GANTI TIKAR (ISTERI PENGGANTI)

GANTI TIKAR (ISTERI PENGGANTI)

Wasiat

Riyan melayangkan pandangan ke sekeliling bandara kecil yang sepi. Aktifitas penerbangan hanya ada sekali seminggu. Itupun dengan pesawat kecil berisi 12 penumpang.

Seperti hari ini pesawat turun dengan lima orang penumpang dari kota M dengan waktu tempuh 45 menit. Penumpang terdiri dari Riyanto beserta kedua anaknya, ditambah dua pegawai dari salah perusahaan perkebunan sawit. Daerah ini terkenal dengan daerah beras Sigupai yang legendaris. Cuma sayang seiring waktu lahan persawahan berubah fungsi jadi bangunan besar dimiliki mereka yang punya dompet tebal. Mata pencaharian penduduk beralih ke perkebunan sawit. Sebagian penduduk daerah pantai masih setia menjadi nelayan menjadi lahan mencari nafkah.

Daerah Aceh ini sangat istimewa karena di apit oleh gunung dan laut lepas Samudera Hindia. Pasir-pasir putih sepanjang pantai menjadi tempat hiburan bagi penduduk lokal karena kota kecil ini minus hiburan.

Kehadiran Riyan disambut oleh keluarga mendiang isterinya. Sudah hampir setahun Riyan tidak jumpa dengan keluarga mendiang isterinya. Terakhir jumpa itulah di saat isterinya meninggal akibat sakit. Kini Riyan kembali ke kota kecil ini untuk bayar janji pada isterinya yang telah pergi ke surga.

Ayah mertua Riyan melambai melihat Riyan dan kedua anaknya keluar dari bangunan bandara.

Kedua anak Riyan berlari menyongsong kakek mereka yang tampak masih segar di usia tidak muda lagi.

"Rizky...Arsy..." teriak pak Hari dengan suara lantang khas orang kampung.

"Kakek.." seru Rizky anak sulung Riyan. Anak lajang berusia tujuh tahun itu berhamburan ke pelukan sang kakek. Sedangkan adik perempuannya lebih kalem hanya tersenyum malu.

Riyan berjalan cepat tak enak biarkan mertua menunggu terlalu lama di luar bangunan bandara. Cuaca cerah tapi tak panas. Cuaca yang sangat bersahabat.

"Ayah..." Riyan letakkan koper menyalami pak tua itu dengan takzim. Mereka orang kecil sangat kental dengan kesopanan dan tata krama.

"Apa kabar nak?" Pak Hari menatap menantunya dengan mata berkaca-kaca. Masih tersimpan duka kehilangan anak perempuan meninggal setahun lalu. Siapa sanggup lawan takdir? Susah nasib Riyan harus menjadi duda dalam usia muda.

"Alhamdulillah sehat Ayah! Maaf menunggu lama ya!"

"Oh tidak...ayok kita pulang! Semua sudah menunggu kalian!"

Riyan mengangguk seraya mendorong tiga koper ke tempat parkiran mobil. Di sana sudah terparkir mobil SUV warna silver metalik. Mobil sederhana cocok untuk keluarga. Tidak ke atas juga tidak jatuh kelas.

Riyan bantu mertuanya masukkan koper mereka ke bagasi belakang mobil. Ada rasa canggung namun cepat dihalau Riyan mengingat tujuannya datang kembali ke kota ini.

Pak Hari memasukkan kedua cucunya ke dalam mobil di jok belakang sementara Riyan duduk di depan bersama mertua. Riyan ingin ambil alih stiur namun segan keluarkan pendapat. Pilihan terbaik ikut arus saja.

Mobil bergerak tinggalkan lokasi bandara yang letaknya berada dekat laut. Bandara ini dikelilingi kebun sawit milik petani lokal dengan luas lahan berbeda-beda.

Sepanjang jalan menuju ke rumah Pak Hari tak banyak berubah dari tahun lalu. Tak ada pembangunan berarti selain adanya pergerakan hasil tambang biji besi yang dikelola orang luar. Ini akan mengurangi pengangguran.

Jarak bandara ke rumah pak Hari hanya berjarak sekitar dua kilometer. Dalam sekejap mereka sudah tiba di rumah lumayan besar. Termasuk rumah mewah untuk ukuran penduduk kota ini. Di samping rumah pak Hari ada bangunan lebih kecil dengan halaman bersih. Kedua rumah hanya dibatasi pagar besi seakan mengatakan bahwa kedua rumah ini memang tidak saling terkait. Riyan tahu kalau itu termasuk rumah pak Hari dihuni oleh anak bungsu pak Hari. Cerita mengapa anak itu tak mau tinggal serumah dengan orang tuanya Riyan tak tahu. Riyan juga jarang jumpa anak itu karena dia kuliah di UGM Jogjakarta.

Mobil berhenti beri waktu pada Riyan untuk segera turunkan ketiga koper milik dia dan anak-anak. Kedua anak Riyan berlarian masuk ke dalam rumah berseru riang jumpa keluarga dari mama mereka. Suara riang Rizky dan Arsy membuat seisi rumah berkumpul menyambut kehadiran tamu dari kota besar. Bu Tiara berseru bahagia melihat kehadiran cucunya sekian lama tak jumpa. Dari ruang lain muncul Ayumi dan Dahlia yang merupakan adik dari mendiang mama Rizky. Kedua wanita berhijab itu memeluk kedua keponakan senang.

"Aduh gantengnya anak Tante Ayu." Ayumi mencubit pipi Rizky dengan pelan.

"Iya dong! Kan calon bintang masa depan." gurau Rizky yang periang. Adiknya si Arsy agak pasif tidak luapkan euforia jumpa keluarga mamanya. Mungkin Arsy masih terlalu muda untuk paham arti kehilangan mana tercinta.

"Papa kalian mana?" tanya Dahlia berjongkok jajarkan badan setinggi Rizky.

"Ada di depan dengan kakek. Kita pergi ke pantai Tante?" tanya Rizky tak sabar ingin segera bermain di hamparan pasir putih.

"Tunggu agak sorean batu kita ke sana. Ini masih panas! Gimana kalau kita makan dulu? Kalian pasti lapar." tawar Dahlia berusaha ambil hati anak kakaknya ini.

Rizky tertawa pamer gigi depan yang sudah ompong. Arsy diam saja tidak diajak ngobrol oleh kedua tantenya. Ntah apa kekurangan Arsy sampai diabaikan oleh kedua wanita itu. Mereka berdua saling rebut perhatian Rizky sedangkan tak peduli pada gadis kecil yang lebih butuh perhatian.

Pak Hari dan Riyan masuk diawali salam dari mulut Riyan karena lihat ada orang lain dalam rumah.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam...eh nak Riyan! Ayok duduk! Capek nggak?" mertua perempuan Riyan menyambut menantunya dengan keramahan luar biasa.

Riyan tersenyum kecil menggeleng dengan segan karena adanya kedua adik iparnya. Kedua wanita berkerudung itu melempar senyum manis pada Riyan menggoda laki itu.

"Ayu...ambilkan air minum untuk abangmu!" perintah pak Hari kepada anak perempuannya.

Ayumi tinggalkan Rizky berjalan ke dapur. Dahlia menyeret Rizky ikut duduk dekat Riyan beri kesan dia dekat dengan anak kakaknya. Arsy berjalan sendiri dekati Riyan tanpa omong apapun. Si kecil ini berkesan pendiam. Beda dengan Rizky yang periang.

"Bagaimana kantormu nak? Masih sibuk?" tanya Pak Hari di sela mereka duduk bersama.

"Lumayan cuma ada sedikit penurunan akibat krisis global. Tapi keseluruhan aman kok! Bagaimana usaha ayah?"

"Semua serba turun. Hasil panen padi berkurang, sekarang pabrik padi juga agak macet karena sekarang ada penggiling padi dari rumah ke rumah. Mesin giling mini yang keliling kampung. Paling sekarang harap dari lahan sawit. Itupun harga turun naik. Naik sedikit turunnya banyak. Pokoknya serba sulit." keluh pak Hari bercerita macetnya perekonomian kota mereka.

Riyan manggut sok ngerti.

"Bukan cuma sini saja ayah! Di kota juga perekonomian macet. Lapangan kerja berkurang maka muncul banyak perampokan dan begal. Kami di kota malas keluar rumah kalau tidak penting. Cari aman."

"Maunya memang gitu. Yang penting hati-hati sajalah!"

