Setelah kejadian yang menimpaku di sungai, aku tidak diperbolehkan Ibu bermain jauh-jauh dari rumah, sementara aku sendiripun masih sangat trauma.
Hari-hari terasa panjang karena aku bermain sangat terbatas hanya diperbolehkan oleh Ibu disekitar kampung saja.
Selanjutnya, seiring dengan berjalannya waktu, cuaca panaspun sudah mulai beralih ke musim pancaroba yaitu rentang peralihan dari musim panas kemusim penghujan.
Dengan kondisi seperti itu, yaitu dimana suhu udara tidak begitu menyengat lagi akibat dari hujan yang sudah mulai turun sesekali, ragam permainan yang bisa aku mainkan dengan kawan-kawanku juga sudah sangat bervariasi diantaranya: bola kaki, main petak umpet, main kasti dan banyak lagi yang lainnya. Tapi kali ini, bola kaki lebih menarik bagi kami.
Pada era 1960 an, lahir pesepak bola Indonesia yang terkenal di Asia antara lain Soetjipto Soentoro, Kadir, Iswadi Idris, Yudo Hadianto. Diantara mereka yang paling fenomenal adalah Soetjipto Soentoro. Ia adalah pemain tersukses di Indonesia dengan membawa Indonesia menjadi raja sepak bola Asia.
Agaknya, perestasi gemilang itulah yang menjadikan bola kaki sebagai permainan terpaforit kami. Harus diketahui, walaupun kami tinggal disebuah desa atau kampung yang jauh dan terpencil nun dipedalaman Sumatera, adalah menjadi kebiasaan bagi orang kampung kami mulai dari anak-anak sampai orang dewasa berkumpul untuk mendengar radio baik dikedai-kedai atau dirumah, terlebih-lebih ada event-event terkenal, pertandingan sepak bola misalnya. Dari orang-orang yang berkumpul didekat radio itu, suara riuh sering terdengar menambah kegaduhan suara sang komentator yang keluar dari corong radio itu.
Memang tidak bisa dipungkiri, kalau sepak bola adalah olah raga yang paling digemari di seantero dunia, coba lihat Pele, karena luar biasa populernya, orang lebih mengenal dia daripada Presidennya sendiri, luar biasa.
Tapi permainan bola kaki yang kami laksanakan jangan bayangkan seperti yang ada di stadion yang jumlah pemainnya standard dan dilengkapi dengan kostum seragam bola yang canik dan sepatu bola merek adidas dan bermain dilapangan berumput. Jadi, lapangan kami hanya halaman rumah yang sebagian besarnya gundul dan jika kena hujan langsung jadi licin, dan bolanya juga bukan terbuat dari kulit tapi dari serat sabuk kelapa yang kami lapisi dengan getah karet. Jumlah pemain kami juga hanya seadanya saja. Kalau misalnya ada kawan terkumpul sejumlah 10 orang, maka langsung kami bagi dua, berarti satu kubu ada lima orang, itulah semuanya termasuk untuk satu orang kiper.
Mengenai gawang, cukup baju kami ditumpuk menjadi 4 tumpuk untuk kedua gawang itu. Tapi jangan ditanya soal semangat, mungkin lebih tinggi dari semangat pemain bola klub tingkat kecamatan, karena masing-masing kami membayangkan jelmaan dari idola kami sendiri yang kami dengar di radio. Sehingga walaupun kami terbanting jatuh di atas tanah lempung yang gundul, kami tidak memperdulikannya. Kami bermain bola tidak pakai baju tapi hanya celana potong yang melekat dibadan karena baju kami sudah ditumpuk-tumpuk dijadikan sebagai gawang. Sepatu bola juga tidak kami kenal, karena kami memang tidak punya. Walaupun begitu kami ingin bermain profesional, maka kami sangat serius mendengar radio kalau ada pertandingan besar. Dengan begitu semangat bermain kami cukup hebat dan kami juga bermain dengan teknik yang alami karena memang tidak ada pelatih.
Wasitnya juga tidak begitu mahir peraturan sepak bola, hanyalah karena Pak Kasan itu sangat rajin menonton pertandingan bola antar kampung dan mendengar radio kalau ada pertandingan sepak bola yang disiarkan melalui radio. Makanya tidak heran, setiap ada orang-orang berkumpul mendengar siaran pertandinga sepak bola di radio, dialah yang paling dekat, terkadang telinganya hampir lengket di spiker radio itu.
Dalam bermain sepak bola ini, kami juga selalu mencari teknik masing-masing agar bisa bermain dengan cantik dan juga bisa menghasilkan gol yang juga cantik.
Untuk itu, karena teori bermain sepak bola dari pelatih tidak mungkin kami dapatkan karena tidak punya pelatih, maka intuisi menjadi andalan kami digabung dengan kerjasama sesama tim.
Tapi sayang, intuisi kami kadang-kadang tidak bisa diterapkan sepenuhnya karena bola yang kami pakai terlalu liar, maklum saja karena bolanya terbuat dari karet, itupun buatan kami sendiri.
Padahal untuk membuat bola itu, kami sudah susah payah pergi kekaki gunung dan menggerus beberapa pohon karet yang dimiliki salah satu dari orang tua kami. Cairan getah itulah yang kami oleskan di serpihan-serpihan kulit batang pisang bagian dalam, tentu setelah serpihan-serpihan kulit batang pisang yang tersusun itu kami ambil dari batangnya satu persatu, dan setelah kering, baru menggelindingkan serat dari sabuk kelapa yang dibundarkan sebisanya diatas lapisan getah yang mengering dilengkunga bagian dalam kulit batang pisang tadi. Setelah lapisan getah yang membungkus serat sabuk kelapa tadi sudah agak tebal, jadilah ia menjadi bola buatan kami sendiri.
Gara-gara bola yang terlalu liar, sudah beberapa kali kami dimarahi ibu-ibu. Wajarlah mereka marah, sebab bola kami terkadang melesat bukan kegawang tapi masuk jendela dapur mereka lalu mendarat ditungku tempat memasak.
Karena sudah beberapa kali bola yang kami mainkan masuk rumah dan dapur yang melesat melalui jendela, kami mendapat peringatan dari orang-orang tua kami sendiri agar berhenti main bola. Kami sedih, tapi kami juga maklum, kalau orang tua sudah menegur, kami harus patuh dan tidak ada lagi negosiasi yang akan kami lakukan dengan mereka kecuali menuruti apa yang mereka katakan. Tapi, disisi lain kami sangat ingin melanjutkan main bola. Untuk itu kami harus mencari jalan keluar agar kami bisa tetap main bola tapi tidak menimbulkan masalah.
Beberapa hari kami tidak bermain apa-apa kecuali jalan secara bergerombol tak tentu arah, layaknya anak-anak ayam yang induknya hilang dicuri musang. Pinggiran kampung kami telusuri, dan setiap kami melihat benda bulat, kami selalu terkesiap dan kaki-kaki kami rasanya ingin menendang dan hati kami bergejolak karena kami sedang gila bola. Suara riuh diradio yang menyiarkan pertandingan bola, membuat kami semakin menggila.
Ditengah perjalanan kami yang tak jelas itu, tiba-tiba kawanku Syarifuddin, si inspirator berteriak,
" Itu...!!," sambil tangannya menunjuk keatas, banyak bola diatas.
Seperti dikomando, kami semua langsung melihat keatas, tapi kami tidak melihat apa-apa, kecuali buah jeruk yang berukuran besar bergelantungan diujung-ujung dahannya. Tapi kami segera mengerti, bahwa bola itu sebetulnya adalah buah jeruk yang ukuran besar itu.
Mungkin inilah solusi jitu untuk mengatasi permasalahan kami, karena daya pantul bola jeruk ini sangat rendah dan kecil kemungkinan untuk melambung.
Tapi kelemahan bola spesial kami ini sangat banyak, yang pasti, bola jeruk ini agak berat dan cepat rusak. Tapi tidak mengapa, yang penting hasyrat kegilaan kami main bola bisa tersalurkan dengan tanpa menimbulkan masalah.
Jadi kami bisa main bola selagi pohon jeruk ini masih berbuah dan semua buah jeruk yang ada ini bisa kami gunakan untuk dijadikan sebagai bola, karena rasanya sangat luar biasa asam juga agak pahit.
Buah jeruk ini tidak ada makhluk yang mau memakannya. Seandainya seekor monyetpun, kalau disuguhi buah jeruk ini, dia pasti buang muka. Jadi buah jeruk ini hanya menjadi sampah kalau sudah jatuh karena masak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments