NovelToon NovelToon

Inikah Rasanya?

Obsesi

Hidup itu terkadang tidak adil. Bagi mereka yang memiliki paras yang sedap dipandang mata, selalu ada maaf kala melakukan kesalahan. Sedangkan bagi yang memiliki paras pas-pasan atau di bawah standar sepertiku, ketika melakukan kesalahan harus siap menahan ribuan hujatan.

Mengapa dunia ini dipenuhi penilaian dari pandang mata? Ya, aku memang iri. Andai saja aku memiliki wajah dan postur yang menawan, aku pasti punya kepercayaan diri dalam bersosialisasi. Aku ingin sekali merasakan indahnya berkawan. Juga menerima pujian, didekati banyak orang, dan memiliki keberanian untuk menyatakan cinta tanpa takut ditolak.

Mengapa, Tuhan? Mengapa Engkau tak memberiku satu saja privilege untuk bertahan hidup di dunia? Mungkinkah saat pembagian wajah aku berada di barisan paling belakang?!

Sejak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) hidupku sudah tidak seru. Masa perubahan fisik yang diharapkan membawa perubahan besar, justru membuat aku tampil bak si Buruk Rupa. Tak ada yang sudi menyodorkan tangan untuk berkenalan denganku.

Bahkan ketika di dalam kelas aku duduk di barisan depan, sering ada yang meneriaki jika aku merusak pemandangan. Aku pun akhirnya selalu menetap di kursi paling ujung yang bukan dekat dengan jendela. Mengenaskan!

Sempat terpikir untuk bunuh diri, tetapi aku masih takut dosa. Berharap bisa bereinkarnasi menjadi Idol Korea, tapi aku harus menempuh ribuan langkah ke arah Barat sembari mencari Biksu Tong. Atau apa aku tanya Park Hyung Seok di mana dia mendapatkan tubuh yang sempurna? Ah, itu kan hanya fantasi yang ditulis dan diilustrasikan oleh Park Tae-joon. Hah!!!

Sekarang, aku sudah menjalani kehidupan sebagai mahasiswa selama 3 bulan. Namun dari mulai OSPEK hingga awal pembelajaran, ketika aku memperkenalkan diri tak ada yang menanggapi. Semuanya bahkan membanting penglihatan ke arah yang lain. Seburuk itukah rupaku hingga tak pantas sedikit pun mendapatkan atensi?

Setiap kali mandi, aku menggosok tubuhku dengan dengan keras. Kadang-kadang aku menggunakan sikat baja agar bisa cepat mengkilap. Tebak apa yang terjadi? Ya, malah badanku lecet-lecet dan perih.

Aku juga sudah menghabiskan jutaan rupiah – hasil tabungan uang jajan sekolah yang tidak pernah dibelanjakan – untuk membeli obat peninggi badan. Hasilnya, tinggi badanku sekarang masih di 165 cm. Mungkinkah bisa mencapai angka 180 cm sebelum masa pertumbuhan ini berakhir?

Huh! Aku kehabisan akal setiap kali meratapi nasib. Sudahlah! Mending aku pulang, kemudian tidur. Perkuliahan sore selain membuat mengantuk juga membuat pikiran mengawang dalam lamunan.

“Hai….” Seorang perempuan, teman sekelas, melambaikan tangan dan berteriak kepadaku dari jarak sekitar 15 meter. “Pulang bareng yuk!”

Metha, benarkah ajakan tersebut mengarah kepadaku? Tempat tinggal kami memang berdekatan. Aku tak menyangka dia ingin pulang bersamaku.

Kukembangkan senyum sedikit demi sedikit. Lalu, berjalan tersipu mendekatinya. Tadi, saat bubaran kelas, dia tergesa-gesa keluar. Apa karena dia malu kalau mengajakku pulang di hadapan banyak teman-teman?!

Setelah hanya berjarak beberapa langkah, Metha mendekati. Tangan kanannya menjulur seakan ingin menarik tangan kiriku. Jantungku berdebar dengan sangat kencang. Wow! Aku akan mengingat hari ini seumur hidupku.

“Ayo, Mut! Gue udah laper nih. Lu lelet banget sih jalannya,” ucap Metha.

Benar saja. Tangan yang Metha tarik bukan tanganku, melainkan tangan Mutia.

Sial! Seharusnya aku melihat kanan dan kiri, depan dan belakang sebelum memupuk rasa percaya diri. Untung saja aku tidak menyahuti panggilan Metha.

“Orang aneh itu ngapain sih senyum-senyum sama gue. Menjijikan banget deh,” ujar Metha dengan gesture berbisik kepada Mutia. Namun, suaranya cukup bisa kudengar dengan jelas.

“Met, kamu nggak boleh ngomong seperti itu,” respon Mutia.

Kemudian Mutia berbalik badan, dan melihatku. Kali ini, aku menundukkan kepala. Sudah pasti, bukan aku yang hendak dia pandang. Aku pun memutuskan mempercepat langkah mendahului mereka berdua.

Setiba di kost, aku langsung menumpahkan kekesalan dengan melempar ransel ke lantai. Ya, Metha mengatakan aku begitu menjijikan. Apa aku di matanya bagaikan sampah yang berbau dan hina?

Sakit hati ini yang Metha timbulkan memang tidak seberapa. Aku sudah cukup terbiasa mendengarnya. Namun, jika dikumpulkan bersama ucapan teman-teman yang lain seolah membentuk nuklir dalam pikiranku.

Akhhhh!!! Aku lantas mengobrak-abrik mesin pencarian Google untuk mencari resep menjadi tampan dalam semalam. Terdengar mustahil. Akan tetapi, dunia ini terkadang dipenuhi hal-hal yang di luar batas logika, bukan?!

Chapter 1: Diskriminasi

Suram, sepi, sendiri. Itulah yang menggelayut setiap hari dalam aktivitasku. Mati segan, hidup tak memiliki gairah. Sungguh ironis suratan badan ini.

Kemarin, dari sore hingga malam aku membaca ratusan artikel mengenai resep menjadi tampan. Semua isinya lebih mengarah kepada tips. Katanya, jika ingin terlihat tampan rajin sisir rambut setelah mandi, pakai pakaian rapi, tumbuhkan rasa percaya diri, dan wajah dikasih cream siang dan malam secara rutin setiap hari.

Aku sudah melakukan semua tips tersebut. Aku pernah mencoba menggunakan cream pencerah wajah. Namun, yang terjadi justru aku ditertawakan satu sekolah. Kenapa? Waktu itu pertama kalinya aku menggunakan cream, dan bertepatan di hari Senin. Kegiatan sebelum masuk kelas di hari tersebut pun biasanya upacara bendera.

Aku berdiri di barisan paling belakang. Langit pagi itu sudah menyorot dengan terik. Aku berkeringat cukup deras hingga cream di wajahku tanpa disadari meleber. Satu orang melihatku, kemudian dia berbisik kepada yang lain. Begitu seterusnya berita menyebar dari mulut ke mulut. Lalu, gelak tawa berkobar kala kepala sekolah selaku pembina upacara memberikan pidato (amanat).

Upacara terhenti sesaat. Semua mata tertuju memandangku. Aku masih sangat ingat saat seketika menjadi bahan olok-olokan. Suara-suara berdengung begitu menyakitkan telinga. Katanya, wajahku seperti vampir dalam film-film Tiongkok yang dirias dengan budget rendah.

Para guru juga ikut menertawakanku. Aku jadi pusat perhatian. Lebih tepatnya, pusat hinaan.

Segeralah aku keluar dari barisan menuju toilet. Malu? Iya, tentu saja. Atau bahkan jika ada istilah paling tinggi di atas malu, itulah yang kurasakan. Aku laksana badut yang tersesat di tengah keramaian.

Hampir setengah jam aku termenung di toilet. Berkutat di depan cermin memandang riasan wajah, dan menetralisasi keadaan hingga aku pun hanyut menertawakan mukaku yang berantakan. Cream yang aku gunakan ibarat aspal yang kebanjiran, retak-retak dan rusak.

Aku beli pemutih wajah tersebut di forum jual beli Facebook. Menurut penjual, produk tersebut sangat ampuh dan sudah ada ribuan testimoni yang puas dengan hasilnya. Penggunaannya harus teratur setiap pagi sebelum aktivitas, dan malam sebelum tidur.

Agar hasil yang didapat cepat dan optimal, aku gunakan tiga kali polesan (lapisan) atau setara satu per lima total isi cream dalam wadah 30 gram. Namun, sejak kejadian hari Senin itu, aku tak pernah lagi memakai cream wajah tersebut maupun yang serupa. Jelas, ada rasa trauma yang telah mendegradasi rasa percaya diri. Selain itu, hanya menghamburkan uang sakuku saja.

Kini, aku bukan lagi ingin terlihat tampan. Aku ingin menjadi tampan yang sesungguhnya. Tapi, bagaimana caranya? Operasi plastik? Ah, itu biayanya mahal dan prosesnya menyakitkan. Adakah caranya yang praktis tanpa mengeluarkan banyak uang?!

Bertahun-tahun berkuat dengan segala cara agar terlihat good looking sangatlah melelahkan pikiran dan menyiksa batin. Mental seakan dibanting ke segala arah untuk mencari solusi yang tepat mengatasi obsesiku.

Aku tahu ada istilah yang mengatakan “Modal tampan saja bukan jaminan hidup sukses serta bahagia”. Akan tetapi, bagi mereka yang memliki wajah tampan artinya mereka sudah memiliki satu modal, kan? Lantas, bagaimana dengan aku ini? Modalku tidak ada, dimulai dari nol atau bahkan minus.

Bagaimana pun, orang tampan lebih mudah mendapatkan perhatian yang bisa mendatangkan pundi-pundi harta. Lihat saja di media sosial! Hanya cukup mengunggah video pendek senyum-senyum sendiri, ribukan like dan komentar langsung memenuhi. Tawaran menjadi model pun lantas mengikuti. Viral dalam hitungan waktu sekejap.

Oh Ardi, lebih baik isi perut dulu daripada menghimpun kenangan pahit di masa lalu. Perut yang kosong akan lebih cepat menghancurkan kewarasan.

Dengan langkah yang santai aku menuju kantin. Sudah paham kan aku duduk di mana? Di tempat yang tidak terjangkau oleh siapa pun, kecuali pedagang itu sendiri.

“Pak, baksonya satu porsi ya dimakan di sini,” ucapku memesan dengan santun.

“Iya, duduk aja di tempat biasa!” Si Pedagang membalas dengan ketus. Untungnya, aku sudah khatam dengan perangainya.

Diskriminasi amat terasa olehku. Pelanggan lagi ketika memesan direspon dengan senyum, sedangkan aku malah dikucilkan. Akan tetapi, hanya para pedagang di kampus yang mau berbincang denganku. Memang, itu karena aku berada dalam posisi pembeli. Kalau sebagai teman, rasanya mereka juga malas berbasa-basi denganku.

Pada masa awal jajan di kantin kampus, aku pernah beberapa kali atau bahkan sering diminta uang di muka ketika memesan makanan. Padahal kulihat yang lain membayar setelah selesai menyantap makanan tersebut. Saat kutanya alasannya, para pedagang itu mengaku takut aku kabur.

Naas, tampang pas-pasan ditambah penampilan lusuh kerapkali dicurigai memiliki perilaku kriminal. Kalimat populer yang mengatakan “Don’t jugde a book by its cover” seakan hanya sebuah istilah belaka. Di dunia nyataku – atau aku sebut dalam kehidupan – hal tersebut sama sekali tak sedikit pun kurasakan berlaku.

Aku juga pernah beberapa kali ketika masuk minimarket langsung diawasi oleh kasir dan petugas yang berjaga. Tatapan mereka menyorotku begitu tajam. Mereka seolah curiga jika aku datang untuk mengutil. Parah, bukan?

“Ini baksonya. Lain kali, kalau di kantin ramai mending baksonya dibungkus aja,” ujar si Bapak penjual bakso dengan muka sinis.

Aku sudah langganan membeli bakso di dia. Namun, tak sekalipun aku merasa diperlakukan sebagai pelanggan. Sekarang malah menyalahkanku. Aku sengaja makan di tempat, karena 20 menit lagi masuk kelas siang. Daripada makan di kost, aku pikir lebih efisien makan langsung.

Beginilah jika memiliki penampilan yang kata orang merusak mata. Mau makan saja seperti mengemis. Sedangkan mahasiswa lain, tampak asyik wara-wiri dan bercengkrama tanpa diintervensi tatapan satir pedagang.

Sudahlah, Ardi! Percuma juga mengeluh. Habiskan saja semangkok bakso ini bila perlu mangkuknya sekalian dikunyah.

Begitu suapan pertama hendak masuk ke dalam mulut, suara langkah kaki bergerombol terdengar mendekat.

“Uuuweeeek!!! Gas, kita makan di tempat lain aja yuk! Di café depan kampus, atau ke mana gitu. Tiba-tiba gue nggak berselera makan di sini.” Revan melihatku bengis.

Ternyata yang datang TXT versi jurusan Sastra Inggris, teman-temanku juga. Maksudku, teman yang terbentuk karena kebetulan kami satu angkatan dan satu program studi. Hanya sebatas itu.

“Kenapa sih, Van?” tanya Bagas sambil memutar pandangan.

“Lu lihat sendiri ke belakang lu, Gas!”

Bagas melirik ke arahku. “Yaelah, gue kira ada apaan. Cuma si Ardi lagi makan bakso juga. Kenapa sih emangnya? Udah nggak ada waktu nih, Van. Gue udah laper banget dan pengen makan bakso.”

“Tom, Yo, Dy, kita cari tempat lain aja yuk! Hancur nafsu makan gue di sini!”

“Gue setuju sama Revan. Mending kita ke café depan atau ke mana gitu,” timpal Leo.

“Udahlah, di sini aja!” Bagas bersikukuh tidak mau pergi ke tempat lain.

“Gue juga prefer makan di sini aja bareng Bagas,” ucap Andy.

Di antara mereka berlima memang hanya Andy yang terlihat lebih santai dan tenang. Namun, rasanya ingin sekali aku melempar mangkuk ke arah mereka sambil tertawa kencang. Mau makan saja pakai acara voting segala layaknya pemilihan ketua kelas.

“Nggak asik lu, Dy,” ujar Bagas kecewa.

“Lu gimana, Tom?” tanya Bagas.

“Gue ngikut aja.”

“Ngikut siapa, Tommy?” Leo memastikan.

Lalu, si Pedagang bakso menengahi. “Udah-udah, Tuan-Tuan Muda ini kalau mau makan bakso Mamang silakan tunggu aja di tempat yang di sebelah sana!”

“Tapi Mang, tetep aja tuh si Kunyuk kelihatan dari tempat kita nanti duduk,” keluh Revan membidikku.

Bagas mencoba memberi pengertian kembali kepada Revan. “Van, nggak baik ngomong kayak gitu. Nggak enak didengernya juga.”

Pedagang bakso menghampiriku. Dia merebut mangkuk baksoku. Aku pun begitu terkejut. Aku menurunkan sendok dan garpu, karena sibuk mendengarkan perseteruan sepele Para Kaum Elit.

“Lu cari tempat lain lagi aja!” suruhnya.

Seporsi bakso yang bahkan belum sempat aku dicicipi pun direbut paksa, lalu dibuang oleh si Pedagang. Dia mengusirku dengan cara yang cukup sadis.

Aku lekas merogoh uang 15ribu dari sakuku yang dari awal kupersiapkan. Kusodorkan kepada pedagang bakso tersebut. Aku ingin membalas sikapnya dengan sebuah sarkasme. Aku juga pembeli. Aku sanggup membayar.

“Lu bawa aja tuh duit! Gue lebih baik kehilangan duit 15rebu dari lu, daripada kehilangan para pelanggan premium gue,” tolaknya dengan nada kasar.

Pembeli adalah raja. Buatku itu mitos. Jangankan dianggap raja, dianggap manusia aja rasanya jarang sekali kurasakan.

“Lu mau ke mana, Di? Kok nggak dilanjut makannya?” tanya Bagas ketika aku buru-buru pergi.

Aku pun pura-pura tak mendengar pertanyaan tersebut. Kutahu Bagas hanya basa-basi. Dia bertanya bukan karena peduli, tetapi sedang membangun citra dan reputasi.

Bagaskara Permana, dia teman sekelasku dari SMA. Dia sosok yang sempurna. Lahir dari keluarga kaya raya, memiliki postur tinggi, wajah memukau, pintar dalam bidang akademik, dan jago olahraga. Dia selalu menjadi idola di mana pun berada.

Tiba-tiba dia mengajakku berbicara. Ke mana saja selama tiga tahun kemarin? Menyapa saja tidak pernah. Dasar munafik!

Namun, tetap saja dia memiliki hidup yang paripurna. Hidup yang selalu aku khayalkan.

Chapter 2: Teman

Good looking dan kaya raya, sudah tentu hidup aman sentosa. Ketika melakukan dosa orang-orang akan mengatakan, “Ya ampun, kasihan sekali. Semoga masalah yang dia hadapi segera kelar. Dia mungkin hanya khilaf, ini hanya ujian untuknya supaya menjadi lebih baik lagi. Namanya juga manusia, tempat salah dan lupa”.

Sementara jika orang sepertiku yang melakukan salah, orang-orang ramai berucap sambil memohon pada langit agar didatangkan petir. “Dasar tidak pernah ngaca! Udah mah jelek, kelakuan minus, banyak tingkah. Mati aja sekalian disamber geledek. Kagak ada bersyukurnya sama sekali dalam hidup”. Begitulah kenyataan yang masih ada di sekitar. Orang terkadang bukan melihat besar kecilnya kesalahan yang dilakukan, tetapi menilai rupa orang yang melakukan kesalahan lebih dulu. Ironis!

Pagi ini aku ke kampus membawa motor. Rencananya, siang nanti aku ingin berkeliling mencari tukang bakso yang sepi pengunjung. Kegagalan untuk menyantap olahan daging tersebut di hari kemarin sampai terbawa mimpi.

Begitu tiba di parkiran fakultas. Aku merenung sejenak. Dulu ketika SMA keberadaanku dianggap sebagai angin oleh teman-teman satu kelas, bahkan satu sekolah. Ada, tapi tak terlihat. Hembusannya terasa, tapi tak dianggap. Di sini, baru berjalan satu triwulan kuliah, aku sudah mendapat perundungan secara non verbal kemarin. Semoga kejadian tersebut tak terulang lagi.

Tiba-tiba sebuah mobil BMW mewah parkir di sebelahku. Bagas, dia sang pengemudi dan pemiliknya. Saat aku sedang menata hati dan pikiran, dia muncul di hadapanku membangkitkan panas hati.

Ya, terlalu sering berkontak mata dengannya hanya akan semakin memicu rasa iri. Aku memutuskan untuk melanjutkan lamunan di kelas saja. Namun lepas menaruh helm di motor, pintu depan sebelah kiri mobil Bagas dibuka secara mendadak. Jaraknya kurang dari satu meter dengan posisiku untuk berjalan. Kontan aku tak bisa menghindari benturan.

Bruuuukkk!!! Tubuhku terdorong oleh pintu mobil yang dibuka tersebut. Aku pun terjungkal menimpa motorku sendiri, lalu tersungkur ke tanah. Sial! Umpatan hanya bisa ditahan dalam mulut.

Rasa sakit saat dada dan perut berbenturan dengan jok motor juga terpaksa harus ditahan. Sesaat kulihat pelakunya. Apakah itu Bagas? Tapi, bukankah biasanya dia di depan kemudi.

Hah, ternyata Leo. Kemarin Revan memancing nestapa, pagi ini salah satu teman sekomplotannya lagi. Baru numpang mobil orang saja lagaknya sudah belagu, apalagi dia yang bawa mobil. Apa dia tidak tahu manner dalam membuka pintu mobil? Tampilan saja sok borjuis, tetapi minim etika. Kesalku dalam hati.

Amarah dan jengkel menjalar, berpadu dalam batin sembari aku berusaha bangkit. Sementara itu, Leo berjalan tanpa rasa berdosa sedikit pun. Jangankan membantu, mengucapkan kata maaf saja tidak. Apa aku yang salah dalam hal ini? Lalu apa gunanya spion? Untuk apa pula kaca jadi jendela di mobil? Sungguh, aku geram sekali melihat dia melangkah dengan gaya parlente.

“Lu nggak apa-apa, Di?” Bagas membungkukkan badan sedikit. Ia memegangi stang motorku.

Kemudian, sorak sorai para pemuja Bagas bergema. “Bagasssss!!!”

Salah satu dari mereka pun mendekat. Dia lalu menarik tangan Bagas. “Gas, nanti kamu Tetanus loh megang motor buluk kayak gini!” ucapnya menghina. Ya, sangat jelas kan kata-katanya begitu merendahkan?!

Dia menuding motorku bisa menimbulkan penyakit hanya dengan memegangnya. Ingin sekali aku menjejalkan besi berkarat ke mulut dia agar tidak berbicara sembarangan. Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah ditolak oleh Bagas berkali-kali, tetapi saja mengemis cinta dan perhatian.

Ardi, sabar! Mengapa mengundang benci ke hati? Itu hanya akan membuat dada jauh lebih sesak.

“Dit, bisa tolong lepasi tangan aku? Aku mau bantuin Ardi dulu. Kasihan dia.” Bagas menahan diri.

“Udahlah! Biarin aja sih, Gas! Udah gede ini. Lagian yang salah juga dia, kenapa parkir di dekat mobil kamu. Harusnya kamu minta ganti rugi ke dia. Siapa tahu mobil kamu ada yang lecet.”

“Tapi, Ardi ini teman aku. Biar aku bantu dia sebentar ya.”

“Nggak perlu, Gas! Kamu nggak mau kan ketampanan kamu luntur akibat bersentuhan dengan dia? Ayolah, Gas! Aku dan teman-temanku punya hadiah buat kamu. Jadi, kemarin tuh kita coba buat yel-yel baru yang khusus untuk menyambut kamu pagi ini,” paksa Dita.

Adegan tarik menarik terpampang di depan mata. Aku menghembuskan nafas. Apakah ini filim televisi (FTV) atau penggalan adegan di serial drama Korea?

“Iya. Tapi sebentar….” Tangan kanan Bagas masih berusaha memegang stang kanan motorku, sedangkan tangan kanannya ditarik kuat oleh Dita.

Dita, mahasiswi dari Fakultas Ekonomi, jurusan Akuntansi. Dia begitu menggilai Bagas. Setiap hari hanya menunggu Bagas tiba, lalu memberikan hadiah atau hymne penyemangat. Aku tidak mengenal mereka secara personal, tetapi aku ini seorang pengamat yang baik.

“Gas, ayo cepetan! Di sini aromanya nggak sedap, seperti ada bau ******.” Leo berbalik badan untuk melepaskan hinaan kepadaku. Dia pun membantu Dita menarik lengan Bagas.

Bruuuukkk!!! Motorku terjatuh sekali lagi. Jika tidak niat membantu tak perlu tampil laksana pahlawan di depan banyak orang. Darahku mulai mencapai titik didih. Tahan, Ardi!

Aku tidak masalah jika motorku hancur. Namun, tanganku rasanya ingin sekali meninju mulut Leo. Dia memang tidak menyebutkan nama yang dia judge bau bangkai, tetapi matanya sempat menoleh ke arahku.

Biar begini, aku selalu mandi sebelum kuliah, pakai parfum, dan pakaianku selalu aku cuci dengan tambahan banyak pewangi. Sayangnya, aku payah. Aku sama sekali tidak punya kekuatan untuk melontarkan pembelaan.

Banyak pasang mata yang memandang kejadian ketika aku ambruk ke tanah. Bukannya berupaya menolong, mereka justru hanya fokus kepada Bagas. Apa karena orang sepertiku memang pantas diperlakukan seperti ini? Mengapa juga aku mengharap sesuatu yang sudah jelas tidak mungkin?!

Bagas, saking istimewanya dia, sengsaraku seolah hanya figuran – sebatas lewat. Andaikan aku seperti dia, aku bisa melakukan apa pun tanpa perlu khawatir akan datangnya hinaan, celaan, maupun cercaan.

Setelah Bagas, Leo, dan Dita menghilang dari penglihatanku, aku berjalan dengan sedikit tergopoh-gopoh menuju kelas. Lalu, aku berpapasan dengan Mutia.

“Kamu kenapa, Di? Jatuh dari motor? Mau aku bantu?” tanyanya lembut.

Aku tak berkata apa pun. Mulutku seakan digembok dengan kuat untuk berkisah mengenai kejadian yang aku alami. Aku juga menghindar ketika Mutia berusaha meraih tanganku untuk membantu melangkah.

“Di, kamu kenapa?” tanya lagi Mutia yang sabar menunggu bersuara.

Aku tak bisa memberikan jawaban. Aku tak terbiasa berbincang. Aku pun hanya bisa tertunduk lesu.

“Mutia, ayo cepat masuk kelas! Nanti kita telat loh!” teriak Metha.

Ya, tanpa melihat pun aku sudah hafal siapa pemilik vokal lantang tersebut.

“Aku duluan ya Di kalau gitu!” ucap Mutia.

Setelah dia berlalu, aku hanya bisa menyesali sikapku. Bodoh! Kenapa aku tak merespon kalimat demi kalimat yang dia alunkan kepadaku. Dibilang bisu, aku tidak. Hah! Lalu, kenapa pula aku tak membiarkan dia menyentuhku? Ah, aku hanya tidak mau menerima hujatan dari teman-teman yang lain setelahnya.

Sepanjang perkuliahan, aku sandarkan kepala di kursi. Rasanya ingin cepat-cepat saja pulang ke kost dan beristirahat! Belajar setiap hari tidak membuatku lebih cerdas dari Mutia, dan lebih tampan dari Bagas. Maaf, aku menang konyol.

“Ardi!!! Ardi!!! Aaaarddiii…”

Hah? Ada yang memanggilku. Aku pun lekas berdiri.

“Kalau kamu mau tidur, keluar saja dari kelas saya!” ujar Pak Niko, dosen mata kuliah Prosa I (satu).

Aku menggelengkan kepala.

“Kamu dengar apa yang baru saja saya sampaikan?”

Aku menganggukan kepala.

Lalu, suara riuh tawa mengisi ruang kelas. Diikuti celetukan-celetukan dari beberapa teman yang mengatakan aku tidak bisa berbicara.

“Apa? Coba kamu ulangi penjelasan saya!” tegas beliau.

Aku kumpulkan kekuatan untuk berbicara. Cukup lama berdiam diri tanpa mampu mengucap sepatah kata pun. Aku tadi tidak tidur. Aku mendengar penjelasan Pak Niko secara saksama.

“Sudahlah! Duduk lagi, Ardi! Nunggu kamu berbicara bisa-bisa habis waktu saya!” keluh beliau.

Aku kembali ke posisi semula. Fiuh!!!

Hingga kelas usai, nyeri masih tertinggal di tubuh. Semua teman-teman sudah meninggalkan kelas. Aku baru bisa pergi setelah mereka pergi. Aturan tidak tertulis yang entah mengapa bisa mengikut dari aku SMA hingga kuliah.

Suasana di parkiran cukup lengang. Aku duduk di motorku sambil mengumpulkan tenaga. Lebih baik aku pulang saja ke kost dan beristirahat. Besok-besok saja jika ingin menikmati semangkuk bakso. Pikirku.

Tiba-tiba Bagas menyapa dari arah belakang. “Hai, Di! Sorry banget ya atas kejadian tadi pagi. Motor lu lecet-lecet ya? Dibawa ke bengkel aja ya biar gue yang bayarin!”

Aku memilih untuk segera men-starter motorku, lalu memutar gas. Jika memang merasa bersalah harusnya menyampaikan setelah kejadian atau ketika tadi di dalam kelas.

“Di….” Bagas menahan lajuku. “Sebagai permintaan maaf gue, bagaimana kalau gue traktir bakso? Bukan di kantin di sini kok. Gue tahu tempat yang enak dan nyaman buat kita makan,” ungkapnya.

Kita? Apa maksudnya? Mengapa sekonyong-konyong dia tampak peduli kepadaku? Aneh!

Baru saja hendak menolak, pergerakannya justru begitu gesit mengambil alih motorku. Aku pun terdorong ke belakang.

“Jangan bengong, Di! Keburu temen-temen gue datang,” terangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!