Chike menyusuri sebuah jalan sambil melihat-lihat sekitar, mencari suatu bangunan. Ia pergi setelah kembali dari pemakaman dan mengganti pakaiannya.
Ada beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan yang ia lalui. Chike merasa kedinginan karena ia tinggal di daerah dataran tinggi. Suhu rendah bukanlah hal yang asing lagi baginya.
Chike melihat maps di telepon genggam miliknya. “Hah, bukankah seharusnya ada di sekitar sini?”
Chike pun kembali memutuskan untuk terus berjalan karena belum menemukan tempat yang ingin ia tuju. Setelah beberapa saat Chike berhenti sambil menopang pinggang, kelelahan. Namun, rasa lelahnya terasa menguap begitu saja ketika ia melihat bangunan yang dicari.
“Akhirnya, ketemu juga!” serunya senang.
Chike tersenyum dengan lebar. Kemudian ia berjalan menuju gedung itu. Namun, tempat itu kini sudah diberi tanda silang sebagai penanda bahwa tempat itu akan ditutup.
“Selamat! Rekonstruksi Zona 1 sudah disetujui, 2022.” Chike membaca spanduk yang di pasang di atas pintu masuk gedung tersebut.
Chike mencoba mengintip ke dalam dan melihat siluet seseorang yang lewat. Ia pun memutuskan masuk ke gedung itu yang merupakan sebuah asrama. Asrama Laila namanya.
Chike menuju lantai atas menggunakan tangga. Ia melihat sekeliling yang kosong dan sepi. Hingga ia tiba di lantai 2, di mana meja resepsionis berada. Chike ingin menyusuri koridor, namun seseorang tiba-tiba keluar dari dalam kamar yang berada tepat di samping meja resepsionis.
“Ingin mencari kamar?” tanya seorang wanita yang mungkin berumur sekitar 40 ke atas, menghampiri Chike. Wanita itu masih terlihat begitu cantik walau umurnya tak lagi muda. Ia berambut pendek sebahu. Chike merasa sedikit kaget dan terlihat seperti orang bingung.
“Maaf, kami tidak menyewakan kamar lagi,” ucapnya ketika tidak mendapat tanggapan.
“Bukan itu tujuanku datang ke sini. Apa asramanya akan di tutup?” tanya Chike ketika sudah tersadar dari kagetnya.
“Kamu tau itu. Ya, mereka akan menghancurkannya sekitar 3 minggu lagi. Hampir semua penghuni kamar di sini juga sudah pindah.” Wanita itu menghela napasnya sambil menunjuk kamar-kamar yang tak ada kehidupan, kosong.
“Tempat ini mungkin memang sudah tua. Tapi, ini sudah seperti rumah kedua bagiku. Aku sudah merawat tempat ini selama lebih dari 15 tahun,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Oh benar, apa alasanmu datang ke sini jika kamu sudah tau kalau tempat ini akan dihancurkan?” tanyanya.
“Hah? Oh, ada tempat yang harus kulihat,” jawab Chike yang tersadar dari pikirannya.
“Tempat? Di mana?” tanya wanita itu bingung.
“Kamar 303,” sahut Chike.
“Tunggu sebentar,” ucapnya kemudian mencari kunci itu di dalam laci meja dan menyerahkannya kepada Chike.
“Terima kasih,” ucap Chike.
“Oh, iya, sama-sama,” jawabnya lalu mengangkat teleponnya yang berdering.
“Halo Ibunya Zidan! Oh, aku ada di asrama. Ya, aku perlu mengatur ini dan itu. Setelah selesai aku akan kembali ke sana.”
Wanita itu yang merupakan pemilik asrama terus berbicara di telepon. Chike yang tak ingin menggangu akhirnya pun memutuskan untuk pergi ke kamar yang dituju olehnya. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, ia harus berhenti karena seseorang memanggil.
“Tunggu, permisi!” panggil wanita itu dan membuat Chike membalikkan badannya.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya ragu.
“Aku tak tau mengapa, tapi aku merasa kalau kamu terlihat begitu familiar,” jelasnya. Chike tak menjawab dan memilih untuk meninggalkan wanita itu yang terlihat masih kebingungan.
“Oh, iya Ibunya Zidan. Apa? Anakmu membuatmu marah lagi?” Akhirnya wanita itu melanjutkan panggilan teleponnya yang sempat tertunda dan membiarkan Chike pergi .
“Kamar 305... Kamar 304...,” Chike melihat nomor setiap kamar yang dilaluinya.
“Ketemu!” ucapnya ketika sudah berdiri di depan pintu kamar yang bertuliskan nomor 303. Dengan ragu ia membuka kunci pintu kamar itu.
Chike masuk ke dalam kamar. Ia menghidupkan lampu karena kamar itu terlihat begitu gelap. Tak lupa dirinya melepaskan sepatu dan menaruhnya di dekat pintu masuk.
Chike berjalan pelan, melihat seisi kamar yang kosong. Kamar itu hanya menyisakan sebuah kasur, meja belajar, dan sebuah kursi. Ada sebuah telepon rumah juga di atas meja itu. Tapi, sepertinya telepon itu sudah rusak.
Chike kembali melihat-lihat. Kamar itu memiliki gorden berwarna coklat, kasurnya dipasang sprei berwarna abu-abu, dan dinding kamar yang berwarna krem.
Chike berjalan mendekati meja belajar. Dirabanya meja dan kursi itu yang ternyata bersih dari debu. Sepertinya ibu pemilik asrama sudah membersihkannya. Ia juga menyentuh telepon yang berwarna putih itu.
Setelah puas, Chike beralih menuju tempat tidur dan duduk di atasnya. Ia kemudian mengeluarkan foto dari dalam saku jaketnya dan tersenyum.
“Sudah sangat lama sekali...” ucapnya sambil memandangi foto yang dipegangnya.
“Apa kamu ingat tempat ini, Paman? Ini adalah asrama yang pernah kamu tinggali dulu, kamar 303.” Chike mengelus foto itu dan menatapnya dengan penuh kerinduan.
“Hah... aku berharap kamu ada di sini bersamaku sekarang, Paman,” harapnya. Ia kembali memasukkan foto itu ke dalam saku jaketnya kemudian beranjak ke meja belajar.
“Apa masih ada di sini?” tanyanya sambil melihat kolong meja. Ia sedikit menunduk untuk melihat hal yang dicarinya dan kemudian tersenyum ketika melihat sebuah tulisan.
“Ternyata ini masih ada,” ucapnya tersenyum dan mengelus tulisan itu.
( Ini bentuk meja belajarnya)
Chike kemudian bangun dan duduk di kursi. Ia menyenderkan badannya ke kursi dan menghela napasnya. Ia melihat langit-langit kamar yang bersih tanpa ada jaring laba-laba.
(Bentuk kursinya)
Dia memutar-mutar kursinya hingga bosan, tak tau ingin melakukan apa. Akhirnya dengan ragu ia memegang telepon rumah berwarna putih itu dan mendekatkannya ke telinga, seolah-olah sedang menelepon.
“Paman... aku punya sesuatu yang ingin ku katakan padamu.” Chike berbicara sendirian setelah beberapa saat terdiam.
“Aku merindukanmu, Paman. Aku berharap bisa mendengar suaramu lagi.” Chike terus berbicara sendirian di telepon itu.
“Hiks...hiks...” Chike menangis lagi. Semua yang berhubungan dengan pria yang dipanggilnya paman itu terasa begitu menyesakkan baginya.
Chike meletakkan telepon itu kembali ke tempat semula. Ia menghapus air matanya yang terus mengalir deras. Setelah beberapa saat, akhirnya tangisannya berhenti juga.
Chike kembali memegang telepon putih itu dan mendekatkannya ke telinga kirinya. Chike kembali mencoba untuk berbicara.
“Paman... apa kamu tidak merindukanku di sana? Apakah di sana begitu menyenangkan hingga kamu melupakanku? Paman, aku berharap bisa berjumpa sekali lagi denganmu.” Chike terus berbicara dengan telepon rusak itu.
Setelah puas berbicara, Chike berniat untuk meletakkan kembali telepon itu. Namun, tindakannya itu terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berbicara dari seberang telepon.
“Halo?” ucap seseorang dari seberang telepon. Chike kembali mendekatkan telepon itu ke telinganya dengan sedikit ragu.
“Maaf, ini siapa?” tanya suara dari seberang telepon.
“Ada apa ini?” Suara dari seberang sana terdengar bingung. Chike hanya bisa terdiam mendengar suara itu.
“Apa anda masih di sana?” tanyanya kembali karena tak kunjung mendapatkan respon.
“Halo? Siapa ini?” Chike masih terdiam, tak merespon. Bibirnya terasa kelu dan dadanya kini kembali terasa sesak.
“Nama saya adalah Zaky Farraz,” ucapnya mengenalkan diri.
“Ini siapa ya?” kembali ia bertanya. Chike masih terdiam tak bersuara. Dadanya benar-benar terasa menyesakkan. Kini matanya kembali berkaca-kaca.
“Halo? Ini siapa?” tanyanya dengan nada bicara yang mulai dinaikkan. Chike masih terdiam, mencoba mengatur napasnya agar tidak menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments