Kreeekkk...booomm," Tara tertegun menatap kerek yang meluncur cepat ke bawah, tapi ujung kerek masih nyangkut di atas.
"Ada apa, Bang?" tanya Bulan datang terengah-engah khawatir suaminya terjadi sesuatu.
"Aku mau ambil air Lan, tapi embernya malah merosot," Tara tampak kebingungan.
"Oh maaf Bang, aku lupa tidak mengisi ember dulu," Rembulan yang tingginya 165 cm itu tidak kesulitan mengait ujung kerek.
Tara hanya memandangi saja.
Bulan kemudian menimba air, mengisi ember yang kosong. Tara memperhatikan istrinya nimba tampak menarik ember terasa berat hatinya mencelos.
Di jaman sekarang ternyata masih ada orang yang menimba air, ****** di luar, bahkan kamar mandi tanpa pintu.
Tara beralih memandangi istrinya tidak berkedip, membayangkan hal yang buruk. Bagaiaman jika istrinya sedang mandi lalu ada yang berbuat kurangajar? "Ya Tuhan..." hati Tara gemuruh pertanyaan bermunculan.
Tara sadar dari lamunan kemudian ingin membantu istrinya
"Sini aku yang nimba," Tara ambil alih kerek, ia kasihan tugas seperti ini harusnya laki-laki yang mengerjakan, bukan wanita seperti istrinya.
"Nanti tangan Abang lecet loh," cegah Bulan.
"Tidak apa-apa Lan. Oh iya Lan, apa kamu setiap hari menimba seperti ini?" tanya Tara menunjuk sumur.
"Iya Bang, kalau bukan aku siapa lagi, Ibu? Aku tidak ngebolehin kalau Ibu sampai nimba," Bulan menggelengkan kepala.
"Lepas tanganmu biar aku yang nimba," paksa Tara.
"Ya sudah, hati-hati ya Bang, aku mau melanjutkan memasak." Rembulan kembali ke dapur.
Pria yang biasanya hanya pegang pulpen, dan laptop itu kini menimba sesekali meniup telapak tangannya yang terasa perih.
*******
Malam harinya Bumantara makan di rumah mertuanya untuk yang pertama kali. Masakan sederhana tidak ada lauk, setidaknya tempe tahu, hanya oseng kacang panjang dan kerupuk.
Tara lagi-lagi terkekejut, ternyata masih banyak orang susah sedangkan ia di kota besar selalu makan enak. Namun begitu, Tara makan dengan lahap. Tara memang belum memberi nafkah, wajar baru menjadi suami Bulan sehari.
"Nak Tara, kok makanya sedikit sekali, maaf ya Nak, Ibu hanya bisa menyediakan makanan seperti ini," bu Fatimah rupanya memperhatikan menantu barunya yang sedang melamun.
"Oh, bu-bukan begitu Bu, makanan ini enak sekali," Tara menjawab gugup.
"Makanan yang sehat itu begini Bang, kami sudah terbiasa vegetarian," potong Bulan asal. Sebenarnya bukan vegetarian tapi memang begini kesehariannya makan hanya pakai sayur, kala-kala makan daging dan ayam saat ada acara.
"Jangan dipikirkan," pungkas Tara menggenggam tangan Bulan.
"Auw" Tara meringis memegang telapak tangan Bulan terlalu kencang.
"Abang kenapa?" sekarang gantian, Bulan yang memegang tangan suaminya lalu mengamati.
"Astagfirlullah... tangan Abang," Bulan terkejut ternyata telapak tangan Tara lecet-lecet dan merah-merah.
"Kenapa?" Fatimah mendekati.
"Lihat tangan Abang Bu," tunjuk Bulan.
Bu Fatimah memelas ketika melihat tangan menantunya. Tara boleh berbohong jika orang tua menantunya itu, hanya seorang pedagang jengkol keliling seperti yang Tara ceritakan, tapi di lihat dari wajah Tara, sudah pasti Tara berdarah biru. Walaupun Tara menyembunyikan siapa dirinya.
"Tidak apa-apa kok Bu," Tara memecah ketegangan.
Selesai makan mereka ngobrol di depan rumah panggung memperhatikan sinar Rembulan.
"Lan, uang ini pegang ya, untuk keperluan kamu," Tara memberikan sejumlah uang berwarna merah.
"Tidak Abang, uang ini untuk keperluan Abang saja, kan aku sudah mendapat maskawin dari Abang untuk keperluan aku," polos Bulan.
"Hehehe..." Tara mencolek hidung mancung istrinya gemas.
"Kalau yang namanya mas kawin itu untuk kamu Bulan, bukan untuk keperluan rumah tangga,"
"Sekarang tolong uang ini kamu pegang, ini nafkah dari aku, baru ini yang aku pegang, lusa aku ke kota lagi ambil ke ATM,"
Bulan memandangi uang yang masih di tanganTara entah berapa jumlahnya, selama ini belum pernah mempunyai uang sebanyak itu. Hasil penjualan sayuran paling Bulan hanya mendapatkan recehan.
"Bulan... kok malah bengong, ayo terima,"
Tara pegang tangan Rembulan kemudian memberikan uang itu ke telapak tangannya.
"Terimakasih Bang, besok aku ke pasar membeli lauk yang enak untuk Abang," kata Bulan lalu memasukkan uang ke dalam kantong.
"Katanya vegetarian," Tara terkekeh di rangkulnya pundak istrinya itu.
"Bang, sebenarnya kamu ini siapa sih?" Bulan bertanya serius.
"Aku Bumantara, lahir 22 tahun yang lalu, kenapa?" Tara mengeratkan pelukanya.
"Iihh... Abang! Aku serius," Bulan cemberut. "Abang pasti bohong kan! Sebenarnya Abang bukan anak tukang jualan jengkol" Bulan ternyata punya pikiran seperti ibunya.
"Tinggal satu bulan lagi tugas kuliah aku selesai, nanti kamu akan tahu," pungkas Tara.
Jam sepuluh malam udara malam di luar begitu dingin, mereka lalu ke kamar melewati kamar Fatimah sudah sepi.
Sampai di kamar Bulan dan Tara segera merebahkan diri di kasur yang sudah usang tempat tidur pun sudah renta.
"Dingin ya" Tara merapat memeluk tubuh istrinya. Jika Tara dingin karena angin malam. Berbeda dengan Rembulan. Ia keringat dingin karena baru pertama kali tidur bersama pria.
Jangankan tidur berdua, Bulan sama sekali belum pernah dekat dengan pria manapun. Bumantara adalah cinta pertama dan kenyataanya langsung menikah, walupun usianya masih 20 tahun masih sangat muda tentunya.
"Kok kamu berkeringat." ucap Tara seraya menyusupkan tanganya ke dada Bulan.
"Bang..." Bulan ingin menyingkirkan tangan suaminya namun kalah kuat dengan tangan Tara yang sedang memilin gundukan.
"Bulan..." Tara sudah tidak tahan menahan hasrat. Malam yang sepi hanya terdengar suara jangkrik di tambah dinginya malam membuat keduanya semakin tenggelam dalam lautan asmara.
"Bang..." Bulan pasrah, membiarkan suaminya menjelahi tempat-tempat sensitif nya merasa melayang ke dunia yang belum pernah ia pijak.
"Boleh ya?"
Bulan tidak bisa berkata-kata hanya mengangguk menggigit bibir bawahnya.
Kret... kret... kret.
Braaakk.
Tempat tidur Rembulan ambruk membuat keduanya yang sudah tanpa sehelai kain pun tersungkur di antara reruntuhan tempat tidur.
"Bulaaann..." panggil bu Fatimah di luar gorden. "Kamu kenapa Nak?" bu Fatimah khawatir beliau pikir Tara menantu yang baru di kenalnya itu melakukan kdrt.
"Tidak apa-apa Bu," jawab keduanya segera menutup tubuhnya dengan selimut.
"Oh gitu..." bu Fatimah segera kembali ke kamar.
Sementara di dalam kamar keduanya terkikik sambil memandangi tempat tidur bagaiamana caranya menyingkirkan kayu-kayu itu.
*********
"Jadi benar? Tara sudah menikah Ta?" tanya Keke kepada Ananta teman kuliah Bumantara yang terobsesi ingin merebut hati Tara. Mereka saat ini sedang ngobrol di salah satu rumah penduduk yang mereka tinggali.
"Iya, tapi awas! Jangan sampai bicara dengan Mama, Papa Tara, biar Tara sendiri yang berbicara pada ortunya," Ananta menekankan.
Keke kemudian pergi ke kamarnya rasa kecewa, marah, kesal memenuhi ruang hatinya. Pria yang dicintai sejak SMA telah menikah hati Keke merasa di khianati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
auliasiamatir
langsung subscribe pokonya keren
2023-01-23
0
auliasiamatir
part ini boleh ngakak ngak kak
2023-01-23
0
Nurasiah Marpaung
semoga rembulan bahagia sama suaminya
2023-01-08
2