Senandung Anak Desa
Awan warna kelabu pekat menggantung dilangit kecamatan Barumun, beberapa awan Comulunim
bus besar itu berjejer angkuh sejajar dengan bukit barisan. Atraksi alam akan segera dimulai yang diawali dengan hembusan angin secara perlahan menyapu lembah itu dimana sungai Barumun mengalir.
“Pak !!, pulanglah duluan dengan si Darwin, saya mau teruskan dulu menyiangi rumput sedikit lagi," ibu berteriak dari tengah sawah.
Mendengar itu, ayah yang sedang istirahat dipondok, langsung bergegas dan memanggil aku yang sedang asyik bermain dan menangkap belalang. Kampung kami hanya berjarak sekitar satu kilometer lebih sedikit dari sawah, akan tetapi dibatasi oleh sungai yang mengalir agak deras. Ibuku sebetulnya agak khawatir menyuruh ayah dan aku pulang duluan, karena ayah sudah kurang sehat, dan sering sakit-sakitan.
Tapi karena perobahan cuaca yang cukup drastis, sementara pekerjaannya tinggal sedikit, tanggung untuk di tinggalkan, biarlah ibu belakangan pulang.
Dalam perjalanan pulang ketika itu, ayah yang mengenakan baju warna merah kusam menempatkan aku dipundaknya untuk menyeberangi sungai. Jalannya agak gontai karena harus melewati jalan setapak berpasir dan bercampur kerikil yang berpadu dengan bebatuan. Aku menoleh kebelakang dengan maksud melihat ibu, tapi sudah tidak nampak lagi karena rimbunnya semak antara sawah kami dengan tebing sungai.
Setelah perjalanan kurang lebih dua puluh menit sampailah kami di tebing sungai dan aku melihat ada riak-riak air karena sapuan angin dipermukaannya.
Sepertinya aku tidak begitu menghiraukan keadaan ayah yang jalannya sudah gontai lalu masuk ke aliran sungai yang agak deras itu. Aku tersentak ketika kami hampir jatuh karena kaki ayah tersandung oleh batu di dalam sungai. Untung ayah dengan reflek membuat keseimbangan untuk bisa bertahan melawan arus sungai itu.
Ketika mendekati kampung, yang tadinya yang berhembus adalah angin semilir, berubah menjadi angin ganas yang siap menerjang apa saja yang di laluinya. Kilat yang disertai sambaran petir mulai muncul di arah hulu sungai Barumun. Lapisan dasar awan makin rendah seperti tidak sabar lagi hendak menumpahkan air hujan beribu-ribu ton ke bumi.
Ayah, dengan menakjubkan memacu kecepatan jalannya walaupun terhuyung-huyung sehingga akhir-nya kami sampai dirumah dengan selamat.
Ibu yang tadinya masih berada di sawah, sudah lari lintang pukang ke pondok yang ada disamping pohon mangga besar dipinggiran sawah. Dipondok itu sudah ada beberapa orang yang berlindung dengan rasa cemas. Kecemasan ibu berlipat- kali dari kecemasan mereka dan ditambah lagi dengan rasa bersalah karena telah menyuruh aku dengan ayah untuk pulang duluan. Ibuku kalut.
Ditengah kekalutan ibu, mendadak ada suara krekk, krekkk...., rupanya akar mangga yang besar itu tidak sanggup lagi menahan beban horizontal yang sangat dahsyat karena angin sudah semakin mengganas. Bruukk., pohon itupun tumbang. Untung tidak melindas pondok yang dihuni beberapa orang itu karena kebetulan pondok berada disamping batang pohon yang tidak kearah tumbangnya pohon.
Pondok itupun menyusul bergetar. Kita harus keluar cepat dari pondok! ibu yang lainnya mengambil insiatif. Merekapun lari ke semak-semak yang diselingi dengan rumpun pohon pisang dan langsung tiarap sambil menyiasati kondisi kapan angin melemah. Mereka harus cepat-cepat berlari pulang ke kampung karena ribuan ton air hujan yang akan tumpah bisa membuat permukaan air sungai yang deras itu akan naik secara drastis, yang pada akhirnya bisa membuat mereka akan terjebak dan tidak akan bisa pulang ke rumah sampai malam hari, malah mungkin bisa sampai besoknya, karena harus menunggu air sungai surut.
Dengan tiba-tiba, tiupan angin melemah, mereka harus berani mengambil keputusan yang cepat dan akurat layaknya seperti tentara di medan pertempuran.
Mereka, dengan tanpa pikir panjang lari menuju sungai untuk menyeberang. Untung permukaan sungai belum mengalami kenaikan yang berarti, karena hujan yang sudah turun di daerah hulu masih memerlukan waktu untuk sampai ke tempat penyeberangan mereka.
Begitulah cerita ibuku setelah dia sampai di rumah, sambil memeluk aku disamping ayah. Diapun tak lupa menyampaikan penyesalannya karena telah menyuruh kami pulang duluan dengan ayah.
Tapi kalaupun itu dibilang penyesalan, sebetulnya agak rancu. Coba bayangkan kalau aku yang masih kecil dan Ayah yang kondisinya agak sakit-sakitan ikut beserta mereka yang tinggal tadi di sawah untuk berjibaku menyelamatkan diri untuk pulang ke kampung, mungkin kisahnya sudah berbeda.
Hanya beberapa bulan setelah kejadian yang mengerikan itu, sakit ayah semakin bertambah. Kondisinya terus menurun, walaupun sudah berobat tapi sakitnya semakin parah. Akhirnya, dipagi yang sunyi dan hanya ada beberapa kerabat di rumahku, sang Ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Lagi-lagi ini menurut cerita ibuku, karena yang teringat olehku dengan samar-samar hanyalah ketika itu ada orang ramai dirumahku entah apa gerangan yang terjadi aku tidak mengerti. Tentu akupun tidak merasakan sedih apalagi menangis sebagaimana tangis ibu, kerabat-kerabat kami dan juga orang-orang kampungku yang berdatangan. Atau mungkin juga aku sengaja dijauhkan dari ayahku yang sudah terbujur kaku karena para kerabatku tidak sanggup melihat aku ikut menyaksikan kepedihan yang sedang terjadi itu.
Setelah Ayah dimakamkan, muncul masalah baru pada ibuku, karena dia harus menjawab pertanyaanku, sesuatu pertanyaan yang paling pelik untuk dijawab ibuku. Pertanyaannyapun sangat pendek,
"Dimana ayah, ibunda?" hanya itu pertanyaanku. Rupa-rupanya, selama proses pemakaman dan lain-lainnya belum selesai, aku sengaja dibawa oleh
keponakan ibu bermain-main di tempat yang dimana aku tidak bisa menyaksikan semuanya itu.
Aku tidak menangis ketika itu, tapi tangisku adalah muncul belakangan seiring dengan bertambahnya usiaku.
Tangiskupun tidak disertai air mata tapi tangis yang tertahan didalam jiwaku, aku tidak lagi pernah menyebut panggilanAyah, akupun tidak lagi merasakan belaian kasih sayang seorang Ayah dan aku tumbuh dan dibesarkan hanya oleh Ibu seorang diri. Kadang-kadang aku merasa seperti tersisih dari kawan-kawanku, karena merasa minder, rendah hati dan sebagainya.
“Astagfirullah, ampunilah hambamu ini ya Allah, hambamu ini bukanlah bermaksud untuk menyesali taqdir tapi hanya sekedar ingin mendekatkan diri kepadaMu sekaligus mengenang ibuku, ibu yang tabah dan kuat menahan segala terpaan problema hidup setelah sang Ayah tumbang seperti tumbangnya pohon mangga disawah kami."
*********
Kisah perjalanan hidupku ini dimulai dari aku berumur kurang lebih tiga setengah tahun sampai menjadi remaja dan seterusnya sampai dewasa.
Dalam hal ini didalamnya adalah yang menyangkut keluarga, pendidikan dan asmara. Juga ada didalamnya interaksi sosial, religi dan lain lain.
Penggambaran lingkugan dimulai dari desa sampai sa,at masuk ke situasi perjalanan menuju perantauan. Seterusnya sampai ketempat akhir petualangan kembali ke Sumatera.
Yang menyangkut dengan asmara, dimana kekasihnya si gadis mungil Naila akhirnya dipersunting oleh arjuna yang lain. Tapi tokohnya yaitu aku sendiri menemukan kembali seorang gadis lain yang benar benar mirip Naila melalui sebua mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments