The Power Of Single MoM

The Power Of Single MoM

Pelarian Panjang

Setelah menempuh perjalanan sehari semalam dengan bis antar kota dalam provinsi, dua jam dengan angkot penuh sesak dan dua puluh lima menit berjalan kaki, Rhea akhirnya tiba di rumah Bara, sepupu Tata yang sedang menjadi TKI di Jepang.

Ia bersusah payah membuka pintu rumah yang lebih mirip gudang karena penuh dengan debu dan sarang laba-laba akibat sudah lama tidak dihuni. Ia tidak punya tenaga lagi untuk membersihkan rumah tersebut. Ingin rasanya ia langsung tidur saja di atas ranjang yang penuh debu saking lelahnya, tapi jiwa keartisannya masih meronta jijik dan enggan bersentuhan dengan debu-debu itu.

Ia melihat ke sekitar tapi sangat sepi, tak seorangpun yang melintas dan bisa dimintai bantuan. Rumah Bara sangat tidak strategis, selain jauh dari keramaian, rumah itu terletak di sebuah gang sempit yang hanya cukup dilalui satu motor saja.

Rhea mengelus perutnya yang semakin membuncit. Ia sesekali berusaha menenangkan bayi yang terus saja menendang-nendang di dalam perutnya. Ia benar-benar lelah. Tak lama kemudian ia melihat pria yang membantunya di jalan tadi.

“Mas! Sini!” Rhea melambaikan tangan memanggil pria itu. “Mas bisa bantu saya lagi ngga?!”

Pria itu hanya diam terpaku menatap jengah kepada Rhea.

Rhea memberikan dua lembar ratus ribuan kepada pria itu, “ Ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu saya membawa koper ke sini dan tolong sekalian bersihkan rumah ini ya? Saya takut tikus dan kecoak dan saya tidak terbiasa bersih-bersih sendiri.”

Ingin rasanya Dika melempar uang itu ke wajah Rhea yang sombong dan seenaknya sendiri. Tapi melihat perutnya yang buncit dan wajah polosnya yang terlihat kelelahan saat begitu saja tertidur di bale-bale yang ada di teras rumah Bara, ia merasa tidak tega.

Rhea sama sekali tidak tahu bahwa ada seseorang yang sengaja diutus Dika untuk membersihkan rumah Bara ketika ia tertidur. Saat bangun, Rhea sudah melihat rumah Bara yang bersih dan rapi. Ditambah lagi ada sepiring nasi dan dua lembar uang ratus ribuan di atas meja.

Seperti biasa, Rhea tidak pernah mau ambil pusing dengan hal-hal remeh seperti itu. Jika ia mengembalikan uangnya, bagi Rhea ada dua kemungkinan, gengsi atau kurang banyak dan melihat dari penampilan Dika, ia yakin alasan pertama lebih masuk akal.

Setelah kenyang, Rhea melanjutkan tidurnya di kamar Bara. Ia baru bangun ketika ponselnya berdering tengah malam. Sebuah panggilan telepon dari Tata, sahabat yang sekaligus mantan manajernya.

“Ya Kak?”

“Rhe, lo dah sampe? Dari tadi gue telponin ngga diangkat-angkat.”

“Ketiduran gue, capek banget, Kak.”

“Yaudah yang penting lo dah sampe disana. baik-baik ya Rhe. Ntar kalo inget, gue telpon lagi” Tata tertawa sebelum akhirnya memutus sambungan teleponnya.

Rhea merasa perutnya sangat lapar. Ia ke dapur untuk mencari bahan makanan tapi tak menemukan apapun. Rumah itu sudah sangat lama tidak dihuni, tentu saja tidak ada bahan makanan yang tersisa. Ia berusaha menahan laparnya dengan sebotol air mineral yang dibelinya di toko depan gapura masuk ke Desa Sumber tadi.

Rhea merasa senang bisa meninggalkan semua kekacauan yang dibuatnya, tapi ia juga sedih harus tinggal di rumah yang sangat sederhana di desa terpencil itu. Ia bahkan tidak bisa memesan layanan pesan antar kapanpun dengan mudah seperti dulu.

Ia kembali mengelus perut buncitnya. Ada rasa benci dengan isi perutnya itu. Andai saja jabang bayi itu tidak bersemayam disana, ia tentu tidak perlu repot-repot melarikan diri dari kehidupan mapannya. Tapi kemudian sebuah kaki kecil menendang perutnya seakan tidak terima dengan kesalahan yang ditimpakan begitu saja kepadanya.

“Jangan berulah macam-macam. Malam ini kau harus menahan laparmu karena aku tidak menemukan sesuap nasipun untukmu!” katanya kepada perutnya sendiri.

“Dengar semua ini juga salahmu, jadi sebaiknya kau tetap tenang dan tidak membuat masalah lebih banyak lagi, atau aku akan membiarkanmu menderita sendirian.” Rhea kembali mengatai bayi dalam perutnya.

***

Setelah tiga bulan tinggal di Desa Sumber, Rhea mulai terbiasa dengan tukang sayur yang kadang datang hanya membawa bayam seikat dan tempe sebungkus karena sudah kehabisan, beras yang terlambat dikirim karena kendaraan pengiriman terjebak banjir, dan air minum yang tiba-tiba saja harus merebus karena galonnya habis dipinjam warga dan belum dikembalikan.

Semua hal yang dibenci Rhea ada desa terpencil itu. Tetangga doyan rumpi, jalanan sempit bergeronjal, kesepian dan jauh dari kemudahan dan kepraktisan hidup, keterlambatan informasi, kelangkaan kendaraan umum dan yang terparah adalah sinyal telepon yang sangat tidak stabil dan suka tiba-tiba hilang sendiri ketika sedang digunakan.

Seperti sebuah kutukan, hidupnya benar-benar jungkir balik disana. Rhea tiba-tiba teringat bagaimana ia terpaksa pergi dari rumah setelah diusir dengan sangat menyakitkan oleh ayahnya. Ia lalu teringat ibunya yang pasti akan selalu membantu dan mendukungnya dalam situasi sulit seperti saat ini. Hari itu ia benar-benar sangat merindukan ibunya.

Rhea meraih ponselnya berniat mencoba menghubungi ibunya, tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah panggilan telepon dari Tata. Rhea mengangkat teleponnya, ia mendengar suara serak dan sesenggukan dari ujung telepon.

"Kak, lo kenapa?"

Tata tak menjawab, ia tetap terisak.

"Kak!"

"Rhe, lo yang sabar ya.... Lo harus kuat!" Tata kembali menangis, "Ibu, Rhe..."

"Ibu kenapa kak?" Rhea mulai panik. Pikirannya menerka-nerka yang terjadi.

"Ibu menginggal dunia Rhe."

Rhea menjatuhkan ponselnya lalu pingsan, tubuhnya membentur meja lalu tergeletak di lantai, darah segar mengalir dari sela-sela pahanya. Mbok Tun yang kebetulan lewat dan mendengar suara benda jatuh, segera menghampiri rumah Bara dan ia berteriak histeris ketika mendapati Rhea yang sudah pingsan di lantai.

Warga langsung berdatangan membawa Rhea ke puskesmas. Mantri jaga khawatir dengan keadaan Rhea jadi mereka segera merujuk Rhea ke rumah sakit umum di kota. Setelah menempuh satu setengah jam perjalanan dengan ambulance, Rhea akhirnya tiba di rumah sakit.

Setelah memeriksa keadaan Rhea, dokter memutuskan bahwa Rhea harus segera dioperasi caesar meskipun usia kandungannya baru menginjak delapan bulan demi keselamatan ibu dan bayinya. Dika yang terpaksa bertindak sebagai wali akhirnya menurut keputusan dokter karena tidak ingin terjadi hal buruk pada Rhea dan bayinya.

***

Ketika tersadar dari pengaruh obat bius, Rhea menatap sekeliling. Ia merasakan nyeri yang luar biasa hebat di perutnya.

"Kamu sudah sadar, Rhe?"

"Apa yang terjadi?

"Kamu pingsan dan mengalami pendarahan jadi dokter memutuskan untuk melakukan operasi caesar." Dika berusaha menjelaskan dengan sangat hati-hati.

"Oprasi? Tapi kandunganku baru delapan bulan. Bagaimana mungkin dokter memutuskan operasi begitu saja?"

"Kamu kehilangan banyak darah dan detak jantung bayi dalam kandunganmu terus melemah."

Rhea menangis histeris. Ia mengalami sakit berlipat ganda. Sakit pasca operasi, sakit karena melahirkan anak prematur dan sakit karena kehilangan ibunya untuk selamanya.

Suster datang untuk memeriksa Rhea lalu juga menjelaskan kondisi putranya yang masih harus dibantu inkubator karena lahir prematur. Suster menyarankan Rhea untuk tetap memerah atau memompa asinya untuk diberikan pada sang bayi, tapi ia menolak. Ia belum bisa menerima kehadiran bayi yang sesungguhnya tidak pernah ia inginkan, apalagi harus terlahir dalam keadaan prematur seperti itu.

Terpopuler

Comments

Sri Widjiastuti

Sri Widjiastuti

amit2 sdh salah g nyadar2...

2023-07-20

0

Inru

Inru

Mampir thor... kasihan, Rhea

2022-10-26

0

Uthie

Uthie

Mampir.. coba nyimak 👍🤗

2022-10-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!