NovelToon NovelToon

Once Again

Kembali ke Rumah

30 Juni 2012

“Aaaaa!!!!” Terlihat seorang gadis kecil berteriak. Dia jatuh terduduk di jalanan yang dingin itu.

Di depannya kini berdiri seorang pria yang ditusuk oleh seseorang yang tak di kenal. Kemudian pria itu terjatuh dengan tangan yang menahan perutnya agar darah tak terus mengalir.

Pelaku penusukan itu tersenyum, namun wajahnya tak terlihat begitu jelas di bawah lampu jalan yang temaram, apalagi dia memakai topi untuk menutupi wajahnya itu.

Pria itu terus berusaha menahan sakit. Sedangkan gadis kecil itu kini sudah menangis, melihat pria yang tergeletak di depannya dengan darah yang terus mengalir.

*****

10 Juni 2022

Terlihat seorang gadis sedang melakukan perjalanan menggunakan bus. Ia menyenderkan kepalanya ke jendela sembari melihat pemandangan di luar. Tak lama kemudian ia menghela napasnya.

“Drrttt....” Ponsel miliknya bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku jaket yang dipakainya.

“Halo, Bu?” ucapnya ketika mengangkat telepon yang ternyata dari ibunya.

“Di mana kamu sekarang, Nak?” tanya ibunya.

“Aku sudah hampir sampai, Bu," sahutnya.

“Chike Zizaya, sudah 2 tahun berlalu, tapi kamu tidak pernah mengabari Ibu duluan. Ibu merasa agak diabaikan, kamu tau?”

“Aku sudah mengatakannya, aku sedang dalam perjalanan dan sudah hampir sampai, Bu.” Chike menghela napasnya.

“Baiklah. Semoga perjalananmu aman.”

“Terima kasih, Bu.” Setelah itu ia memutuskan sambungan telepon di antara keduanya. Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 pagi.

*****

“Kamu sudah sampai?” tanya sang ibu yang langsung menghampiri anak semata wayangnya itu ketika mendengar suara pintu yang terbuka.

“Iya,” jawabnya sambil melepas sepatu dan meletakkannya di rak khusus sepatu yang ada di dekat pintu masuk.

“Oh, Anakku!” ucap sang ibu dan langsung memeluk anaknya, melepas rindu. Setelah dirasa cukup, baru ia melepaskan pelukannya.

“Di mana Ayah, Bu?” tanya Chike ketika tidak menemukan sosok sang ayah.

“Oh, dia masih bekerja,” jawab ibunya.

“Kamu pasti belum makan kan? Ayo makan kalau begitu,” ajak sang ibu.

“Baiklah,” sahutnya. Ia melihat rumahnya yang sudah 2 tahun ini ditinggalkannya. Ibunya pergi ke dapur untuk membuat teh karena cuaca di luar sangat dingin. Sedangkan gadis itu masuk ke dalam kamarnya ketika sudah puas melihat-lihat.

*****

Chike keluar dari kamar mandinya sembari mengeringkan rambutnya yang basah, baru selesai keramas. Ia memperhatikan setiap sudut ruangan kamarnya yang berwarna krem itu.

Kamarnya tak begitu besar, hanya berukuran 4x4. Tempat tidurnya berada dekat dengan dinding pintu masuk dan di sebelahnya terdapat meja belajar miliknya. Sedangkan lemari miliknya yang terbuat dari kayu terletak di dekat jendela kamar.

Setelah melihat-lihat, pandangannya jatuh pada sebuah kotak penyimpanan berwarna merah yang terletak di rak bawah lemarinya yang memang tak memiliki penutup. Ia terdiam dan terus menatap kotak penyimpanan itu.

*****

Terlihat seorang gadis kecil sedang berjalan sendirian di gang kecil dan hanya ditemani oleh lampu jalan yang temaram. Malam sudah sangat larut dan ia baru pulang dari tempat lesnya.

Di belakangnya kini terlihat seorang pria yang tak dikenalnya sedang mengikutinya. Pria itu memakai jaket dan topi berwarna gelap.

Gadis kecil itu berhenti dari langkahnya, dengan ragu dia membalikkan badannya. Ia takut ketika melihat pria itu tersenyum padanya. Ia langsung lari dengan cepat, namun pria itu mengejarnya.

Gadis kecil itu tersandung dan terjatuh. Ia melihat pria itu yang semakin mendekat ke arahnya. Pria itu menyeringai, kemudian ia mengeluarkan sebuah pisau dari saku jaket miliknya.

“AAAAA!!!!”

“Hah, hah, hah!” Chike terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Dahinya kini sudah penuh dengan keringat yang mengalir dengan derasnya. Ini sudah yang kesekian kalinya ia memimpikan hal itu. Kini di luar, langit sudah gelap.

Ia membuka selimut biru miliknya dan kemudian duduk. Ia masih berusaha mengatur napasnya. Kemudian ia menghidupkan lampu belajar miliknya dan meminum obat yang terletak di atas meja belajar. Napasnya kini sudah kembali teratur.

Ia beranjak dari tempat tidurnya dan menatap kotak penyimpanan berwarna merah itu. Ia berjalan perlahan ke arah lemari dan kemudian mengambil kotak penyimpanan itu.

Ia meletakkan kotak itu di atas meja, kemudian mengelap debu tebal yang menutupinya. Di bukanya kotak itu dan ia mulai melihat-lihat isinya.

Chike mengambil sebuah kalung buatan tangan yang terbuat dari pipet berwarna-warni. Ia tersenyum dan kembali meletakkan kalung itu ke dalam kotak.

“Ini masih di sini?” tanyanya sambil tersenyum. Di tangannya kini sudah ada sebuah foto lama.

Di dalam foto itu terlihat seorang pria yang memegang telepon rumah di tangannya, sedang menelepon. Pria itu terlihat sangat tampan dengan ekspresinya yang sedikit kaget karena tak tau bahwa dirinya akan difoto.

“Paman...,” panggilnya pelan sambil mengusap foto pria itu.

“Bagaimana kabarmu? Aku sangat menyesal,” ucapnya dengan sedih namun tetap berusaha memaksakan senyumannya. Ia pun kembali meletakkan foto itu ke dalam kota penyimpanan.

*****

Keesokan harinya

Chike berjalan ke sebuah pemakaman. Ia membawa sebuket bunga mawar putih di tangannya. Setelah berjalan beberapa waktu, ia berhenti di salah satu kuburan.

Chike menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk mengatur dadanya yang mendadak terasa sesak. Ia tersenyum dan kemudian duduk bersimpuh di samping kuburan itu.

“Selamat pagi, Paman!” sapanya.

“Bagaimana kabarmu sekarang? Sudah lama sejak terakhir kali aku ke sini. Maaf, aku cukup sibuk di kampus hingga tak memiliki waktu luang untuk berkunjung,” ucapnya dengan senyuman yang dipaksakan.

Chike mencoba mengatur napasnya yang mulai terasa sesak. Matanya kini sudah mulai berkaca-kaca.

“Sejujurnya, aku tak cukup berani untuk terus mengunjungimu.” Chike menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menahan air matanya yang Ingin jatuh.

“Setiap kali aku datang mengunjungimu, atau setiap kali aku memikirkanmu, itu akan sangat menghancurkan hatiku.” Akhirnya air mata yang sudah berusaha ditahannya sejak tadi luruh juga. Chike berusaha menghapus air matanya dan menghentikan tangisannya.

“Hiks, hiks...” Chike kembali menangis ketika ingin melanjutkan pembicaraannya. Ia kembali berusaha menghentikan tangisannya.

“Hah... aku begitu pengecut, Paman,” ucapnya ketika sudah berhasil meredakan tangisnya. Ia tersenyum dan terus berusaha untuk menahan air matanya yang ingin kembali luruh.

“Paman... aku sudah dewasa sekarang. Umurku kini sudah 20 tahun. September ini, aku akan menjadi mahasiswa tahun ketiga. Sekarang, Paman dan aku sudah hampir seumuran.”

“Hiks, hiks...” Chike kembali tak kuasa menahan air matanya.

“Ji-jika kita bisa bertemu sekarang, a-aku yakin jika itu akan terasa sangat luar biasa,” ucapnya sesenggukan. Chike menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kembali sebelum melanjutkan ucapannya.

“Ji-jika hal itu menjadi nyata, a-aku pasti akan bisa bertanya padamu tentang kehidupan. Mu-mungkin kita juga bisa minum bersama ka-karena aku sudah cukup umur untuk melakukannya. A-atau kita mungkin bisa bermain game bersama.” Chike terus saja sesenggukan.

Hatinya kini terasa begitu menyakitkan. Ia terus berusaha menenangkan dirinya agar air matanya berhenti.

“Aku minta maaf, Paman. Setiap kali aku datang ke sini, aku pasti akan menangis begitu banyak,” lanjutnya ketika sudah berhasil menghentikan tangisannya. Chike kembali tersenyum sendu.

“Akibat terlalu banyak menangis, aku sampai hampir tidak mengatakan apa-apa. Tapi, mulai sekarang aku akan sering mengunjungimu, Paman.”

Kemudian Chike membersihkan kuburan itu dari rumput-rumput yang tumbuh dan dedaunan yang jatuh. Setelah bersih, ia meletakkan bunga mawar putih uang dibawanya di samping kuburan itu.

“Aku akan segera mengunjungimu kembali, Paman. Sampai jumpa,” pamitnya kemudian pergi dari pemakaman itu.

“Almarhum Zaky Farraz. 13 Maret 1990 - 30 Juni 2012.” Itulah yang tertulis di batu nisan kuburan yang dihampiri oleh Chike.

Asrama

Chike menyusuri sebuah jalan sambil melihat-lihat sekitar, mencari suatu bangunan. Ia pergi setelah kembali dari pemakaman dan mengganti pakaiannya.

Ada beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan yang ia lalui. Chike merasa kedinginan karena ia tinggal di daerah dataran tinggi. Suhu rendah bukanlah hal yang asing lagi baginya.

Chike melihat maps di telepon genggam miliknya. “Hah, bukankah seharusnya ada di sekitar sini?”

Chike pun kembali memutuskan untuk terus berjalan karena belum menemukan tempat yang ingin ia tuju. Setelah beberapa saat Chike berhenti sambil menopang pinggang, kelelahan. Namun, rasa lelahnya terasa menguap begitu saja ketika ia melihat bangunan yang dicari.

“Akhirnya, ketemu juga!” serunya senang.

Chike tersenyum dengan lebar. Kemudian ia berjalan menuju gedung itu. Namun, tempat itu kini sudah diberi tanda silang sebagai penanda bahwa tempat itu akan ditutup.

“Selamat! Rekonstruksi Zona 1 sudah disetujui, 2022.” Chike membaca spanduk yang di pasang di atas pintu masuk gedung tersebut.

Chike mencoba mengintip ke dalam dan melihat siluet seseorang yang lewat. Ia pun memutuskan masuk ke gedung itu yang merupakan sebuah asrama. Asrama Laila namanya.

Chike menuju lantai atas menggunakan tangga. Ia melihat sekeliling yang kosong dan sepi. Hingga ia tiba di lantai 2, di mana meja resepsionis berada. Chike ingin menyusuri koridor, namun seseorang tiba-tiba keluar dari dalam kamar yang berada tepat di samping meja resepsionis.

“Ingin mencari kamar?” tanya seorang wanita yang mungkin berumur sekitar 40 ke atas, menghampiri Chike. Wanita itu masih terlihat begitu cantik walau umurnya tak lagi muda. Ia berambut pendek sebahu. Chike merasa sedikit kaget dan terlihat seperti orang bingung.

“Maaf, kami tidak menyewakan kamar lagi,” ucapnya ketika tidak mendapat tanggapan.

“Bukan itu tujuanku datang ke sini. Apa asramanya akan di tutup?” tanya Chike ketika sudah tersadar dari kagetnya.

“Kamu tau itu. Ya, mereka akan menghancurkannya sekitar 3 minggu lagi. Hampir semua penghuni kamar di sini juga sudah pindah.” Wanita itu menghela napasnya sambil menunjuk kamar-kamar yang tak ada kehidupan, kosong.

“Tempat ini mungkin memang sudah tua. Tapi, ini sudah seperti rumah kedua bagiku. Aku sudah merawat tempat ini selama lebih dari 15 tahun,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Oh benar, apa alasanmu datang ke sini jika kamu sudah tau kalau tempat ini akan dihancurkan?” tanyanya.

“Hah? Oh, ada tempat yang harus kulihat,” jawab Chike yang tersadar dari pikirannya.

“Tempat? Di mana?” tanya wanita itu bingung.

“Kamar 303,” sahut Chike.

“Tunggu sebentar,” ucapnya kemudian mencari kunci itu di dalam laci meja dan menyerahkannya kepada Chike.

“Terima kasih,” ucap Chike.

“Oh, iya, sama-sama,” jawabnya lalu mengangkat teleponnya yang berdering.

“Halo Ibunya Zidan! Oh, aku ada di asrama. Ya, aku perlu mengatur ini dan itu. Setelah selesai aku akan kembali ke sana.”

Wanita itu yang merupakan pemilik asrama terus berbicara di telepon. Chike yang tak ingin menggangu akhirnya pun memutuskan untuk pergi ke kamar yang dituju olehnya. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, ia harus berhenti karena seseorang memanggil.

“Tunggu, permisi!” panggil wanita itu dan membuat Chike membalikkan badannya.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya ragu.

“Aku tak tau mengapa, tapi aku merasa kalau kamu terlihat begitu familiar,” jelasnya. Chike tak menjawab dan memilih untuk meninggalkan wanita itu yang terlihat masih kebingungan.

“Oh, iya Ibunya Zidan. Apa? Anakmu membuatmu marah lagi?” Akhirnya wanita itu melanjutkan panggilan teleponnya yang sempat tertunda dan membiarkan Chike pergi .

“Kamar 305... Kamar 304...,” Chike melihat nomor setiap kamar yang dilaluinya.

“Ketemu!” ucapnya ketika sudah berdiri di depan pintu kamar yang bertuliskan nomor 303. Dengan ragu ia membuka kunci pintu kamar itu.

Chike masuk ke dalam kamar. Ia menghidupkan lampu karena kamar itu terlihat begitu gelap. Tak lupa dirinya melepaskan sepatu dan menaruhnya di dekat pintu masuk.

Chike berjalan pelan, melihat seisi kamar yang kosong. Kamar itu hanya menyisakan sebuah kasur, meja belajar, dan sebuah kursi. Ada sebuah telepon rumah juga di atas meja itu. Tapi, sepertinya telepon itu sudah rusak.

Chike kembali melihat-lihat. Kamar itu memiliki gorden berwarna coklat, kasurnya dipasang sprei berwarna abu-abu, dan dinding kamar yang berwarna krem.

Chike berjalan mendekati meja belajar. Dirabanya meja dan kursi itu yang ternyata bersih dari debu. Sepertinya ibu pemilik asrama sudah membersihkannya. Ia juga menyentuh telepon yang berwarna putih itu.

Setelah puas, Chike beralih menuju tempat tidur dan duduk di atasnya. Ia kemudian mengeluarkan foto dari dalam saku jaketnya dan tersenyum.

“Sudah sangat lama sekali...” ucapnya sambil memandangi foto yang dipegangnya.

“Apa kamu ingat tempat ini, Paman? Ini adalah asrama yang pernah kamu tinggali dulu, kamar 303.” Chike mengelus foto itu dan menatapnya dengan penuh kerinduan.

“Hah... aku berharap kamu ada di sini bersamaku sekarang, Paman,” harapnya. Ia kembali memasukkan foto itu ke dalam saku jaketnya kemudian beranjak ke meja belajar.

“Apa masih ada di sini?” tanyanya sambil melihat kolong meja. Ia sedikit menunduk untuk melihat hal yang dicarinya dan kemudian tersenyum ketika melihat sebuah tulisan.

“Ternyata ini masih ada,” ucapnya tersenyum dan mengelus tulisan itu.

( Ini bentuk meja belajarnya)

Chike kemudian bangun dan duduk di kursi. Ia menyenderkan badannya ke kursi dan menghela napasnya. Ia melihat langit-langit kamar yang bersih tanpa ada jaring laba-laba.

(Bentuk kursinya)

Dia memutar-mutar kursinya hingga bosan, tak tau ingin melakukan apa. Akhirnya dengan ragu ia memegang telepon rumah berwarna putih itu dan mendekatkannya ke telinga, seolah-olah sedang menelepon.

“Paman... aku punya sesuatu yang ingin ku katakan padamu.” Chike berbicara sendirian setelah beberapa saat terdiam.

“Aku merindukanmu, Paman. Aku berharap bisa mendengar suaramu lagi.” Chike terus berbicara sendirian di telepon itu.

“Hiks...hiks...” Chike menangis lagi. Semua yang berhubungan dengan pria yang dipanggilnya paman itu terasa begitu menyesakkan baginya.

Chike meletakkan telepon itu kembali ke tempat semula. Ia menghapus air matanya yang terus mengalir deras. Setelah beberapa saat, akhirnya tangisannya berhenti juga.

Chike kembali memegang telepon putih itu dan mendekatkannya ke telinga kirinya. Chike kembali mencoba untuk berbicara.

“Paman... apa kamu tidak merindukanku di sana? Apakah di sana begitu menyenangkan hingga kamu melupakanku? Paman, aku berharap bisa berjumpa sekali lagi denganmu.” Chike terus berbicara dengan telepon rusak itu.

Setelah puas berbicara, Chike berniat untuk meletakkan kembali telepon itu. Namun, tindakannya itu terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berbicara dari seberang telepon.

“Halo?” ucap seseorang dari seberang telepon. Chike kembali mendekatkan telepon itu ke telinganya dengan sedikit ragu.

“Maaf, ini siapa?” tanya suara dari seberang telepon.

“Ada apa ini?” Suara dari seberang sana terdengar bingung. Chike hanya bisa terdiam mendengar suara itu.

“Apa anda masih di sana?” tanyanya kembali karena tak kunjung mendapatkan respon.

“Halo? Siapa ini?” Chike masih terdiam, tak merespon. Bibirnya terasa kelu dan dadanya kini kembali terasa sesak.

“Nama saya adalah Zaky Farraz,” ucapnya mengenalkan diri.

“Ini siapa ya?” kembali ia bertanya. Chike masih terdiam tak bersuara. Dadanya benar-benar terasa menyesakkan. Kini matanya kembali berkaca-kaca.

“Halo? Ini siapa?” tanyanya dengan nada bicara yang mulai dinaikkan. Chike masih terdiam, mencoba mengatur napasnya agar tidak menangis.

Halo?

“Halo?”

Seorang pria terlihat sedang mengangkat telepon rumah berwarna putih. Tangan kanannya menopang berat badannya di atas meja belajar yang penuh dengan buku dan alat tulis.

Di atas meja itu ada buku tentang teori dan prinsip hukum pidana dan berbagai buku catatan.

”Juni 2012.” Itulah yang tertera di kalender yang ada di atas meja belajarnya.

“Halo?” ucapnya sekali lagi.

“Maaf, ini siapa?” Ia bertanya karena tak mendapatkan respon dari seberang.

“Ada apa ini?” tanyanya bingung sambil melihat telepon itu, mengecek apakah masih tersambung atau tidak.

“Apa anda masih di sana?” Ia kembali bertanya karena tidak mendapatkan respon sedikit pun.

“Halo? Siapa ini?” Ia masih terus menunggu respon dari penelepon di seberang.

“Nama saya adalah Zaky Farraz,” ucapnya mengambil inisiatif untuk mengenalkan diri.

“Ini siapa ya?” Ia kembali bertanya, namun masih tak mendapatkan respon apa pun.

“Halo? Ini siapa?” tanyanya dengan nada bicara yang mulai dinaikkan. Dia menghela napasnya sedikit kasar.

“Kurasa anda menelepon nomor yang salah,” ucap pria itu berusaha bersabar.

“Halo? Halo?” ucapnya kembali.

“Saya akan menutup teleponnya sekarang...”

“Hei, Zaky Farraz!” sapa seseorang yang membuat pria yang dipanggil Zaky itu dengan reflek menoleh.

Cekrek!

Terdengar suara kamera dan lampu flash yang menyala.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Zaky dengan senyuman kepada seorang pria yang barusan mengambil fotonya. Namanya adalah Dava Putra, sahabatnya.

“Aku mendapatkannya!” seru Dava senang. Zaky hanya tertawa kecil melihat itu.

“Berhentilah bersikap seperti anak kecil,” ucapnya mengejek. Ia meletakkan teleponnya ke tempat semula.

“Ck! Kamu seharusnya berterima kasih kepadaku karena aku memberikanmu kehormatan untuk merayakan pembelian kameraku hari ini. Kamu adalah karya pertama atas kamera perdanaku,” ucapnya sedikit kesal. Zaky kembali tertawa melihat itu.

“Apa akhirnya kamu benar-benar membeli kamera itu?” tanya Zaky berusaha mengambil foto yang sudah keluar dari kamera itu, namun dengan cepat dihindari oleh Dava.

“Hei! Jangan coba-coba kamu menyentuhnya! Kamu akan meninggalkan bekas di sini,” seru Dava kesal.

“Dasar!” ucap Zaky tersenyum. Dava tidak peduli. Ia asik mengipas-ngipas pelan foto di tangannya itu hingga warnanya muncul.

“Dengan rendah hati, tolong ulurkan tanganmu untuk menerimanya,” ucap Dava sedikit dramatis. Ia memberikan foto itu kepada Zaky bak pengawal kepada atasannya.

“Ini adalah foto pertama dari kamera ini. Kamu harus merasa terhormat untuk itu,” ucap Dava dengan senyuman. Zaky membalas senyuman itu dan mengambil foto yang diserahkan Dava.

“Wah... Ini sangat bagus,” takjub Zaky ketika melihat fotonya.

“Tentu saja! Itu karena aku adalah Dava, si pria hebat,” ucap Dava menyombongkan diri dan berakhir mendapatkan tepukan di bahunya. Zaky hanya tertawa melihat wajah Dava yang ternistakan, menahan sakit.

“Sial! Itu sakit!” seru Dava tertahan.

“Sudahlah, Dav. Bisakah kamu berhenti menjadi drama king?” tanya Zaky malas. Sedangkan Dava hanya cengengesan.

“Tapi, itu beneran sakit,” sungut Dava. Zaky hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya yang satu ini.

“Baiklah, baiklah. Apa yang bisa aku lakukan sebagai permintaan maaf?” tanya Zaky.

“Hore!!” Dava kini malah tersenyum gembira, penuh dengan kemenangan. Zaky kembali melihat dengan malas.

“Mari kita minum bir malam ini. Kamu yang harus membayar,” ucap Dava senang.

“Ck! Baiklah, kali ini aku akan mengalah. Aku yang akan membayar semuanya malam ini. Aku kasian melihatmu yang sudah seperti pengemis karena selalu minta untuk dibayarkan,” sahut Zaky sedikit menyindir.

“Benarkah? Wah, kamu memang yang terbaik!” ucap Dava dengan nada mengejek.

“Baiklah, baiklah, aku mengalah,” Dava dengan cepat menghindar ketika melihat tangan Zaky yang sudah bersiap untuk meninjunya kembali.

“Santai sobat... kita tak perlu menyelesaikan ini dengan kekerasan.” Kini Dava sudah berada di dekat pintu masuk, jauh dari Zaky yang kini sudah menatapnya dengan datar.

“Sepertinya aku akan keluar duluan... kamu cepatlah menyusul,” ucap Dava yang merasa tak nyaman dengan tatapan intimidasi Zaky.

“Baiklah, aku keluar sekarang. Aku menunggumu di bawah.” Dava dengan cepat keluar dari kamar dan sedikit membanting pintu ketika menutupnya. Zaky hanya bisa menghela napasnya.

Zaky kembali melihat foto yang masih dipegangnya sejak tadi. Ia kembali tersenyum ketika melihat foto itu.

Zaky meletakkan foto itu di dalam buku catatannya. Kemudian ia mengambil jaket hitamnya dan keluar dari kamarnya. Ia memakai jaketnya dan menutup pintu kamar, tak lupa ia menguncinya.

“Kamar 303.”

Setelah mengunci pintu kamarnya, Zaky bergegas pergi menemui Dava yang sudah menunggu di bawah.

*****

Chike menggigit kuku ibu jarinya. Ia terus mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia kembali mengingat kejadian kemarin yang dialaminya.

“Halo? Halo? Siapa ini?” Ingatan tentang telepon kemarin terus terbayang-bayang di dalam pikiran Chike.

Chike berjalan menuju meja belajarnya, melihat foto dari dalam kotak penyimpanan merah miliknya. Di samping kotak itu terdapat sebuah surat kabar lama yang sudah terlihat usang.

“Calon penculik anak melarikan diri setelah membunuh seorang warga sipil yang berusaha menolong.”

“Pelaku ditangkap satu hari kemudian setelah kejadian.” Itulah beberapa kalimat yang terdapat di dalam surat kabar itu.

Chike kembali menggigit kuku ibu jarinya sambil memegang foto itu di tangan kanannya.

“Apa itu benar-benar kamu, Paman?” Chike bertanya pada dirinya sendiri dengan ragu. Ia terus menggigit kukunya untuk menyalurkan rasa gelisahnya.

“Nama saya adalah Zaky Farraz.” Chike duduk di kursinya.

“Kurasa anda menelepon nomor yang salah.”

Kejadian kemarin siang terus berputar-putar di pikirannya seperti kaset yang sudah disetel secara otomatis untuk terus memutar film yang sama.

“Saya akan menutup teleponnya sekarang...”

Brak!!

Chike bangun dari duduknya dengan tiba-tiba. Dengan cepat ia mengambil jaket miliknya yang tergantung dan memakainya.

Sebelum keluar, tak lupa ia mengambil dompet dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Ia juga mengambil foto dan surat kabar itu untuk dibawa bersamanya.

“Bu! Aku akan keluar sebentar!” ucap Chike dengan sedikit berteriak. Ia keluar kamarnya dengan terburu-buru dan langsung memakai sepatunya ketika sudah berada di dekat pintu.

“Kamu mau ke mana, Chike?” tanya sang ibu yang tergopoh-gopoh menghampirinya dari arah dapur.

Chike tak menjawab. Ia segera menyelesaikan kegiatan memakai sepatunya dan langsung keluar tanpa berpamitan.

“Hei, Chike Zizaya!” panggil ibunya sedikit berteriak ketika melihat anak semata wayangnya itu pergi.

“Hah...” Ia menghela napasnya, berusaha bersabar melihat tingkah laku anaknya itu. Tak ingin ambil pusing, ia pun menutup pintu rumah yang dibiarkan terbuka begitu saja oleh Chike tadi. Setelah itu, ia kembali ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasaknya.

Sedangkan Chike kini sudah turun dari taksi. Setelah membayar, ia dengan cepat berlari menyusuri jalanan yang kosong.

Chike terus berlari tanpa menghiraukan jalanan yang sedikit menanjak. Ia berhenti ketika sudah sampai di tempat yang ditujunya.

”Asrama Laila.”

“Hah...hah...hah...” Chike berusaha mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan, lelah setelah berlari. Ketika napasnya sudah kembali teratur, ia berjalan dengan cepat menuju asrama itu dan masuk ke dalamnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!