos.
Di jaman sekarang ternyata masih ada orang yang menimba air, ****** di luar, bahkan kamar mandi tanpa pintu.
Tara beralih memandangi istrinya tidak berkedip, membayangkan hal yang buruk. Bagaiaman jika istrinya sedang mandi lalu ada yang berbuat kurangajar? "Ya Tuhan..." hati Tara gemuruh pertanyaan bermunculan.
Tara sadar dari lamunan kemudian ingin membantu istrinya
"Sini aku yang nimba," Tara ambil alih kerek, ia kasihan tugas seperti ini harusnya laki-laki yang mengerjakan, bukan wanita seperti istrinya.
"Nanti tangan Abang lecet loh," cegah Bulan.
"Tidak apa-apa Lan. Oh iya Lan, apa kamu setiap hari menimba seperti ini?" tanya Tara menunjuk sumur.
"Iya Bang, kalau bukan aku siapa lagi, Ibu? Aku tidak ngebolehin kalau Ibu sampai nimba," Bulan menggelengkan kepala.
"Lepas tanganmu biar aku yang nimba," paksa Tara.
"Ya sudah, hati-hati ya Bang, aku mau melanjutkan memasak." Rembulan kembali ke dapur.
Pria yang biasanya hanya pegang pulpen, dan laptop itu kini menimba sesekali meniup telapak tangannya yang terasa perih.
*******
Malam harinya Bumantara makan di rumah mertuanya untuk yang pertama kali. Masakan sederhana tidak ada lauk, setidaknya tempe tahu, hanya oseng kacang panjang dan kerupuk.
Tara lagi-lagi terkekejut, ternyata masih banyak orang susah sedangkan ia di kota besar selalu makan enak. Namun begitu, Tara makan dengan lahap. Tara memang belum memberi nafkah, wajar baru menjadi suami Bulan sehari.
"Nak Tara, kok makanya sedikit sekali, maaf ya Nak, Ibu hanya bisa menyediakan makanan seperti ini," bu Fatimah rupanya memperhatikan menantu barunya yang sedang melamun.
"Oh, bu-bukan begitu Bu, makanan ini enak sekali," Tara menjawab gugup.
"Makanan yang sehat itu begini Bang, kami sudah terbiasa vegetarian," potong Bulan asal. Sebenarnya bukan vegetarian tapi memang begini kesehariannya makan hanya pakai sayur, kala-kala makan daging dan ayam saat ada acara.
"Jangan dipikirkan," pungkas Tara menggenggam tangan Bulan.
"Auw" Tara meringis memegang telapak tangan Bulan terlalu kencang.
"Abang kenapa?" sekarang gantian, Bulan yang memegang tangan suaminya lalu mengamati.
"Astagfirlullah... tangan Abang," Bulan terkejut ternyata telapak tangan Tara lecet-lecet dan merah-merah.
"Kenapa?" Fatimah mendekati.
"Lihat tangan Abang Bu," tunjuk Bulan.
Bu Fatimah memelas ketika melihat tangan menantunya. Tara boleh berbohong jika orang tua menantunya itu, hanya seorang pedagang jengkol keliling seperti yang Tara ceritakan, tapi di lihat dari wajah Tara, sudah pasti Tara berdarah biru. Walaupun Tara menyembunyikan siapa dirinya.
"Tidak apa-apa kok Bu," Tara memecah ketegangan.
Selesai makan mereka ngobrol di depan rumah panggung memperhatikan sinar Rembulan.
"Lan, uang ini pegang ya, untuk keperluan kamu," Tara memberikan sejumlah uang berwarna merah.
"Tidak Abang, uang ini untuk keperluan Abang saja, kan aku sudah mendapat maskawin dari Abang untuk keperluan aku," polos Bulan.
"Hehehe..." Tara mencolek hidung mancung istrinya gemas.
"Kalau yang namanya mas kawin itu untuk kamu Bulan, bukan untuk keperluan rumah tangga,"
"Sekarang tolong uang ini kamu pegang, ini nafkah dari aku, baru ini yang aku pegang, lusa aku ke kota lagi ambil ke ATM,"
Bulan memandangi uang yang masih di tanganTara entah berapa jumlahnya, selama ini belum pernah mempunyai uang sebanyak itu. Hasil penjualan sayuran paling Bulan hanya mendapatkan recehan.
"Bulan... kok malah bengong, ayo terima,"
Tara pegang tangan Rembulan kemudian memberikan uang itu ke telapak tangannya.
"Terimakasih Bang, besok aku ke pasar membeli lauk yang enak untuk Abang," kata Bulan lalu memasukkan uang ke dalam kantong.
"Katanya vegetarian," Tara terkekeh di rangkulnya pundak istrinya itu.
"Bang, sebenarnya kamu ini siapa sih?" Bulan bertanya serius.
"Aku Bumantara, lahir 22 tahun yang lalu, kenapa?" Tara mengeratkan pelukanya.
"Iihh... Abang! Aku serius," Bulan cemberut. "Abang pasti bohong kan! Sebenarnya Abang bukan anak tukang jualan jengkol" Bulan ternyata punya pikiran seperti ibunya.
"Tinggal satu bulan lagi tugas kuliah aku selesai, nanti kamu akan tahu," pungkas Tara.
Jam sepuluh malam udara malam di luar begitu dingin, mereka lalu ke kamar melewati kamar Fatimah sudah sepi.
Sampai di kamar Bulan dan Tara segera merebahkan diri di kasur yang sudah usang tempat tidur pun sudah renta.
"Dingin ya" Tara merapat memeluk tubuh istrinya. Jika Tara dingin karena angin malam. Berbeda dengan Rembulan. Ia keringat dingin karena baru pertama kali tidur bersama pria.
Jangankan tidur berdua, Bulan sama sekali belum pernah dekat dengan pria manapun. Bumantara adalah cinta pertama dan kenyataanya langsung menikah, walupun usianya masih 20 tahun masih sangat muda tentunya.
"Kok kamu berkeringat." ucap Tara seraya menyusupkan tanganya ke dada Bulan.
"Bang..." Bulan ingin menyingkirkan tangan suaminya namun kalah kuat dengan tangan Tara yang sedang memilin gundukan.
"Bulan..." Tara sudah tidak tahan menahan hasrat. Malam yang sepi hanya terdengar suara jangkrik di tambah dinginya malam membuat keduanya semakin tenggelam dalam lautan asmara.
"Bang..." Bulan pasrah, membiarkan suaminya menjelahi tempat-tempat sensitif nya merasa melayang ke dunia yang belum pernah ia pijak.
"Boleh ya?"
Bulan tidak bisa berkata-kata hanya mengangguk menggigit bibir bawahnya.
Kret... kret... kret.
Braaakk.
Tempat tidur Rembulan ambruk membuat keduanya yang sudah tanpa sehelai kain pun tersungkur di antara reruntuhan tempat tidur.
"Bulaaann..." panggil bu Fatimah di luar gorden. "Kamu kenapa Nak?" bu Fatimah khawatir beliau pikir Tara menantu yang baru di kenalnya itu melakukan kdrt.
"Tidak apa-apa Bu," jawab keduanya segera menutup tubuhnya dengan selimut.
"Oh gitu..." bu Fatimah segera kembali ke kamar.
Sementara di dalam kamar keduanya terkikik sambil memandangi tempat tidur bagaiamana caranya menyingkirkan kayu-kayu itu.
*********
"Jadi benar? Tara sudah menikah Ta?" tanya Keke kepada Ananta teman kuliah Bumantara yang terobsesi ingin merebut hati Tara. Mereka saat ini sedang ngobrol di salah satu rumah penduduk yang mereka tinggali.
"Iya, tapi awas! Jangan sampai bicara dengan Mama, Papa Tara, biar Tara sendiri yang berbicara pada ortunya," Ananta menekankan.
Keke kemudian pergi ke kamarnya rasa kecewa, marah, kesal memenuhi ruang hatinya. Pria yang dicintai sejak SMA telah menikah hati Keke merasa di khianati.
Keke masuk ke dalam kamar, ambil bingkai foto yang ia letakan di atas meja kecil. Foto yang masih mengenakan pakaian putih abu-abu, saat berdua bersama Tara selalu ia bawa ke mana-mana.
Selama ini Tara selalu memperhatikan dirinya, dimana ada Keke disitu ada Tara. Lalu apa artinya semua ini? itulah pertanyan Keke.
Keke selama ini mengartikan bahwa Bumantara mencintai dirinya, tapi nyatanya Tara justeru menikah dengan wanita lain.
Sedih, kecewa, itu yang dirasakan Keke saat ini. Ia meletakkan bingkai kembali lalu berjalan ke ranjang telungkup di tempat tidur. Ia menangis di atas bantal flashback masa-masa indah bersama Tara, tapi kini semua tinggal mimpi.
********
"Maaf ya Bang, badanmu sampai kecapek-an begini," ucap Bulan memijit pelan kaki Tara, kasihan melihat suaminya yang tampak lelah bersandar di tembok padahal saat ini sudah dini hari.
"Nggak apa-apa, justru aku yang minta maaf, gara-gara aku, tempat tidur kamu jadi runtuh" jawab Tara. "Sekarang tidur saja, yuk,"
"Iya Bang,"
Tragedi runtuhnya tempat tidur membuat keduanya bekerja sama membereskan kayu membawanya ke luar kamar. Belum lagi menyapu, mengepel, membuat mereka berdua kelelahan.
Ia terpaksa tidur di lantai menggelar kasur lepek, malam pertama mereka pun gagal total.
Keesokan harinya masih dalam keadaan gelap, Bulan sudah bangun lebih dulu, menimba air mengisi tiga ember hingga penuh kemudian mandi.
Setelah berpakaian rapi ia kembali ke kamar menjalankan shalat subuh. Bulan berniat membangunkan suaminya mengajak shalat bersama, tapi Tara masih meringkuk menutup tubuhnya dengan selimut hingga kepala. Bulan tidak tega, lebih baik sholat sendiri.
"Dingin..." rintih Tara badanya tampak bergetar karena menggigil.
"Kenapa Bang," Bulan saat sedang melipat mukena melihat Tara yang tidak baik-baik saja, ia cepat-cepat menghampiri lalu membuka selimut.
"Kepala aku pusing, Lan," ucapnya lirih.
Bulan menempelkan punggung tangan ke dahi. "Ya Allah... Abang panas sekali, ini pasti gara-gara Abang tidur di lantai."
"Sebentar Bang," Bulan berlari ke dapur.
"Kenapa Bulan? kok kamu lari-lari?" tanya Fatimah saat mereka berpapasan.
"Bang Tara badanya demam Bu," jawab Bulan kemudian ambil langseng yang di gantung memasak air.
"Ya Allah... kemarin tidak apa-apa. Apa karena makan masakan kita, terus nggak cocok ya Bul," Fatimah merasa khawatir.
"Kayaknya bukan itu masalahnya Bu, semalam kami tidur di lantai, mungkin Abang masuk angin,"
Bulan menuang air hangat ke dalam baskom.
"Tidur di lantai? Memang kenapa?" tanya Fatimah memandang Bulan dengan kening melipat.
"Tempat tidur aku roboh Bu, itu kayunya, kami tumpuk di situ," Bulan menunjuk tumpukan kayu.
"Astagfirlullah... apa suara tadi malam itu Bul?"
Bulan mengangguk kemudian membawa baskom dan sapu tangan ke kamar.
"Bang" ucap Bulan kemudian membuka selimut penutup kepala Tara lalu menempelkan sapu tangan di keningnya berulang-ulang, hingga panasnya turun.
Bulan kembali ke dapur mengangkat air panas yang ia tebus tadi untuk mandi Tara. lalu ia bawa ke sumur menuangkan ke dalam ember. Seperti tidak ada rasa lelah, Bulan mondar-mondar kesana kemari.
"Bangun Bang, Abang mandi dulu, terus shalat subuh," titah Bulan.
"Dingin Lan," lirih Tara.
"Pakai air hangat Bang, sudah aku siapin, mandi dulu terus aku mau daftar ke puskesmas,"
"Nggak usah mandi," rengek Tara seperti bocah kecil.
"Iihh... Abang... harus mandi wajib," Bulan malu- malu.
"Kan tadi malam nggak jadi Lan," jawab Tara memelas.
"Jangan banyak tanya, sekarang aku bantu ke belakang," Bulan menutup pembicaraan kemudian memapah suaminya ke kamar mandi.
Di belakang masih gelap karena baru jam lima, tidak ada pendar selain lampu 5 watt untuk menerangi kamar mandi. Sebenarnya tidak bisa di sebut kamar mandi, hanya sebuah kontak di kelilingi kayu tanpa atap, jika musim hujan tentu harus memakai payung.
Di kamar mandi sudah ada kursi peranti duduk yang di siapkan Rembulan khawatir suaminya tidak kuat berjongkok.
"Duduk sini, ini air hangat nya," Bulan menyerahkan gayung.
"Lan... mandi'in, aku nggak kuat." Tara menatap Bulan menghiba.
"Apa?!" Bulan melotot kaget. "Ihh! Yang benar saja Bang, masa di suruh mandi'in, sih!" gerutu Bulan.
"Bulan... please... tanganku nggak kuat memegang gayung," ujar Tara manja.
"Cek! si Abang, ada-ada saja, deh!" Bulan terpaksa menurut.
"Sekarang Abang wudhu dulu pakai air dingin," Bulan membantu Tara wudhu di padasan, setelah membuka lubang kecil untuk pancuran air.
Tara kemudian membuka kaos dan celana hingga tubuhnya polos.
Bulan menutup mata.
"Sudah Lan, buka mata kamu," Tara menyampirkan pakaian di pintu seng.
"Tuh kan, tadi bilangnya tanganya nggak kuat, tapi buka baju bisa," protesnya.
"Lan, cepat mandi'in aku, keburu siang, jangan ngomel-ngomel terus, lagian kita kan suami istri nggak usah malu," oceh Tara.
"Iya" Bulan tidak banyak bicara lagi, kemudian menyiduk air hangat dengan gayung, mengguyur kepala Tara.
Bulan ambil sampoo menggosok kepala Tara, kemudian beralih, ke badan menyabuni. Jangan di tanya, Tara merem melek rasa pusing di kepala sedikit berkurang karena sentuhan-sentuhan lembut tangan lentik Bulan.
Bu Fatimah, selesai shalat bergegas ke kamar mandi ingin segera buang hajat. Tanpa memindai sekeliling Fatimah berjalan cepat.
Greeendeeeng
"Ibuuu..."
Praak
Bulan terlonjak kaget hingga gayungnya terpental jauh.
"Maaf... Ibu tidak tahu kalau ada kalian," Fatimah kembali ke dalam rumah ambil senter untuk penerang kemudian berlalu ke kali.
Sementara di kamar mandi saking malunya ke pergok sang Ibu, Bulan ransanya ingin menutup kepalanya dengan ember.
"Bulan... dingin..." Tara terus merengek. Menyadarkan lamunan Bulan.
"Iya..." Bulan ambil handuk menggosok kepala Tara.
Punya suami orang kota ternyata begini manjanya. Untung ganteng.
*******
"Sekarang Abang tidur lagi, aku bikin bubur dulu buat, Abang," Bulan menyelimuti suaminya setelah Tara selesai shalat subuh kembali tidur di lantai, tapi kali ini di bawah kasur sudah diberi alas terpal oleh Bulan agar sakitnya Tara tidak semakin parah.
"Bulan" Tara menahan tangan Bulan. "Terimakasih..." ucapnya dan hanya di angguki Bulan.
Bulan segera ke dapur mencuci beras kemudian membuat bubur dengan api kecil. Ketika berpapasan dengan bu Fatimah ia menghindar segera ke belakang mencuci pakaian masih malu saat kejadian tadi.
*******
"Bang, sarapan dulu," Bulan membawa mangkok ke kamar meletakkan di samping Tara.
"Suapin," ucap Tara manja. Membuat Bulan gemas.
Bulan segera menyuapi bubur yang hangat hingga habis. "Bang, aku mau daftar ke puskemas dulu" ijin Bulan sambil membersihkan mulut suaminya.
"Bareng saja berangkatnya," usul Tara sambil terpejam.
"Kalau bareng suka antri Bang, kasihan, nanti Abang kelamaan menunggu," ucap Bulan memang benar.
Setelah diberi ijin, Bulan pamit Fatimah sang Ibu, menggoes sepeda menuju puskesmas.
"Tunggu!" wanita berkulit putih, dan bermata sipit, menghentikan langkah Bulan.
"Ada apa, Kak?" Bulan turun dari sepeda mengangguk sopan.
"Kamu kan?! Istrinya Bumantara?!" wanita yang tak lain adalah Keke itu menatapnya tidak suka.
"Iya, kenapa Kak?" tanya Bulan sudah bisa menangkap tatapan sinis wanita di depanya.
"Kamu sudah berani, menikah dengan Bumantara, apakah kamu tahu siapa Dia, sebenarnya?" cecar Keke.
"Saya tidak tahu, tapi siapapun Tara, Dia orang baik," jawab Bulan lugas.
"Hahaha... siap-siap saja! Kamu akan menghadapi ribuan masalah di belakang nanti," Keke tersenyum miring.
"Maaf Kak, jika sudah tidak ada keperluan, saya permisi," Bulan kembali menggoes sepedanya menjauh dari Keke, melanjutkan tujuanya ke puskesmas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!