Apa Yang Terjadi?

“Astaga! Ini sudah jam 9 malam. Aku lupa untuk memeriksa setiap kamar,” keluh ibu pemilik asrama.

“Hah! Hari ini aku sudah sangat lelah untuk mengurus semua berkas-berkas yang menumpuk itu. Aku ingin segera istirahat.” Ibu itu mendesah lelah.

Ia mengambil kunci semua kamar dari dalam laci meja resepsionis. Ia mulai melangkahkan kakinya untuk memeriksa setiap kamar yang ada.

“Selamat malam, Bu Laila,” sapa seorang wanita yang merupakan salah satu penghuni kamar di lantai 3 yang masih tinggal. Tepatnya di kamar nomor 298.

“Oh, iya. Selamat malam,” jawab Bu Laila.

“Apa kamu baru selesai kuliah?”

“Iya, Bu. Sekarang aku sudah sangat lelah. Rasanya aku akan langsung tertidur jika sudah berada di kasur,” keluhnya.

“Yah.. kamu benar,” desah Bu Laila.

“Aku juga berharap bisa istirahat dengan segera. Badanku rasanya sudah sangat lelah, namun masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan,” sambungnya. Mereka berdua tertawa kecil.

“Apa masih banyak kamar yang belum diperiksa, Bu?” tanya wanita itu.

“Tidak, hanya tinggal beberapa kamar saja. Yang tersisa hanya mulai kamar 300 sampai 310.”

“Oh, begitu ya. Apa Ibu ingin aku membantu?” tanyanya menawarkan bantuan.

“Tidak perlu. Aku akan selesai sebentar lagi. Lebih baik kamu mandi dan beristirahat saja,” jawab Bu Laila menolak.

“Haha, baiklah. Kalau begitu aku masuk ke kamar duluan ya, Bu,” pamitnya sopan.

“Ya, masuklah. Selamat beristirahat,” ucap Bu Laila yang dibalas dengan senyuman singkat oleh wanita itu. Kemudian ia menutup pintu kamarnya.

“Hah... sepertinya aku harus membuat secangkir kopi selesai memeriksa kamar,” ucapnya mendesah. Ia kembali melanjutkan kegiatannya untuk memeriksa kamar yang tersisa.

Ia sampai di depan kamar 303. Saat ingin membuka kunci kamar, ia heran karena pintu itu sudah tak terkunci. Ia masuk ke dalam kamar dan terkejut ketika melihat seseorang yang duduk di kursi.

“Astaga! Apa kamu masih di sini?!” serunya kaget ketika melihat Chike yang masih ada di dalam kamar. Chike juga sedikit kaget, namun dengan cepat ia menguasai dirinya.

“Eh....Maaf, aku akan segera keluar,” ucap Chike cepat karena merasa tak enak.

“Eh...tak perlu terburu-buru. Aku hanya sedikit kaget tadi. Aku tak menyangka kamu masih ada di dalam kamar ini,” ucap Bu Laila menahan Chike yang ingin bangun dari duduknya.

“Oh, iya. Apa kamu sudah menemukan barang yang kamu tinggalkan?” tanya Bu Laila ketika mengingat alasan Chike meminta kunci kamar.

“Sudah, Bu,” jawab Chike tersenyum.

“Apa kamu yakin? Memangnya apa yang kamu tinggalkan?” tanyanya sedikit curiga karena tak melihat barang apapun.

“Sesuatu yang sangat penting,” jawab Chike.

“Memangnya sepenting apa? Apa kamu meninggalkan hatimu di sini?” tanyanya heran. Sedangkan Chike hanya tersenyum canggung sebagai jawaban.

“Ah, baiklah. Aku mengerti,” ucap Bu Laila tak ingin ambil pusing.

“Oh, Bu. Aku punya sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, Bu,” ucap Chike ketika mengingat keinginannya.

“Apa itu? Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Bu Laila cepat.

“Selama 2 minggu ke depan sebelum pembongkaran asrama dilaksakan, apakah boleh jika aku tinggal di sini?” tanya Chike sedikit ragu.

“Hah? Untuk apa?” tanya Bu Laila merasa heran. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dirinya merasa keberatan dengan permintaan itu.

“Aku akan membayar selama sebulan penuh,” jawab Chike cepat ketika melihat Bu Laila yang ingin menolak.

“Astaga...,” desah Bu Laila.

“Bukan aku tak ingin mengizinkannya. Hanya saja itu bukanlah ide yang bagus karena mungkin akan sangat berbahaya,” jawab Bu Laila mencoba memberi pengertian.

“Aku masih berlarian ke sana ke mari, dari satu kamar ke kamar lainnya berusaha untuk mengeluarkan semua orang. Oleh karena itu, kurasa kamu tak bisa tinggal di sini,” lanjutnya.

Chike mendesah kecewa. Kini raut wajahnya yang tadi penuh dengan harap sudah berganti dengan wajah sedihnya. Chike berusaha berpikir dengan keras.

“Kalau begitu, apakah Ibu bisa menjual telepon ini kepadaku?” tanya Chike sambil memegang telepon putih itu.

“Apa? Yang ini?!” tanyanya tak yakin, takut pendengarannya yang salah.

“Benar. Bisakah Ibu menjualnya?” tanya Chike sekali lagi.

“Bukan aku tak mau. Tapi untuk apa? Telepon itu juga sudah rusak. Aku bahkan berencana untuk membuangnya nanti ketika membersihkan kamar ini.” Bu Laila berucap dengan bingung.

“Aku tak bisa mengatakannya. Hanya saja, bisakah Ibu menjualnya?” tanya Chike kembali.

“Hah...” Bu Laila menghela napasnya panjang.

“Jika kamu memang benar-benar menginginkannya, kamu bisa mengambilnya. Lagian telepon itu memang akan dibuang juga,” ucap Bu Laila yang masih tak mengerti.

“Benarkah? Apa Ibu benar-benar akan memberikannya?” tanya Chike yang merasa senang.

“Ya, kamu bisa mengambilnya. Itu memang seharusnya diberikan kepada orang yang membutuhkannya,” sahut Bu Laila ikut tersenyum. Entah mengapa ketika melihat Chike yang tersenyum bahagia membuatnya ikut merasa senang.

“Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak,” ucap Chike senang.

“Oh, berapa harga untuk telepon ini, Bu?” tanya Chike tiba-tiba.

“Ya ampun... kamu tidak perlu membayar. Kamu ambil saja karena telepon itu juga sudah rusak,” jawab Bu Laila. Chike sekali lagi mengucapkan terima kasih dengan tulus.

“Jika sudah tidak ada lagi yang ingin kamu kerjakan, bisakah kamu pergi sekarang?” tanya Bu Laila sedikit merasa tak enak karena terkesan seperti mengusir.

“Ah, jangan salah paham. Aku tak berniat Ingin mengusirmu, hanya saja aku harus menutup kamar ini,” jelas Bu Laila cepat agar Chike tak salah paham.

“Baik, Bu. Aku yang seharusnya meminta maaf karena sudah banyak merepotkanmu,” sahut Chike.

“Tidak masalah. Kamu bisa meminta bantuanku kapan pun itu,” ucap Bu Laila.

“Baiklah, aku akan memeriksa kamar yang tersisa. Kamu bisa langsung mengunci pintu dan menyerahkan kuncinya padaku nanti ketika sudah selesai.”

Bu Laila berjalan ke arah pintu. Namun, ketika sudah membukanya, ia berhenti dan berbalik menghadap Chike.

“Asrama akan ditutup pada tanggal 30 Juni. Tanggal 30 Juni. Ingatlah itu baik-baik!” Setelah itu Bu Laila keluar, pergi meninggalkan Chike yang merasa kebingungan dengan maksud perkataannya barusan.

“Apa maksudnya?” tanya Chike bingung pada dirinya sendiri.

“Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Lebih baik aku pulang sekarang,” ucap Chike yang tak ingin ambil pusing untuk memikirkan hal itu.

Chike sudah sampai di lantai satu. Ia sudah menyerahkan kembali kunci kamar pada Bu Laila dan berpamitan. Ia kini memeluk telepon putih itu dengan perasaan senang.

Chike merasa bingung ketika ia keluar dari dalam asrama. Kini langit yang sudah terang. Chike melihat sekitar dengan bingung.

“Apa yang terjadi? Ini sudah pagi?” tanya Chike yang kebingungan.

“Bukankah beberapa saat lalu masih malam hari? Apakah aku yang tidak menyadari waktu sudah berlalu begitu cepat?” Chike benar-benar kebingungan.

Chike masih memperhatikan sekitar, hingga pandangannya terpaku ketika ia melihat sosok di ujung jalan.

“Aku menemukanmu!” ucap Chike pelan ketika melihat sosok Zaky yang memakai jaket hitamnya sedang berjalan ke arah asrama. Pandangan Chike menyorotkan kerinduan yang mendalam.

Sosok Zaky terus berjalan mendekat ke arah asrama. Sedangkan kini perasaan Chike kini sudah campur aduk. Ia melihat telepon yang dipeluknya yang sudah menghilang entah ke mana.

Chike merasa bingung. Ia kembali melihat sosok Zaky yang semakin dekat. Ketika sosok Zaky sudah berada tak jauh dari posisinya, dengan cepat Chike berlari dan memeluk Zaky dengan erat.

Zaky merasa kaget karena dipeluk secara tiba-tiba oleh orang yang tak dikenalnya. Ia melihat Chike yang semakin mempererat pelukannya dengan bingung.

“Aku sangat merindukanmu, Paman!” ucap Chike yang memeluk Zaky dengan erat. Sedangkan Zaky kini merasa sangat kebingungan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!