Rafael lebih menikmati waktu kerjanya bagai waktu istirahat dari permasalahan-permasalahannya. Sekitar seminggu setelah perbincangannya dengan mamanya pagi itu, telinganya seakan mau panas setiap kali menanyainya tentang pernikahan, wanita, calon istri, kapanpun setiap ada kesempatan.
Rafael, apakah ada wanita yang sedang dekat denganmu?
Rafael, apakah kamu sudah punya pacar?
Rafael, kamu sudah memikirkan calon istri yang akan kamu nikahi?
Seperti itulah pertanyaan yang sering kali menyakiti telinganya.
Jelas ia sama sekali tidak tertarik untuk menikah sekarang. Namun, keinginan sang ibu, tampaknya semakin mengembang, bagaikan balon udara yang melambung ke atas. Kalau Rafael tidak berusaha menghentikannya, mamanya pasti akan lepas kendali.
Suara ketukan pintu terdengar dan membelah keheningan ruangan kerja Rafael. Membuyarkan konsentrasi saat menatap laporan di laptopnya. Kemudian mempersilakan orang di luar agar masuk ke dalam.
Tampak seorang wanita dengan lipstik merah darah di bibir plumpy-nya. Senyumnya seketika terpatri di sana. Wanita itu mendekat dengan langkah percaya diri, berhenti tepat di samping kursi Rafael.
Wanita itu kian mengikis jarak, hingga bau parfumnya menusuk indra penciuman Rafael.
"Ada berkas yang harus Anda tandatangani, Tuan." Wanita itu berucap dengan suara rendah, nadanya tidak biasa, begitu menggelitik telinga.
Rafael cepat-cepat mengambil ballpoint-nya, semakin cepat selesai, maka akan semakin cepat wanita itu keluar. Rafael tahu betul bahwa ia adalah sasaran empuk untuk didekati wanita-wanita di kantornya.
Memiliki kekuasaan, usia matang, dan lajang, jelas menjadi incaran yang menggiurkan. Hal ini jelas bukan pertama kali. Namun, Rafael selalu tahu bagaimana ia harus menolak mereka. Berpura-pura tidak perduli, hingga para wanita kesal sendiri dan menyerah.
Kali ini, mungkin akan berakhir sama.
Rafael menghentikan tangannya, melihat kertas yang telah ditoreh ballpoint tak meninggalkan bekas apapun. "Ballpoint saya habis, kamu punya?"
Wanita itu tersenyum lebar. "Tentu saja punya, tapi .…"
Rafael memicingkan mata dan bisa mengerti ke mana arah pembicaraan dari wanita di hadapannya.
Wanita itu langsung mengambil kesempatan dengan mencondongkan badannya ke depan. Membuat potongan blus di balik blazer yang dikenakan menurun dan menampakkan belahan dadanya.
"Ballpoint saya sangat mahal, Tuan. Anda harus menggantinya."
"Berapa pun," pungkas Rafael singkat. Ia kemudian menadahkan tangannya.
Wanita itu kembali tersenyum sambil mengambil ballpoint yang berada di saku dalam blazernya.
"Saya pegang kata-kata Anda." Wanita itu memberikan ballpoint-nya, dengan sengaja menyentuh tangan Rafael.
Namun, Rafael yang sangat tidak menyukai sikap wanita itu, dengan segera mengambilnya dan menyelesaikan urusan tanda tangan.
"Berapa harganya?" tanya Rafael pada akhirnya.
"Sangat mahal," balas wanita itu.
Jawaban wanita di hadapannya itu jelas membuat Rafael menatap tajam.
"Jangan main-main. Aku tidak punya waktu."
Wanita itu tertawa kecil. "Baik, karena Anda bilang begitu. Saya beritahu harganya sekarang. Harganya adalah cinta Anda."
Rafael menghela napasnya. Ini bukan yang pertama kali juga. Ia kemudian menatap wanita itu sesaat. Tangan kanannya ia rentangkan ke arah depan dengan gestur mempersilakan.
"Pintu keluarnya ada di sebelah sana. Jadi, pergi atau kau kupecat!"
Wanita itu hanya mundur beberapa langkah. "Anda sungguh berpikir saya akan mundur sama seperti mereka? Sayangnya saya harus mengatakan ini. Anda harus segera mencari calon istri dan memulai kehidupan baru, Tuan."
Rafael kembali menatap wanita itu. "Tahu dari mana kamu?"
"Ah, maaf, saya cuma asal bicara." Wanita itu tersenyum tipis.
"Kamu tahu, di sini tidak boleh ada yang bicara asal. Kamu tahu aku punya kuasa untuk posisimu di kantor ini, bukan?" ucap Willy serius. Ia tahu, ini lain. Ada sesuatu yang aneh.
Wanita itu memaksakan senyumnya, takut melakukan kesalahan lebih parah lagi. "Baik, lebih baik saya cari aman. Sebenarnya kebetulan saya bertemu ibu Anda tadi pagi di kantin kantor."
***
Rafael pulang dengan pikiran penuh kalut dan tak habis pikir pada ibunya sampai melakukan hal itu. Ia mencarinya kesana-kemari di setiap bilik rumah, sialnya tidak ada.
Sungguh membuatnya semakin pusing. Di saat ia benar-benar ingin bicara, mengapa sang ibu tidak ada seperti hari-hari sebelumnya yang tiba-tiba muncul dan menanyakan topik pernikahan tanpa kenal menyerah.
Rafael pada akhirnya berhenti di depan kulkas dan meneguk soda untuk menyegarkan pikirannya sejenak. Sampai kemudian terdengar suara pintu depan yang dibuka.
Terlihat sang ibu yang tampaknya membawa beberapa belanjaan dapur. Rafael mendekat untuk membantunya membawa barang-barang dalam kantong plastik tersebut.
"Wah … jam berapa ini? Tumben kamu pulang sebelum Mama selesai memasak. Apakah terjadi sesuatu?" tanya Tiana dengan wajah penuh sorot pertanyaan.
"Ma, jangan pura-pura tidak tahu." Rafael berucap gusar.
"Ada apa? Memangnya apa yang Mama tidak tahu?"
"Aku tahu Mama ingin aku menikah. Mama ingin aku membuka hati untuk wanita lain, tapi apa perlu melakukan hal itu? Menyuruh karyawanku untuk menggoda di ruang kerja, sama sekali tidak akan berhasil."
"Aku akan menyelesaikan masalahku sendiri." Rafael menatap mamanya dengan dahi berkerut, seperti anak kecil yang dipaksa ibunya untuk belajar.
"Lalu apa yang kamu lakukan seminggu ini? Seminggu ini, Mama sudah membiarkanmu. Bukan untuk diam saja seperti itu, tapi untuk memikirkannya dengan matang."
"Namun, sepertinya kamu tidak menganggap perkataan Mama serius, ya?"
Tiana menghentikan aktivitasnya, memasukkan sayur-sayuran ke dalam kulkas. Kulkas ditutup, tetapi aura dingin semakin terasa.
"Bukan seperti itu, Ma. Menikah itu butuh persiapan. Tidak semudah itu menemukan calon istri. Lagipula, aku masih butuh waktu."
"Waktu? Kamu butuh waktu, kan? Baik. Mama akan memberimu waktu. Satu minggu. Mama akan memberimu waktu satu minggu untuk memperkenalkan calon istrimu. Jika dalam waktu satu minggu kamu tidak bisa, biar Mama yang mencari wanita untuk kamu nikahi."
Tiana menepuk bahu Rafael, tersenyum singkat. Kemudian berlalu meninggalkan lelaki itu dan memulai aktivitas di dapur yang berisik.
Membuat Rafael semakin kehilangan kata-kata dan terpojok.
Sialnya, keadaan ini semakin rumit bagi Rafael. Padahal ia belum sempat menghentikan mamanya. Sayangnya, malah maju satu langkah lebih cepat.
'Sial! Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak ingin mama mencarikan wanita untuk kunikahi. Bisa-bisa mama nanti asal memilih wanita. Tidak! Aku harus mencari cara untuk menghentikan aksi mama yang sangat konyol ini,' gumam Rafael yang saat ini memilih untuk melangkahkan kaki panjangnya menuju ke arah pintu keluar.
Selama menaiki anak tangga menuju ruangan kamar, Rafael tengah memutar otak untuk mencari ide. Namun, sepanjang berjalan, tetap tidak menemukan apapun untuk menghentikan rencana sang ibu.
Kemudian ia mengempaskan tubuh ke atas ranjang dan menatap ke arah langit-langit kamar. Di sana, ada bayangan sosok wanita yang masih sangat dicintai.
"Aku bahkan tidak bisa melupakanmu, Aeleasha. Apa yang harus kulakukan? Kau adalah wanita tidak punya hati!" lirih Rafael dengan perasaan berkecamuk dan membuncah.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 309 Episodes
Comments