Bagas memarkirkan motor di tepi danau. Dia hela nafas panjang seperti orang yang baru lepas dari bui – menghirup kebebasan.
“Huh, segarnya udara di sini!”
Apanya yang segar? Di kampungku udaranya jauh lebih asri.
“Ini salah satu spot favorit gue. Buat gue ini hidden gem di Jakarta untuk menikmati senja.”
Terlalu berlebihan! Ekspresinya seperti baru tinggal di Jakarta satu atau dua bulan. Aku sebagai perantau yang sering menyendiri, punya rekomendasi yang lebih bagus dari tempat ini. Tapi biarlah, orang tampan bebas mengutarakan pendapat apa pun.
“Di, lu pernah ke sini nggak sebelumnya?”
“Heem.”
Aku sering lewat tempat ini ketika mencari ketenangan. Namun, aku tak mau berkisah kepadanya.
“Lu dari tadi gue tanya, gue ajak ngobrol, jawabannya, heem dan heem. Sakit gigi lu?”
“Heem.”
“Ardi, jangan sampai gue cemplungin lu ke danau!” gertak Bagas.
Aku pun tidak gentar dengan gertakannya.
Baru mau membuka mulut, Bagas menjulurkan kepalan tangan ke depan mukaku. Apa dia akan meninjuku jika aku jawab “heem” lagi? Ah, tidak konsisten.
“Gue pulang ya. Gue pengen istirahat,” ujarku.
“Bentar dulu! Temenin gue di sini, Di.” Bagas menarik tanganku.
“Ngapain? Buang-buang waktu gue aja.”
“Nggak usah sok sibuk lu. Gue lagi butuh temen ngobrol nih,” ungkapnya. “Lu tunggu dulu di sini, gue beli minum sama cemilan sebentar di minimarket.” Dia berjalan menuju tempat yang disebutkan.
Aku pun mengiyakan. Entah kisah apa yang ingin dia bagi kepadaku?! Satu sisi aku penasaran, sedangkan di sisi lain seperti tidak ingin peduli.
Ini memang pengalaman pertama ada teman yang menganggapku teman. Hanya saja, aku masih skeptis dengan sikapnya.
Tak lama Bagas kembali dengan menenteng cukup banyak cemilan dan minuman.
“Nih gue bawain bahan ngunyah. Biar pas gue ajak ngomong respon lu nggak cuma heem.”
“Iya.”
“Ya udah, ayo duduk! Dari tadi berdiri aja. Bisulan lu?”
Bisulan? Terus tadi di motor, selama perjalanan, aku kahyang? Hah! Saking lamanya dalam kesendirian, aku justru menjadi sensitif begini dengan candaan yang Bagas coba lontarkan.
Aku sebenarnya sedang menikmati cekungan air yang ditumbuhi gedung-gedung pencakar langit hampir di semua sisinya. Mengibaratkan diri seperti pohon tua yang lapuk dan usang di antara kemegahan. Ia dibiarkan tetap tumbuh bukan karena berharga, tetapi karena tak ada yang peduli – tak ada yang sudi mengotori tangan untuk menyentuhnya.
“Capek juga gue dikejar-kejar cewek-cewek itu,” ujarnya sambil membuka tutup kaleng Coca-Cola.
Mana yang lebih melelahkan? Memiliki penggemar atau berimajinasi memiliki penggemar setiap hari? Ucapan Bagas semakin memupuk rasa iri di hatiku.
“Enak ya jadi lu,” sambung Bagas.
Aku menoleh kepadanya dengan perasaan getir. Enak? Apanya yang bisa kubanggakan dalam hidupku? Pernyataannya terkembang begitu satir.
“Lu bisa menikmati kebebasan. Bisa pergi ke mana-mana sendiri dengan tenang. Nggak dikejar-kejar buat foto bareng, dikasih hadiah ini itu dan dipaksa harus mau menerimanya. Hah! Padahal gue cuma orang biasa, bukan artis Korea,” terangnya.
Dia tidak tahu rasanya kesepian. Memang aku punya kebebasan, tetapi aku tak punya pergaulan. Bukankah kondisi itu termasuk sengsara?
Dia juga mengatakan dirinya bukan artis. Namun hidupnya dipenuhi kemewahan, dari penampilan hingga isi kantong yang menunjang. Jelas, dia sebenarnya sedang menyindir aku saja.
Kemudian, Bagas menutup mata seperti sedang bersenggama dengan alam. “Duduk sambil menikmati pemandangan senja, sungguh nikmat tiada tara. Andai gue bisa melakukan hal seperti ini setiap hari, hidup akan terasa sempurna.”
Katanya, hidup akan terasa sempurna hanya dengan menambahkan lukisan langit sore. Bagaimana denganku?
Jika diumpamakan sebuah hidangan, Bagas hanya perlu menambahkan sedikit garam yang itu pun tidak terlalu krusial (antara perlu dan tidak perlu). Sementara aku, salah bumbu, gosong, harus memasak ulang pun bahannya sudah tidak tersedia. Cukup sudah dia mengias hidupku.
“Lu dari tadi nyindir gue? Lu nyindir kehidupan gue yang mengenaskan?” tanyaku sinis.
Bagas bangkit, lalu menepuk pundakku. “Gue nggak nyindir lu. Gue ngomong apa adanya dari tadi. Lu kenapa sih, Di?”
Aku terlanjur kesal. Kesal kepada dia dan juga diriku yang seakan hina. Semakin lama berada di sampingnya, semakin aku merasa rendah diri.
“Di…”
“Heem.”
“Kita udah kenal dari SMA, tapi gue perhatiin sifat lu nggak ada yang berubah,” kenangnya. “Maksud gue, kenapa sih lu kok pendiem banget dari dulu? Lu nggak percaya sama diri lu sendiri? Kenapa lu harus minder, Di?”
“Heem….” Aku memilih mendengarkan saja uraiannya tentangku.
“Apa sih yang membuat lu tertutup begini? Siapa tahu kita bisa saling bertukar pikiran.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Di, kadang gue berpikir lebih baik hidup dalam kesendirian kayak lu. Maaf, gue nggak ada maksud gimana-gimana. Cuma, menurut gue, seru aja gitu bisa merasakan kedamaian dalam setiap langkah yang diemban.”
Aku memutar pandang ke arahnya. “Damai? Sungai yang permukaannya tenang bukan berarti tak memiliki arus deras di bawahnya.”
Pernyataanku yang lesu mengundang Bagas merentangkan tangannya ke bahu kananku.
“Sorry, Di. Gue….gue sama sekali….”
Aku segera memutus kalimatnya, “Gue kadang iri sama kalian, orang-orang yang memiliki hak-hak istimewa dalam hidup. Terutama sama lu, Gas.”
“Gue?” Bagas memastikan dengan ekspresi heran.
“Iya. Lu punya segalanya, fisik, harta, dan kecerdasan. Sementara gue, semuanya serba pas-pasan bahkan mungkin di bawah standar. Terkadang gue pengen merasakan satu aja dari 3 privilege hidup lu.”
“Apa itu?”
“Tampan.”
“Kenapa?”
Mungkin sudah saatnya aku mengungkapkan perasaanku kepada Bagus. Bukan. Bukan rasa itu yang dimaksud. Ini rasa yang ingin merasakan kehidupan sebagai dia.
“Gue pengen dengar orang memanggil nama gue dengan gembira, tersenyum ketika saling berhadapan, dan merasakan yang namanya pujian.”
“Lu lagi suka sama seseorang?”
“Kenapa lu bisa berpikir seperti itu?”
“Lu jawab aja! Iya atau tidak?”
Dia benar. Ada satu perempuan yang aku sukai sejak SMA. Sayangnya, jelas sulit atau bahkan tidak mungkin untuk melangkah jauh bersama perempuan itu.
“Siapa, Di? Gue bisa bantu supaya lu dekat sama dia.”
Bantu? Justru perempuan tersebut mungkin akan (atau telah) jatuh hati kepadanya.
“Gue pulang dulu ya, Gas!”
“Tunggu!”
“Lu mau gue anterin pulang juga?”
“Iya. Tapi, bukan itu yang gue pengen omongin.”
“Apa?”
“Lu duduk dulu sini. Gue masih pengen ngobrol sama lu.”
“Gas!” Kuhela nafas panjang.
“Di, kalau gue boleh kasih saran, lu tingkatin rasa percaya diri lu. Lu itu cuma kurang yakin terhadap diri lu sendiri.”
“Lu bisa ngomong kayak gitu, karena lu nggak seperti gue. Lu diem aja cewek-cewek histeris sama lu. Mau apa pun, jalan ke mana pun, lu dikelilingi teman-teman,” jelasku.
“Terus lu pengen ngerasain hidup kayak gue?”
Terkaannya sangat tepat. Dia pasti mengerti setiap komparasi yang aku lemparkan mengenai hidupnya dengan hidupku.
“Terus lu mau bilang itu mustahil, kan?” tudingku. Namun, tudinganku bukan tanpa alasan.
“Gue tahu caranya supaya kita bertukar kehidupan. Lu jadi gue, dan gue jadi lu.”
“Gas, jangan bercanda,” seringaiku.
“Gue serius, Di.”
“Udahlah, Gas. Kita hidup di dunia nyata bukan di dunia sihir atau fantasi seperti dalam serial Harry Potter. Tujuan lu dari tadi cuma mau ngejek gue, kan?”
“Di, gue serius.” Dia memasang wajah bersungguh-sungguh.
Awas saja jika kemudian dia mengatakan “prank”. Aku yang akan menenggelamkan dia hingga ke dasar danau.
“Oke, gimana caranya? Anggap aja gue percaya sama kehaluan (halusinasi) lu.”
Bagas merogoh saku kanan celananya. “Nih!” Dia pun menunjukkan benda bulat berwarna merah menyala.
“Lu ngajak main kelereng?”
“Ini bukan kelereng. Ini namanya Mutiara Pengubah Nasib. Gue dapat ini dari mimpi ketika gue lelah menjalani hidup seperti sekarang.”
“Gue telan benda itu?”
“Heem.”
“Terus besok paginya ketika gue bangun tidur, tubuh gue akan bertukar sama tubuh lu. Begitukah? Haha…” Aku tertawa agar dia tidak menyepelekanku. Aku memang tidak secerdas dia, tetapi aku masih waras.
“Tepat. Tubuh kita akan bertukar, begitu pun dengan kehidupan kita. Lu mau, kan?”
“Beneran, Gas? Gue mau banget kalau gitu,” ucapku dengan ekspresi meledek. “Tapi sayangnya, gue lebih percaya sama reinkarnasi dari pada omongan lu.”
Bagas menarik tangan kananku. Dia pun menyerahkan benda tersebut di telapak tanganku. “Terserah lu deh! Ini lu bawa dulu aja. Lu buktiin aja sendiri!”
Aku tertegun. Begitu menyentuh kulit telapak tangan, benda tersebut seolah memancarkan energi yang kuat. Lalu, jika aku perhatikan lebih teliti, sorot mata Bagas memang tidak mengindikasikan kebohongan. Ah, tapi aku tidak boleh terlalu dini menarik kesimpulan.
Tak terasa, langit cerah sudah terangkat berganti gelap. Matahari yang tenggelam tak sempat kusaksikan karena fokus teralihkan.
“Sekarang anterin gue pulang!” pinta Bagas.
“Ke rumah lu?”
“Iya. Soalnya mobil gue udah dibawa Andy ke rumah gue.”
Aku diam, bergulat dengan kepercayaan. Sangsi masih membara terhadap benda yang Bagas berikan yang katanya sebuah mutiara ajaib. Namun, sejak kapan ada mutiara berwarna merah menyala? Jangan-jangan ini hanya mainan yang dia beli di Pasar Gembrong.
“Ayo!” Bagas sudah ada di depan stang motorku.
Setelah mengantar Bagas pulang, aku pun memacu motor dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai di kost. Begitu tiba di dalam kamar, aku lekas jatuhkan badan di tempat tidur. Kulepaskan penat sejenak. Rasanya jantungku telah bekerja begitu ekstra seharian ini.
Sebelum memutuskan untuk memejamkan mata, kuambil dan pandangi cukup lama mutiara yang Bagas berikan. Benarkah benda ini bisa menukar tubuh? Bagaimana jika aku mati setelah menelannya? Namun, tidak ada salahnya mencoba. Jika aku mati, setidaknya ini bukan bunuh diri.
Aku tarik nafas dalam-dalam, lalu dengan cepat menelan mutiara tersebut dibantu segelas air. Ketika ia melewati kerongkongan, nafasku sempat kembang kempis. Ditambah badan yang merasakan panas seperti terbakar.
Jangan-jangan ini guna-guna atau teluh! Tapi buat apa Bagas melakukan hal tersebut kepadaku?
Pandanganku mulai kabur, dada sesak, dan kepala seakan ditusuk-tusuk ribuan jarrum. Aku sempat menjerit, sampai akhirnya terkapar di kasur.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan kondisi lebih baik. Sakit yang semalam menguasai badan tersisa tinggal sedikit di kepala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments