Perjanjian pernikahan yang menguntungkan kedua belah pihak. Tidak butuh ikatan perasaan yang merepotkan bagi keduanya. Ia yakin itu adalah ide paling tepat. Baiklah, Rafael yakin akan memulai dari sini sebagai awalnya.
Rafael segera menelpon salah satu staf kantor. Begitu diangkat, sedikit rasa optimis muncul dalam benaknya, membuatnya tersenyum tipis.
"Buka lowongan pekerjaan sebagai sekretaris untukku. Aku sendiri yang akan turun tangan menyeleksi dan mewawancarainya. Persiapkan interview mulai besok."
***
Pagi hari diawali dengan Rafael yang memasuki ruang interview untuk mewawancarai pegawai baru yang rencananya akan dijadikan sekretaris.
Kabar itu tentu menjadi perbincangan hangat di berbagai sudut kantor. Rafael yang biasanya selalu melakukan apapun sendiri dan tidak ingin diganggu oleh para wanita, tiba-tiba saja meminta untuk merekrut sekretaris pribadi. Terlebih lagi, ia sampai turun tangan untuk seleksi itu.
"Hei, menurut kalian, fenomena ini pertanda apa?"
"Apakah mungkin Presdir sudah move on dari mantan istrinya?"
Kira-kira seperti itu perbincangan panas dan sedikit ribut-ribut pagi ini. Rudi yang baru saja memasuki kantor cukup terkejut melihat suasana perusahaan yang biasanya sunyi dan hanya dipenuhi suara keyboard, kini dipenuhi dengan perbicangan panas mengenai sang pemimpin perusahaan.
"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Rudy dengan sangat penasaran.
Kemudian seorang staf wanita membuka suara, "Pak Rudy, Anda sungguh tidak tahu? Kemarin presdir tiba-tiba membuka lowongan untuk menjadi sekretaris pribadinya dan hari ini beliau turun tangan sendiri dalam proses seleksinya bersama HRD. Anda mencium sesuatu yang berbeda, kan?"
Rudy yang seketika membulatkan mata, kini menutup mulut yang ternganga. Sungguh ia tidak habis pikir, bagaimana Rafael bisa membuat kejutan setiap hari seperti ini.
"Wah … berita bagus," ujar Rudy dengan wajah berbinar karena ikut merasa senang mendengar sahabat yang akhirnya mau membuka hati.
Rudy melebarkan senyum cemerlangnya. Tidak disangka, sahabatnya itu ternyata mendengarkan kata-katanya juga.
"Ah ... Rafael memang sangat lambat dalam masalah percintaan." Ia berkata sangat lirih, hingga hanya diri sendiri yang dapat mendengar.
Di sisi lain, Rafael yang sedang ikut andil menyeleksi para wanita yang mendaftar pada lowongan kerja, kini justru membuat kedua HRD yang duduk di sampingnya keheranan.
Semuanya adalah wanita berusia muda, sudah sesuai dengan syarat utama. Interview tanpa dress code, membuat para pelamar lebih leluasa menampilkan sisi menariknya. Mereka sungguh tidak mengerti kriteria seperti apa lagi yang kurang bagi Rafael.
"Presdir, wanita yang tadi resume-nya sangat bagus. Saya sangat merekomendasikan wanita itu." Roni, merupakan staf laki-laki yang duduk di sebelah kiri Rafael menyarankan.
"Aku tidak suka." Rafael menolak tegas karena tidak sependapat dengan saran dari pegawainya.
Sedangkan Dina, pegawai wanita yang duduk di samping kanan menyodorkan berkas online di laptopnya. "Presdir, ini peserta nomor 23. Penampilannya menarik dan sudah punya banyak pengalaman walau usianya masih muda. Anda bisa mempertimbangkan lagi."
"Aku juga tidak suka wanita ini." Lagi-lagi Rafael menolak tanpa ragu, meskipun hanya sekilas melihat.
Dua orang yang kini saling bersitatap, hanya mengungkapkan perasaan melalui kode kerlingan mata.
"Baiklah. Peserta berikutnya, dipersilakan masuk." Roni yang tidak ingin membuang lebih banyak waktu, segera melanjutkan proses interview.
Detik, menit dan jam telah berlalu. Hingga jam kerja telah usai, interview yang mereka lakukan bahkan tidak meloloskan satu pun wanita yang cocok dengan kriteria seorang pimpinan perusahaan.
Rafael beranjak keluar dengan wajah kecewa dan masam, sedangkan Roni dan Dina menampakkan wajah yang tak kalah kusut. Mereka benar-benar tidak mengerti apa yang diinginkan oleh bosnya tersebut.
"Hey, kalian!"
Rudy setengah berseru mengejar langkah kedua orang yang baru saja keluar dari ruangan interview.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Rudy yang sangat penasaran, tetapi setengah menduga jika interview itu tidak menghasilkan apa-apa. Sangat terlihat dari raut wajah dua orang di hadapannya itu sangat kusut.
"Pak Rudy masih di sini?" tanya Dina basa-basi karena tidak biasanya masih di kantor ini sampai jam pulang kerja.
Biasanya ia hanya akan datang jika ada keperluan atau paling lama berada di perusahaan setengah hari saja karena sudah memiliki instansi sendiri.
Sementara itu, Rudy kini hanya terkekeh saat menanggapi. "Ada berita menghebohkan, bagaimana aku tidak penasaran?" tukasnya renyah.
"Interview ini tidak membuahkan hasil apa-apa. Kami tidak mengerti kriteria seperti apa yang diinginkan presdir. Beliau biasanya jarang membuat kami kesulitan seperti ini." Roni menjawab jujur dengan wajah penuh kelelahan.
Rudy tersenyum kecil karena sudah menduga bahwa semua itu akan terjadi. "Kalian turuti saja dulu apa yang ingin dilakukan presdir. Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, tapi tidak buruk juga, kan bagi kalian yang akan mendapatkan bonus tambahan?"
Penyataan Rudi tersebut sontak membuat mereka tertawa, cukup terhibur dengan perkataan yang ada benarnya dan membuat rasa lelah seketika menghilang.
"Sudah, kalian cepat pulang dan beristirahatlah. Siapa yang akan tahu kalau besok akan terjadi hal seperti ini lagi."
Dua staf perusahaan tersebut kini menganggukkan kepala. Kemudian berpamitan dengan Rudy.
Sementara itu, Rudy kini hanya menatap mereka hingga menjauh. Ia menggelengkan kepala, lantas bergegas menuju tempat yang pasti akan ia wawancarai.
Kini, Rudy terlihat sudah memasuki ruangan Rafael. Ia sedang mengetuk-ngetuk kepalan tangan ke atas meja. Membuat rasa prihatin Rudy semakin meningkat.
"Rafael, kamu yakin akan menemukan seorang wanita dengan cara seperti ini?"
Sementara itu, Rafael yang ditanya, kini mengangkat wajah, lantas menyandarkan kepalanya pada kursi. Menatap mata Rudy dari jauh. Ia ingin menunjukkan keseriusannya.
"Apa yang sudah dimulai, harus kuteruskan."
Ucapan Rafael yang bernada tegas itu membuat Rudy tersenyum. Ia hanya berdoa yang terbaik bahwa harapan sahabatnya akan menjadi kenyataan.
Namun, tidak ada yang tahu bagaimana Rafael hanya ingin mencari sosok Aeleasha dalam setiap pencarian yang ia lakukan.
***
Seminggu sejak ancaman ibunya berlaku. Rafael masih belum menemukan wanita yang tepat. Interview pendaftaran lowongan kerja sama sekali tidak membuahkan hasil apa-apa.
Namun, di hari terakhir ini, Rafael tidak menyerah dan tetap memutuskan melanjutkan interview. Ada hal yang memacunya karena pagi ini ibunya mengingatkan tentang ancaman itu.
Pada sarapan pagi, ia makan bersama ibunya.
Wanita paruh baya itu terus menatap Rafael dengan saksama. "Kamu tidak lupa, kan?"
Kalimat tanya dengan intonasi mencekam itu lolos dari bibir Tiana. "Sebenarnya Mama tidak memaksamu untuk bersusah payah mencari calon istri karena bisa saja membantu mencarikannya untukmu."
Setelah mengungkapkan pikirannya, Tiana tanpa ragu-ragu menyodorkan album berisi daftar para gadis yang berniat dijodohkan dari teman-temannya.
"Kalau tidak bisa membawa calon istrimu, kamu mungkin harus melihat daftar para wanita yang sudah Mama siapkan ini setiap hari."
Rafael bahkan sama sekali tidak merespons apa-apa. Entah takut ancaman akan bertambah runyam atau sudah lelah menanggapi.
Mungkin keduanya benar. Entah sejak kapan, bahkan di rumahnya sendiri, hidupnya bagai berada di medan perang sekarang. Setiap langkah harus berhati-hati, seolah ada banyak ranjau yang menanti. Salah langkah sedikit saja bisa mati.
Terlebih di hari terakhir ini, semakin membulatkan tekadnya untuk menemukan wanita yang ia cari.
Interview berawal pagi. Berjalan dengan detik-detik penuh ketegangan bagi para pendaftar dan tentunya menjadi detik-detik yang melelahkan.
Sedangkan bagi Rafael, setiap detiknya menjadi kecemasan tersendiri yang begitu takut tidak sanggup ia bendung lagi.
"Pendaftar selanjutnya?" Rafael tampak sedikit bingung ketika baru menyadari suasana lebih sepi dari sebelum-sebelumnya.
"Mohon maaf, Presdir. Wanita tadi adalah yang terakhir. Ada satu orang yang mengundurkan diri karena sudah mendapat pekerjaan." Dina hati-hati menjawab pertanyaan atasannya.
Tentu saja karena takut membuat atasannya marah karena interview hari ini pun sama sekali tidak berjalan dengan memuaskan.
Seperti hari-hari sebelumnya, Rafael menolak semua pendaftar tanpa ragu. Tanpa pertimbangan yang matang untuk bisa ditoleransi. Namun, setelahnya ia malah menyesal sendiri. Entah apa yang disesali, bahkan tidak tahu.
"Kalau begitu, kalian pulanglah. Terima kasih sudah bekerja keras. Besok sudah tidak perlu mengadakan interview lagi." Rafael berucap tegas, tetapi keputusasaan dalam hati terdengar jelas.
"Baik, terima kasih, Presdir."
Seperti biasa, mereka bergegas meninggalkan bosnya sendiri dalam ruangan meski ragu.
Kesunyian, kini semakin menggerogoti hati Rafael. Rasa kecewa dan putus asa seolah sedang memaki-maki dirinya saat ini. Ia sungguh takut untuk menerima konsekuensi terburuknya.
Ia sungguh takut menerima wanita baru di sisinya. Entah harus berapa kali lagi ia merapalkan ketakutan itu dalam hatinya.
Mengapa sebegitu sulitnya menemukan gadis seperti Aeleasha? Jika tidak bisa membuat gadis itu berada di sisinya, setidaknya ia bisa menemukan gadis yang seperti Aeleasha, bukan? Dunia ini benar-benar tidak adil bagi Rafael.
Bahkan terlihat ia mengepalkan tangan. Kemudian mengacak rambut sendiri. Frustasi bukan main menghadapi semua ini. Ia tidak berani berharap semuanya tiba-tiba membaik.
Rafael hanya ingin dunia membiarkannya tenang sedikit. Ia benar-benar bingung. Mengapa cinta bisa sekejam itu menyiksanya?
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku bahkan tidak bisa menemukan wanita yang cocok dan sesuai untuk melakukan perjanjian pernikahan demi mengelabui mama. Apa aku harus menyerah dengan nasib dan menerima perjodohan?" ujar Rafael yang kini mengembuskan napas berat dan memenuhi ruangan sepi tersebut.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 309 Episodes
Comments
Sya'wanah
kak apa kah ini salah satu typo.
dr Rafael menjadi willy
2022-10-24
2