Ayumi datang dengan nampan di tangan berisi beberapa gelas cairan warna merah. Sekilas dilihat itu adalah sirup berbahan dasar dari gula diberi perisa rasa. Minuman penimbun lemak. Kadar gula pasti sangat tinggi.

"Diminum bang!" kata Ayumi ramah.

"Terima kasih." sahut Riyan melirik Ayu yang manis dalam balutan busana muslim.

Seluruh wanita Aceh yang beragama Islam wajib kenakan busana serta berhijab. Tak ada pengecualian selain anak gadis masih di bawah umur. Bahkan sebagian anak kecil ikutan berhijab ikuti trend warga Aceh.

"Nak Riyan berapa lama di sini?" tanya pak Hari kembalikan alam sadar Riyan terhadap pesona anaknya. Harus diakui kalau anak Pak Hari semuanya cantik jelita. Yang paling tua Yenni isteri Riyan yang telah meninggal lalu Dahlia, Ayumi dan terakhir Mawar. Pak Hari tidak memiliki anak lelaki. Semua anaknya wanita. Dia telah menikah yakni Yenni dan Dahlia. Sedangkan Ayumi dan Mawar masih jomblo. Dahlia seorang janda tanpa anak, wanita ini bercerai akibat suaminya tak punya penghasilan tetap maka Dahlia tidak ingin lanjutkan mahligai rumah tangga.

"Mungkin seminggu, bisa lebih karena kebetulan anak-anak libur sekolah."

"Oh gitu...apa kehadiran nak Riyan ada hubungan dengan amanah Yenni?" tanya pak Hari langsung ke titik bahasan.

Mertua Riyan tahu kalau bukan amanah isterinya tak mungkin Riyan balik ke kota yang jauh dari kota tempat tinggalnya.

Riyan menarik bibit sedikit dibarengi anggukan. Yenni ada menulis surat wasiat yang harus dibuka di depan seluruh keluarga setahun setelah dia meninggal.

Setahun telah berlalu, Riyan datang untuk dengar isi wasiat dari isteri yang sangat dia cintai. Apapun permintaan terakhir Yenni akan dia penuhi selama tidak melanggar hukum.

"Iya ayah! Aku ingin tunaikan amanah mamanya anak-anak biar dia tenang di alam sana."

Pak Hari angguk-angguk setuju dengan omongan Riyan. Pesan orang yang telah pergi haruslah dipenuhi sebisanya.

"Baik...nanti malam kita panggil semua keluarga kita untuk baca isi pesan Yenni! Surat itu dititip pada Pak Tuo (Abang Ayah). Beliau yang akan wakili kita semua bacakan wasiat Yenni. Semoga kau tidak keberatan!" Pak Hari meneliti rona wajah Riyan menanti bantahan dari menantunya itu.

"Tentu tidak ayah! Aku juga tak sabar ingin tunaikan wasiat Yenni. Kalau sudah selesai aku bisa hidup tenang tanpa beban."

"Baguslah kalau gitu! Ayah akan segera hubungi Pak Tuo Yenni! Nak Riyan bawa anak-anak istirahat dulu! Sebentar lagi kita makan siang bersama."

"Iya ayah...Come on kids! Kita istirahat dulu!" ajak Riyan kepada kedua anaknya. Arsy mengangguk tanpa buka mulut sedangkan Rizky memilih keluar rumah lihat halaman depan rumah cari suasana baru. Suasana yang sangat beda dengan tempat tinggalnya di kota. Di sini anak-anak bermain bebas di depan rumah tanpa pengawalan orang tua. Mereka lari sana sini tidak takut adanya penculikan. Anak-anak berjiwa merdeka.

Rizky ingin bergabung tapi masih segan karena belum kenal anak-anak sekitar lingkungan rumah kakek mereka. Rizky hanya lihat dari balik pagar.

Di dalam rumah Riyan gendong Arsy masuk ke kamar yang telah disediakan untuk Riyan dan anak-anak. Itu memang bekas kamar Yenni semasa hidup. Kalau mereka pulang kampung di situ tempat mereka menginap. Kini pemilik kamar telah pergi jauh meninggalkan mereka. Hanya tinggalkan kenangan manis di hati Riyan. Yenni isteri sempurna tanpa cacat. Sayang penyakit ginjal gerogoti tubuh wanita itu hingga berpulang ke Rahmatullah.

Rizky keheranan melihat seorang wanita cantik berkulit putih bersih bermata agak kehijauan masuk ke rumah kecil di sebelah pagar. Wanita itu tersenyum manis pada Rizky walau anak itu kurang kenal wanita itu.

Wanita itu mendorong motor matic masuk ke dalam pagar rumah lantas menutup pagar tersebut barulah dekati Rizky tanpa menyeberang ke tempat Rizky berdiri.

"Rizky???" tanya wanita itu lembut. Suaranya halus mendayu mirip pendongeng pengantar tidur.

Rizky manggut walau belum kenal orang itu. Rizky terpesona oleh wanita yang dinilainya terlalu cantik untuk jadi gadis di kampung.

"Kakak ini kenal aku?"

"Kenal dong! Aku mak bit (adik mama paling bungsu) kamu! Lupa sama Mak bit ya! Kita pernah jumpa sewaktu kamu masih kecil sekali. Kapan datang?"

"Barusan sampai. Kamu juga adik mama aku?"

Wanita muda itu mengangguk seraya tersenyum perlihatkan dua lesung pipi cukup dalam. Makin sempurna ciptaan Tuhan ini. Selain cantik suaranya juga halus sedap di kuping.

"Iya...adik bungsu mama kamu! Mau ke tempat Mak bit? Kamu buka pintu kecil itu! Seberang ke sini!"

Wanita itu berjalan agak tengah di mana ada pintu buat menyeberang ke rumah sebelah tanpa harus keluar dari pagar rumah. Wanita itu bukan pintu buat Rizky untuk seberang ke tempatnya.

Semula Rizky ragu karena masih segan pada wanita cantik ini. Riyan sering pesan tak boleh dekat dengan orang asing. Wanita ini termasuk orang asing walau ngakunya adik mamanya.

"Papamu Riyan kan dan kamu punya adik cantik namanya Arsy. Aku ini betul Mak bit kamu! Tak usah takut. Atau kamu bilang dulu sama Mak Tuo di rumah. Katakan kamu ke rumah Mak Bit."

Kalau yang ini Rizky setuju. Minta ijin dulu main ke rumah tetangga agar tidak merepotkan orang mencarinya.

Wanita itu Mawar adik bungsu Yenni. Yenni, Dahlia dan Ayumi satu ibu sedang Mawar anak dari isteri pak Hadi yang lain.

Pak Hadi menikah dengan Sri selama lima tahun tanpa anak maka menikah lagi dengan Tiara. Pak Hadi dikaruniakan tiga anak perempuan dari Tiara. Tak disangka sepuluh tahun kemudian lahirlah Mawar. Maka itu Mawar beda profil dari ketiga kakaknya yang bertampang biasa orang kampung. Beda dengan Mawar yang punya ibu keturunan Portugis Lamno yang mirip orang bule. Pada jaman penjajahan banyak penduduk lokal menikah dengan orang bule maka sampai sekarang keturunan mereka masih tersebar sekitar Aceh. Terutama di daerah Aceh Jaya dan Nagan Raya. Ibu Mawar termasuk keturunan campuran bule dan penduduk lokal maka darah bulenya mengalir pada Mawar. Tak heran Mawar cantik jelita namun sayang hidupnya tidak secantik wajahnya. Dia tersisih sejak ibunya meninggal. Bu Tiara keberatan Mawar tinggal di rumah yang konon dia klaim hak dia dan anaknya. Mawar ngalah tinggal di rumah petak sederhana. Rumahnya kecil cuma ada satu kamar. Cukup Mawar yang hidup sendirian.

Terpopuler

Comments

Nurhayati Nia

Nurhayati Nia

aku mampir thorrr

2023-04-04

1

𝓜𝓪𝔀𝓪𝓻

𝓜𝓪𝔀𝓪𝓻

Assalamualaikum Author.
Aku singgah di sini.. aku dan Mawar dalam cerita dalam ni punyai 1 persamaan, punya lesung pipi..hehe.

2023-02-01

0

Oh Dewi

Oh Dewi

Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya (Siapa) Aku Tanpamu, searchnya pakek tanda kurung biar gak melenceng yaa

2022-11-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!