Inikah Rasanya?
Hidup itu terkadang tidak adil. Bagi mereka yang memiliki paras yang sedap dipandang mata, selalu ada maaf kala melakukan kesalahan. Sedangkan bagi yang memiliki paras pas-pasan atau di bawah standar sepertiku, ketika melakukan kesalahan harus siap menahan ribuan hujatan.
Mengapa dunia ini dipenuhi penilaian dari pandang mata? Ya, aku memang iri. Andai saja aku memiliki wajah dan postur yang menawan, aku pasti punya kepercayaan diri dalam bersosialisasi. Aku ingin sekali merasakan indahnya berkawan. Juga menerima pujian, didekati banyak orang, dan memiliki keberanian untuk menyatakan cinta tanpa takut ditolak.
Mengapa, Tuhan? Mengapa Engkau tak memberiku satu saja privilege untuk bertahan hidup di dunia? Mungkinkah saat pembagian wajah aku berada di barisan paling belakang?!
Sejak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) hidupku sudah tidak seru. Masa perubahan fisik yang diharapkan membawa perubahan besar, justru membuat aku tampil bak si Buruk Rupa. Tak ada yang sudi menyodorkan tangan untuk berkenalan denganku.
Bahkan ketika di dalam kelas aku duduk di barisan depan, sering ada yang meneriaki jika aku merusak pemandangan. Aku pun akhirnya selalu menetap di kursi paling ujung yang bukan dekat dengan jendela. Mengenaskan!
Sempat terpikir untuk bunuh diri, tetapi aku masih takut dosa. Berharap bisa bereinkarnasi menjadi Idol Korea, tapi aku harus menempuh ribuan langkah ke arah Barat sembari mencari Biksu Tong. Atau apa aku tanya Park Hyung Seok di mana dia mendapatkan tubuh yang sempurna? Ah, itu kan hanya fantasi yang ditulis dan diilustrasikan oleh Park Tae-joon. Hah!!!
Sekarang, aku sudah menjalani kehidupan sebagai mahasiswa selama 3 bulan. Namun dari mulai OSPEK hingga awal pembelajaran, ketika aku memperkenalkan diri tak ada yang menanggapi. Semuanya bahkan membanting penglihatan ke arah yang lain. Seburuk itukah rupaku hingga tak pantas sedikit pun mendapatkan atensi?
Setiap kali mandi, aku menggosok tubuhku dengan dengan keras. Kadang-kadang aku menggunakan sikat baja agar bisa cepat mengkilap. Tebak apa yang terjadi? Ya, malah badanku lecet-lecet dan perih.
Aku juga sudah menghabiskan jutaan rupiah – hasil tabungan uang jajan sekolah yang tidak pernah dibelanjakan – untuk membeli obat peninggi badan. Hasilnya, tinggi badanku sekarang masih di 165 cm. Mungkinkah bisa mencapai angka 180 cm sebelum masa pertumbuhan ini berakhir?
Huh! Aku kehabisan akal setiap kali meratapi nasib. Sudahlah! Mending aku pulang, kemudian tidur. Perkuliahan sore selain membuat mengantuk juga membuat pikiran mengawang dalam lamunan.
“Hai….” Seorang perempuan, teman sekelas, melambaikan tangan dan berteriak kepadaku dari jarak sekitar 15 meter. “Pulang bareng yuk!”
Metha, benarkah ajakan tersebut mengarah kepadaku? Tempat tinggal kami memang berdekatan. Aku tak menyangka dia ingin pulang bersamaku.
Kukembangkan senyum sedikit demi sedikit. Lalu, berjalan tersipu mendekatinya. Tadi, saat bubaran kelas, dia tergesa-gesa keluar. Apa karena dia malu kalau mengajakku pulang di hadapan banyak teman-teman?!
Setelah hanya berjarak beberapa langkah, Metha mendekati. Tangan kanannya menjulur seakan ingin menarik tangan kiriku. Jantungku berdebar dengan sangat kencang. Wow! Aku akan mengingat hari ini seumur hidupku.
“Ayo, Mut! Gue udah laper nih. Lu lelet banget sih jalannya,” ucap Metha.
Benar saja. Tangan yang Metha tarik bukan tanganku, melainkan tangan Mutia.
Sial! Seharusnya aku melihat kanan dan kiri, depan dan belakang sebelum memupuk rasa percaya diri. Untung saja aku tidak menyahuti panggilan Metha.
“Orang aneh itu ngapain sih senyum-senyum sama gue. Menjijikan banget deh,” ujar Metha dengan gesture berbisik kepada Mutia. Namun, suaranya cukup bisa kudengar dengan jelas.
“Met, kamu nggak boleh ngomong seperti itu,” respon Mutia.
Kemudian Mutia berbalik badan, dan melihatku. Kali ini, aku menundukkan kepala. Sudah pasti, bukan aku yang hendak dia pandang. Aku pun memutuskan mempercepat langkah mendahului mereka berdua.
Setiba di kost, aku langsung menumpahkan kekesalan dengan melempar ransel ke lantai. Ya, Metha mengatakan aku begitu menjijikan. Apa aku di matanya bagaikan sampah yang berbau dan hina?
Sakit hati ini yang Metha timbulkan memang tidak seberapa. Aku sudah cukup terbiasa mendengarnya. Namun, jika dikumpulkan bersama ucapan teman-teman yang lain seolah membentuk nuklir dalam pikiranku.
Akhhhh!!! Aku lantas mengobrak-abrik mesin pencarian Google untuk mencari resep menjadi tampan dalam semalam. Terdengar mustahil. Akan tetapi, dunia ini terkadang dipenuhi hal-hal yang di luar batas logika, bukan?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments