Empat.

Dikarenakan aku tidak ada niatan untuk membuat pria asing itu repot, aku yang awalnya berniat untuk minum segelas soju di warung tenda sampai mabuk, memutuskan agar tetap mengontrol kesadaran.

Setelah berbincang sambil minum sampai begitu larut, kami memutuskan untuk berpisah. Waktu tak mengizinkan kami, mengingat di esok pagi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Dengan kesadaran yang masih bisa mengenali semuanya, aku tanpa ragu menundukkan kepala, membentuk sudut 90 derajat, di hadapan laki-laki yang tadi menjadi teman minum ku. Bukan tanpa sebab, tapi ini adalah caraku berpamitan dengan dirinya.

"Terima kasih karena sudah mau minum dengan ku," ujar ku yang kemudian mendapatkan senyuman manis dari laki-laki itu.

Tak ingin membuang terlalu banyak waktu untuk berbasa-basi, setelah mengatakan itu aku pun bergegas pergi dari depan warung tenda. Belum terlalu jauh melangkahkan kaki, laki-laki tadi memanggil dengan nama. Bagaimana ia bisa tahu? Sejak tadi berbincang, diantara kita sama sekali tak ada perkenalan diri.

"Oh? Kamu tahu nama aku?" Tanyaku langsung ketika dia sudah kembali berada di hadapan diri ini.

"Sepertinya kamu lupa melepas id card yang ada di pakaian," katanya dan berhasil membuat diriku tersadar akan kartu kepegawaian yang ternyata masih tergantung di leher.

"Ah... Aku memang terlalu terburu-buru, sampai lupa melepaskannya," setelah diberitahu hal itu, aku bergegas melepaskan kartu identitas kepegawaian.

"Kenapa memanggilku? Ada apa?" Aku melemparkan pertanyaan yang harus dijawab oleh laki-laki itu.

Sambil membuat senyuman lebar di wajahnya, laki-laki itu pun tanpa ragu mengulurkan tangannya. Tak lama, ia langsung memperkenalkan diri dengan menyebut nama. Apakah ia sedang mengajak diriku berkenalan?

"Riko. Namaku Riko," ujarnya dengan tatapan penuh harap kalau aku mau meraih uluran tangannya.

Aku yang memang sedari awal juga ingin berkenalan dengan laki-laki itu pun tanpa ragu untuk menjabat tangannya.

"Senang berkenalan dengan kamu. Seperti yang kamu tahu, nama aku Mika," kataku sebagai sesuatu yang formal saja.

Setelah dirasa perkenalannya cukup, aku pun bergegas untuk melepaskan jabatan tangan ini. Masih sambil tersenyum malu, tanpa mengatakan apa-apa, aku langsung melenggang pergi begitu saja dari hadapannya. Ada apa dengan diriku? Kenapa gelagat ku kelihatan seperti seseorang yang sedang jatuh cinta?

Aku melangkahkan kaki perlahan-lahan menjauh dari Riko yang mungkin sekarang juga sudah pergi meninggalkan tempatnya. Kini aku sedang dalam perjalanan menuju halte bus terdekat. Dengan keadaan ku sekarang, akan jauh lebih baik kalau menggunakan jasa transportasi umum.

.

.

.

Sebuah bus antar kota akhirnya tiba juga. Aku yang sudah menunggunya selama hampir lima belas menit pun bergegas untuk masuk. Menggunakan kartu transportasi sebagai media pembayaran, kemudian segera mencari tempat duduk kosong. Yang ada di dekat jendela selalu menjadi incaran ku.

Setelah menempatkan diri dengan nyaman, aku pun mulai membuka jendela yang ada di sampingku, membiarkan angin malam masuk, hanya agar membantu diriku untuk bisa tetap sadar.

"Segar sekali rasanya," tutur ku sembari terus menikmati udara malam hari yang rasanya begitu menyejukkan, bukan dingin.

Pada saat aku sedang berada di perjalanan pulang dengan menggunakan transportasi umum, secara tiba-tiba ponsel yang ada di saku baju seragam milikku berdering. Aku mendapatkan panggilan yang sepertinya harus segera dijawab.

Terkejut, itulah yang terlukis pada ekspresi wajah ku ketika melihat notifikasi panggilan yang ternyata berasal dari Damar. Mantan kekasih ku menelepon, entah apa tujuannya, tapi memang harus ku tolak.

Panggilan itu terus ku tolak dan dia tetap bersikeras untuk menghubungi. Aku yang sudah merasa risih dan kesal pun mau tak mau harus menjawab panggilan darinya. Hanya berbincang sejenak, sepertinya tidak akan jadi masalah.

"Kenapa?" Tanyaku dengan nada bicara yang kedengaran begitu ketus.

"Aku pikir panggilan dari ku tak akan kamu jawab," jawab Damar di balik panggilan ini dan kedengaran seperti sebuah basa-basi.

"Bisa langsung ke inti dan tujuan kamu menghubungi ku? Kalau hanya ingin berbasa-basi, aku akan langsung mengakhiri panggilan ini," ujar ku merasa enggan untuk terlalu lama terhubung dalam panggilan.

"Baik, baik. Aku menghubungi hanya karena ingin memberitahu. Sekarang aku sudah ada di depan lobby dari apartemen mu. Aku ingin bertemu untuk membahas sesuatu yang penting. Apa bisa?" Kata Damar menyampaikan maksud dan tujuan dari panggilan ini.

"Tidak langsung membahasnya disini? Kenapa harus bertemu? Kamu tahu kan kalau aku sudah begitu malas melihat wajah orang pengkhianat?"

"Aku butuh bertemu denganmu. Hal yang ingin aku bicarakan bukan sekedar sesuatu yang bisa dibahas lewat telepon," kata Damar memaksa untuk sebuah pertemuan.

Karena sudah muak dengan paksaan seperti ini, tanpa memberikan tanggapan apapun, secara sepihak aku langsung mengakhiri panggilannya. Rasanya setiap mendengar suara dari Damar, aku malah bisa semakin teringat akan pengkhianatan yang dibuat olehnya. Bisa-bisanya dia berselingkuh dengan perempuan lain? Disaat aku begitu mengharapkan untuk bisa dinikahinya.

.

.

.

Setelah menempuh perjalanan pulang yang terbilang cukup singkat, bus kota yang aku tumpangi akhirnya bisa berhenti juga di sebuah halte paling dekat dari lokasi gedung apartemen — tempatku tinggal.

Aku sangat berharap untuk bisa pulang dan langsung beristirahat, tapi sayangnya sesaat setelah turun, kehadiran ku ini sudah disambut oleh Damar. Sepertinya dia memang begitu keras kepala untuk menunggu kepulangan ku. Padahal sudah jelas, aku tadi mengakhiri panggilan terlebih dahulu dan ini bisa diartikan kalau aku memang sudah tak ingin untuk berbicara dengannya.

Dengan raut wajah yang tampak malas, aku pun berusaha untuk berpura-pura tak melihat sosok Damar, padahal jelas sekarang ini dia ada tepat di hadapan ku. Sungguh aku sedang tidak terlalu ingin menanggapinya.

"Mika?"

Dia memanggil namaku dan berhasil meraih pergelangan tangan ini. Dia benar-benar menghentikan langkah ku, seakan tak memberikan izin bagiku untuk pergi sebelum mendengar apa yang ingin dikatakan.

Aku yang merasa sudah tak bisa pergi lagi pun langsung menghela napas berat. Sepertinya keputusan memang harus aku ambil sekarang.

"Lima menit. Aku hanya akan memberimu waktu lima menit untuk berbicara. Setelah itu berakhir, jangan pernah lagi berusaha menghubungi diriku!" Kataku dengan tegas.

"Baik. Terima kasih."

"Jadi, kenapa? Katakan mau mu dengan cepat!" Desak ku yang sudah memasang penanda waktu selama lima menit.

"Bisakah kamu memberikan apartemen yang sempat kita bayar bersama, kepadaku?" Kata Damar seperti seseorang yang tidak tahu malu. Ketika mendengar hal memalukan itu keluar dari mulutnya, kata-kata umpatan mulai berbaris rapi di dalam pikiran.

"Bukankah untuk uang muka apartemen itu, aku yang bayar? Ini berarti aku berhak untuk meminta darimu," sambung mantan pacarku.

Aku terlalu bingung kepada diriku. Kenapa bisa aku pernah memiliki hubungan dengan pria yang tak tahu malu seperti Damar? Bagaimana bisa ia meminta apartemen yang sudah jelas-jelas hampir sebagian besar cicilan, aku yang membayar. Untuk apartemen itu, dia hanya menaruh uang muka sebanyak 30 persen dari harganya. Tetap saja kalau dihitung, masih banyak cicilan yang aku keluarkan untuk melunasi apartemen itu.

"Apa kamu sedang mabuk?" Tanyaku dengan sinis.

"Tidak. Aku mengatakan ini dalam keadaan sadar," jawabnya.

"Mika?" Dia memanggil.

"Sebentar lagi aku akan menikah dan memiliki anak. Aku hanya ingin mendapatkan sebuah hunian yang layak untuk mereka berdua," kata Damar kedengaran sedikit memelas.

"Aku yang membayar uang muka untuk apartemen itu. Tidak bisakah kamu pindah dari sana? Aku tahu kalau kamu sanggup membeli apartemen lainnya."

Merasa sudah cukup untuk mendengarkan segala omong kosong yang keluar dari mulut Damar, aku pun bergegas meminta agar laki-laki itu pergi dari hadapan ku.

"Enyah dari hadapanku sekarang. Sebelum aku menggunakan kekerasan untuk mengusir mu," aku masih meminta baik-baik, menahan amarah tapi, terlalu sulit untuk terus dilakukan.

"Aku akan pergi setelah kamu menyerahkan kunci apartemennya," kata Damar.

"YA!!!" Aku mulai berteriak kesal.

"Uang muka yang kamu pakai untuk membayar apartemen itu, jumlahnya hampir sama dengan utang yang kamu miliki kepadaku,"

"Untuk lebih mempermudah urusan diantara kita. Aku akan menganggap lunas hutang itu dan aku harap kamu bisa berhenti menginginkan apartemen yang memang bukan punya mu. Tidak ingatkah kalau pembelian apartemen itu atas namaku? Kamu sendiri yang enggan untuk menggunakan nama mu, karena takut tak bisa membayar cicilannya,"

"Sekarang setelah apartemen itu lunas, kamu meminta aku pindah dan mencari tempat tinggal lain?"

"Sepertinya memang kamu butuh pergi ke dokter kejiwaan. Ada bagian dari otak kamu yang mungkin sudah tidak terpasang dengan baik atau menghilang," tukas ku mengungkapkan segala kekesalan yang ada.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!