Sebuah Harapan

Chike sampai di lantai 2 dan berhenti ketika melihat ibu pemilik asrama yang sedang mengecek berkas di meja resepsionis.

“Apa kamu ke sini untuk mencari sebuah kamar?” tanyanya sambil membalikkan badan ketika mendengar langkah kaki yang berhenti.

“Oh! Kamu yang kemarin bukan?” tanyanya ketika melihat siapa yang datang.

“Benar...” jawab Chike.

“Kamu datang lebih pagi hari ini. Tunggu...,” ucapnya sambil berpikir.

“Oh, benar! Kamar 303 kan?!” serunya ketika sudah berhasil mengingat, sambil menunjuk Chike.

“Maaf, Bu. Apakah aku bisa meminta kunci kamar 303?” tanya Chike sedikit ragu.

“Untuk apa?”

“Aku meninggalkan sesuatu di sini kemarin,” jawab Chike.

“Benarkah? Tapi aku tak melihat apa pun di sana ketika pergi memeriksa,” ucapnya bingung.

“Tapi, baiklah. Tunggu sebentar.” Ibu pemilik asrama itu membuka laci dan mencari kunci kamar 303.

“Ini kuncinya.” Ia menyerahkan kunci itu ke Chike.

“Terima kasih banyak,” ucap Chike sambil sedikit membungkuk sopan.

Setelah mengucapkan terima kasih, Chike langsung berlari kecil melewati koridor kamar untuk pergi ke kamar 303. Sedangkan wanita itu hanya melihat kepergian Chike sambil tersenyum. Setelah Chike hilang di belokan, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Chike langsung membuka pintu kamar setelah sampai. Ia masuk dengan sedikit ragu dan tak lupa membuka sepatunya.

Chike menghela napasnya panjang dan jalan perlahan ke arah meja. Ia menarik kursinya sedikit dan kemudian duduk. Ia menatap telepon putih yang ada di atas meja itu.

“Aku pasti sudah kehilangannya kemarin.” Chike berucap dengan sedih sambil terus menatap telepon putih yang rusak itu.

Chike bangkit. Ia berjalan menuju pintu keluar, namun langkahnya terhenti ketika ingin membuka pintu. Ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk kembali ke meja. Ia mengambil telepon itu dan mendekatkannya ke telinga.

“Kumohon. Tolong, sekali lagi,” ucapnya berharap.

Di tempat lain, langit cerah sudah berganti menjadi gelapnya malam. Dering telepon terdengar begitu nyaring ketika seorang pria baru masuk ke dalam kamarnya.

Zaky meletakkan tas punggungnya ke samping meja belajarnya. Ia membuka jaket dan meletakkannya di sandaran kursi.

“Halo?” ucapnya ketika sudah mengangkat telepon. Sedangkan di seberang, Chike terdiam ketika kembali mendengar suara orang yang paling ia rindukan.

“Apa ini kamu, Paman?” tanya Chike dengan perasaan yang campur aduk.

“Apa ini benar-benar kamu, Paman?” tanyanya sekali lagi untuk memastikan.

“Siapa ini?” Zaky bertanya dengan bingung.

“I-ini benar-benar kamu kan?” tanya Chike yang masih tak percaya dengan yang didengarnya. Kini matanya sudah berkaca-kaca.

“Ini benar-benar kamu, Paman,” ucap Chike

yang kini sudah menitikkan air matanya.

“Halo? Apa anda masih di sana?” tanya Zaky ketika tidak mendengar suara apa pun.

“Apa anda yang menelepon saya juga kemarin?” tanya Zaky ketika menyadari suara yang seperti tak asing di telinganya.

“Anda pasti melakukan kesalahan. Silahkan periksa kembali nomor panggilan yang ingin anda tuju,” ucap Zaky ketika tak mendapatkan respon apa pun.

Zaky ingin memutuskan sambungan telepon itu. Namun, niatnya terhenti ketika mendengar suara isakan dari seberang. Ia kembali mendekatkan telepon itu ke telinganya.

“Ini kamu, Paman!” ucap Chike sambil terus menitikkan air matanya.

“A-aku merindukanmu. A-aku benar-benar sangat merindukanmu, Paman Zaky,” lanjutnya. Isakan kembali terdengar dari bibir Chike.

“Hah? Apa maksud anda?” tanya Zaky bingung. Bagaimana bisa penelepon itu mengetahui namanya?

“Paman, apa kamu mendengarkanku? Aku benar-benar merindukanmu.”

Zaky melihat teleponnya dengan bingung. Ia kembali mendekatkan teleponnya kemudian menghela napasnya sedikit kasar.

“Cukup dengan semua lelucon ini. Sekarang saya sedang sangat sibuk,” ucap Zaky yang mulai habis kesabaran.

“Jika tidak ada lagi yang ingin anda sampaikan, aku akan menutup teleponnya sekarang,” ucap Zaky masih berusaha ramah.

“Maaf!” seru Chike dengan cepat ketika Zaky ingin memutuskan sambungan teleponnya.

Zaky menghela napasnya kasar, mencoba bersabar.

“Tidak masalah. Semua orang bisa saja melakukan kesalahan setiap saat ketika menelepon seseorang,” sahut Zaky berusaha berbicara dengan sopan.

“Hiks, hiks...” Isakan Chike kembali terdengar.

“Aku benar-benar sangat menyesal, Paman,” ucap Chike. Zaky hanya terdiam, mencoba mengatur dirinya yang sudah berada di ambang batas kesabarannya.

“Saya tidak tau apa yang anda bicarakan sejak tadi. Tapi sepertinya anda berbicara dengan orang yang salah!” Suara Zaky sudah mulai naik satu oktaf. Sedangkan Chike kembali menangis.

“Aku tau itu semua karena kesalahanku, Paman. Aku tau semua itu terjadi karena aku. Tapi, walaupun begitu aku tak ingin Paman membenciku.”

Chike terus saja berbicara di sela-sela isakannya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, berusaha mengatur dirinya yang semakin emosional.

“Aku tau kalau aku sangat egois. Tapi, hatiku terasa sangat sakit, Paman. Aku juga ingin meminta maaf untuk hal itu," lanjutnya.

Zaky tak mengerti apa yang sedang dibicarakan orang di seberang telepon itu sejak tadi. Ia kini benar-benar sudah sangat bingung.

“Saya benar-benar tak mengerti apa yang anda bicarakan sejak tadi. Tapi, aku berharap anda bisa menjaga diri dengan baik,” ucap Zaky yang sudah menyerah untuk menghadapi lawan bicaranya.

“Baiklah. Saya harus menutup teleponnya sekarang!”

“Tunggu! Kumohon, tunggulah sebentar. Tinggallah sebentar lagi,” ucap Chike cepat untuk menahan Zaky yang ingin memutuskan sambungan telepon di antara mereka.

Zaky menghela napasnya kasar. “Saya benar-benar tak memiliki waktu sekarang,” Zaky berucap dengan marah.

“Aku harus pergi sekarang!”

“Tu...” ucapan Chike menggantung di udara. Zaky benar-benar sudah memutuskan sambungan telepon di antara mereka.

Zaky menghela napasnya dan meletakkannya telepon dengan sedikit kasar. Dia duduk di kursinya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah. Entah mengapa percakapan barusan begitu menguras energinya.

Sedangkan Chike kini sudah menangis pilu, menumpahkan segala emosinya. Ia memegang telepon itu di dadanya, berusaha menyalurkan perasaannya yang sudah campur aduk.

*****

Chike tersentak bangun dari tidurnya. Ia tidur di meja dengan tangan yang masih menggenggam telepon putih itu. Chike bangun dengan sedikit kebingungan.

Ia melihat langit yang sudah berganti malam. Sepertinya ia tidur begitu pulas setelah menangis sejadi-jadinya tadi.

“Astaga! Ternyata sudah jam 9 malam,” ucap Chike ketika melihat jam di telepon genggam miliknya.

Chike menggeliat, berusaha merenggangkan otot-ototnya yang sedikit kaku akibat posisi tidur yang tak nyaman. Ia menutup mulutnya ketika menguap.

Chike kembali melihat telepon putih yang ada di hadapannya. Ia masih mengingat dengan jelas suara dari seberang telepon tadi siang. Suara orang yang sangat dirindukannya selama 10 tahun terakhir.

Suara Zaky terus terngiang-ngiang di pikiran Chike. Ia masih tak menyangka akhirnya bisa kembali mendengar suara itu, suara yang benar-benar sangat dirindukannya.

Chike tersenyum ketika mengingat suara itu. Namun, dirinya kembali merasa sedih karena sambungan telepon di antara mereka harus terputus dengan cepat. Padahal Chike masih ingin mendengar suara itu sedikit lebih lama.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!