Chapter 3: Permulaan

Inikah rasanya memiliki teman? Seumur hidup, ini pertama kali adu dibonceng oleh orang yang aku kenal. Rasa bahagia dan curiga berintergrasi memandu pikiran. Mengapa aku curiga kepada Bagas?

Jujur, aku takut sekali ada maksud terselubung dari sikap baiknya beberapa hari ini. Jangan-jangan dia akan membuat vlog, memversuskan hidupku dengan hidupnya.

Memang, Bagas tak perlu melakukan hal tersebut. Dia sudah memiliki kepopuleran dan kekayaan. Namun jika sikap seorang berubah tiba-tiba, sudah dipastikan ada sesuatu yang mendasarinya. Ah! Aku harus waspada.

“Di….”

“Heem,” gumamku.

“Ardi….”

“Heem,” ulangku.

“Dari tadi lu diem aja. Kenapa?”

Apa yang harus kukatakan? Aku tak punya banyak kosakata atau pun topik untuk mengajaknya berbincang.

“Di, lu tuh kenapa sih jarang banget atau nyaris nggak pernah ngomong sama teman-teman? Lu tuh gue rasa lebih-lebih dari sekedar introvert.”

Pertanyaan macam apa itu? Aku tidak banyak (atau tidak pernah) terlibat interaksi bahasa, karena tidak ada juga dari mereka yang mengajakku berbicara.

“Lu nggak bisu kan seperti yang anak-anak selalu katakan tentang lu?”

Bisu? Aku pernah berbicara di depan kelas, tetapi tak ada satu pun yang menanggapi. Jika karena itu aku disebut bisu, mereka saja yang sibuk dengan kehidupan dan circle masing-masing. Kujawab semua pertanyaan Bagas dalam hati.

Sssseeetttttt!!! Dengan kecepatan yang cukup tinggi, Bagas melakukan pengereman mendadak. Hampir saja tubuhku terpental ke aspal.

“Lu mau ngajak makan bakso atau ngajak bunuh diri? Kalau lu bosen hidup, jangan libatin orang lain!” Aku naik pitam. Tanpa ancang-ancang memarahinya dengan lantang.

Meskipun hidupku laksana pohon pisang yang buahnya sudah diambil, tetapi aku masih punya mimpi untuk menumbuhkan tunas harapan yang baru.

“Sini gue aja yang bawa motornya!” Aku memakinya lagi sambil turun dari motor.

Bagas melihatku cengengesan, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Minggir lu! Kalau motor gue yang rusak, itu masih bisa diganti. Tapi kalau gue celaka bahkan mati, bisa lu negosiasi sama Tuhan!” Aku begitu berapi-api memarahinya. Wajar, jantungku saja masih terus berdebar hebat.

Dia tidak mau berpindah dari kemudi. Malah tawanya semakin menjadi-jadi. “Haha…. Berhasil juga gue. Haha….”

Apanya yang berhasil? Ternyata di balik kesempurnaan yang dia miliki, ada juga sisi gelap ketidakwarasan.

“Cepat, minggir!” pintaku sekali lagi.

“Udah, udah. Gue aja yang bawa. Aduh.... Haha…. Sakit perut gue ketawa terus.”

Nyaris terkapar di jalanan justru membuatnya bahagia. Sungguh selera humornya di luar nalar.

“Udah. Aduh…. Haha…. Naik aja lagi, Di. Tadi gue cuma ngetes aja lu beneran bisu atau kagak. Ternyata lu bawel juga ya kayak cewek. Hahaha….”

Siapa pun aku rasa bakal sewot ketika nyawanya dibawa ke ujung tanduk oleh orang lain. Eh tapi, dia mengatakan hanya ingin menguji lidahku masih berfungsi atau tidak. Bedebah!

“Ternyata hanya ketakutan yang bisa membuat lu bersuara.” Bagas mengeleng-gelengkan kepala menahan tawa.

Aku pun memolotinya. “Lu pikir nyawa orang mainan?!”

“Sorry deh, Di. Kalau nggak begitu, gue nggak akan bisa cerita ke temen-temen kalau lu bisa ngomong lebih dari satu kalimat,” kelakarnya.

Setelah kupikir-pikir, ternyata memiliki kawan berbicara bisa seketika melegakan pikiran. Dulu aku hanya mengawang. Kini, aku merasakannya sendiri.

Bagas menghidupkan motor kembali. “Ayo, gue jadi tambah laper nih ketawa mulu.”

Huh! Hati memberikan stimulus pada otak jika kejadian hari ini tidak perlu dibenamkan menjadi asa. Tidak mungkin Bagas menjadikanku temannya. Ini hanya sementara. Kukunci lagi mulutku rapat-rapat.

Beberapa menit kemudian, sampailah di tempat tujuan. Hah? Apanya yang sepi? Pengunjung di warung bakso ini jelas begitu ramai.

Putar balik atau lanjutkan saja? Namun, Bagas memimpin turun dari motor.

Begitu kedua kaki tegap menginjak bumi, puluhan pasang mata mengarah kepadaku dan Bagas. Dugaanku semakin menguat, sepertinya Bagas memang berniat mempermalukanku. Atau dia sedang membuat eskperimen sosial tentang kehidupan seorang tampan nan kaya yang tidak sombong. Dia ingin menunjukkan kepada dunia kehidupannya yang bersahaja dengan tajuk “A day in my life.”

Sabar, Di! Perhatikan saja alurnya terlebih dahulu.

“Yuk!” ajak Bagas.

Aku terdiam terpaku.

“Kenapa lagi, Di? Tadi lu udah bisa ngomong lancar banget. Kok sekarang diam lagi sih?”

“Ini yang lu bilang tempat sepi? Tujuan lu ngajak gue ke sini sebenarnya apa sih? Lu mau nyalonin diri jadi anggota legislatif? Lu lagi berusaha melakukan pencitraan?” ungkapku dengan suara pelan, namun menukik.

“Bahasa lu ketinggian, Di. Udahlah, ikutin gue aja!”

Aku menurut. Kuikuti langkah Bagas dengan menutup telinga, karena sayup-sayup terdengar suara yang membandingkan aku dan dia.

“Duduk sini! Gue pesen dulu. Mau campur atau nggak?”

“Heem.”

“Ok.”

Jika di depan begitu ramai, di sini justru begitu damai. Sebuah gazebo tertutup yang menghadap langsung ke Danau Sunter. Apa ini tempat VVIP? Hem, sangat nyaman untuk menghirup aroma harum kesendirian dari jamaknya problematika kehidupan.

Maaf, Gas! Aku terlalu berburuk sangka. Rasa iba atau kasihan, atau apa pun itu yang ditunjukkan Bagas kepadaku, semestinya kusambut dengan hangat.

Tak lama Bagas datang membawa nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh manis. Pantas saja semua orang di kampus selalu mengelu-elukannya. Dia baik, dia terlalu sempurna sebagai manusia. Mungkinkah jatah istimewa sewaktu aku akan dilahirkan ke dunia diambil semua oleh dia? Entahlah!

***

Hari ke hari bergulir semakin menyiksa batin. Prasangkaku kepada Bagas yang keliru membuat aku tambah berharap bisa menjadi seperti dirinya.

Andai saja ini dunia fantasi dan tubuh manusia berbentuk modular, aku pasti akan merancang tubuhku seperti Bagas. Terkait sifat dan kecerdasan, itu bisa dipelajari belakangan. Setidaknya, menjadi pria yang memesona terlebih dulu untuk membuka akses berjalan di atas karpet merah.

Sudahlah! Lebih baik aku pulang saja ke kost, lalu tidur. Semoga saja ketika bangun, wajahku berubah menjadi rupawan.

Begitu menstarter Honda Vario-ku yang lawas, tiba-tiba seorang menumpang di jok motorku. Aku pun langsung menoleh.

“Ngapain lu naik di motor gue?”

“Cepat jalan, Di!” perintahnya. Tampak ada kepanikan dalam raut wajahnya.

“Ke mana? Gue mau pulang ke kost.”

“Ya udah, gue ikut.”

“Nggak bisa, gue mau istirahat.”

“Bawel lu! Sini motornya gue bawa.”

Bagas merampas lagi motorku seperti kemarin.

“Mobil lu kan itu ada,” tunjukku agar Bagas berpindah.

“Gue lupa kuncinya ada di Andy.”

“Kenapa nggak lu ambil?”

“Gue nggak ada waktu. Udah, cepetan pindah ke belakang!”

Aku yang punya motor, malah dia yang memerintah.

Bagas pun memacu motorku segera. Dia naikkan sedikit demi sedikit kecepatan.

Lalu, terdengar suara para perempuan berseru kepada Bagas. Jadi, dia sedang mengihindar dari serbuan fans-nya.

Seperti apa ya rasanya dipanggil dan diteriaki oleh para gadis? Sedangkan aku, hanya guru atau dosen yang memanggil kala absensi di kelas.

Setelah sampai di jalan raya, Bagas menurunkan kecepatan. Motor melaju di kisaran 30 – 40 KM/jam. Kemudian, dia membuka obrolan.

“Lu kenapa nggak tinggal di rumah nenek lu lagi, Di?”

Aku tersentak. Dari mana Bagas tahu sewaktu SMA aku tinggal bersama nenekku?

“Nenek gue udah meninggal,” jelasku.

“Terus lu nge-kost sendiri? Di belakang kampus?”

“Iya.” Siapa juga yang mau jadi teman kost-ku.

“Tapi, kenapa gue lebih sering lihat lu bawa motor ke kampus dibanding jalan kaki?”

“Biar motornya nggak turun mesin.”

“Cuma karena itu?”

“Heem.”

Sebenarnya motor ini lebih ditujukan biar aku mudah pulang kampung ke Serang tiap bulan. Kalau naik bis seringnya aku bayar dua kursi, karena tidak ada penumpang yang bersedia duduk di sampingku. Memang, dunia ini terkadang amat kejam.

Namun, alasan utama aku kerap memilih mengendarai motor ke kampus yaitu agar pas jam kosong aku bisa menepi ke tempat yang sepi. Sekaligus mencari pengisi perut.

“Di…”

“Heem.”

“Lu sama Mutia itu sama-sama dari Serang, kan? Apa kalian satu kampung?”

“Beda kecamatan.”

“Tapi waktu SMA Mutia juga sekolahnya di Jakarta, satu sekolahan sama kita, walau nggak pernah satu kelas sih. Cuma kita aja yang terus sekelas dari kelas 1 sampe lulus ya. Hehe…”

Apa Bagas mendekatiku karena dia merasa aku tahu banyak tentang Mutia?

“Mutia juga kan waktu SMA sama kayak lu, tinggal di rumah neneknya. Sekarang dia nge-kost juga, dan kostnya dekat kost lu lagi.”

Ternyata Bagas sedetil itu memerhatikan aku dan juga Mutia. Baiklah, ini sudah terang benderang. Bagas sepertinya suka kepada Mutia. Aku harus mencegah mereka bersanding, sekalipun peluangnya mungkin di 0,001 persen.

“Kalian banyak kesamaan ya.” Bagas masih berupaya berbasa-basi.

“Lu suka sama Mutia?” todongku.

“Gue suka sama Mutia? Haha…” Bagas malah tertawa. “Dia lumayan cantik, manis, dan cerdas. Sayangnya, dia bukan tipe gue.”

Apa dia mengelak untuk bermain lebih apik?

Ketika dia mengatakan Mutia bukan tipenya, memang itu sah-sah saja dan wajar. Dia punya banyak pilihan untuk menjatuhkan hati kepada perempuan yang lebih cantik dari Mutia.

Coba aku yang mengatakan seperti itu, dunia pasti langsung membullyku. Nama-nama hewan dan benda-benda lacur pun akan dipersonifikasikan sebagai diriku.

“Oh iya, gue pengen tanya sesuatu sama lu, Di. Kenapa sih lu tuh tertutup banget? Baru dua hari ini gue denger lu ngomong lebih dari satu kalimat, di luar ketika lu presentasi tugas. Itu pun gue perlu upaya yang ekstra buat membangkitkan lidah lu.”

Pertanyaan itu lagi. Aku jengah mendengarnya. Pakai ungkapan membangkitkan segala. Apa dia pikir aku ini Suketi yang dibangkitkan dari kubur?!

“Nggak ada apa-apa,” jawabku ketus.

“Terkadang gue berpikir, enak ya hidup kayak lu. Bisa menikmati kebebasan. Bisa jalan ke mana aja tanpa beban.”

Enak? Sudah jelas dia hanya mengejek.

“Berhenti di sini! Gue mau pulang!”

“Jangan ngambek gitu dong, Di. Kayak cewek aja sih lu!”

“Emangnya lu mau bawa motor gue ke mana sih?”

“Cari tempat yang sepi?”

“Mau ngapain? Lu mau….”

“Jangan geer lu, gue masih normal.”

“Siapa juga yang geer. Gue cuma khawatir motor gue dirampok sama lu.”

“Motor butut begini siapa juga yang minat. Begal juga kalau lihat motor lu pasti putar balik. Hahaha….”

Hening. Aku memasang wajah kesal. Lalu, Bagas mengamati lewat spion.

“Di, gue salah ngomong ya? Sorry ya, Di. Ini kita udah mau sampai kok.”

Aku tak menanggapi. Meskipun dia yang salah berbicara, tetapi dalam kamus “Good Looking” aku yang bersalah. Aku yang akan dinilai “baper” (bawa perasaan).

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!