Once Again
30 Juni 2012
“Aaaaa!!!!” Terlihat seorang gadis kecil berteriak. Dia jatuh terduduk di jalanan yang dingin itu.
Di depannya kini berdiri seorang pria yang ditusuk oleh seseorang yang tak di kenal. Kemudian pria itu terjatuh dengan tangan yang menahan perutnya agar darah tak terus mengalir.
Pelaku penusukan itu tersenyum, namun wajahnya tak terlihat begitu jelas di bawah lampu jalan yang temaram, apalagi dia memakai topi untuk menutupi wajahnya itu.
Pria itu terus berusaha menahan sakit. Sedangkan gadis kecil itu kini sudah menangis, melihat pria yang tergeletak di depannya dengan darah yang terus mengalir.
*****
10 Juni 2022
Terlihat seorang gadis sedang melakukan perjalanan menggunakan bus. Ia menyenderkan kepalanya ke jendela sembari melihat pemandangan di luar. Tak lama kemudian ia menghela napasnya.
“Drrttt....” Ponsel miliknya bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku jaket yang dipakainya.
“Halo, Bu?” ucapnya ketika mengangkat telepon yang ternyata dari ibunya.
“Di mana kamu sekarang, Nak?” tanya ibunya.
“Aku sudah hampir sampai, Bu," sahutnya.
“Chike Zizaya, sudah 2 tahun berlalu, tapi kamu tidak pernah mengabari Ibu duluan. Ibu merasa agak diabaikan, kamu tau?”
“Aku sudah mengatakannya, aku sedang dalam perjalanan dan sudah hampir sampai, Bu.” Chike menghela napasnya.
“Baiklah. Semoga perjalananmu aman.”
“Terima kasih, Bu.” Setelah itu ia memutuskan sambungan telepon di antara keduanya. Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 pagi.
*****
“Kamu sudah sampai?” tanya sang ibu yang langsung menghampiri anak semata wayangnya itu ketika mendengar suara pintu yang terbuka.
“Iya,” jawabnya sambil melepas sepatu dan meletakkannya di rak khusus sepatu yang ada di dekat pintu masuk.
“Oh, Anakku!” ucap sang ibu dan langsung memeluk anaknya, melepas rindu. Setelah dirasa cukup, baru ia melepaskan pelukannya.
“Di mana Ayah, Bu?” tanya Chike ketika tidak menemukan sosok sang ayah.
“Oh, dia masih bekerja,” jawab ibunya.
“Kamu pasti belum makan kan? Ayo makan kalau begitu,” ajak sang ibu.
“Baiklah,” sahutnya. Ia melihat rumahnya yang sudah 2 tahun ini ditinggalkannya. Ibunya pergi ke dapur untuk membuat teh karena cuaca di luar sangat dingin. Sedangkan gadis itu masuk ke dalam kamarnya ketika sudah puas melihat-lihat.
*****
Chike keluar dari kamar mandinya sembari mengeringkan rambutnya yang basah, baru selesai keramas. Ia memperhatikan setiap sudut ruangan kamarnya yang berwarna krem itu.
Kamarnya tak begitu besar, hanya berukuran 4x4. Tempat tidurnya berada dekat dengan dinding pintu masuk dan di sebelahnya terdapat meja belajar miliknya. Sedangkan lemari miliknya yang terbuat dari kayu terletak di dekat jendela kamar.
Setelah melihat-lihat, pandangannya jatuh pada sebuah kotak penyimpanan berwarna merah yang terletak di rak bawah lemarinya yang memang tak memiliki penutup. Ia terdiam dan terus menatap kotak penyimpanan itu.
*****
Terlihat seorang gadis kecil sedang berjalan sendirian di gang kecil dan hanya ditemani oleh lampu jalan yang temaram. Malam sudah sangat larut dan ia baru pulang dari tempat lesnya.
Di belakangnya kini terlihat seorang pria yang tak dikenalnya sedang mengikutinya. Pria itu memakai jaket dan topi berwarna gelap.
Gadis kecil itu berhenti dari langkahnya, dengan ragu dia membalikkan badannya. Ia takut ketika melihat pria itu tersenyum padanya. Ia langsung lari dengan cepat, namun pria itu mengejarnya.
Gadis kecil itu tersandung dan terjatuh. Ia melihat pria itu yang semakin mendekat ke arahnya. Pria itu menyeringai, kemudian ia mengeluarkan sebuah pisau dari saku jaket miliknya.
“AAAAA!!!!”
“Hah, hah, hah!” Chike terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Dahinya kini sudah penuh dengan keringat yang mengalir dengan derasnya. Ini sudah yang kesekian kalinya ia memimpikan hal itu. Kini di luar, langit sudah gelap.
Ia membuka selimut biru miliknya dan kemudian duduk. Ia masih berusaha mengatur napasnya. Kemudian ia menghidupkan lampu belajar miliknya dan meminum obat yang terletak di atas meja belajar. Napasnya kini sudah kembali teratur.
Ia beranjak dari tempat tidurnya dan menatap kotak penyimpanan berwarna merah itu. Ia berjalan perlahan ke arah lemari dan kemudian mengambil kotak penyimpanan itu.
Ia meletakkan kotak itu di atas meja, kemudian mengelap debu tebal yang menutupinya. Di bukanya kotak itu dan ia mulai melihat-lihat isinya.
Chike mengambil sebuah kalung buatan tangan yang terbuat dari pipet berwarna-warni. Ia tersenyum dan kembali meletakkan kalung itu ke dalam kotak.
“Ini masih di sini?” tanyanya sambil tersenyum. Di tangannya kini sudah ada sebuah foto lama.
Di dalam foto itu terlihat seorang pria yang memegang telepon rumah di tangannya, sedang menelepon. Pria itu terlihat sangat tampan dengan ekspresinya yang sedikit kaget karena tak tau bahwa dirinya akan difoto.
“Paman...,” panggilnya pelan sambil mengusap foto pria itu.
“Bagaimana kabarmu? Aku sangat menyesal,” ucapnya dengan sedih namun tetap berusaha memaksakan senyumannya. Ia pun kembali meletakkan foto itu ke dalam kota penyimpanan.
*****
Keesokan harinya
Chike berjalan ke sebuah pemakaman. Ia membawa sebuket bunga mawar putih di tangannya. Setelah berjalan beberapa waktu, ia berhenti di salah satu kuburan.
Chike menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk mengatur dadanya yang mendadak terasa sesak. Ia tersenyum dan kemudian duduk bersimpuh di samping kuburan itu.
“Selamat pagi, Paman!” sapanya.
“Bagaimana kabarmu sekarang? Sudah lama sejak terakhir kali aku ke sini. Maaf, aku cukup sibuk di kampus hingga tak memiliki waktu luang untuk berkunjung,” ucapnya dengan senyuman yang dipaksakan.
Chike mencoba mengatur napasnya yang mulai terasa sesak. Matanya kini sudah mulai berkaca-kaca.
“Sejujurnya, aku tak cukup berani untuk terus mengunjungimu.” Chike menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menahan air matanya yang Ingin jatuh.
“Setiap kali aku datang mengunjungimu, atau setiap kali aku memikirkanmu, itu akan sangat menghancurkan hatiku.” Akhirnya air mata yang sudah berusaha ditahannya sejak tadi luruh juga. Chike berusaha menghapus air matanya dan menghentikan tangisannya.
“Hiks, hiks...” Chike kembali menangis ketika ingin melanjutkan pembicaraannya. Ia kembali berusaha menghentikan tangisannya.
“Hah... aku begitu pengecut, Paman,” ucapnya ketika sudah berhasil meredakan tangisnya. Ia tersenyum dan terus berusaha untuk menahan air matanya yang ingin kembali luruh.
“Paman... aku sudah dewasa sekarang. Umurku kini sudah 20 tahun. September ini, aku akan menjadi mahasiswa tahun ketiga. Sekarang, Paman dan aku sudah hampir seumuran.”
“Hiks, hiks...” Chike kembali tak kuasa menahan air matanya.
“Ji-jika kita bisa bertemu sekarang, a-aku yakin jika itu akan terasa sangat luar biasa,” ucapnya sesenggukan. Chike menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kembali sebelum melanjutkan ucapannya.
“Ji-jika hal itu menjadi nyata, a-aku pasti akan bisa bertanya padamu tentang kehidupan. Mu-mungkin kita juga bisa minum bersama ka-karena aku sudah cukup umur untuk melakukannya. A-atau kita mungkin bisa bermain game bersama.” Chike terus saja sesenggukan.
Hatinya kini terasa begitu menyakitkan. Ia terus berusaha menenangkan dirinya agar air matanya berhenti.
“Aku minta maaf, Paman. Setiap kali aku datang ke sini, aku pasti akan menangis begitu banyak,” lanjutnya ketika sudah berhasil menghentikan tangisannya. Chike kembali tersenyum sendu.
“Akibat terlalu banyak menangis, aku sampai hampir tidak mengatakan apa-apa. Tapi, mulai sekarang aku akan sering mengunjungimu, Paman.”
Kemudian Chike membersihkan kuburan itu dari rumput-rumput yang tumbuh dan dedaunan yang jatuh. Setelah bersih, ia meletakkan bunga mawar putih uang dibawanya di samping kuburan itu.
“Aku akan segera mengunjungimu kembali, Paman. Sampai jumpa,” pamitnya kemudian pergi dari pemakaman itu.
“Almarhum Zaky Farraz. 13 Maret 1990 - 30 Juni 2012.” Itulah yang tertulis di batu nisan kuburan yang dihampiri oleh Chike.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments