Suram, sepi, sendiri. Itulah yang menggelayut setiap hari dalam aktivitasku. Mati segan, hidup tak memiliki gairah. Sungguh ironis suratan badan ini.
Kemarin, dari sore hingga malam aku membaca ratusan artikel mengenai resep menjadi tampan. Semua isinya lebih mengarah kepada tips. Katanya, jika ingin terlihat tampan rajin sisir rambut setelah mandi, pakai pakaian rapi, tumbuhkan rasa percaya diri, dan wajah dikasih cream siang dan malam secara rutin setiap hari.
Aku sudah melakukan semua tips tersebut. Aku pernah mencoba menggunakan cream pencerah wajah. Namun, yang terjadi justru aku ditertawakan satu sekolah. Kenapa? Waktu itu pertama kalinya aku menggunakan cream, dan bertepatan di hari Senin. Kegiatan sebelum masuk kelas di hari tersebut pun biasanya upacara bendera.
Aku berdiri di barisan paling belakang. Langit pagi itu sudah menyorot dengan terik. Aku berkeringat cukup deras hingga cream di wajahku tanpa disadari meleber. Satu orang melihatku, kemudian dia berbisik kepada yang lain. Begitu seterusnya berita menyebar dari mulut ke mulut. Lalu, gelak tawa berkobar kala kepala sekolah selaku pembina upacara memberikan pidato (amanat).
Upacara terhenti sesaat. Semua mata tertuju memandangku. Aku masih sangat ingat saat seketika menjadi bahan olok-olokan. Suara-suara berdengung begitu menyakitkan telinga. Katanya, wajahku seperti vampir dalam film-film Tiongkok yang dirias dengan budget rendah.
Para guru juga ikut menertawakanku. Aku jadi pusat perhatian. Lebih tepatnya, pusat hinaan.
Segeralah aku keluar dari barisan menuju toilet. Malu? Iya, tentu saja. Atau bahkan jika ada istilah paling tinggi di atas malu, itulah yang kurasakan. Aku laksana badut yang tersesat di tengah keramaian.
Hampir setengah jam aku termenung di toilet. Berkutat di depan cermin memandang riasan wajah, dan menetralisasi keadaan hingga aku pun hanyut menertawakan mukaku yang berantakan. Cream yang aku gunakan ibarat aspal yang kebanjiran, retak-retak dan rusak.
Aku beli pemutih wajah tersebut di forum jual beli Facebook. Menurut penjual, produk tersebut sangat ampuh dan sudah ada ribuan testimoni yang puas dengan hasilnya. Penggunaannya harus teratur setiap pagi sebelum aktivitas, dan malam sebelum tidur.
Agar hasil yang didapat cepat dan optimal, aku gunakan tiga kali polesan (lapisan) atau setara satu per lima total isi cream dalam wadah 30 gram. Namun, sejak kejadian hari Senin itu, aku tak pernah lagi memakai cream wajah tersebut maupun yang serupa. Jelas, ada rasa trauma yang telah mendegradasi rasa percaya diri. Selain itu, hanya menghamburkan uang sakuku saja.
Kini, aku bukan lagi ingin terlihat tampan. Aku ingin menjadi tampan yang sesungguhnya. Tapi, bagaimana caranya? Operasi plastik? Ah, itu biayanya mahal dan prosesnya menyakitkan. Adakah caranya yang praktis tanpa mengeluarkan banyak uang?!
Bertahun-tahun berkuat dengan segala cara agar terlihat good looking sangatlah melelahkan pikiran dan menyiksa batin. Mental seakan dibanting ke segala arah untuk mencari solusi yang tepat mengatasi obsesiku.
Aku tahu ada istilah yang mengatakan “Modal tampan saja bukan jaminan hidup sukses serta bahagia”. Akan tetapi, bagi mereka yang memliki wajah tampan artinya mereka sudah memiliki satu modal, kan? Lantas, bagaimana dengan aku ini? Modalku tidak ada, dimulai dari nol atau bahkan minus.
Bagaimana pun, orang tampan lebih mudah mendapatkan perhatian yang bisa mendatangkan pundi-pundi harta. Lihat saja di media sosial! Hanya cukup mengunggah video pendek senyum-senyum sendiri, ribukan like dan komentar langsung memenuhi. Tawaran menjadi model pun lantas mengikuti. Viral dalam hitungan waktu sekejap.
Oh Ardi, lebih baik isi perut dulu daripada menghimpun kenangan pahit di masa lalu. Perut yang kosong akan lebih cepat menghancurkan kewarasan.
Dengan langkah yang santai aku menuju kantin. Sudah paham kan aku duduk di mana? Di tempat yang tidak terjangkau oleh siapa pun, kecuali pedagang itu sendiri.
“Pak, baksonya satu porsi ya dimakan di sini,” ucapku memesan dengan santun.
“Iya, duduk aja di tempat biasa!” Si Pedagang membalas dengan ketus. Untungnya, aku sudah khatam dengan perangainya.
Diskriminasi amat terasa olehku. Pelanggan lagi ketika memesan direspon dengan senyum, sedangkan aku malah dikucilkan. Akan tetapi, hanya para pedagang di kampus yang mau berbincang denganku. Memang, itu karena aku berada dalam posisi pembeli. Kalau sebagai teman, rasanya mereka juga malas berbasa-basi denganku.
Pada masa awal jajan di kantin kampus, aku pernah beberapa kali atau bahkan sering diminta uang di muka ketika memesan makanan. Padahal kulihat yang lain membayar setelah selesai menyantap makanan tersebut. Saat kutanya alasannya, para pedagang itu mengaku takut aku kabur.
Naas, tampang pas-pasan ditambah penampilan lusuh kerapkali dicurigai memiliki perilaku kriminal. Kalimat populer yang mengatakan “Don’t jugde a book by its cover” seakan hanya sebuah istilah belaka. Di dunia nyataku – atau aku sebut dalam kehidupan – hal tersebut sama sekali tak sedikit pun kurasakan berlaku.
Aku juga pernah beberapa kali ketika masuk minimarket langsung diawasi oleh kasir dan petugas yang berjaga. Tatapan mereka menyorotku begitu tajam. Mereka seolah curiga jika aku datang untuk mengutil. Parah, bukan?
“Ini baksonya. Lain kali, kalau di kantin ramai mending baksonya dibungkus aja,” ujar si Bapak penjual bakso dengan muka sinis.
Aku sudah langganan membeli bakso di dia. Namun, tak sekalipun aku merasa diperlakukan sebagai pelanggan. Sekarang malah menyalahkanku. Aku sengaja makan di tempat, karena 20 menit lagi masuk kelas siang. Daripada makan di kost, aku pikir lebih efisien makan langsung.
Beginilah jika memiliki penampilan yang kata orang merusak mata. Mau makan saja seperti mengemis. Sedangkan mahasiswa lain, tampak asyik wara-wiri dan bercengkrama tanpa diintervensi tatapan satir pedagang.
Sudahlah, Ardi! Percuma juga mengeluh. Habiskan saja semangkok bakso ini bila perlu mangkuknya sekalian dikunyah.
Begitu suapan pertama hendak masuk ke dalam mulut, suara langkah kaki bergerombol terdengar mendekat.
“Uuuweeeek!!! Gas, kita makan di tempat lain aja yuk! Di café depan kampus, atau ke mana gitu. Tiba-tiba gue nggak berselera makan di sini.” Revan melihatku bengis.
Ternyata yang datang TXT versi jurusan Sastra Inggris, teman-temanku juga. Maksudku, teman yang terbentuk karena kebetulan kami satu angkatan dan satu program studi. Hanya sebatas itu.
“Kenapa sih, Van?” tanya Bagas sambil memutar pandangan.
“Lu lihat sendiri ke belakang lu, Gas!”
Bagas melirik ke arahku. “Yaelah, gue kira ada apaan. Cuma si Ardi lagi makan bakso juga. Kenapa sih emangnya? Udah nggak ada waktu nih, Van. Gue udah laper banget dan pengen makan bakso.”
“Tom, Yo, Dy, kita cari tempat lain aja yuk! Hancur nafsu makan gue di sini!”
“Gue setuju sama Revan. Mending kita ke café depan atau ke mana gitu,” timpal Leo.
“Udahlah, di sini aja!” Bagas bersikukuh tidak mau pergi ke tempat lain.
“Gue juga prefer makan di sini aja bareng Bagas,” ucap Andy.
Di antara mereka berlima memang hanya Andy yang terlihat lebih santai dan tenang. Namun, rasanya ingin sekali aku melempar mangkuk ke arah mereka sambil tertawa kencang. Mau makan saja pakai acara voting segala layaknya pemilihan ketua kelas.
“Nggak asik lu, Dy,” ujar Bagas kecewa.
“Lu gimana, Tom?” tanya Bagas.
“Gue ngikut aja.”
“Ngikut siapa, Tommy?” Leo memastikan.
Lalu, si Pedagang bakso menengahi. “Udah-udah, Tuan-Tuan Muda ini kalau mau makan bakso Mamang silakan tunggu aja di tempat yang di sebelah sana!”
“Tapi Mang, tetep aja tuh si Kunyuk kelihatan dari tempat kita nanti duduk,” keluh Revan membidikku.
Bagas mencoba memberi pengertian kembali kepada Revan. “Van, nggak baik ngomong kayak gitu. Nggak enak didengernya juga.”
Pedagang bakso menghampiriku. Dia merebut mangkuk baksoku. Aku pun begitu terkejut. Aku menurunkan sendok dan garpu, karena sibuk mendengarkan perseteruan sepele Para Kaum Elit.
“Lu cari tempat lain lagi aja!” suruhnya.
Seporsi bakso yang bahkan belum sempat aku dicicipi pun direbut paksa, lalu dibuang oleh si Pedagang. Dia mengusirku dengan cara yang cukup sadis.
Aku lekas merogoh uang 15ribu dari sakuku yang dari awal kupersiapkan. Kusodorkan kepada pedagang bakso tersebut. Aku ingin membalas sikapnya dengan sebuah sarkasme. Aku juga pembeli. Aku sanggup membayar.
“Lu bawa aja tuh duit! Gue lebih baik kehilangan duit 15rebu dari lu, daripada kehilangan para pelanggan premium gue,” tolaknya dengan nada kasar.
Pembeli adalah raja. Buatku itu mitos. Jangankan dianggap raja, dianggap manusia aja rasanya jarang sekali kurasakan.
“Lu mau ke mana, Di? Kok nggak dilanjut makannya?” tanya Bagas ketika aku buru-buru pergi.
Aku pun pura-pura tak mendengar pertanyaan tersebut. Kutahu Bagas hanya basa-basi. Dia bertanya bukan karena peduli, tetapi sedang membangun citra dan reputasi.
Bagaskara Permana, dia teman sekelasku dari SMA. Dia sosok yang sempurna. Lahir dari keluarga kaya raya, memiliki postur tinggi, wajah memukau, pintar dalam bidang akademik, dan jago olahraga. Dia selalu menjadi idola di mana pun berada.
Tiba-tiba dia mengajakku berbicara. Ke mana saja selama tiga tahun kemarin? Menyapa saja tidak pernah. Dasar munafik!
Namun, tetap saja dia memiliki hidup yang paripurna. Hidup yang selalu aku khayalkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments