Siang itu panas terik matahari menghunjam dengan sempurna kepermukaan lembah Barumun, karena tidak ada selembar awanpun yang menghalangi, langit tampak biru. Angin hanya berhembus pelan dan malas lalu diam.
Perasaan gerah dan kepanasan dirasakan semua makhluk hidup dikampung kami: mulai dari orang tua, sampai anak-anak, bahkan sampai ternakpun seperti ayam berkumpul dibawah pohon belimbing dan pohon magga untuk berlindung dari panas teriknya matahari. Kambing-kambing asyik bergolek dikolong rumah-rumah panggung secara bergerombol, mereka bukanlah karena takut terkena sinar ultra violet tapi cuma karena tidak kuat menahan panas, itu saja.
Beruk pemanjat kelapa milik Pak Gani dibelakang rumahnya tidak henti-hentinya menguap sambil sekali-sekali menyeringai, karena disamping kepanasan yang membuatnya mengantuk,ia juga lapar.
Memang sering sekali Pak Gani terlambat memberi makan kepada beruknya, padahal sang beruk itulah salahsatu mitra setianya untuk mencari nafkah. Hidup terkadang memang tidak adil.
Masih beruntunglah bebek-bebek dan entok, ketika cuaca panas seperti itu mereka tidak terhalang melaksanakan aktifitasnya. Mereka asyik berenang ria di kali kecil dipinggir kampung sambil mencari makan. Bahkan mereka bisa sedikit lebih ceria karena disaat seperti itulah mereka bisa memamerkan
kepandain berenangnya kepada ayam dan kambing yang kebetulan nongkrong dipinggir kali. Mereka sesekali menyelam sekejap, kemudian muncul lagi lalu menggetarkan kepalanya diatas permukaan air dengan maksud untuk mengeringkan jambulnya.
Seperti halnya rombongan bebek dan entok itu, aku dan kawan-kawanku juga sangat beruntung, karena kami mempunyai arena bermain yang bisa menjadi penyeimbang dari panasnya cuaca. Arena itu banyak terdapat di beberapa tempat yang ada di sungai Barumun. Walaupun diwaktu musim kemarau, volume airnya masih tetap banyak, malah ditempat-tempat tertentu airnya masih sangat deras dan kedalamannya ada yang sampai dua hingga tiga meter, juga ada dijumpai beberapa pusaran air yang sangat menantang. Itulah kondisi sungai Barumun ketika itu, masih sangat bagus karena hutan tropis yang ada di Bukit Barisan sebagai penyangga masih sangat terpelihara dan tidak diganggu oleh para pembalak liar atau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hutan, dimana fungsinya sebagai reservoir raksasa merangkap sebagai mesin penjernih air yang alami, masih sangat sempurna. Ia masih banyak menampung dan menyimpan air hujan dikala musim penghujan dan mengeluarkannya secara baik dan teratur pada musim kemarau. Itulah salahsatu tanda-tanda kebesaran Tuhan, yang sering luput dari perhatian manusia itu sendiri.
"Barang siapa yang bisa membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan, mereka adalah orang-orang yang sangat pandai bersyukur, sehingga merekalah orang-orang yang bahagia sesungguhnya,” itulah ucapan-ucapan yang sering kudengar keluar dari mulut ustadz dikampungku ketika mengadakan ceramah bulanan.
Karena panasnya cuaca sungguh luar biasa, maka daya tarik sungaipun sangat terasa bagi kami, maka aku dan Adam langsung lari ke sungai. Tanpa dikomando, Mammad, Syarifuddin,Makmur, Banuaran dan Syahron mengikuti kami. Tempat yang kami pilih ini adalah bagian dari sungai yang berarus sangat deras dan cukup dalam, dan agak kehilir sedikit ada pusaran air yang bisa memutar setiap benda yang masuk area itu dan menyanderanya berlama-lama, maka jika kemampuan berenang belum bagus, jangan coba-coba masuk ke area itu.
Jadi harus ada teknik tersendiri agar bisa lepas dari genggaman pusaran air itu. Agaknya karena tidak menguasai teknik itulah maka aku sempat tersandera dipusaran itu.
Begitu sampai dipinggir sungai, Adam langsung membuka bajunya dan terjun bebas ke sungai yang ganas dan bergelombang, tentu tanpa pelampung, karena kami adalah anak-anak kampung yang tidak
memiliki peralatan renang berupa pelampung misalnya. Adam hilang, lenyap ditelan arus deras sungai, lalu muncul kembali setelah kira-kira sepuluh meter jauhnya kehilir dari tempat ia terjun, tapi yang muncul hanya bagian kepalanya saja sehingga persis seperti buah kelapa yang hanyut dari arah hulu sungai. Kadang-kadang kepalanya itupun masih timbul tenggelam karena busa air akibat gelombang. Selanjutnya, hanya selang beberapa detik Adam sudah berada dipusaran air dan tampak sekali dia biarkan dirinya diputar-putar seperti gasing disana. Tidak lama kemudian, Adam hilang kembali dari pusaran, namun setelah beberapa lama dia sudah muncul lagi jauh dihilir dan sudah berada ditebing sungai untuk mendarat.
Adam yang sudah piawai dan sudah sangat tinggi kemampuan renangnya selalu menimbulkan rasa iri dalam hatiku, memang usianya juga lebih tua dari aku dan kawan-kawan lainnya, dan dia sudah bersekolah di Sekolah Dasar kelas dua sementara kami masih berumur kira-kira enam tahun dan kami belum bersekolah. Karena diwaktu itu, usia masuk sekolah harus tujuh tahun keatas tanpa kecuali, itu yang saya ingat.
Yang terjun berikutnya adalah Banuaran. Lain halnya dengan Banuaran, walaupun usianya sebaya dengan aku, tapi harus kami akui kalau dia memiliki kelebihan-kelebihan yang bisa membuat kami terkagum-kagum, pokoknya dia mempunyai banyak kemampuan individu termasuk kemampuan yang aneh-aneh seperti mengumpulkan air ludahnya dimulut lalu memelesatkannya setara dengan kecepatan anak panah dengan jarak yang cukup jauh. Kedengarannya memang konyol, tapi itulah dia, si Banuaran yang memiliki nama aneh, sama anehnya dengan karakternya.
Mengenai namanya ini aku tidak habis pikir, karena setahuku belum ada satu orangpun yang pernah memiliki nama Banuaran. Entah apa yang ada dipikiran bapaknya sewaktu memberikan nama itu kepadanya. Biasanya nama seseorang selalu mengandung ciri khas, mungkin bisa berdasarkan etnis, misalnya kalau orang Batak ada nama Tigor, Togar, Marataon dan kalau orang Batak Mandailing atau Padanglawas ada nama-nama seperti kawanku yang lain seperti Adam, Syahron dan Makmur, kalau orang melayu ada nama Abdul Karim, Said Umar misalnya.
Juga halnya Banuaran, begitu terjun ke arus derasnya sungai, ia juga hilang lenyap ditelan arus sungai dan muncul kembali, tapi yang muncul bukan pula kepalanya tapi kakinya, seperti orang yang betul-betul hanyut dan tidak berdaya diseret arus sungai. Tapi sebetulnya dia bukan apa-apa, karena kaki yang diperlihatkannya menyembul-nyembul dilereng gelombang besar yang berwarna biru itu hanyalah semacam pamer kemampuan. Banuaran juga melakukan atraksi yang sama dengan Adam tadi, yaitu sengaja masuk kepusaran air yang sangat berbahaya itu namun hanya kakinya yang tampak diputar-putar oleh pusaran air itu. Selanjutnya kaki-kaki itupun hilang lenyap ditelan air.
Setelah kurang lebih dua menit dia sudah merayap ditebing sungai mau naik keatas.
”Sialan si Banuaran ini!” hanya membuat kami bingung dan ketakutan saja.
Kawan-kawanku yang lain juga mulai beraksi yakni terjun satu-persatu kedalam gelombang sungai, mulai dari Mammad, Syarifuddin, Makmur dan Syahron. Tapi mereka menghindar dari pusaran dan selanjutnya mendarat ditebing sungai agak di hilir.
Selanjutnya tibalah giliranku untuk beraksi. Namun setelah menyaksikan semua atraksi mereka, muncul hal yang aneh pada diriku, hatiku bergolak, mendadak menjadi pemberani.
Aku sudah bosan melakukan atraksi-atraksi yang itu-itu saja setiap kali kami mandi disungai itu yaitu sama dengan yang dibuat oleh Mammad dan Syarifuddin. Disamping itu, agaknya aku terprovokasi dengan tingkah kawanku si Banuaran. Dengan sedikit perasaan marah dan tanpa perhitungan akal sehat, akupun mengambil ancang-ancang, lalu terjun ke sungai yang bergelombang itu dan layaknya seperti orang pemberani, kuarahkan diriku agar bisa masuk ke pusaran air yang menakutkan itu. Menjelang aku masuk kepusaran air itu, kupandangi seluruh kawan-kawanku yang sudah berdiri dipinggir sungai. Sekilas aku melihat kecemasan diwajah mereka tapi masih sempat tertawa kecut kapadaku.
Hanya hitungan detik setelah itu, kudapati diriku sudah berada digenggaman pusaran air. Aku melambaikan tangan kepada mereka, lalu mereka membalasnya dengan antusias. Rasa bangga seketika menyelinap dalam hatiku, sepertinya aku pada saat itu sedang mencapai suatu kemenangan, dan kemenangan itu terhadap siapa akupun tidak tahu.
