Chapter 2: Teman

Good looking dan kaya raya, sudah tentu hidup aman sentosa. Ketika melakukan dosa orang-orang akan mengatakan, “Ya ampun, kasihan sekali. Semoga masalah yang dia hadapi segera kelar. Dia mungkin hanya khilaf, ini hanya ujian untuknya supaya menjadi lebih baik lagi. Namanya juga manusia, tempat salah dan lupa”.

Sementara jika orang sepertiku yang melakukan salah, orang-orang ramai berucap sambil memohon pada langit agar didatangkan petir. “Dasar tidak pernah ngaca! Udah mah jelek, kelakuan minus, banyak tingkah. Mati aja sekalian disamber geledek. Kagak ada bersyukurnya sama sekali dalam hidup”. Begitulah kenyataan yang masih ada di sekitar. Orang terkadang bukan melihat besar kecilnya kesalahan yang dilakukan, tetapi menilai rupa orang yang melakukan kesalahan lebih dulu. Ironis!

Pagi ini aku ke kampus membawa motor. Rencananya, siang nanti aku ingin berkeliling mencari tukang bakso yang sepi pengunjung. Kegagalan untuk menyantap olahan daging tersebut di hari kemarin sampai terbawa mimpi.

Begitu tiba di parkiran fakultas. Aku merenung sejenak. Dulu ketika SMA keberadaanku dianggap sebagai angin oleh teman-teman satu kelas, bahkan satu sekolah. Ada, tapi tak terlihat. Hembusannya terasa, tapi tak dianggap. Di sini, baru berjalan satu triwulan kuliah, aku sudah mendapat perundungan secara non verbal kemarin. Semoga kejadian tersebut tak terulang lagi.

Tiba-tiba sebuah mobil BMW mewah parkir di sebelahku. Bagas, dia sang pengemudi dan pemiliknya. Saat aku sedang menata hati dan pikiran, dia muncul di hadapanku membangkitkan panas hati.

Ya, terlalu sering berkontak mata dengannya hanya akan semakin memicu rasa iri. Aku memutuskan untuk melanjutkan lamunan di kelas saja. Namun lepas menaruh helm di motor, pintu depan sebelah kiri mobil Bagas dibuka secara mendadak. Jaraknya kurang dari satu meter dengan posisiku untuk berjalan. Kontan aku tak bisa menghindari benturan.

Bruuuukkk!!! Tubuhku terdorong oleh pintu mobil yang dibuka tersebut. Aku pun terjungkal menimpa motorku sendiri, lalu tersungkur ke tanah. Sial! Umpatan hanya bisa ditahan dalam mulut.

Rasa sakit saat dada dan perut berbenturan dengan jok motor juga terpaksa harus ditahan. Sesaat kulihat pelakunya. Apakah itu Bagas? Tapi, bukankah biasanya dia di depan kemudi.

Hah, ternyata Leo. Kemarin Revan memancing nestapa, pagi ini salah satu teman sekomplotannya lagi. Baru numpang mobil orang saja lagaknya sudah belagu, apalagi dia yang bawa mobil. Apa dia tidak tahu manner dalam membuka pintu mobil? Tampilan saja sok borjuis, tetapi minim etika. Kesalku dalam hati.

Amarah dan jengkel menjalar, berpadu dalam batin sembari aku berusaha bangkit. Sementara itu, Leo berjalan tanpa rasa berdosa sedikit pun. Jangankan membantu, mengucapkan kata maaf saja tidak. Apa aku yang salah dalam hal ini? Lalu apa gunanya spion? Untuk apa pula kaca jadi jendela di mobil? Sungguh, aku geram sekali melihat dia melangkah dengan gaya parlente.

“Lu nggak apa-apa, Di?” Bagas membungkukkan badan sedikit. Ia memegangi stang motorku.

Kemudian, sorak sorai para pemuja Bagas bergema. “Bagasssss!!!”

Salah satu dari mereka pun mendekat. Dia lalu menarik tangan Bagas. “Gas, nanti kamu Tetanus loh megang motor buluk kayak gini!” ucapnya menghina. Ya, sangat jelas kan kata-katanya begitu merendahkan?!

Dia menuding motorku bisa menimbulkan penyakit hanya dengan memegangnya. Ingin sekali aku menjejalkan besi berkarat ke mulut dia agar tidak berbicara sembarangan. Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah ditolak oleh Bagas berkali-kali, tetapi saja mengemis cinta dan perhatian.

Ardi, sabar! Mengapa mengundang benci ke hati? Itu hanya akan membuat dada jauh lebih sesak.

“Dit, bisa tolong lepasi tangan aku? Aku mau bantuin Ardi dulu. Kasihan dia.” Bagas menahan diri.

“Udahlah! Biarin aja sih, Gas! Udah gede ini. Lagian yang salah juga dia, kenapa parkir di dekat mobil kamu. Harusnya kamu minta ganti rugi ke dia. Siapa tahu mobil kamu ada yang lecet.”

“Tapi, Ardi ini teman aku. Biar aku bantu dia sebentar ya.”

“Nggak perlu, Gas! Kamu nggak mau kan ketampanan kamu luntur akibat bersentuhan dengan dia? Ayolah, Gas! Aku dan teman-temanku punya hadiah buat kamu. Jadi, kemarin tuh kita coba buat yel-yel baru yang khusus untuk menyambut kamu pagi ini,” paksa Dita.

Adegan tarik menarik terpampang di depan mata. Aku menghembuskan nafas. Apakah ini filim televisi (FTV) atau penggalan adegan di serial drama Korea?

“Iya. Tapi sebentar….” Tangan kanan Bagas masih berusaha memegang stang kanan motorku, sedangkan tangan kanannya ditarik kuat oleh Dita.

Dita, mahasiswi dari Fakultas Ekonomi, jurusan Akuntansi. Dia begitu menggilai Bagas. Setiap hari hanya menunggu Bagas tiba, lalu memberikan hadiah atau hymne penyemangat. Aku tidak mengenal mereka secara personal, tetapi aku ini seorang pengamat yang baik.

“Gas, ayo cepetan! Di sini aromanya nggak sedap, seperti ada bau ******.” Leo berbalik badan untuk melepaskan hinaan kepadaku. Dia pun membantu Dita menarik lengan Bagas.

Bruuuukkk!!! Motorku terjatuh sekali lagi. Jika tidak niat membantu tak perlu tampil laksana pahlawan di depan banyak orang. Darahku mulai mencapai titik didih. Tahan, Ardi!

Aku tidak masalah jika motorku hancur. Namun, tanganku rasanya ingin sekali meninju mulut Leo. Dia memang tidak menyebutkan nama yang dia judge bau bangkai, tetapi matanya sempat menoleh ke arahku.

Biar begini, aku selalu mandi sebelum kuliah, pakai parfum, dan pakaianku selalu aku cuci dengan tambahan banyak pewangi. Sayangnya, aku payah. Aku sama sekali tidak punya kekuatan untuk melontarkan pembelaan.

Banyak pasang mata yang memandang kejadian ketika aku ambruk ke tanah. Bukannya berupaya menolong, mereka justru hanya fokus kepada Bagas. Apa karena orang sepertiku memang pantas diperlakukan seperti ini? Mengapa juga aku mengharap sesuatu yang sudah jelas tidak mungkin?!

Bagas, saking istimewanya dia, sengsaraku seolah hanya figuran – sebatas lewat. Andaikan aku seperti dia, aku bisa melakukan apa pun tanpa perlu khawatir akan datangnya hinaan, celaan, maupun cercaan.

Setelah Bagas, Leo, dan Dita menghilang dari penglihatanku, aku berjalan dengan sedikit tergopoh-gopoh menuju kelas. Lalu, aku berpapasan dengan Mutia.

“Kamu kenapa, Di? Jatuh dari motor? Mau aku bantu?” tanyanya lembut.

Aku tak berkata apa pun. Mulutku seakan digembok dengan kuat untuk berkisah mengenai kejadian yang aku alami. Aku juga menghindar ketika Mutia berusaha meraih tanganku untuk membantu melangkah.

“Di, kamu kenapa?” tanya lagi Mutia yang sabar menunggu bersuara.

Aku tak bisa memberikan jawaban. Aku tak terbiasa berbincang. Aku pun hanya bisa tertunduk lesu.

“Mutia, ayo cepat masuk kelas! Nanti kita telat loh!” teriak Metha.

Ya, tanpa melihat pun aku sudah hafal siapa pemilik vokal lantang tersebut.

“Aku duluan ya Di kalau gitu!” ucap Mutia.

Setelah dia berlalu, aku hanya bisa menyesali sikapku. Bodoh! Kenapa aku tak merespon kalimat demi kalimat yang dia alunkan kepadaku. Dibilang bisu, aku tidak. Hah! Lalu, kenapa pula aku tak membiarkan dia menyentuhku? Ah, aku hanya tidak mau menerima hujatan dari teman-teman yang lain setelahnya.

Sepanjang perkuliahan, aku sandarkan kepala di kursi. Rasanya ingin cepat-cepat saja pulang ke kost dan beristirahat! Belajar setiap hari tidak membuatku lebih cerdas dari Mutia, dan lebih tampan dari Bagas. Maaf, aku menang konyol.

“Ardi!!! Ardi!!! Aaaarddiii…”

Hah? Ada yang memanggilku. Aku pun lekas berdiri.

“Kalau kamu mau tidur, keluar saja dari kelas saya!” ujar Pak Niko, dosen mata kuliah Prosa I (satu).

Aku menggelengkan kepala.

“Kamu dengar apa yang baru saja saya sampaikan?”

Aku menganggukan kepala.

Lalu, suara riuh tawa mengisi ruang kelas. Diikuti celetukan-celetukan dari beberapa teman yang mengatakan aku tidak bisa berbicara.

“Apa? Coba kamu ulangi penjelasan saya!” tegas beliau.

Aku kumpulkan kekuatan untuk berbicara. Cukup lama berdiam diri tanpa mampu mengucap sepatah kata pun. Aku tadi tidak tidur. Aku mendengar penjelasan Pak Niko secara saksama.

“Sudahlah! Duduk lagi, Ardi! Nunggu kamu berbicara bisa-bisa habis waktu saya!” keluh beliau.

Aku kembali ke posisi semula. Fiuh!!!

Hingga kelas usai, nyeri masih tertinggal di tubuh. Semua teman-teman sudah meninggalkan kelas. Aku baru bisa pergi setelah mereka pergi. Aturan tidak tertulis yang entah mengapa bisa mengikut dari aku SMA hingga kuliah.

Suasana di parkiran cukup lengang. Aku duduk di motorku sambil mengumpulkan tenaga. Lebih baik aku pulang saja ke kost dan beristirahat. Besok-besok saja jika ingin menikmati semangkuk bakso. Pikirku.

Tiba-tiba Bagas menyapa dari arah belakang. “Hai, Di! Sorry banget ya atas kejadian tadi pagi. Motor lu lecet-lecet ya? Dibawa ke bengkel aja ya biar gue yang bayarin!”

Aku memilih untuk segera men-starter motorku, lalu memutar gas. Jika memang merasa bersalah harusnya menyampaikan setelah kejadian atau ketika tadi di dalam kelas.

“Di….” Bagas menahan lajuku. “Sebagai permintaan maaf gue, bagaimana kalau gue traktir bakso? Bukan di kantin di sini kok. Gue tahu tempat yang enak dan nyaman buat kita makan,” ungkapnya.

Kita? Apa maksudnya? Mengapa sekonyong-konyong dia tampak peduli kepadaku? Aneh!

Baru saja hendak menolak, pergerakannya justru begitu gesit mengambil alih motorku. Aku pun terdorong ke belakang.

“Jangan bengong, Di! Keburu temen-temen gue datang,” terangnya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!