Halo?

“Halo?”

Seorang pria terlihat sedang mengangkat telepon rumah berwarna putih. Tangan kanannya menopang berat badannya di atas meja belajar yang penuh dengan buku dan alat tulis.

Di atas meja itu ada buku tentang teori dan prinsip hukum pidana dan berbagai buku catatan.

”Juni 2012.” Itulah yang tertera di kalender yang ada di atas meja belajarnya.

“Halo?” ucapnya sekali lagi.

“Maaf, ini siapa?” Ia bertanya karena tak mendapatkan respon dari seberang.

“Ada apa ini?” tanyanya bingung sambil melihat telepon itu, mengecek apakah masih tersambung atau tidak.

“Apa anda masih di sana?” Ia kembali bertanya karena tidak mendapatkan respon sedikit pun.

“Halo? Siapa ini?” Ia masih terus menunggu respon dari penelepon di seberang.

“Nama saya adalah Zaky Farraz,” ucapnya mengambil inisiatif untuk mengenalkan diri.

“Ini siapa ya?” Ia kembali bertanya, namun masih tak mendapatkan respon apa pun.

“Halo? Ini siapa?” tanyanya dengan nada bicara yang mulai dinaikkan. Dia menghela napasnya sedikit kasar.

“Kurasa anda menelepon nomor yang salah,” ucap pria itu berusaha bersabar.

“Halo? Halo?” ucapnya kembali.

“Saya akan menutup teleponnya sekarang...”

“Hei, Zaky Farraz!” sapa seseorang yang membuat pria yang dipanggil Zaky itu dengan reflek menoleh.

Cekrek!

Terdengar suara kamera dan lampu flash yang menyala.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Zaky dengan senyuman kepada seorang pria yang barusan mengambil fotonya. Namanya adalah Dava Putra, sahabatnya.

“Aku mendapatkannya!” seru Dava senang. Zaky hanya tertawa kecil melihat itu.

“Berhentilah bersikap seperti anak kecil,” ucapnya mengejek. Ia meletakkan teleponnya ke tempat semula.

“Ck! Kamu seharusnya berterima kasih kepadaku karena aku memberikanmu kehormatan untuk merayakan pembelian kameraku hari ini. Kamu adalah karya pertama atas kamera perdanaku,” ucapnya sedikit kesal. Zaky kembali tertawa melihat itu.

“Apa akhirnya kamu benar-benar membeli kamera itu?” tanya Zaky berusaha mengambil foto yang sudah keluar dari kamera itu, namun dengan cepat dihindari oleh Dava.

“Hei! Jangan coba-coba kamu menyentuhnya! Kamu akan meninggalkan bekas di sini,” seru Dava kesal.

“Dasar!” ucap Zaky tersenyum. Dava tidak peduli. Ia asik mengipas-ngipas pelan foto di tangannya itu hingga warnanya muncul.

“Dengan rendah hati, tolong ulurkan tanganmu untuk menerimanya,” ucap Dava sedikit dramatis. Ia memberikan foto itu kepada Zaky bak pengawal kepada atasannya.

“Ini adalah foto pertama dari kamera ini. Kamu harus merasa terhormat untuk itu,” ucap Dava dengan senyuman. Zaky membalas senyuman itu dan mengambil foto yang diserahkan Dava.

“Wah... Ini sangat bagus,” takjub Zaky ketika melihat fotonya.

“Tentu saja! Itu karena aku adalah Dava, si pria hebat,” ucap Dava menyombongkan diri dan berakhir mendapatkan tepukan di bahunya. Zaky hanya tertawa melihat wajah Dava yang ternistakan, menahan sakit.

“Sial! Itu sakit!” seru Dava tertahan.

“Sudahlah, Dav. Bisakah kamu berhenti menjadi drama king?” tanya Zaky malas. Sedangkan Dava hanya cengengesan.

“Tapi, itu beneran sakit,” sungut Dava. Zaky hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya yang satu ini.

“Baiklah, baiklah. Apa yang bisa aku lakukan sebagai permintaan maaf?” tanya Zaky.

“Hore!!” Dava kini malah tersenyum gembira, penuh dengan kemenangan. Zaky kembali melihat dengan malas.

“Mari kita minum bir malam ini. Kamu yang harus membayar,” ucap Dava senang.

“Ck! Baiklah, kali ini aku akan mengalah. Aku yang akan membayar semuanya malam ini. Aku kasian melihatmu yang sudah seperti pengemis karena selalu minta untuk dibayarkan,” sahut Zaky sedikit menyindir.

“Benarkah? Wah, kamu memang yang terbaik!” ucap Dava dengan nada mengejek.

“Baiklah, baiklah, aku mengalah,” Dava dengan cepat menghindar ketika melihat tangan Zaky yang sudah bersiap untuk meninjunya kembali.

“Santai sobat... kita tak perlu menyelesaikan ini dengan kekerasan.” Kini Dava sudah berada di dekat pintu masuk, jauh dari Zaky yang kini sudah menatapnya dengan datar.

“Sepertinya aku akan keluar duluan... kamu cepatlah menyusul,” ucap Dava yang merasa tak nyaman dengan tatapan intimidasi Zaky.

“Baiklah, aku keluar sekarang. Aku menunggumu di bawah.” Dava dengan cepat keluar dari kamar dan sedikit membanting pintu ketika menutupnya. Zaky hanya bisa menghela napasnya.

Zaky kembali melihat foto yang masih dipegangnya sejak tadi. Ia kembali tersenyum ketika melihat foto itu.

Zaky meletakkan foto itu di dalam buku catatannya. Kemudian ia mengambil jaket hitamnya dan keluar dari kamarnya. Ia memakai jaketnya dan menutup pintu kamar, tak lupa ia menguncinya.

“Kamar 303.”

Setelah mengunci pintu kamarnya, Zaky bergegas pergi menemui Dava yang sudah menunggu di bawah.

*****

Chike menggigit kuku ibu jarinya. Ia terus mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia kembali mengingat kejadian kemarin yang dialaminya.

“Halo? Halo? Siapa ini?” Ingatan tentang telepon kemarin terus terbayang-bayang di dalam pikiran Chike.

Chike berjalan menuju meja belajarnya, melihat foto dari dalam kotak penyimpanan merah miliknya. Di samping kotak itu terdapat sebuah surat kabar lama yang sudah terlihat usang.

“Calon penculik anak melarikan diri setelah membunuh seorang warga sipil yang berusaha menolong.”

“Pelaku ditangkap satu hari kemudian setelah kejadian.” Itulah beberapa kalimat yang terdapat di dalam surat kabar itu.

Chike kembali menggigit kuku ibu jarinya sambil memegang foto itu di tangan kanannya.

“Apa itu benar-benar kamu, Paman?” Chike bertanya pada dirinya sendiri dengan ragu. Ia terus menggigit kukunya untuk menyalurkan rasa gelisahnya.

“Nama saya adalah Zaky Farraz.” Chike duduk di kursinya.

“Kurasa anda menelepon nomor yang salah.”

Kejadian kemarin siang terus berputar-putar di pikirannya seperti kaset yang sudah disetel secara otomatis untuk terus memutar film yang sama.

“Saya akan menutup teleponnya sekarang...”

Brak!!

Chike bangun dari duduknya dengan tiba-tiba. Dengan cepat ia mengambil jaket miliknya yang tergantung dan memakainya.

Sebelum keluar, tak lupa ia mengambil dompet dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Ia juga mengambil foto dan surat kabar itu untuk dibawa bersamanya.

“Bu! Aku akan keluar sebentar!” ucap Chike dengan sedikit berteriak. Ia keluar kamarnya dengan terburu-buru dan langsung memakai sepatunya ketika sudah berada di dekat pintu.

“Kamu mau ke mana, Chike?” tanya sang ibu yang tergopoh-gopoh menghampirinya dari arah dapur.

Chike tak menjawab. Ia segera menyelesaikan kegiatan memakai sepatunya dan langsung keluar tanpa berpamitan.

“Hei, Chike Zizaya!” panggil ibunya sedikit berteriak ketika melihat anak semata wayangnya itu pergi.

“Hah...” Ia menghela napasnya, berusaha bersabar melihat tingkah laku anaknya itu. Tak ingin ambil pusing, ia pun menutup pintu rumah yang dibiarkan terbuka begitu saja oleh Chike tadi. Setelah itu, ia kembali ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasaknya.

Sedangkan Chike kini sudah turun dari taksi. Setelah membayar, ia dengan cepat berlari menyusuri jalanan yang kosong.

Chike terus berlari tanpa menghiraukan jalanan yang sedikit menanjak. Ia berhenti ketika sudah sampai di tempat yang ditujunya.

”Asrama Laila.”

“Hah...hah...hah...” Chike berusaha mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan, lelah setelah berlari. Ketika napasnya sudah kembali teratur, ia berjalan dengan cepat menuju asrama itu dan masuk ke dalamnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!