Sekitar dua menit aku diputar-putar seperti gasing olah pusaran air rasanya masih enak dan santai saja. Tapi putaran terus berlanjut sampai mungkin sudah masuk menit ketiga kepalaku sudah mulai pusing dan aku mulai kelelahan.
Disaat kelelahan sudah makin meningkat, kurasakan air sudah mulai ada yang masuk kehidungku dengan tidak dapat kuhindarkan. Hidungku seperti ditusuk disaat kesadaranku sudah mulai hilang.
Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang sudah terjadi pada diriku. Begitu aku sadar, aku sudah berada di darat dan terlentang diatas batu-batu.
Masih dalam pandangan yang samar kulihat kekiri dan kekanan kawan-kawanku sudah mengelilingiku dan dibelakang mereka ada banyak orang-orang dari kampung.
Aku berpikir mengapa dibelakang kawan-kawanku banyak orang? aku bingung. Seterusnya kucoba fokuskan lagi pandanganku Oh Tuhan...! diantara mereka ada ibuku. Begitu tatapanku mengarah pada Ibu, balas ditatapnya aku dengan tatapan jengkel sambil mendekatiku. Ibuku marahnya bukan main kepadaku.
Setelah Ibu puas memaki-maki aku, ia terdiam beberapa saat. Dengan tiba-tiba Ibu menengadahkan tangannya keatas sambil berdo,a mengucapkan syukur kepada Tuhan karena aku masih selamat.
Setelah itu Ibu memelukku sambil menangis dan kurasakan air matanya mengalir kepipiku.
Sebetulnya ibuku bisa bersikap seperti itu, adalah karena setelah Ayah meninggalkan kami, Ibu selalu dilanda kegamangan dalam hidup ini, sebab hidup kami tentu sangat riskan dimana bila saya mendapat celaka yang mungkin bisa-bisa membuat dia akan hidup sebatang kara, karena Abangku satu-satunya sudah tidak tahu lagi dimana rimbanya setelah pergi merantau ketika Ayah masih sakit dahulu.
Padahal Abang pergi merantau kata Ibu, masih sangat muda, baru saja lulus SMP, tapi karena niatnya yang sangat kuat untuk mengembangkan bakat melukisnya, Ayah dan Ibu waktu itu tidak bisa menghalanginya.
Umur, jodoh dan rejeki seseorang hanyalah Tuhan yang tahu. Ketika aku mulai bersikap dengan sekonyong-konyong menjadi pemberani dan sedikit sombong, rupanya Tuhan masih tetap menyayangiku melalui digerakkannya hati seseorang yang datang ke tempat kami mandi. Anak dari kampungku juga yang bernama Tamin inilah yang datang ketempat kami mandi dan ingin bergabung dengan kami, dan ketika dia tiba persis ketika kawan-kawanku sudah panik melihat aku sudah megep-megap dipusaran air. Tamin ini usianya sudah remaja, maka dia sudah mempunyai kemampuan untuk menyelamatkanku.
Begitu aku dilihatnya dalam kondisi darurat, mungkin sudah setengah pingsan, dia dengan sigap meloncat langsung kepusaran air lalu menyeret aku kekedalaman dan merayap didasar sungai agar lepas dari energi pusaran air di lapisan atas, lalu menariknya ke tebing sungai.
Dengan cara seperti itulah aku bisa diselamatkannya. Ketika aku sedang dalam proses penyelamatan, kawanku Syarifuddin dengan insiatif gerak cepat langsung lari ke kampung memberitahu orang-rang di kampung tentang kejadian itu, itulah rupanya yang menyebabkan orang-orang dikampungku dan termasuk ibu mengetahui kejadian tersebut.
Setelah kondisiku sudah pulih dan sudah bisa berjalan, aku dan Ibu juga termasuk kawan-kawanku dan orang-orang kampung kembali ke kampung. Dalam perjalanan ke kampung, begitu senyap karena tidak ada yang bicara seorangpun, mungkin mereka sibuk dengan pikiran masing-masing tentang kejadian barusan yang menakutkan itu.
Setelah sampai dirumah, Ibuku bicara sangat lembut kepadaku, itulah mungkin sebagai isyarat penyesalannya, karena sudah terlanjur memarahiku.
Walaupun Ibu sering memarahi aku, sebetulnya jauh didalam lubuk hatinya ia sangat menyayangiku. Misalnya ketika Ibu mendapat buah mangga yang jatuh disawah kami karena matang, jikalaupun hanya satu buah, Ibu tidak akan memakannya, tapi akan dimasukkannya kedalam tampanya (sejenis keranjang yan dianyam terbuat dari sejenis daun pandan), nanti untuk diberikan kepadaku. Ibu tidak akan sanggup memakan makanan yang tanpa aku bisa ikut memakannya, begitulah kasih sayang Ibu kepadaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments