Rembulan melanjutkan menggoes sepeda meninggalkan Keke yang masih menggerutu kesal.
Di perjalanan, Bulan sempat termakan kata-kata Keke. "Kamu sudah tahu, siapa Tara? Siap-siap saja! Kamu akan menghadapi ribuan masalah di belakang," Walaupun berusaha untuk tidak mempercayai kata-kata Keke, namun kenyataanya memang Bulan belum tahu latarbelakang suaminya.
Sampai puskesmas, Bulan ambil kartu berobat yang biasa ia gunakan, lalu menyodorkan ke loket setelah mendapat nomor antrian, ia kembali pulang.
"Kamu sudah dapat nomor, Bul?" tanya bu Fatimah yang sudah bersiap-siap akan ke ladang. Menggendong bakul yang berisi botol minum bekas air mineral yang warnanya sudah usang saking sering di pakai.
"Sudah Bu, memang Ibu mau nyabut kangkung?" tanya Bulan sebab hari ini ia tidak bisa menjual kangkung ke pasar.
"Tidak Nak, Ibu mau ngoret rumput saja, sudah tinggi tuh, biar besok bisa di tanami lagi."
"Iya Bu, maaf. Hari ini aku nggak bisa bantu Ibu,"
"Jangan pikirkan Ibu, urus saja suami kamu Nak, kasihan Dia, gara-gara keadaan kita seperti ini, suami kamu jadi sakit." Fatimah selalu sedih baru dua hari menjadi menantunya,Tara sudah banyak mengalami masalah.
"Terimakasih Bu," setelah menyenderkan sepeda di tiang rumah panggung, Bulan naik ke atas.
"Oh iya Nak, ngomong-ngomong... bagaimana nanti kamu membawa, Tara ke Puskesmas?"
"Nanti aku sewa motor Udin saja, Bu," Bulan lalu ke kamar setelah di angguki oleh Fatimah.
Bulan membuka gorden melihat suaminya masih meringkuk. Kemudian duduk bertumpu lutut di lantai, tanganya memegang dahi Tara.
"Lan..." Tara menyandak tangan istrinya.
"Masih pusing Bang?" Bulan memandang wajah Tara yang masih memerah.
"Dingin Lan, peluk aku," Tara merengek manja.
Bulan bergeming tentu ia masih malu-malu untuk melalukan itu.
"Abang, mendingan bangun, terus salin baju, Abang dapat antrian no 10," tutur Bulan, lalu berdiri ambil baju di koper milik suaminya yang belum ia susun di lemari.
"Ayo, aku bantu," Bulan membangunkan tubuh Tara hingga duduk.
"Bukain," Tara mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti anak kecil.
Bulan menarik napas panjang lalu membuka kaos Tara hingga menampakkan dada putih suaminya membuatnya terkesima.
Bulan terpaku di tempat menatap dada itu tidak berkedip.
"Heemm..." Tara di perhatikan istrinya merasa ada signal lalu mengalungkan lengan di tengkuk istrinya. Keduanya saling pandang hampir tidak ada jarak.
"Bang... ayo cepat, aku buru-buru mau menyewa motor," Bulan tersadar melepas tangan Tara.
"Ini pakai kaosnya," Bulan melebarkan kaos berwarna hitam.
"Lan... mumpung nggak ada Ibu..." Tara menatap Bulan memelas, burung piaraan Tara segera ingin masuk ke sarang.
"Jangan aneh-aneh deh! Lagi sakit juga!" Bulan langsung memakaikan kaos. Jika tidak, bisa-bisa nanti mandi lagi.
Setelah rapi, Bulan menggandeng tangan Tara menuruni panggung. "Abang tunggu di sini dulu, aku sewa motor di rt sebelah,"
"Sewa motor?" Tara terkejut.
"Iya, kalau bonceng sepeda, kasihan Abang, nanti capek," Bulan berucap sambil berlalu menjalankan sepeda. Hanya lima menit Bulan sampai tujuan.
Bulan sampai di rumah Udin, walaupun kecil tapi sudah di tembok.
"Tok tok tok"
Bulan mengetuk pintu, tapi pemilik rumah bukan muncul dari dalam melainkan dari belakang.
"Mau apa kamu kesini, Bulan?!" sinis Udin. Udin adalah sahabat Rembulan sejak kecil. Pria yang lebih pendek dari Bulan kira-kira 5 cm itu sama sekali tidak mau menatap Rembulan. Komaruddin memendam kekecewaan yang mendalam. Pasalnya, gadis yang dicintai sejak lama tiba-tiba menikah.
"Udin..." Bulan balik badan menatap sahabatnya yang sedang melipat kedua tangan di depan dada.
"Kenapa kamu marah Din? Apa salahku?" Bulan terperangah tidak pernah melihat sahabatnya sampai marah begitu.
"Jangan pura-pura tidak tahu Bulan! Haha... kamu menikah, secepat ini, karena kamu sudah hamil dulu kan?! Iya kan Bulan?!" tuduh Udin sinis, kemudian membuang muka kasar pergi meninggalkan Bulan.
"Udin..." lirih Bulan, tapi sahabatnya sudah menjauh. Hati Bulan sakit sekali, mengapa tega sahabatnya menuduhnya seperti itu.
Bulan menepuk pipinya sendiri, ia pikir ini mimpi, jika tadi wanita sipit yang marah, Bulan tidak perduli, tapi ini sahabatnya sejak kecil. Bulan menangis sedih, kemudian meniggalkan tempat itu.
Ya. Itulah cinta, yang awalnya madu bisa berubah menjadi racun. Udin salah satu pria yang menaruh hati pada Bulan. Akan tetapi Bulan tidak ingin persahabatan mereka di bumbui rasa cinta, karena justru membuatnya terluka jika salah satunya menolak, dan ternyata memang benar adanya.
Bulan kembali pulang tanpa motor justru luka hati yang ia bawa. Tuduhan Udin bak pisau yang menghujam dadanya.
"Lan..." Tara duduk di batu bulat-bulat yang disusun almarhum ayah Bulan dulu, menatap wajah istri nya yang sedang menggeletakan sepeda di tanah.
"Iya Bang, maaf ya, aku nggak dapat pinjaman motor," Bulan menyembunyikan kesedihanya. Menatap Tara sepertinya suaminya semakin parah di lihat dari wajahnya yang merah karena demam.
"Nggak apa-apa Lan, aku bonceng sepeda kamu saja," jawab Tara.
"Abang, yakin?" Bulan khwatir.
"Yakin Lan..." Tara, sebenarnya bisa saja minta tolong Ananta agar memesan taksi, tapi ia ingin berdua dengan istrinya tidak ada yang mengganggu.
"Lan... kamu baik-baik saja?" Tara menangkap hal yang aneh, mata Bulan terlihat habis menangis padahal tadi sebelum berangkat tidak ada masalah.
"Tidak apa-apa Bang, mata aku kelilipan debu," Bulan beralasan.
"Aku saja yang bawa sepedanya Lan," kata Tara ngawur. Mana bisa keadaannya seperti itu hendak menggoes sepeda.
"Cek! Ayo naik," Bulan geleng-geleng kepala. "Pegangan yang kencang."
"Iya," Tara berpegangan pundak Bulan.
Bulan menjalankan sepedanya menuju puskesmas. Setelah sampai, Bulan mendengar absen masih nomer 8 kemudian menunggu.
Tara bersandar di pundak Bulan, menahan kepalanya yang sakit.
"Masih sakit ya Bang?" Bulan perhatian.
"Masih, tapi asal dekat sama kamu begini terus, tanpa harus berobat pasti sembuh," ucap Tara.
"Huh! berlebihan," sungut Bulan.
"Bang... aku mau tanya, apakah sebelum Abang menikahi aku, sudah punya pacar?" selidik Bulan memastikan kata-kata Keke.
Sebenarnya Bulan tidak ingin menanyakan masalah ini sekarang, karena Tara sedang sakit, tapi Bulan tidak tahan.
"Kenapa tanya begitu?" Tara mengangkat kepalanya perlahan dari pundak Bulan.
"Aku takut Bang, jika suatu saat nanti, pernikahan kita ini akan ada masalah, pasalnya. Aku belum pernah tahu keluarga Abang,"
"Rembulan... kan sudah aku bilang, nanti akan aku kenalkan kamu pada orang tua aku," Tara menjelaskan.
"Pradipta Bumantara,"
Panggilan nama Tara, mengakhiri perbincangan mereka. Rembulan mengantar Tara, masuk ke ruang periksa.
"Namanya Pradipta Bumantara? Sepertinya bukan penduduk asli sini ya?" tanya dokter wanita sambil menempelkan stetoskop.
Tara tidak menjawab.
"Memang bukan Dok, suami saya, berasal dari Jakarta," Bulan akhirnya yang menjawab.
Dokter manggut-manggut kemudian menekan-nekan lambung Tara, setelah memeriksa mata.
"Sakit apa suami saya Dok?" Bulan ingin cepat tahu jawabnya.
"Ini hanya demam biasa, semoga cepat sembuh," doa Dokter. Dokter kemudian berjalan ke meja-nya menulis resep dan memeriksa data Tara.
"Usia 22 tahun tapi sudah menikah, kalian menikah muda," Dokter manggut-manggut.
Bulan hanya tersenyum.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
VLav
tara kan anak orkay, sakitnya sakit karena ga biasa hidup ala kadarnya, kebiasaan hidup elit
2022-12-06
1
Maya●●●
aku mmpir kak.
1 iklan mendarat untukmu
2022-11-25
1
fadhila
penyakit adaptasi ya Tara.. karena terbiasa tidur dkasur yg empuk... dan terbiasa hidup enak...☺️☺️
2022-11-25
1