A Glass Of Soju

A Glass Of Soju

Satu.

Ditengah-tengah kesibukan sebagai seorang manajer keuangan dari salah satu bank swasta, aku masih bisa menyempatkan waktu — tepat di jam makan siang, untuk datang ke sebuah restoran dan menemui pacar kesayangan yang sudah hampir dua tahun menjalin hubungan denganku.

Dalam balutan busana formal, aku mulai memasuki sebuah restoran gaya Western dan mendapati pacar kesayanganku sedang menunggu di salah satu meja. Aku rasa dia sudah menunggu cukup lama. Hanya karena seorang nasabah yang tak ada habisnya memberikan protes, aku harus membuat pria kesayanganku itu menunggu terlalu lama.

Aku datang mendekatinya, sambil tak ragu untuk menyentuh bahunya dan tersenyum dengan penuh rasa menyesal. Sungguh jika bisa datang lebih cepat, aku pasti akan melakukannya. Setiap kali kita bertemu untuk makan siang, selalu saja diriku yang terlambat. Sering merasa bersalah. Sering juga meminta maaf. Sering juga mengulang kesalahan yang sama. Aku harap kekasihku itu masih bisa untuk memakluminya.

"Maaf!" Aku mengatakan hal itu terlebih dahulu, lalu menempatkan diri pada sebuah kursi persis berhadapan dengan pacarku.

"Tidak bisakah kamu lebih tepat waktu?" Katanya sambil pandangan tertuju ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Dengan perasaan bersalah yang terus meradang dalam diri ini, aku kembali mengucapkan permintaan maaf. Tidak ada kalimat lain yang menurutku pantas terucap. Permintaan maaf adalah satu-satunya hal yang mungkin bisa untuk meredakan rasa kesal dan kecewa dari pacarku.

"Aku benar-benar minta maaf. Tidak ada maksud untuk membuat kamu menunggu terlalu lama," ucapku masih diikuti dengan senyuman penyesalan.

"Apa hari ini kamu sibuk lagi?" Tanyanya dengan tatapan menelisik ingin tahu.

"Benar. Hari ini aku kedatangan salah seorang nasabah yang harus diurus. Itulah penyebab yang membuatku datang terlambat," jawabku mencoba mencari pembelaan untuk diri sendiri.

Seakan enggan mendengar penjelasan apapun dariku, dia membuat helaan napas berat sambil tangannya melambai bermaksud untuk memanggil pelayan dari restoran ini. Tak memiliki banyak waktu, kita berdua harus segera membuat pesanan.

Salah seorang pelayan restoran pun datang menghampiri meja kami. Sebuah buku yang memuat semua menu pun sudah berada di tanganku serta kekasihku. Rasanya sekarang kami sudah siap memilih menu makanan untuk dipesan.

"Silahkan tuan, nona," kata si pelayan yang telah siap untuk mencatat.

Pada saat diriku masih sibuk melihat seluruh menu yang ada, secara tiba-tiba suara deringan telepon terdengar. Itu bukan berasal dari ponsel milikku, karena memang sejak datang kemari, aku sengaja tidak mengaktifkan telepon genggam. Bukan tanpa sebab, hanya saja aku terlalu takut untuk mendapatkan panggilan soal perusahaan.

Saat mendengar suara deringan ponsel yang masih begitu jelas memasuki telinga, orang pertama yang langsung aku tatap adalah pria pemilik nama Damar itu. Aku yakin kalau ponsel yang berdering berasal dari kekasih kesayanganku.

"Sayang? Ponsel kamu bunyi," kataku ketika pria itu tak kunjung untuk menjawab panggilannya.

Aku tahu kalau pacarku itu sudah tahu dan mendengar soal suara ponsel berdering, tapi dia sengaja mengabaikannya. Aku juga tak bisa mengerti, setelah ku beritahu soal ponsel berdering, pria yang masih berada di hadapanku ini langsung saja pergi untuk menjawab panggilan. Kalau memang niatnya mau dijawab, kenapa harus pakai acara mengabaikan?

Tahu kalau salah satu dari kami tiba-tiba pergi meninggalkan tempat, pelayan dari restoran ini pun mulai mencoba untuk bertanya kembali soal keseriusan kami dalam memesan makanan.

"Apa yang ingin nona pesan?" Tanya pelayan itu dan tentu saja aku jawab.

"Untuk sekarang saya pesan sirloin steak, minta yang medium, ditambah dengan blue ocean sebagai minumannya."

"Baik. Apa nona tidak ingin memesan red wine juga sebagai pelengkap?" Tanya pelayan itu sambil tangannya terus bergerak untuk menulis di atas kertas pesanan.

"Saya tidak minum anggur di siang bolong seperti ini," kataku dengan jelas menolak soal red wine.

Setelah berhasil mendapatkan pesanan dariku, pelayan itu pun mulai mengambil kembali buku pesanan yang aku pegang, lalu melangkahkan kakinya pergi menuju ke arah dapur.

Sekarang ini yang bisa aku lakukan, hanyalah menunggu Damar kembali dan juga makanan yang aku pesan selesai dibuat. Menunggu sendirian dan hanya bisa menatap pemandangan yang ada di luar jendela restoran ini, benar-benar terkesan sedikit membosankan.

.

.

.

Sekiranya aku butuh waktu sepuluh menit sampai pada akhirnya kekasih ku itu kembali ke meja dan selesai untuk berbincang di telepon. Entah apa yang terjadi, tapi aku bisa dengan jelas melihat raut wajah khawatir.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu yang buruk?" Tanyaku tanpa ingin terlalu lama merasakan penasaran.

"Aku tidak tahu apa harus mengatakan hal ini sama kamu, tapi yang jelas sekarang aku harus segera pergi," katanya secara tiba-tiba dan sama sekali belum bisa aku temukan alasannya.

"Kenapa pergi? Kamu saja belum memesan dan kita juga belum makan apapun disini," aku berusaha untuk mencegahnya pergi. Hanya karena enggan makan sendirian.

"Ibuku kecelakaan dan sekarang sedang ada di rumah sakit," ujarnya yang bisa membuat diriku terkejut bukan main. Sekarang aku tahu alasan kenapa pacar ku itu kelihatan begitu khawatir.

"Kalau begitu, kamu memang harus segera pergi," kataku yang juga sudah bersiap untuk ikut.

"Kamu mau ngapain?"

"Ikut kamu ke rumah sakit," aku kini telah menjinjing kembali tas hitam yang berisi barang-barang pribadi milikku.

"Tidak perlu. Aku sendiri saja yang mengurusnya. Bukankah kamu juga tidak bisa terlalu lama meninggalkan pekerjaan?" Dia melarang ku untuk ikut pergi ke rumah sakit.

"Aku bisa minta izin," aku memaksa untuk ikut, tapi yang terjadi malahan pergelangan tanganku di cengkram kuat olehnya.

"Gak perlu. Biar aku sendiri yang ke rumah sakit."

"Tapi—" belum mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan kalimat, kekasihku itu sudah lebih dahulu menyela.

"Kalau kamu memang khawatir dan mempedulikan kondisi ibuku, bisakah kamu pinjamkan aku kartu kredit? Bukan bermaksud untuk kurang ajar, hanya saja aku butuh biaya rumah sakit," timpal Damar — nama kekasihku, yang tak ragu ingin meminjam kartu kredit milikku.

Karena pikiran dan perasaanku sudah dipenuhi oleh kekhawatiran akan kondisi dari ibunda Damar, tanpa pakai berpikir panjang, aku dengan mudahnya memberikan kartu kredit ku pada pria itu.

"Aku ikut ya?" Aku berusaha keras untuk mendapatkan izin darinya, tapi penolakan terus saja ku dapatkan.

"Tidak perlu. Aku tidak ingin kamu menyulitkan diri sendiri hanya karena kondisi ibuku."

Sebelum pergi, pacar kesayangan ku itu tak segan untuk memberikan sebuah kecupan hangat pada dahi ku. Dia juga berpamitan dengan benar kepada diriku.

"Kalau terjadi sesuatu, aku pasti akan memberikan kabar,"

"Kamu tetap bekerja. Jangan tinggalkan pekerjaan! Aku melarang hanya karena tak ingin membuatmu repot dan mendapatkan masalah," tukas pacarku yang kemudian mulai melenggang pergi dari hadapan ku yang masih berdiri dengan kaku sambil pandangan terus menatap ke arahnya yang makin lama mulai menghilang dari pandangan.

Aku ditinggalkan sendiri bersama makanan pesanan yang baru saja jadi. Hal yang paling tidak ku inginkan, akhirnya mau tidak mau harus terjadi juga. Makan sendirian, aku sudah menjalaninya selama bertahun-tahun. Aku paling benci dengan namanya kesepian saat sedang berada di meja makan.

"Pesanannya nona," kata pelayan sambil menyajikan makanan sesuai dengan apa yang aku pesan.

"Terima kasih."

Bersambung...

Terpopuler

Comments

yanti auliamom

yanti auliamom

jejak...
semangat Author 🔥🔥🔥

2022-10-19

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!