Aku harus segera kembali ke realita hidup setelah mengisi penuh perut dengan makanan lezat yang tadi aku nikmati seorang diri di restoran. Untung saja semua makanan yang disajikan itu memiliki rasa yang bisa diterima lidah, kalau tidak mungkin aku sudah begitu kesal. Makanan enak ternyata juga bisa mengubah mood seseorang.
Dengan perasaan yang terasa jauh lebih baik ketimbang sebelumnya, aku pun mulai melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda oleh istirahat jam makan siang. Sebenarnya bisa dibilang aku hari ini aku cukup sibuk. Banyak hal yang harus aku urus dan selesaikan.
Ketika pandangan ini sudah mulai terfokus pada layar monitor komputer kantor yang baru aku nyalakan, secara tiba-tiba ponsel pribadi milikku menerima sebuah pesan pemberitahuan dari pihak bank. Awalnya aku mengira kalau itu hanya sekedar sebuah promosi yang sering dilakukan oleh pihak bank, tapi sayangnya perkiraan yang aku buat selalu salah.
Bagaimana aku bisa lupa? Padahal aku sendiri yang meminjamkan kartu kredit milikku kepada si Damar? Dengan terburu-buru aku pun mulai membuka pesan masuk yang dikirimkan oleh pihak bank. Aku hanya berniat untuk mencari tahu apakah kartu kredit itu digunakan semestinya oleh Damar. Bukan tak ingin mempercayainya, hanya saja sikap dasar seorang manusia kalau sudah dihadapkan dengan uang, pasti akan bisa serakah.
Sewaktu aku mengecek pesan masuk itu, kedua mata ini langsung membelalak lebar, terkejut melihat angka nol yang ada pada tagihan kartu kredit. Apakah biasa rumah sakit untuk orang kecelakaan bisa mencapai angka 80 juta lebih? Bukankah ini terlihat seperti Damar sedang membelanjakan seseorang ke toko barang mewah? Aku tidak mau curiga, tapi ketika tahu lokasi dimana kartu kredit milikku digunakan, terlalu sulit untuk menaruh rasa percaya lagi.
Aku yang sudah terlalu ingin mendengarkan penjelasan pun bergegas untuk menghubungi ponsel dari kekasihku itu. Namun entah apa yang terjadi, aku sama sekali tak bisa mendengarkan nada sambung. Rasanya seakan ponsel milik Damar sedang dinonaktifkan. Sangat jarang bagi seorang Damar membuat ponselnya dalam keadaan mati.
Dalam balutan perasaan gusar dan resah, aku mulai kesulitan berpikir dengan benar. Bahkan dalam keadaan sekarang, aku tak bisa memfokuskan diri pada pekerjaan. Pikiran berlebih mulai menghantam diri ini. Kenapa bisa begitu meragukan soal Damar? Perasaan apa ini?
Karena diri ini terus menerus tak bisa berpikir dengan benar, aku memutuskan untuk meninggalkan ruang kerja. Kali ini aku berniat menuju ke dapur kantor. Sepertinya secangkir kopi akan bisa membantu mengembalikan fokus ku pada pekerjaan.
.
.
.
Kelihatan seperti seorang barista yang begitu lihai, aku bisa dengan mudah menggunakan mesin kopi dan membuat secangkir americano hangat. Disaat pikiran sudah kemana-mana, kafein adalah penyelemat. Biasanya setelah meminum kopi, aku bisa kembali fokus pada pekerjaan.
Tak memerlukan waktu lama, americano hangat yang aku buat akhirnya jadi juga. Karena yakin kalau rasanya enak, aku pun mulai meminum itu sedikit demi sedikit, sebisa mungkin harus dinikmati. Untuk sebentar saja, aku harus menikmati waktu minum kopi ini.
Disaat aku sedang sibuk dengan kopi, tanpa terduga seorang pegawai yang tentu saja aku kenal, juga ikut berada di dapur kantor ini. Dia adalah Yuni, salah seorang teller yang memiliki paras cantik bak selebriti. Kami berdua saling kenal, tapi memang tidak terlalu dekat.
"Hai, Mika..."
Dia menyapaku dan aku pun tanpa ragu menjawab sapaannya itu dengan sebuah senyuman.
"Apa kamu mau membuat kopi juga?" Setelah membalas sapaannya, aku harus sedikit berbasa-basi untuk menunjukan sikap ramah ku. Pasalnya di kantor ini aku selalu saja dianggap sebagai seorang anti sosial. Begitu sulit mengakrabkan diri kepada sesama, bahkan seringkali kelihatan canggung dihadapan orang lain.
