Setelah menempuh perjalanan sehari semalam dengan bis antar kota dalam provinsi, dua jam dengan angkot penuh sesak dan dua puluh lima menit berjalan kaki, Rhea akhirnya tiba di rumah Bara, sepupu Tata yang sedang menjadi TKI di Jepang.
Ia bersusah payah membuka pintu rumah yang lebih mirip gudang karena penuh dengan debu dan sarang laba-laba akibat sudah lama tidak dihuni. Ia tidak punya tenaga lagi untuk membersihkan rumah tersebut. Ingin rasanya ia langsung tidur saja di atas ranjang yang penuh debu saking lelahnya, tapi jiwa keartisannya masih meronta jijik dan enggan bersentuhan dengan debu-debu itu.
Ia melihat ke sekitar tapi sangat sepi, tak seorangpun yang melintas dan bisa dimintai bantuan. Rumah Bara sangat tidak strategis, selain jauh dari keramaian, rumah itu terletak di sebuah gang sempit yang hanya cukup dilalui satu motor saja.
Rhea mengelus perutnya yang semakin membuncit. Ia sesekali berusaha menenangkan bayi yang terus saja menendang-nendang di dalam perutnya. Ia benar-benar lelah. Tak lama kemudian ia melihat pria yang membantunya di jalan tadi.
“Mas! Sini!” Rhea melambaikan tangan memanggil pria itu. “Mas bisa bantu saya lagi ngga?!”
Pria itu hanya diam terpaku menatap jengah kepada Rhea.
Rhea memberikan dua lembar ratus ribuan kepada pria itu, “ Ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu saya membawa koper ke sini dan tolong sekalian bersihkan rumah ini ya? Saya takut tikus dan kecoak dan saya tidak terbiasa bersih-bersih sendiri.”
Ingin rasanya Dika melempar uang itu ke wajah Rhea yang sombong dan seenaknya sendiri. Tapi melihat perutnya yang buncit dan wajah polosnya yang terlihat kelelahan saat begitu saja tertidur di bale-bale yang ada di teras rumah Bara, ia merasa tidak tega.
Rhea sama sekali tidak tahu bahwa ada seseorang yang sengaja diutus Dika untuk membersihkan rumah Bara ketika ia tertidur. Saat bangun, Rhea sudah melihat rumah Bara yang bersih dan rapi. Ditambah lagi ada sepiring nasi dan dua lembar uang ratus ribuan di atas meja.
Seperti biasa, Rhea tidak pernah mau ambil pusing dengan hal-hal remeh seperti itu. Jika ia mengembalikan uangnya, bagi Rhea ada dua kemungkinan, gengsi atau kurang banyak dan melihat dari penampilan Dika, ia yakin alasan pertama lebih masuk akal.
Setelah kenyang, Rhea melanjutkan tidurnya di kamar Bara. Ia baru bangun ketika ponselnya berdering tengah malam. Sebuah panggilan telepon dari Tata, sahabat yang sekaligus mantan manajernya.
“Ya Kak?”
“Rhe, lo dah sampe? Dari tadi gue telponin ngga diangkat-angkat.”
“Ketiduran gue, capek banget, Kak.”
“Yaudah yang penting lo dah sampe disana. baik-baik ya Rhe. Ntar kalo inget, gue telpon lagi” Tata tertawa sebelum akhirnya memutus sambungan teleponnya.
Rhea merasa perutnya sangat lapar. Ia ke dapur untuk mencari bahan makanan tapi tak menemukan apapun. Rumah itu sudah sangat lama tidak dihuni, tentu saja tidak ada bahan makanan yang tersisa. Ia berusaha menahan laparnya dengan sebotol air mineral yang dibelinya di toko depan gapura masuk ke Desa Sumber tadi.
Rhea merasa senang bisa meninggalkan semua kekacauan yang dibuatnya, tapi ia juga sedih harus tinggal di rumah yang sangat sederhana di desa terpencil itu. Ia bahkan tidak bisa memesan layanan pesan antar kapanpun dengan mudah seperti dulu.
Ia kembali mengelus perut buncitnya. Ada rasa benci dengan isi perutnya itu. Andai saja jabang bayi itu tidak bersemayam disana, ia tentu tidak perlu repot-repot melarikan diri dari kehidupan mapannya. Tapi kemudian sebuah kaki kecil menendang perutnya seakan tidak terima dengan kesalahan yang ditimpakan begitu saja kepadanya.
“Jangan berulah macam-macam. Malam ini kau harus menahan laparmu karena aku tidak menemukan sesuap nasipun untukmu!” katanya kepada perutnya sendiri.
“Dengar semua ini juga salahmu, jadi sebaiknya kau tetap tenang dan tidak membuat masalah lebih banyak lagi, atau aku akan membiarkanmu menderita sendirian.” Rhea kembali mengatai bayi dalam perutnya.
***
Setelah tiga bulan tinggal di Desa Sumber, Rhea mulai terbiasa dengan tukang sayur yang kadang datang hanya membawa bayam seikat dan tempe sebungkus karena sudah kehabisan, beras yang terlambat dikirim karena kendaraan pengiriman terjebak banjir, dan air minum yang tiba-tiba saja harus merebus karena galonnya habis dipinjam warga dan belum dikembalikan.
Semua hal yang dibenci Rhea ada desa terpencil itu. Tetangga doyan rumpi, jalanan sempit bergeronjal, kesepian dan jauh dari kemudahan dan kepraktisan hidup, keterlambatan informasi, kelangkaan kendaraan umum dan yang terparah adalah sinyal telepon yang sangat tidak stabil dan suka tiba-tiba hilang sendiri ketika sedang digunakan.
Seperti sebuah kutukan, hidupnya benar-benar jungkir balik disana. Rhea tiba-tiba teringat bagaimana ia terpaksa pergi dari rumah setelah diusir dengan sangat menyakitkan oleh ayahnya. Ia lalu teringat ibunya yang pasti akan selalu membantu dan mendukungnya dalam situasi sulit seperti saat ini. Hari itu ia benar-benar sangat merindukan ibunya.
Rhea meraih ponselnya berniat mencoba menghubungi ibunya, tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah panggilan telepon dari Tata. Rhea mengangkat teleponnya, ia mendengar suara serak dan sesenggukan dari ujung telepon.
"Kak, lo kenapa?"
Tata tak menjawab, ia tetap terisak.
"Kak!"
"Rhe, lo yang sabar ya.... Lo harus kuat!" Tata kembali menangis, "Ibu, Rhe..."
"Ibu kenapa kak?" Rhea mulai panik. Pikirannya menerka-nerka yang terjadi.
"Ibu menginggal dunia Rhe."
Rhea menjatuhkan ponselnya lalu pingsan, tubuhnya membentur meja lalu tergeletak di lantai, darah segar mengalir dari sela-sela pahanya. Mbok Tun yang kebetulan lewat dan mendengar suara benda jatuh, segera menghampiri rumah Bara dan ia berteriak histeris ketika mendapati Rhea yang sudah pingsan di lantai.
Warga langsung berdatangan membawa Rhea ke puskesmas. Mantri jaga khawatir dengan keadaan Rhea jadi mereka segera merujuk Rhea ke rumah sakit umum di kota. Setelah menempuh satu setengah jam perjalanan dengan ambulance, Rhea akhirnya tiba di rumah sakit.
Setelah memeriksa keadaan Rhea, dokter memutuskan bahwa Rhea harus segera dioperasi caesar meskipun usia kandungannya baru menginjak delapan bulan demi keselamatan ibu dan bayinya. Dika yang terpaksa bertindak sebagai wali akhirnya menurut keputusan dokter karena tidak ingin terjadi hal buruk pada Rhea dan bayinya.
***
Ketika tersadar dari pengaruh obat bius, Rhea menatap sekeliling. Ia merasakan nyeri yang luar biasa hebat di perutnya.
"Kamu sudah sadar, Rhe?"
"Apa yang terjadi?
"Kamu pingsan dan mengalami pendarahan jadi dokter memutuskan untuk melakukan operasi caesar." Dika berusaha menjelaskan dengan sangat hati-hati.
"Oprasi? Tapi kandunganku baru delapan bulan. Bagaimana mungkin dokter memutuskan operasi begitu saja?"
"Kamu kehilangan banyak darah dan detak jantung bayi dalam kandunganmu terus melemah."
Rhea menangis histeris. Ia mengalami sakit berlipat ganda. Sakit pasca operasi, sakit karena melahirkan anak prematur dan sakit karena kehilangan ibunya untuk selamanya.
Suster datang untuk memeriksa Rhea lalu juga menjelaskan kondisi putranya yang masih harus dibantu inkubator karena lahir prematur. Suster menyarankan Rhea untuk tetap memerah atau memompa asinya untuk diberikan pada sang bayi, tapi ia menolak. Ia belum bisa menerima kehadiran bayi yang sesungguhnya tidak pernah ia inginkan, apalagi harus terlahir dalam keadaan prematur seperti itu.
Pagi berikutnya Rhea sudah bisa bangun dari tempat tidurnya. Meskipun nyeri masih menjalar di sekujur perutnya, ia tidak bisa diam saja berbaring sementara ibunya di Sukabumi sudah dikebumikan.
Pagi buta itu, Rhea berniat melarikan diri dari rumah sakit, meninggalkan bayinya yang masih di dalam inkubator lalu pulang ke Sukabumi.
Rhea yakin pasti akan ada orang yang mau mengambil dan merawat bayi yang ditinggalkannya. Sementara Dika masih terlelap tidur di kursi dekat ranjang Rhea, ia mengemasi barang-barangnya untuk segera pergi sebelum ada orang yang tahu.
Sebelum pergi, ia menyempatkan diri untuk melihat anaknya yang masih tertidur pulas di dalam tabung inkubator. Bayi itu begitu kecil, mungil, lemah dan tak berdaya. Ia bahkan tak akan sanggup menangis sekalipun tahu Rhea meninggalkan dan menelantarkannya.
Ada rasa sakit yang kembali membakar hati Rhea. Ia merasa sangat terbebani dengan kehadiran bayi yang tidak pernah sekalipun diharapkannya itu, tapi ia juga merasa sangat keji membuang bayi yang tidak berdosa itu begitu saja. Rhea tahu betul bagaimana sakitnya tidak diinginkan, dibuang dan dicampakkan oleh orang yang paling disayanginya.
Rhea melihat bayi kecil itu menggeliat seakan lelah menerima beban hidup yang akan ditanggungnya. Bibirnya terlihat mengecap seakan ingin menunjukkan betapa lemahnya ia yang sangat membutuhkan bantuan orang lain hanya sekedar untuk makan dan minum agar terus hidup. Ia terlihat seperti sedang meringkuk, menahan dinginnya udara malam ketika ia hanya seorang diri tanpa perlindungan seorang ibu.
Seketika ia merasa tubuhnya kaku. Ia tak mampu beranjak pergi dari sisi bayi mungilnya. Ia terisak, menangis bersimpuh di samping bayinya. Ia adalah pezina yang nista dan penuh dosa. Tapi bagaimanapun juga ia bukanlah manusia tak berperasaan yang tega menelantarkan anak tak berdosa yang hadir karena kesalahannya.
Rhea mendengar bayinya menangis yang hampir menyerupai suara anak kucing yang sedang mengeong lemah. Bayi itu begitu lemah, ia bahkan tak mampu mengeluarkan suara tangis yang kencang dan menggelegar seperti bayi lain. Rhea mulai bimbang, ia yakin bayi itu bisa saja mati jika ditinggalkannya begitu saja malam itu.
Sejak saat itulah Rhea sadar bahwa ia harus bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia tidak ingin melarikan diri lagi. Meskipun ia tidak yakin bahwa dirinya mampu, Rhea bertekad untuk menjaga dan melindungi bayi mungil itu. Setidaknya ia berharap beban dan dosa akan sedikit berkurang jika ia berusaha memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Sesulit apapun itu, Rhea siap menanggungnya seorang diri.
Rhea mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia bertekad merawat bayinya lalu membawa bayi itu menemui ayahnya ketika sudah siap. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana menjaga bayinya agar bertahan hidup sampai hari itu tiba.
***
"Rhe, kamu sudah bangun?"
Rhea melihat sekeliling. Ia sudah kembali ke ranjangnya.
"Tadi pagi kamu pingsan di dekat ruang bayi." Dika berusaha menjelaskan situasinya.
Rhea ingat ketika berusaha meninggalkan bayinya sebelum subuh tadi. Kepalanya masih pusing dan nyeri di perutnya belum berkurang, tapi ia berusaha duduk.
"Apa boleh aku menggendong bayiku?"
"Belum bisa, Rhe, bayimu masih harus berada di dalam inkubator sampai kondisinya stabil. Tapi aku bisa mengantarmu melihatnya jika kau mau."
Rhea mengangguk, lalu Dika membantunya turun dan berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang bayi.
***
Setelah tiga hari menjalani perawatan di rumah sakit, Rhea akhirnya diijinkan pulang ke rumah, tetapi bayinya masih harus tetap dirawat di dalam inkubator selama satu sampai dua minggu hingga kondisinya stabil dan layak untuk dirawat di rumah.
Karena tak ingin berada jauh dari putranya dan jarak rumah sakit dan rumah Bara yang sangat jauh, akhirnya Rhea memutuskan untuk menginap di sebuah kamar kos di dekat rumah sakit sampai putranya diijinkan pulang bersamanya.
Rhea sudah menghabiskan semua sisa tabungannya untuk membayar biaya rumah sakit, biaya melahirkan dan perawatan bayinya, serta sewa kamar kos dan kebutuhan sehari-hari selama ia tidak bekerja. Hanya tersisa satu juta delapan ratus ribu rupiah untuk membeli perlengkapan bayi yang mendesak dan makan sampai ia mendapatkan pekerjaan.
Dua puluh hari kemudian, Rhea diijinkan membawa bayinya pulang. Sesampainya di rumah, Rhea bingung bagaimana cara merawat makhluk super kecil itu. Berat badannya baru sekitar dua setengah kilogram dengan panjang empat puluh delapan centimeter, tulangnya lunak dan kulitnya sangat halus. Rhea takut bahwa gendongannya akan membuat tulang sang bayi kelelahan, atau justru menjadi kegerahan karena selimut atau malah kedinginan karena selimutnya kurang tebal.
Bayinya terus saja menangis sementara ia tidak tahu bagaimana cara menenangkannya. Ia mencoba memberikan asi untuk putranya, tapi ia tetap saja menangis karena sepertinya asi Rhea belum lancar. Ia terus memaksa putranya minum asinya yang tak kunjung keluar banyak sampai putingnya lecet dan perih setengah mati.
Ia mengerang menahan sakit setiap kali putranya mengenyot putingnya. Tapi ia tak punya pilihan karena uangnya sudah banyak terkuras untuk membeli popok, bedak, baby oil, minyak kayu putih, minyak telon dan baju bayi. Hanya sisa beberapa ratus ribu yang akan ia gunakan untuk pulang ke Sukabumi. Tidak akan cukup untuk membeli susu formula untuk bayi baru lahir yang harga sangat mahal.
Rhea sangat berharap ayahnya akan luluh melihat kepolosan putranya lalu memaafkan salahnya dan memintanya untuk tinggal bersama lagi di Sukabumi. Dengan begitu, setidaknya Rhea tidak perlu khawatir soal uang untuk keperluan sehari-harinya dan putranya.
Sementara menahan lecet putingnya, si bayi tak kunjung merasa tenang. Ia masih saja menangis. Rhea yang hampir gila menenangkan anaknya, memiliki inisiatif untuk membalurkan minyak telon pada tubuh putranya agar merasa lebih hangat dan nyaman sehingga tidak akan menangis lagi.
Tapi alih-alih mengambil minyak telon, Rhea justru membalurkan baby oil ke tubuh putranya. Sadar bahwa tubuh putranya jadi licin dan berminyak, ia segera menambahkan minyak kayu putih. Bukannya diam, si bayi justru menangis semakin kencang.
Rhea depresi, ia takut untuk mendekati bayinya. Takut kalau-kalau si bayi justru menangis karena dirinya. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara menenangkan si bayi.
Tak lama kemudian, Dika dan Mbok Tun yang tinggal berdekatan dengan Rhea datang ketika mendengar suara tangis bayi Rhea semakin kencang. Mbok Tun mengecek suhu tubuh bayi Rhea yang ternyata demam tinggi. Dika segera mengeluarkan motornya dan membawa Rhea dan bayinya ke rumah bidan. Setelah diperiksa, ternyara bayi Rhea mengalami dehidrasi akut sehingga terpaksa dibantu dengan susu formula dan cairan rehidrasi oral.
Rhea masih tampak sangat depresi, tatapannya kosong. Ia bahkan tidak bereaksi apapun ketika bidan panik dan segera memberikan pertolongan pertama pada putranya. Bukan tidak peduli, hanya saja Rhea seperti hilang akal, shock untuk sesaat. Ia tidak tahu apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan dan tidak yakin apakah ia mampu bertahan dalam situasi yang sangat mencekiknya itu.
Bukannya bertanya bagaimana kondisi putranya saat itu, Rhea justru bertanya apakah bayinya diijinkan untuk dibawa pulang ke Sukabumi. Dengan kondisi seperti itu, sang bidan jelas melarang Rhea. Akan sangat berbahaya membawa bayi baru lahir yang kondisinya belum stabil seperti itu, untuk bepergian terlalu jauh seperti ke Sukabumi.
Untuk sesaat, Rhea kehilangan harapan hidup satu-satunya, yaitu ayahnya. Rhea yakin hanya ayahnyalah yang bisa membantunya keluar dari situasi paling sulit dalam hidupnya seperti saat itu.
Setelah bertahan hidup selama tiga bulan bersama putra yang diberinya nama Albiansyah Putra atau biasa dipanggil Albi itu, dan dengan bantuan para tetangga, akhirnya Rhea bisa juga mewujudkan keinginannya untuk pulang menemui ayahnya di Sukabumi.
Dika membantu Rhea menyewa sebuah mobil dan bersama Mbok Tun mengantar Rhea dan Albi pulang. Meskipun harus puluhan kali berhenti untuk menenangkan Albi yang sering menangis, mengganti ban dan memperbaiki kendaraan yang memang cukup tua untuk dibawa berkendara jauh, tapi mereka akhirnya sampai juga di Sukabumi.
Rhea sudah tidak sabar untuk mempertemukan Albi dengan kakeknya. Ia mengetuk pintu dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, ayahnya keluar dari balik pintu. Pak Iman tertegun, ia tidak menyangka putrinya akan datang bersama seorang bayi, seorang lelaki asing dan wanita paruh baya.
Ia lantas menyimpulkan bahwa Rhea sudah menikah dengan pria asing tanpa meminta ijin ayahnya. Setelah kecewa dengan perbuatan Rhea di masa lalu, kini ia kembali dibuat kecewa karena putri tunggal yang sangat dicintainya kini tak lagi menanggapnya, bahkan bisa begitu saja menikah tanpa meminta ijin dan restunya.
"Yah, Rhea pulang." Mata Rhea berkaca-kaca karena bisa kembali melihat wajah ayahnya setelah sekian lama, "Ini Albi, cucu ayah."
Pak Iman tak bergeming.
Rhea mendekatkan putranya, berharap sang ayah menyambut dan menggendongnya. Tapi kenyataan justru sebaliknya, Pak Iman menepis tangan Rhea lalu menjauhkan diri dari bayi Rhea.
"Jangan mendekat. Anak ini bukan cucuku."
Rhea terkejut. Bagai disambar petir di siang bolong, ia tidak pernah menyangka ayahnya akan bersikap seperti itu.
"Yah!" Rhea tak kuasa menahan tangisnya.
"Pergilah. Aku tak punya anak dan cucu seperti kalian. Ibumu sudah mati karenamu, jadi jangan buat aku mati juga dengan alasan yang sama!"
Rhea pernah merasakan sakitnya dicampakkan, dibuang, hidup menderita dengan putranya, tapi ia belum pernah merasakan sakitnya seperti ketika ia mendengar perkataan ayahnya hari itu.
Bukan hanya harapannya yang hancur, tapi seluruh jiwa dan raganya mati rasa. Ia mundur beberapa langkah, sempat hampir terjatuh, tapi ia menahannya. Meski dengan bantuan Dika dan Mbok Tun, Rhea berusaha berdiri tegak, membalikkan tubuhnya, meninggalkan ayahnya yang telah membuangnya dan putranya seperti sampah.
Mbok Tun yang menyaksikan semuanya tak kalah geram. Bukannya mengikuti Rhea masuk ke mobil, ia justru menghampiri Pak Iman dan memakinya.
"Ingat ucapan saya, Pak. Anda pasti akan menyesali perkataan kejam anda barusan." Mbok Tun lalu berbalik untuk menyusul Rhea tapi Pak Iman menghentikannya, lalu menitipkan sebuah cincin kepada Mbok Tun untuk Rhea.
Tanpa mengucap sepatah katapun, Pak Iman langsung masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintunya dari dalam. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia menyesali perkataan dan perbuatannya. Tapi ia tak bisa membiarkan Rhea dan putranya semakin menderita hidup bersama pria penyakitan seperti dirinya.
Ia menahan sesak di dadanya, menyaksikan mobil yang membawa putri dan cucunya pergi jauh dari balik tirai jendela rumahnya. Ingin rasanya ia menghentikan kepergian Rhea, tapi ia ingat bahwa itu adalah keputusan terbaik yang bisa dibuatnya saat itu.
Meskipun begitu, setidaknya ia masih bisa bersyukur karena sudah melihat wajah menggemaskan sang cucu. Ia berdoa dalam hati bahwa cucunya selalu diberi keberkahan dan kemuliaan hidup. Dikaruniai bakat yang akan membuatnya mampu bertahan menghadapi seleksi alam dan menjaga Rhea, putrinya.
***
Mbok Tun ingin menyerahkan cincin pemberian Pak Iman kepada Rhea. Tapi melihat kondisi Rhea yang masih sangat sedih dan membenci ayahnya, ia mengurungkan niatnya. Ia akan menunggu saat yang tepat.
"Mbok, boleh saya minta tolong?"
"Minta tolong opo tho, nduk?"
"Anggap saja hari ini Mbok tidak melihat dan mendengar apapun."
Mbok Tun tersenyum, "Mbok ngga melihat dan mendengar apapun, jadi jangan khawatir yo?!"
***
Setelah kembali ke Desa Sumber, Rhea benar-benar terpuruk. Ia tidak lagi memiliki uang untuk membeli kebutuhan hidupnya dan Albi. Ayahnya sudah tidak bisa diharapkan lagi dan ia belum memiliki pekerjaan.
Demi membeli sekantong beras dan lauk agar bisa makan dan memberikan asi untuk Albi, Rhea melamar untuk bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Kades, ayah Dika, yang kebetulan adalah orang terkaya di desanya dan rumahnya juga sangat dekat dengan rumah Bara. Jadi Rhea bisa tetap bekerja sambil sering melihat-lihat keadaan Albi di rumah.
Awalnya Pak Kades menolak, karena dirumahnya dihuni oleh tiga orang pria yaitu Pak Kades, Bima dan Udin, sopir sekaligus pembantu pribadi Pak Kades. Sementara Rhea dikenal sebagai janda beranak satu. Beliau khawatir hal itu akan menjadi bahan gunjingan di kalangan warga. Namun Dika terus saja berusaha meyakinkan ayahnya, akhirnya Pak Kades setuju untuk mempekerjakan Rhea sebagai tukanh cuci, masak dan bersih-bersih di rumahnya.
Belum merasa cukup dengan penghasilan dari Pak Kades, Rhea mencari pekerjaan tambahan lain dengan menjadi buruh cuci dan setrika di rumah Bu Imron, juragan lele di desa itu. Rhea membawa cucian Bu Imron pulang untuk disetrika sembari menjaga Albi yang baru berusia tiga bulan.
Meskipun tenaga Rhea habis untuk bekerja keras setiap hari, tapi entah bagaimana lelahnya tiba-tiba saja hilang ketika melihat Albi yang mulai belajar meraih benda-benda yang Rhea dekatkan di hadapannya, belajar berguling dan tengkurap. Rhea merasa senang melihat bayi kecil yang terkulai tak berdaya di dalam inkubator akhirnya bisa merespon rangsangannya, mulai bisa diajak bermain dan semakin menggemaskan.
Rhea jadi kembali bersemangat untuk bangkit dari keterpurukannya demi menyaksikan Albi tengkurap, merangkak, berjalan dan akhirnya berlari menggapai kesuksesan dan kebahagiaan hidup bersamanya. Ia meyakinkan diri untuk menjadi lebih kuat karena saat ini hanya dirinyalah satu-satunya tempat Albi bergantung dan mengharap kasih sayang sebagai seorang ibu sekaligus ayah bagi Albi. Sejak hari itu Rhea bertekad untuk tidak lagi menangisi nasib buruknya. Ia yakin akan ada kemudahan setelah sekian banyak kesulitan yang dilaluinya. Ia hanya perlu bersabar hingga hari itu tiba dan selalu tersenyum seakan hidupnya baik-baik saja seperti dulu kala. Karena ia baru sadar bahwa belakangan ini ia bahkan sering lupa bagaimana caranya tersenyum dan bahagia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!