Lima.

Kesal, itulah yang langsung aku dapatkan ketika melihat banyak sekali kertas memo yang menempel di hampir seluruh barang yang ada pada apartemen ini. Tak perlu bertanya-tanya ataupun menebak siapa pelakunya, karena aku sudah bisa langsung tahu ketika membaca tulisan yang tertera pada kertas memo itu.

Awalnya memang benar, unit apartemen ini kami beli untuk kepentingan bersama. Hubungan yang memang sudah terjalin lama, tentu saja sangat ingin sampai pada jenjang yang lebih serius. Aku pikir menyiapkan tempat tinggal sebelum pernikahan terjadi akan menjadi rencana yang baik, tapi anehnya itu malah menjadi sebuah masalah.

Lihatlah yang terjadi sekarang, setelah diantara aku dan Damar memilih untuk berjalan secara terpisah, ia mulai mengungkit semua hal yang berhubungan dengan harga benda. Menurutku apa yang dilakukan oleh Damar ini sangat tidak tahu malu. Kenapa? Karena sebenarnya seluruh barang yang ada di apartemen ini adalah kepunyaan ku bukan dia. Bahkan unit apartemen ini, seluruh biaya cicilan aku yang menanggung. Damar hanya mengeluarkan uang untuk membayar uang muka. Hanya itu yang dikeluarkan, tapi meminta lebih.

Dengan perasaan kesal, aku mulai mencoba untuk melepaskan semua kertas memo yang menempel pada setiap benda. Mencoba membersihkan apa yang dirasa menganggu. Setelah hampir selesai, aku harus dikejutkan oleh suara bel apartemen yang berbunyi. Hari sudah larut dan kenapa masih bisa ada tamu di jam seperti ini.

Memiliki firasat kurang baik, aku pun memilih untuk tidak main asal membukakan pintu. Terlebih dahulu ku intip dari lubang kecil yang ada pada pada pintu. Saat melakukannya, aku sama sekali tidak bisa mendapatkan apapun. Tak kelihatan siapa gerangan yang sekarang ini sedang berdiri di depan pintu apartemen.

Dikarenakan rasa penasaran mulai menyerang diri ini, aku pun mau tak mau tetap berusaha mencari tahu. Kali ini dengan sedikit keberanian yang mulai muncul, aku membuka pintu itu. Barulah aku bisa mendapati sosok Damar yang terlihat berdiri sambil menunjukan senyumannya.

Melihat ada sosok laki-laki yang kini sudah menjadi mantan kekasih, aku pun langsung memutarkan mata malas, kemudian lebih memilih untuk segera menutup pintu lagi. Entah mengapa rasanya begitu malas menanggapi laki-laki itu.

Aku menutup pintu tepat di depan mukanya, lalu melangkah masuk kembali untuk melanjutkan pekerjaan pembersihan sisa kartu memo. Namun, tanpa terduga aku kembali mendengar suara pintu yang terbuka dan saat menoleh, aku mendapati sosok Damar yang sudah berada di dalam dari apartemen ini. Sekarang aku semakin dibuat yakin, ternyata orang yang dengan niat menempelkan kartu memo tidak lain dan tidak bukan adalah Damar — mantan kekasih yang sekarang masih terus mengganggu.

"Sudah aku duga, sepertinya aku memang harus mengganti password pintu apartemen ini," kata ku dengan senyuman tipis.

"Kenapa dilepas?" Tanya Damar yang melihat semua tempelan kartu memo perlahan-lahan mulai menghilang dari tempatnya.

"Karena merasa tak diperlukan. Hanya mengotori ruangan dan benda saja," tutur ku tanpa ragu.

"Tapi semua kertas memo yang kamu lepas itu sangat diperlukan. Itu semua untuk mengetahui mana saja barang yang menjadi milikku," ucap Damar tak setuju akan hal yang sedang aku lakukan ini.

Enggan menanggapi hal itu, daripada nanti ujungnya adalah sebuah pertengkaran, aku lebih suka untuk meminta Damar pergi. Akan jauh lebih damai kalau laki-laki itu tak menunjukan dirinya.

"Tidak bisakah kamu pergi saja?" Pintaku dengan jelas, tapi sayangnya tak terlalu mudah untuk dituruti oleh laki-laki itu.

"Kamu mengusirku? Bukankah yang seharusnya keluar dari sini itu kamu?" Kata Damar yang memang sudah memutus urat malu nya.

"Kenapa aku yang harus keluar? Ini adalah apartemen milikku. Aku yang membayar cicilannya sampai lunas," perdebatan kembali terjadi diantara kami berdua. Ternyata selain menyakitkan karena harus meninggalkan sebuah luka, perpisahan juga sangat menyulitkan. Lihat saja yang terjadi sekarang, bukannya langsung pergi, Damar lebih ingin datang untuk merebut hal yang memang bukan menjadi miliknya.

"Tapi, aku yang membayar uang muka nya," Damar enggan untuk mengalah.

"Kamu juga meminjam uang 80 juta dari ku. Itu bahkan setara dengan jumlah uang yang kamu pakai untuk membayar uang muka untuk unit apartemen ini," kataku dengan urat leher yang kelihatan sudah tertarik.

Mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri untuk tidak semakin larut dalam amarah dan membuat keributan yang bisa menganggu kenyamanan dari penghuni apartemen lain, aku pun mulai menemukan cara yang bisa membuat Damar pergi dari sini.

"Keluar sekarang! Kalau tidak aku akan menghubungi polisi dan melaporkan mu atas tuduhan masuk ke tempat tinggal orang lain tanpa izin," ancam ku kedengaran begitu tegas dan bersungguh-sungguh.

"Memangnya kamu bisa melakukannya? Jangan mencoba mengancam diriku dengan hal klasik seperti itu!" Kata Damar yang sama sekali tidak mempercayai soal ancaman yang baru saja keluar dari mulutku.

Karena belum ada tanda-tanda kalau Damar akan pergi dari apartemen ini, aku pun tanpa ragu langsung meraih ponsel yang ada di saku celanaku dan bergegas untuk menekan 119. Apa ini kelihatan terlalu berlebihan? Bukankah kalau merasa terancam, kita bisa melaporkan kepada polisi?

"Aku bersungguh-sungguh. Pergi sekarang juga kalau kamu tak ingin berakhir di kantor polisi!" Decak ku seakan memberikan kesempatan terakhir sebelum berangkat menghubungi polisi.

Damar yang memang selalu mempedulikan citranya pun langsung bergegas keluar dari apartemen ini. Dia melangkahkan kakinya pergi dalam balutan perasaan kesal serta kecewa karena tak bisa mendapatkan hal yang diinginkan.

Tak berselang lama setelah kepergian Damar, aku bergegas untuk menghalangi pintu dengan menggunakan kursi. Bukan tanpa sebab, hanya saja aku masih takut kalau laki-laki itu kembali. Untuk mengubah kata sandi pintu, aku juga masih harus menunggu matahari muncul.

Dalam perasaan yang masih waspada, aku pun mulai menempatkan diriku, berbaring pada sofa empuk yang ada pada ruang tamu dari unit apartemen ini. Untuk malam ini, aku akan tidur di sofa sambil berjaga. Mengantisipasi kalau Damar tiba-tiba kembali dan membuat kekacauan.

.

.

.

Tepat sebelum pukul tujuh pagi, alarm yang sengaja aku pasang dari ponsel mulai berbunyi dengan cukup keras. Aku yang sebenarnya masih berada di alam mimpi, perlahan-lahan mulai terbangun dari tidur. Suara alarm yang aku pasang itu benar-benar berhasil membuat diri ini terbangun dari tidur panjang yang bisa dibilang tak terlalu nyenyak.

Ketika kedua mataku sudah terbuka, dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, hal pertama yang langsung aku lihat adalah pintu masuk dari apartemen ini. Aku memastikan kalau kursi yang digunakan sebagai pengganjal itu masih berada di tempatnya. Setelah mendapati kalau semua masih tampak sama, aku mulai bisa menghela napas lega. Rupanya mantan kekasih ku memang sudah benar-benar pergi dari sini.

"Damar berhasil membuatku waspada semalaman," gumam ku seorang diri.

"Kenapa aku bisa berkencan dengan sosok laki-laki seperti dia?"

"Sepertinya untuk kali ini aku memang sudah salah dalam memilih," tukas ku yang kemudian bangun dari sofa dan bergegas menuju ke kamar mandi.

Dikarenakan waktu terus memburu, aku sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menyesali apapun yang sedang terjadi. Bukan tanpa sebab, hanya saja sekarang aku harus segera bersiap-siap. Sebelum pukul delapan tepat, diri ini sudah harus berada di tempat kerja. Tak boleh sampai terlambat jika tak ingin mendapatkan sanksi dari atasan.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!