NovelToon NovelToon

A Glass Of Soju

Satu.

Ditengah-tengah kesibukan sebagai seorang manajer keuangan dari salah satu bank swasta, aku masih bisa menyempatkan waktu — tepat di jam makan siang, untuk datang ke sebuah restoran dan menemui pacar kesayangan yang sudah hampir dua tahun menjalin hubungan denganku.

Dalam balutan busana formal, aku mulai memasuki sebuah restoran gaya Western dan mendapati pacar kesayanganku sedang menunggu di salah satu meja. Aku rasa dia sudah menunggu cukup lama. Hanya karena seorang nasabah yang tak ada habisnya memberikan protes, aku harus membuat pria kesayanganku itu menunggu terlalu lama.

Aku datang mendekatinya, sambil tak ragu untuk menyentuh bahunya dan tersenyum dengan penuh rasa menyesal. Sungguh jika bisa datang lebih cepat, aku pasti akan melakukannya. Setiap kali kita bertemu untuk makan siang, selalu saja diriku yang terlambat. Sering merasa bersalah. Sering juga meminta maaf. Sering juga mengulang kesalahan yang sama. Aku harap kekasihku itu masih bisa untuk memakluminya.

"Maaf!" Aku mengatakan hal itu terlebih dahulu, lalu menempatkan diri pada sebuah kursi persis berhadapan dengan pacarku.

"Tidak bisakah kamu lebih tepat waktu?" Katanya sambil pandangan tertuju ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Dengan perasaan bersalah yang terus meradang dalam diri ini, aku kembali mengucapkan permintaan maaf. Tidak ada kalimat lain yang menurutku pantas terucap. Permintaan maaf adalah satu-satunya hal yang mungkin bisa untuk meredakan rasa kesal dan kecewa dari pacarku.

"Aku benar-benar minta maaf. Tidak ada maksud untuk membuat kamu menunggu terlalu lama," ucapku masih diikuti dengan senyuman penyesalan.

"Apa hari ini kamu sibuk lagi?" Tanyanya dengan tatapan menelisik ingin tahu.

"Benar. Hari ini aku kedatangan salah seorang nasabah yang harus diurus. Itulah penyebab yang membuatku datang terlambat," jawabku mencoba mencari pembelaan untuk diri sendiri.

Seakan enggan mendengar penjelasan apapun dariku, dia membuat helaan napas berat sambil tangannya melambai bermaksud untuk memanggil pelayan dari restoran ini. Tak memiliki banyak waktu, kita berdua harus segera membuat pesanan.

Salah seorang pelayan restoran pun datang menghampiri meja kami. Sebuah buku yang memuat semua menu pun sudah berada di tanganku serta kekasihku. Rasanya sekarang kami sudah siap memilih menu makanan untuk dipesan.

"Silahkan tuan, nona," kata si pelayan yang telah siap untuk mencatat.

Pada saat diriku masih sibuk melihat seluruh menu yang ada, secara tiba-tiba suara deringan telepon terdengar. Itu bukan berasal dari ponsel milikku, karena memang sejak datang kemari, aku sengaja tidak mengaktifkan telepon genggam. Bukan tanpa sebab, hanya saja aku terlalu takut untuk mendapatkan panggilan soal perusahaan.

Saat mendengar suara deringan ponsel yang masih begitu jelas memasuki telinga, orang pertama yang langsung aku tatap adalah pria pemilik nama Damar itu. Aku yakin kalau ponsel yang berdering berasal dari kekasih kesayanganku.

"Sayang? Ponsel kamu bunyi," kataku ketika pria itu tak kunjung untuk menjawab panggilannya.

Aku tahu kalau pacarku itu sudah tahu dan mendengar soal suara ponsel berdering, tapi dia sengaja mengabaikannya. Aku juga tak bisa mengerti, setelah ku beritahu soal ponsel berdering, pria yang masih berada di hadapanku ini langsung saja pergi untuk menjawab panggilan. Kalau memang niatnya mau dijawab, kenapa harus pakai acara mengabaikan?

Tahu kalau salah satu dari kami tiba-tiba pergi meninggalkan tempat, pelayan dari restoran ini pun mulai mencoba untuk bertanya kembali soal keseriusan kami dalam memesan makanan.

"Apa yang ingin nona pesan?" Tanya pelayan itu dan tentu saja aku jawab.

"Untuk sekarang saya pesan sirloin steak, minta yang medium, ditambah dengan blue ocean sebagai minumannya."

"Baik. Apa nona tidak ingin memesan red wine juga sebagai pelengkap?" Tanya pelayan itu sambil tangannya terus bergerak untuk menulis di atas kertas pesanan.

"Saya tidak minum anggur di siang bolong seperti ini," kataku dengan jelas menolak soal red wine.

Setelah berhasil mendapatkan pesanan dariku, pelayan itu pun mulai mengambil kembali buku pesanan yang aku pegang, lalu melangkahkan kakinya pergi menuju ke arah dapur.

Sekarang ini yang bisa aku lakukan, hanyalah menunggu Damar kembali dan juga makanan yang aku pesan selesai dibuat. Menunggu sendirian dan hanya bisa menatap pemandangan yang ada di luar jendela restoran ini, benar-benar terkesan sedikit membosankan.

.

.

.

Sekiranya aku butuh waktu sepuluh menit sampai pada akhirnya kekasih ku itu kembali ke meja dan selesai untuk berbincang di telepon. Entah apa yang terjadi, tapi aku bisa dengan jelas melihat raut wajah khawatir.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu yang buruk?" Tanyaku tanpa ingin terlalu lama merasakan penasaran.

"Aku tidak tahu apa harus mengatakan hal ini sama kamu, tapi yang jelas sekarang aku harus segera pergi," katanya secara tiba-tiba dan sama sekali belum bisa aku temukan alasannya.

"Kenapa pergi? Kamu saja belum memesan dan kita juga belum makan apapun disini," aku berusaha untuk mencegahnya pergi. Hanya karena enggan makan sendirian.

"Ibuku kecelakaan dan sekarang sedang ada di rumah sakit," ujarnya yang bisa membuat diriku terkejut bukan main. Sekarang aku tahu alasan kenapa pacar ku itu kelihatan begitu khawatir.

"Kalau begitu, kamu memang harus segera pergi," kataku yang juga sudah bersiap untuk ikut.

"Kamu mau ngapain?"

"Ikut kamu ke rumah sakit," aku kini telah menjinjing kembali tas hitam yang berisi barang-barang pribadi milikku.

"Tidak perlu. Aku sendiri saja yang mengurusnya. Bukankah kamu juga tidak bisa terlalu lama meninggalkan pekerjaan?" Dia melarang ku untuk ikut pergi ke rumah sakit.

"Aku bisa minta izin," aku memaksa untuk ikut, tapi yang terjadi malahan pergelangan tanganku di cengkram kuat olehnya.

"Gak perlu. Biar aku sendiri yang ke rumah sakit."

"Tapi—" belum mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan kalimat, kekasihku itu sudah lebih dahulu menyela.

"Kalau kamu memang khawatir dan mempedulikan kondisi ibuku, bisakah kamu pinjamkan aku kartu kredit? Bukan bermaksud untuk kurang ajar, hanya saja aku butuh biaya rumah sakit," timpal Damar — nama kekasihku, yang tak ragu ingin meminjam kartu kredit milikku.

Karena pikiran dan perasaanku sudah dipenuhi oleh kekhawatiran akan kondisi dari ibunda Damar, tanpa pakai berpikir panjang, aku dengan mudahnya memberikan kartu kredit ku pada pria itu.

"Aku ikut ya?" Aku berusaha keras untuk mendapatkan izin darinya, tapi penolakan terus saja ku dapatkan.

"Tidak perlu. Aku tidak ingin kamu menyulitkan diri sendiri hanya karena kondisi ibuku."

Sebelum pergi, pacar kesayangan ku itu tak segan untuk memberikan sebuah kecupan hangat pada dahi ku. Dia juga berpamitan dengan benar kepada diriku.

"Kalau terjadi sesuatu, aku pasti akan memberikan kabar,"

"Kamu tetap bekerja. Jangan tinggalkan pekerjaan! Aku melarang hanya karena tak ingin membuatmu repot dan mendapatkan masalah," tukas pacarku yang kemudian mulai melenggang pergi dari hadapan ku yang masih berdiri dengan kaku sambil pandangan terus menatap ke arahnya yang makin lama mulai menghilang dari pandangan.

Aku ditinggalkan sendiri bersama makanan pesanan yang baru saja jadi. Hal yang paling tidak ku inginkan, akhirnya mau tidak mau harus terjadi juga. Makan sendirian, aku sudah menjalaninya selama bertahun-tahun. Aku paling benci dengan namanya kesepian saat sedang berada di meja makan.

"Pesanannya nona," kata pelayan sambil menyajikan makanan sesuai dengan apa yang aku pesan.

"Terima kasih."

Bersambung...

Dua.

Aku harus segera kembali ke realita hidup setelah mengisi penuh perut dengan makanan lezat yang tadi aku nikmati seorang diri di restoran. Untung saja semua makanan yang disajikan itu memiliki rasa yang bisa diterima lidah, kalau tidak mungkin aku sudah begitu kesal. Makanan enak ternyata juga bisa mengubah mood seseorang.

Dengan perasaan yang terasa jauh lebih baik ketimbang sebelumnya, aku pun mulai melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda oleh istirahat jam makan siang. Sebenarnya bisa dibilang aku hari ini aku cukup sibuk. Banyak hal yang harus aku urus dan selesaikan.

Ketika pandangan ini sudah mulai terfokus pada layar monitor komputer kantor yang baru aku nyalakan, secara tiba-tiba ponsel pribadi milikku menerima sebuah pesan pemberitahuan dari pihak bank. Awalnya aku mengira kalau itu hanya sekedar sebuah promosi yang sering dilakukan oleh pihak bank, tapi sayangnya perkiraan yang aku buat selalu salah.

Bagaimana aku bisa lupa? Padahal aku sendiri yang meminjamkan kartu kredit milikku kepada si Damar? Dengan terburu-buru aku pun mulai membuka pesan masuk yang dikirimkan oleh pihak bank. Aku hanya berniat untuk mencari tahu apakah kartu kredit itu digunakan semestinya oleh Damar. Bukan tak ingin mempercayainya, hanya saja sikap dasar seorang manusia kalau sudah dihadapkan dengan uang, pasti akan bisa serakah.

Sewaktu aku mengecek pesan masuk itu, kedua mata ini langsung membelalak lebar, terkejut melihat angka nol yang ada pada tagihan kartu kredit. Apakah biasa rumah sakit untuk orang kecelakaan bisa mencapai angka 80 juta lebih? Bukankah ini terlihat seperti Damar sedang membelanjakan seseorang ke toko barang mewah? Aku tidak mau curiga, tapi ketika tahu lokasi dimana kartu kredit milikku digunakan, terlalu sulit untuk menaruh rasa percaya lagi.

Aku yang sudah terlalu ingin mendengarkan penjelasan pun bergegas untuk menghubungi ponsel dari kekasihku itu. Namun entah apa yang terjadi, aku sama sekali tak bisa mendengarkan nada sambung. Rasanya seakan ponsel milik Damar sedang dinonaktifkan. Sangat jarang bagi seorang Damar membuat ponselnya dalam keadaan mati.

Dalam balutan perasaan gusar dan resah, aku mulai kesulitan berpikir dengan benar. Bahkan dalam keadaan sekarang, aku tak bisa memfokuskan diri pada pekerjaan. Pikiran berlebih mulai menghantam diri ini. Kenapa bisa begitu meragukan soal Damar? Perasaan apa ini?

Karena diri ini terus menerus tak bisa berpikir dengan benar, aku memutuskan untuk meninggalkan ruang kerja. Kali ini aku berniat menuju ke dapur kantor. Sepertinya secangkir kopi akan bisa membantu mengembalikan fokus ku pada pekerjaan.

.

.

.

Kelihatan seperti seorang barista yang begitu lihai, aku bisa dengan mudah menggunakan mesin kopi dan membuat secangkir americano hangat. Disaat pikiran sudah kemana-mana, kafein adalah penyelemat. Biasanya setelah meminum kopi, aku bisa kembali fokus pada pekerjaan.

Tak memerlukan waktu lama, americano hangat yang aku buat akhirnya jadi juga. Karena yakin kalau rasanya enak, aku pun mulai meminum itu sedikit demi sedikit, sebisa mungkin harus dinikmati. Untuk sebentar saja, aku harus menikmati waktu minum kopi ini.

Disaat aku sedang sibuk dengan kopi, tanpa terduga seorang pegawai yang tentu saja aku kenal, juga ikut berada di dapur kantor ini. Dia adalah Yuni, salah seorang teller yang memiliki paras cantik bak selebriti. Kami berdua saling kenal, tapi memang tidak terlalu dekat.

"Hai, Mika..."

Dia menyapaku dan aku pun tanpa ragu menjawab sapaannya itu dengan sebuah senyuman.

"Apa kamu mau membuat kopi juga?" Setelah membalas sapaannya, aku harus sedikit berbasa-basi untuk menunjukan sikap ramah ku. Pasalnya di kantor ini aku selalu saja dianggap sebagai seorang anti sosial. Begitu sulit mengakrabkan diri kepada sesama, bahkan seringkali kelihatan canggung dihadapan orang lain.

"Aku hanya ingin mengisi air," kata Yuni dan hanya membuat aku menganggukkan kepala tanda mengerti.

Seperti inilah diriku, setelah mengatakan sesuatu dan mendapatkan jawaban, mulut ini langsung terdiam seribu bahasa. Kehilangan topik sudah menjadi hal wajar ketika aku sedang berkomunikasi dengan orang lain. Tak heran kalau kebanyakan dari mereka kurang merasa nyaman dekat diri ku.

Sampai pada botol minum milik Yuni terisi penuh, aku juga tak kunjung mengucapkan sepatah katapun lagi. Diam dan hanya bisa mengamati sosok Yuni yang mulai berlalu pergi meninggalkan dapur kantor ini.

"Apa aku memang harus menyusul Damar ke rumah sakit?" Gumam ku sendirian.

Kopi tak bisa membantu, kekhawatiran malah makin menjadi. Untuk menghentikan semuanya, aku pun memutuskan untuk bergegas mengunjungi rumah sakit, tempat dimana katanya ibunda Damar dirawat karena menjadi korban kecelakaan.

...****************...

Aku sudah mendapatkan izin untuk meninggalkan lingkungan kerja dari atasan, tak ingin membuat banyak waktu lagi dan juga membuatkan diri ini terlarut dalam perasaan gusar, aku pun bergegas menuju ke arah mobil merah yang terparkir di tempat parkir khusus karyawan.

Dengan cepat aku mulai membuka pintu mobil itu, kemudian menempatkan diri ini duduk dalam posisi nyaman di kursi kemudi. Meskipun sedang terburu-buru, aku tidak melupakan soal keamanan. Sabuk pengaman harus dipasang dengan benar terlebih dahulu, sebelum mobil ini bergerak pergi dari tempat parkiran.

Seakan sudah tahu harus menuju kemana, aku pun mulai mengemudikan mobil ini, membiarkannya melaju dalam kecepatan lebih dari 60 km/jam, melintasi jalanan kota yang bisa dibilang cukup lancar. Aku kini sedang berada di perjalanan menuju lokasi terkahir penggunaan kartu kredit.

Damar bilang kalau ibunya mengalami kecelakaan, tapi lokasi pengguna kartu menunjukan kalau Damar lagi berada di sebuah pusat perbelanjaan. Kalau ingin berpikir positif, mungkin rumah sakitnya berada tak jauh dari lokasi pusat perbelanjaan. Pemikiran terlalu naif, karena kenyataannya selama tinggal bertahun-tahun di kota ini, aku sama sekali tidak pernah tahu ada rumah sakit yang dekat dari pusat perbelanjaan itu. Sekarang paham kan kenapa aku terus merasa khawatir?

Sampai pada akhirnya, setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit, mobil yang aku kendarai sendiri ini pun mulai memasuki parkiran basemen dari gedung pusat perbelanjaan. Jujur saja semenjak dalam perjalanan, aku selalu berharap kalau kenyataan tak akan sama seperti kecurigaan yang ada dalam benak ini. Sekali saja, biarkan realita tidak sesuai dengan ekspektasi.

"Apa benar aku harus pergi kesini?" Bertanya kepada diri sendiri yang memang sedang dipenuhi oleh rasa ragu.

Tanpa ingin terlalu lama lagi, aku pun mulai melangkah turun dari mobil, kemudian bergerak menuju ke pintu masuk dari pusat perbelanjaan ini. Sekarang aku sedang berada dalam pencarian untuk bisa menemukan sosok Damar. Sangat berharap kalau aku tak menemukan laki-laki itu disini.

.

.

.

Harapan memang tak selamanya bisa terwujud. Setelah cukup lama dan membuang tenaga untuk mengelilingi gedung pusat perbelanjaan ini, aku berhasil menemukan jawaban serta alasan dari perasaan gusar yang sejak tadi selalu melekat dari dalam diri ini.

Aku berhasil menemukan Damar, tidak terlihat sedang sendirian dan juga tidak bersama ibunya. Selama menjalin kasih dengannya, aku sudah beberapa kali bertemu serta menyapa ibunda dari Damar jadi, aku bisa memastikan kalau perempuan berambut pirang yang sekarang ini sedang duduk berhadapan dengan sang kekasih, sudah nampak jelas bukan ibunda Damar.

Melihat kebersamaan mereka berdua yang terkesan akrab, aku dengan segala pikiran negatif, mulai melangkahkan kaki masuk ke restoran itu. Aku harus menemui laki-laki itu dan meminta jawaban serta penjelasan yang tepat.

Seakan memang tak diizinkan untuk mengeluarkan pertanyaan apapun, aku kembali mendapatkan informasi lainnya mengenai perempuan yang kini sedang bersama dengan kekasihku. Berharap salah mendengar, tapi pernyataan itu dikuatkan ketika melihat perut buncit dari si perempuan.

"Siapa yang kamu panggil sayang?" Tanyaku yang benar-benar mengejutkan Damar serta perempuan asing itu.

Aku bukan hantu, tapi anehnya kehadiran ini mampu membuat Damar memberikan respon seakan-akan sedang melihat sosok hantu paling menakutkan. Penjelasan apa yang akan diberikan setelah ketahuan kalau dia sedang bersama selingkuhannya?

"Sepuluh detik waktu kamu untuk menjelaskan. Setelahnya aku tak akan memberikan kesempatan apapun lagi," ucapku dalam balutan ekspresi wajah yang menegang.

Laki-laki itu berdiri dari tempatnya, lalu memposisikan diri persis di depanku. Kelihatan seperti tak ada rasa penyesalan sama sekali, Damar bisa dengan mudahnya memberikan sebuah pengakuan yang mampu menyakiti perasaanku.

"Namanya Elora. Dia calon istri aku. Sekarang sudah mengandung anak pertama kami," ungkap Damar terdengar tak ragu.

"Sejak kapan?"

"Setahun yang lalu. Kami tidak berpacaran, hanya berhubungan dekat sampai bisa jadi seperti sekarang," tutur Damar yang sangat tidak tahu malu itu.

"Kenapa gak bilang sama aku?" Tanyaku yang tak ada habisnya memberikan tatapan tajam penuh dengan rasa kecewa.

"Aku selalu ragu untuk bilang ke kamu. Kamu itu terlalu baik, sampai aku terlalu takut menyakiti," ujar Damar kedengaran seperti omong kosong.

Aku benar-benar terluka akan kenyataan yang sekarang sedang terjadi. Ingin marah, tapi aku harus menjaga citra diri sendiri. Aku tak berniat untuk membuka masalah pribadi ke publik. Jangan sampai hanya karena ini, perhatian dari semua orang jadi tertuju kepada kami.

Sambil tersenyum terpaksa, aku pun mulai mengulurkan tanganku. Bukan bermaksud untuk berdamai, hanya saja ingin meminta kembali kartu kredit milikku yang saat ini masih dipegang oleh Damar.

"Kartu Kredit milikku?" Pintaku dan langsung dituruti olehnya.

"Aku akan mengganti uangnya sesuai dengan jumlah yang sudah aku pakai," ucap Damar yang kemudian berhasil membuat aku tertawa.

Awalnya memang tidak ada niat untuk membuat keributan, tapi kalau sudah bukan menyangkut tentang permasalahan asmara, sepertinya tidak akan jadi masalah kalau aku sedikit membesar-besarkannya.

"YA!!!" Teriakku lantang dan itu berhasil membuat semua orang di restoran itu menatap ke arah kami.

"Kamu sudah berhutang denganku sebanyak 80 juta. Kamu pikir kreditor tidak mengenakan bunga? Enak sekali bilang mau bayar sesuai jumlah uang yang dipakai!"

Aku sengaja membesarkan masalah tentang ini, hanya untuk membuat laki-laki itu malu. Anggap saja kalau yang aku lakukan sekarang adalah cara membalas seluruh tindakannya.

"Kamu hanya bisa melunasi hutang itu selama enam bulan, kalau tidak aku akan terus menambah jumlah bunga pinjaman," kataku lagi sambil melipatkan kedua tangan di depan dada.

"Membelikan calon istrinya tas mahal saja bisa, masa membayar hutang saja gak sanggup?" sindir ku dengan tatapan sinis ke arah barang belanjaan yang aku yakini dibeli pakai kartu kredit.

"Kalau memang gak punya duit, jangan sok-sokan jadi orang elite!" Tukas ku merasa puas mempermalukan Damar yang sekarang ini sudah menjadi mantan pacarku.

Jangan berpikir kalau aku akan mempertahankan hubungan! Perselingkuhan sama sekali tidak bisa untuk ditoleransi.

Bersambung...

Tiga.

Aku benar-benar dibuat tidak menyangka dan habis pikir dengan segala tindakan yang dilakukan oleh Damar. Dia yang aku percaya selama beberapa tahun belakangan ini, ternyata memilih untuk berkhianat. Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa yang membuat dia bisa berpaling? Bukankah sering keluar dari mulutnya kata-kata manis yang kerap menyatakan kalau hatinya hanya milikku? Tapi, kenapa sekarang kenyataan memberitahu, kalau Damar sudah memiliki perempuan lain yang akan dijadikan seorang istri? Apa dunia sedang bercanda kepada dirinya?

Untuk sesaat saja, di hari ini aku ingin membuang jauh-jauh pikiran tentang Damar. Setelah keluar dari pusat perbelanjaan dan cukup mengelilingi kota seperti seseorang yang tersesat tanpa adanya tujuan, aku memutuskan untuk berdiam diri di sebuah warung tenda.

Sepertinya segelas Soju — minuman keras yang berasal dari negeri ginseng Korea, akan sangat membantu untuk mewujudkan keinginanku. Minum sendirian sampai mabuk, itulah niat dariku sekarang.

Disebuah warung tenda pinggir jalan, aku pun mulai duduk dan memesan. Pemilik dari warung ini datang menghampiri diriku, lalu bertanya tentang apa yang aku inginkan. Bukan makanan ataupun camilan, aku hanya ingin memesan Soju.

"Bisakah memberiku tiga botol Soju?" Tanyaku kepada pemilik warung tenda ini.

"Hanya Soju? Tidak ingin memesan makanan ataupun camilan? Kami disini juga menyediakan belum panggang yang enak. Apa nona tidak berniat untuk memesannya juga?" Tak langsung menerima pesanan dariku, pemilik dari restoran tenda ini malah menawarkan sebuah menu andalan yang dijualnya.

"Aku lebih ingin Soju daripada belut panggang. Untuk sekarang tolong tiga gelas Soju saja," tutur ku menolak memesan makanan.

Dengan raut wajah sedikit kecewa karena sebagai pelanggan aku tidak juga memesan belut panggang, pemilik dari warung tenda ini pun mulai mengambil tiga botol Soju dan juga segelas sloki. Tanpa ragu, ia mulai menyajikannya di atas meja, dimana aku berada sekarang.

"Tidak sekalian pesan bir?" Tanyanya lagi, seakan tak berhenti menawarkan produk jualannya.

"Aku hanya ingin meminum Soju," jawabku tegas dan berhasil membuat pemilik warung tenda ini melenggang pergi untuk menyambut pelanggan lain.

Dalam kesendirian serta kesepian yang kini tengah menyapa, aku mulai menuangkan botol Soju pertama ke dalam gelas sloki yang memang disediakan. Tanpa berlama-lama lagi, aku mulai meneguk one shot minuman beralkohol itu. Terus menerus meminum sambil mengisi, sampai pada akhirnya saat aku sudah mau masuk botol ketiga, seorang pria yang kelihatan tampan mulai mengambil tempat duduk di kursi kosong, tepat di hadapanku.

Meskipun diri ini sudah meneguk dua botol Soju, tetap saja aku masih bisa sadar. Sebenarnya toleransi terhadap minuman beralkohol ku cukup tinggi. Hanya tiga botol Soju tidak akan berhasil membuatku sampai collapse.

"Siapa kamu?" Tanyaku langsung kepada seorang pria yang saat ini ada dihadapan.

"Apa minum sendirian itu enak?" Bukannya memberikan jawaban, pria asing itu malah melemparkan pertanyaan balik.

"Kalau minumannya Soju, semuanya akan menjadi enak," kataku sambil menuangkan kembali Soju ke dalam gelas kosong milikku.

Aku sama sekali belum kenal dengan sosok pria yang sekarang ini ada di hadapanku, tapi aku bisa begitu berani memberikan gelas sloki bekas minum ku kepada pria itu. Sepertinya memang Soju sama sekali tidak membuat kesadaran diriku menurun, tapi malah mempengaruhi kewarasan pikiran. Bisa-bisanya melakukan hal seperti ini kepada orang baru.

"Berhubung kamu sudah ada disini, kamu harus menemaniku menikmati minuman ini," pintaku yang sanggup membuat pria itu tersenyum.

"Tidak mau!" Katanya seakan memberikan penolakan.

"Kalau begitu pergi saja. Jangan menggangguku minum!" Karena ditolak, aku tak ragu untuk mengusirnya.

"Maksudnya, tidak mau kalau hanya menemani minum. Aku juga butuh makanan dan camilan. Aku dengar warung tenda ini mempunyai menu belut panggang yang enak," ujar pria itu terdengar sama seperti pemilik warung tenda.

Aku tertawa cukup kencang, karena menganggap kalau apa yang baru saja keluar dari mulut laki-laki itu adalah sebuah lelucon yang lucu. Sangat jarang aku bisa menjadi akrab dengan orang baru, apalagi seorang pria.

...****************...

Sungguh, aku tidak berniat untuk membuat pemilik warung tenda ini datang kembali ke tempat dudukku. Tapi, beliau memang harus dipanggil hanya karena ada sosok pria yang ternyata juga ingin memesan belut panggang serta beberapa camilan lain.

"Ingin menambah Soju lagi?" Tanyanya dalam balutan ekspresi wajah yang tampak masih kesal kepadaku.

"Pria ini ingin memesan belut panggang," kataku.

Entah apa yang terjadi, setelah mendengar hal seperti itu, ekspresi wajah dari pemilik warung tenda langsung berubah drastis. Kelihatan lebih bahagia dan bersemangat ketika mendapati ada seseorang yang memesan menu belut panggang nya.

"Pria ini lebih baik daripada dirimu, nona," sindir pemilik warung tenda ini kepadaku.

"Dengan aku menjadi pelanggan disini saja sudah menunjukan sebuah kebaikan," balasku tak terlalu menerima sindiran darinya hanya karena enggan memesan belut panggang.

"Jadi Tuan, berapa porsi belut yang mau dipesan?" Tanya pemilik warung tenda ini mulai melayani pria yang ada di hadapanku.

"Dua porsi. Aku juga ingin cumi keringnya juga," tutur pria itu memberitahu pesanan.

"Hanya dua porsi?" Tanya pemilik warung tenda yang mampu membuatku memberikan respon lagi.

"Setidaknya ada yang memesan belut panggang disini. Ya, meskipun hanya dua porsi. Apa kamu berniat untuk memusuhinya lagi hanya karena memesan dua porsi belut panggang?" Kataku kedengaran sedikit judes.

Tak ingin memberikan respon lebih banyak lagi, pemilik dari warung tenda ini pun melangkahkan kakinya pergi untuk menyiapkan belut panggang yang dipesan oleh pria itu.

.

.

.

Hanya butuh waktu yang sebentar, pemilik dari warung tenda akhirnya kembali lagi ke arah meja kami. Namun, untuk kali ini ia datang tanpa tangan kosong. Dua porsi belut panggang yang dipesan oleh pria itu mulai disajikan di atas meja.

Kalau dari penampilannya, belut panggang itu kelihatan seperti makanan enak. Warna coklat gold dari belut itulah yang mampu membuat orang tertarik untuk menikmati makanan ini. Ya, meskipun cita rasanya belum dicoba.

"Aku yakin dengan satu gigitan saja bisa membuat ketagihan," ucap pemilik warung tenda ini dengan penuh kepercayaan diri.

"Penampilannya not bad. Aku yakin ini pasti bisa dimakan," ujar ku mulai dalam keadaan mabuk.

"Silahkan dinikmati," tukas pemilik warung tenda ini, kemudian berlalu membiarkan pelanggannya menikmati apa yang sudah dipesan.

"Sepertinya akan buruk kalau aku menyantap belut panggang ini sendirian," kata pria itu sembari meletakan seporsi belut panggang ke meja ku.

"Ah, tapi aku tidak—" belum sempat bagiku untuk mengatakan apapun, pria itu sudah lebih dahulu memotongnya.

"Aku hanya ingin membalas segelas Soju yang tadi kamu berikan," tuturnya sambil tersenyum.

Karena merasa sudah tak bisa memberikan penolakan lagi, aku pun mulai mengambil sumpit, lalu tanpa ragu memasukkan sepotong belut panggang itu ke dalam mulut. Rasanya sangat tidak membuat terkejut. Hampir sama seperti kebanyakan belut panggang yang dijual oleh pedagang lainnya.

"Bagaimana rasanya? Tidak terlalu buruk untuk dinikmati kan?" Tanya pria itu meminta pendapat tentang belut panggang.

"Seperti yang aku katakan. Setidaknya ini memang masih bisa dimakan," jawabku sambil memasukan kembali potongan belut ke dalam mulut.

Aku tidak bisa bilang kalau belut panggang ini enak, karena kalau mau dibandingkan masih banyak penjual di luaran sana yang menyajikan belut panggang dengan cita rasa fantastis. Aku bisa bilang seperti ini, karena memang sudah menemukan tempat makan belut terenak.

"Lain kali, aku akan mengajak mu pergi ke restoran belut terenak," kataku tanpa sadar membuat sebuah ajakan kepada pria yang baru ku kenal itu.

"Besok aku kosong. Bagaimana kalau kita pergi ke restoran belut di esok hari?" Tanya pria itu menanggapi dengan serius.

"Tentu."

"Aku akan menjemputmu sepulang kerja," tutur laki-laki itu yang berhasil mendapatkan tawa dariku.

"Memangnya kamu tahu dimana aku bekerja?"

"Nama bank nya ada di baju yang sedang kamu pakai," katanya mampu membuatku tersadar kalau diri ini ternyata masih mengenakan seragam kerja.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!