"Aku hanya ingin mengisi air," kata Yuni dan hanya membuat aku menganggukkan kepala tanda mengerti.
Seperti inilah diriku, setelah mengatakan sesuatu dan mendapatkan jawaban, mulut ini langsung terdiam seribu bahasa. Kehilangan topik sudah menjadi hal wajar ketika aku sedang berkomunikasi dengan orang lain. Tak heran kalau kebanyakan dari mereka kurang merasa nyaman dekat diri ku.
Sampai pada botol minum milik Yuni terisi penuh, aku juga tak kunjung mengucapkan sepatah katapun lagi. Diam dan hanya bisa mengamati sosok Yuni yang mulai berlalu pergi meninggalkan dapur kantor ini.
"Apa aku memang harus menyusul Damar ke rumah sakit?" Gumam ku sendirian.
Kopi tak bisa membantu, kekhawatiran malah makin menjadi. Untuk menghentikan semuanya, aku pun memutuskan untuk bergegas mengunjungi rumah sakit, tempat dimana katanya ibunda Damar dirawat karena menjadi korban kecelakaan.
...****************...
Aku sudah mendapatkan izin untuk meninggalkan lingkungan kerja dari atasan, tak ingin membuat banyak waktu lagi dan juga membuatkan diri ini terlarut dalam perasaan gusar, aku pun bergegas menuju ke arah mobil merah yang terparkir di tempat parkir khusus karyawan.
Dengan cepat aku mulai membuka pintu mobil itu, kemudian menempatkan diri ini duduk dalam posisi nyaman di kursi kemudi. Meskipun sedang terburu-buru, aku tidak melupakan soal keamanan. Sabuk pengaman harus dipasang dengan benar terlebih dahulu, sebelum mobil ini bergerak pergi dari tempat parkiran.
Seakan sudah tahu harus menuju kemana, aku pun mulai mengemudikan mobil ini, membiarkannya melaju dalam kecepatan lebih dari 60 km/jam, melintasi jalanan kota yang bisa dibilang cukup lancar. Aku kini sedang berada di perjalanan menuju lokasi terkahir penggunaan kartu kredit.
Damar bilang kalau ibunya mengalami kecelakaan, tapi lokasi pengguna kartu menunjukan kalau Damar lagi berada di sebuah pusat perbelanjaan. Kalau ingin berpikir positif, mungkin rumah sakitnya berada tak jauh dari lokasi pusat perbelanjaan. Pemikiran terlalu naif, karena kenyataannya selama tinggal bertahun-tahun di kota ini, aku sama sekali tidak pernah tahu ada rumah sakit yang dekat dari pusat perbelanjaan itu. Sekarang paham kan kenapa aku terus merasa khawatir?
Sampai pada akhirnya, setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit, mobil yang aku kendarai sendiri ini pun mulai memasuki parkiran basemen dari gedung pusat perbelanjaan. Jujur saja semenjak dalam perjalanan, aku selalu berharap kalau kenyataan tak akan sama seperti kecurigaan yang ada dalam benak ini. Sekali saja, biarkan realita tidak sesuai dengan ekspektasi.
"Apa benar aku harus pergi kesini?" Bertanya kepada diri sendiri yang memang sedang dipenuhi oleh rasa ragu.
Tanpa ingin terlalu lama lagi, aku pun mulai melangkah turun dari mobil, kemudian bergerak menuju ke pintu masuk dari pusat perbelanjaan ini. Sekarang aku sedang berada dalam pencarian untuk bisa menemukan sosok Damar. Sangat berharap kalau aku tak menemukan laki-laki itu disini.
.
.
.
Harapan memang tak selamanya bisa terwujud. Setelah cukup lama dan membuang tenaga untuk mengelilingi gedung pusat perbelanjaan ini, aku berhasil menemukan jawaban serta alasan dari perasaan gusar yang sejak tadi selalu melekat dari dalam diri ini.
Aku berhasil menemukan Damar, tidak terlihat sedang sendirian dan juga tidak bersama ibunya. Selama menjalin kasih dengannya, aku sudah beberapa kali bertemu serta menyapa ibunda dari Damar jadi, aku bisa memastikan kalau perempuan berambut pirang yang sekarang ini sedang duduk berhadapan dengan sang kekasih, sudah nampak jelas bukan ibunda Damar.
Melihat kebersamaan mereka berdua yang terkesan akrab, aku dengan segala pikiran negatif, mulai melangkahkan kaki masuk ke restoran itu. Aku harus menemui laki-laki itu dan meminta jawaban serta penjelasan yang tepat.
Seakan memang tak diizinkan untuk mengeluarkan pertanyaan apapun, aku kembali mendapatkan informasi lainnya mengenai perempuan yang kini sedang bersama dengan kekasihku. Berharap salah mendengar, tapi pernyataan itu dikuatkan ketika melihat perut buncit dari si perempuan.
"Siapa yang kamu panggil sayang?" Tanyaku yang benar-benar mengejutkan Damar serta perempuan asing itu.
Aku bukan hantu, tapi anehnya kehadiran ini mampu membuat Damar memberikan respon seakan-akan sedang melihat sosok hantu paling menakutkan. Penjelasan apa yang akan diberikan setelah ketahuan kalau dia sedang bersama selingkuhannya?
"Sepuluh detik waktu kamu untuk menjelaskan. Setelahnya aku tak akan memberikan kesempatan apapun lagi," ucapku dalam balutan ekspresi wajah yang menegang.
Laki-laki itu berdiri dari tempatnya, lalu memposisikan diri persis di depanku. Kelihatan seperti tak ada rasa penyesalan sama sekali, Damar bisa dengan mudahnya memberikan sebuah pengakuan yang mampu menyakiti perasaanku.
"Namanya Elora. Dia calon istri aku. Sekarang sudah mengandung anak pertama kami," ungkap Damar terdengar tak ragu.
"Sejak kapan?"
"Setahun yang lalu. Kami tidak berpacaran, hanya berhubungan dekat sampai bisa jadi seperti sekarang," tutur Damar yang sangat tidak tahu malu itu.
"Kenapa gak bilang sama aku?" Tanyaku yang tak ada habisnya memberikan tatapan tajam penuh dengan rasa kecewa.
"Aku selalu ragu untuk bilang ke kamu. Kamu itu terlalu baik, sampai aku terlalu takut menyakiti," ujar Damar kedengaran seperti omong kosong.
Aku benar-benar terluka akan kenyataan yang sekarang sedang terjadi. Ingin marah, tapi aku harus menjaga citra diri sendiri. Aku tak berniat untuk membuka masalah pribadi ke publik. Jangan sampai hanya karena ini, perhatian dari semua orang jadi tertuju kepada kami.
Sambil tersenyum terpaksa, aku pun mulai mengulurkan tanganku. Bukan bermaksud untuk berdamai, hanya saja ingin meminta kembali kartu kredit milikku yang saat ini masih dipegang oleh Damar.
"Kartu Kredit milikku?" Pintaku dan langsung dituruti olehnya.
"Aku akan mengganti uangnya sesuai dengan jumlah yang sudah aku pakai," ucap Damar yang kemudian berhasil membuat aku tertawa.
Awalnya memang tidak ada niat untuk membuat keributan, tapi kalau sudah bukan menyangkut tentang permasalahan asmara, sepertinya tidak akan jadi masalah kalau aku sedikit membesar-besarkannya.
"YA!!!" Teriakku lantang dan itu berhasil membuat semua orang di restoran itu menatap ke arah kami.
"Kamu sudah berhutang denganku sebanyak 80 juta. Kamu pikir kreditor tidak mengenakan bunga? Enak sekali bilang mau bayar sesuai jumlah uang yang dipakai!"
Aku sengaja membesarkan masalah tentang ini, hanya untuk membuat laki-laki itu malu. Anggap saja kalau yang aku lakukan sekarang adalah cara membalas seluruh tindakannya.
"Kamu hanya bisa melunasi hutang itu selama enam bulan, kalau tidak aku akan terus menambah jumlah bunga pinjaman," kataku lagi sambil melipatkan kedua tangan di depan dada.
"Membelikan calon istrinya tas mahal saja bisa, masa membayar hutang saja gak sanggup?" sindir ku dengan tatapan sinis ke arah barang belanjaan yang aku yakini dibeli pakai kartu kredit.
"Kalau memang gak punya duit, jangan sok-sokan jadi orang elite!" Tukas ku merasa puas mempermalukan Damar yang sekarang ini sudah menjadi mantan pacarku.
Jangan berpikir kalau aku akan mempertahankan hubungan! Perselingkuhan sama sekali tidak bisa untuk ditoleransi.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments