Dua setengah tahun sudah berlalu, Ayah meninggalkan aku dan Ibu, tidak terlalu banyak peristiwa yang aku ingat, karena hidupku dan Ibu sepertinya berjalan datar saja.
Namun, seiring dengan bertambahnya usiaku, pikiran dan perasaanku pun sudah mulai bisa meraba sesuatu hal.
Aku sudah mulai sedikit sensitif, kalau aku dimarahi ibu, sering aku tidak bisa menerimanya, entah kenapa, aku mulai menjadi seorang anak yang suka berontak dan susah menerima sesuatu hal yang bersifat nasehat, apalagi dikait-kaitkan dengan Ayah yang sudah meninggal.
Juga aku tidak senang dikasihani apalagi dengan berlebihan, mentang mentang aku seorang anak yatim. Betul-betul tidak suka.
Disisi lain, sifat rasa ingin tahuku terus meningkat layaknya anak-anak yang lain. Aku sering membongkar-bongkar sesuatu yang ada didalam kamar rumahku yang merangkap juga sebagai gudang.
Aku menemukan barang-barang kesayangan almarhum Ayah, seperti tanduk kerbau yang diukir menjadi semacam barang kerajinan.
Setiap barang yang kutemukan didalam rumahku, sudah pasti akan kutanyakan ke Ibu.
"Siapa pemilik barang ini?, untuk apa ini Ibu?
Setiap ada pertanyaanku seperti itu, Ibu selalu menerangkannya dengan sabar.
Tetapi, ketika beliau mulai menerangkannya kepadaku, wajah Ibu langsung berobah sendu, dan disaat dia menceritakannya, pikirannya seolah olah tidak lagi sedang berada duduk dihadapanku.
Kadang-kadang dia seperti menerawang memandang keatas dan sepertinya pikirannya terlempar kemasa lalu, disaat-saat Ayah masih sehat.
Tidak jarang air matanya mengalir ketika menceritakan apa-apa yang sedang kutanyakan. Saya tidak tahu persis mengapa Ibu selalu sendu bila aku menanyakan barang-barang peninggalan Ayah, apakah dia kasihan melihat aku yang kerap mengajukan pertanyaan yang polos dan selalu ingin tahu tentang benda-benda itu atau bila setiap aku mengajukan pertanyaan, sama saja memaksa dia untuk mengenang masa-masa ketika Ayah masih sehat dan disaat itu pula mereka saling bahu membahu untuk memperjuangkan kehidupan yang layak kelak, atau mungkin kedua-duanya.
Menurut ibuku, Ayah memang adalah sosok yang sangat kreatif, beliau selalu berusaha mandiri untuk membuat tentang apa-apa yang dibutuhkannya.
Seperti misalnya kalau dia ingin pergi mencari ikan dengan memakai peralatan jala atau jaring di sungai Barumun, dia berusaha agar bisa membuat jala itu bagaimanapun caranya.
Beliau tidak bosan berlama-lama memperhatikan jala yang sudah jadi, mulai dengan cara merajut benang-benang nilon dan cara membuat cincin-cincin kecil yang terbuat dari timah sebagai pemberatnya.
Bukan hanya sampai disitu, kata ibuku, rumah kami yang sekarang kami tempati ini adalah hasil karya sang Ayah.
Aku diam, terpaku, mendengar cerita Ibu, seperti layaknya mendengar sebuah dongeng dan tidak berkata apa-apa.
Gambar-gambar imaginer mulai bermunculan didepanku, kulihat Ayah memotong-motong kayu persegi lalu menyerutnya sendirian, mengukur papan-papan yang akan dijadikan sebagai dinding, memahat kayu-kayu persegi yang akan dijadikan sebagai tiang-tiang. Maklum, rumah kami adalah hampir sama dengan umumnya rumah-rumah tradisional yang ada didaratan sumatera yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng.
Pelan-pelan, darah Ayah terasa mengalir di tubuhku, aku semakin rindu ayah. Aku juga ingin rasanya seperti Ayah, aku ingin membuat mainanku sendiri, seperti membuat layang-layang, karena kebetulan sedang musimnya anak-anak dikampungku bermain layang-layang.
Menurut kebiasaan, ketika angin selalu berhembus dari puncak pegunungan bukit barisan menuruni lembah Barumun, angin itu biasanya akan berhembus berlama-lama, dan kondisi itulah yang membuat anak-anak mulai ramai bermain layang-layang.
Permainan anak-anak ketika itu dikampungku adalah permainan tradisional, tidak ada yang hasil dibeli ditoko atau pasar, semuanya bersifat lokal.
Aku dan kawan-kawanku adu kreatif dalam membuat layang-layang.
Pernah sekali, sepanjang hari itu angin bertiup lebih kencang dari biasanya, sehingga layangan yang kuterbangkan tidak bisa stabil dan oleng terus lalu menukik kebawah dan menyentuh rumput-rumput dan semak yang ada dipinggir sungai Barumun itu.
Selagi layang-layang milikku jatuhnya masih di semak-semak, tidak menjadi masalah, masih bisa kunaikkan atau kuterbangkan lagi. Akan tetapi ketika mendarat di permukaan sungai, itu jelas menjadi masalah karena bahannya terbuat dari kertas manila, ia langsung rusak karena kena air. Aku bingung.
Ditengah kebingungan yang menyelimuti, aku teringat cerita Ibu tentang almarhum Ayah.
Cerita tentang Ayah bagiku adalah sumber inspirasi, juga menjadi sumber energi bagi jiwaku. Ibu yang sering bercerita tentang Ayah bukanlah bermaksu untuk meratapi akan tetapi hanya sekedar menambah kegairahan untuk menjalani hidup ini terutama bagiku.
Sementara, aku istirahat bermain layang-layang, aku duduk sendirian dipinggir sungai, sementara kawan-kawanku sudah mulai berangsur pulang dan berhenti dulu main layang-layang karena tiupan angin terlalu kencang.
"Pulanglah dulu kita Darwin!, anginnya terlalu kencang!" Mammad, salahsatu kawanku memanggil dari jauh.
Mereka yang lainnya adalah Makmur, Banuaran, Syahron dan Syarifuddin.
Aku hanya mengangguk dan membiarkan mereka pulang lebih dulu ke kampung.
Kampung kami hanya sekitar tiga ratus meter dari tepian sungai, jadi aku tidak takut sendirian disitu. Ingin aku rasanya duduk berlama-lama dipinggir sungai itu.
Gambar-gambar imaginer Ayah sepertinya muncul kembali dihadapanku seolah berbisik untuk mengajariku mencari ide agar aku bisa membuat layang-layang yang bagus dan tidak rusak walaupun terjun menukik kesungai.
Ketika duduk dipinggir sungai itu, tanganku tidak terasa menjatuhkan kerikil-kerikil yang ada di dekatku duduk satu persatu ke dalam sungai sambil memperhatikan arus sungai yang mengalir.
Aku masih terbayang ketika Ayah menjulangku menyeberangi sungai itu dua setengah tahun yang lalu. Pikiranku mengembara ke masa laluku yang samar, karena ketika itu umurku masih kurang lebih tiga setengah tahun. Hanya karena ibukulah yang sering bercerita tentang masa-masa itu maka bisa membantu ingatanku walaupun tertatih-tatih.
Masa itu tentulah masa-masa yang indah, terutama bagi Ibu. Tidaklah heran kalau Ibu sangat suka bercerita tentang masa-masa itu. Sedangkan aku menjadi satu-satunya pendengar setianya.
Ibu cerita, dikala kami belum punya rumah yang memadai, mereka bersama pergi ke hutan untuk mencari kayu yang bisa dipakai untuk bahan rumah kami. Seharian mereka memilah-milah pohon mana yang bagus dan tahan lama.
Ketika sudah bertemu pohon yang sesuai, mereka menebangnya lalu membawanya kepinggir hutan agar nanti bisa dibawa pedati (sejenis andong yang ditarik oleh kerbau) kekampung kami yang berjarak sekitar dua kilometer.
Begitu seterusnya sampai terkumpul beberapa batang. Rutinitas seperti itu bertahun-tahun mereka laksanakan dengan penuh kesabaran.
Ketika pandanganku kuarahkan kearah barat, matahari sudah mulai bersembunyi dibalik Bukit barisan, dan hari sudah sore, sementara aku belum dapat ide bagaimana caranya agar layang-layang milikku bisa survive dan tidak rusak walaupun tercemplung kedalam sungai.
Lalu secara tidak sengaja ketika aku bangkit dari dudukku, mataku melihat daun galoga (sejenis rumpun tebu) yang banyak tumbuh liar dipinggir sungai Barumun itu berjuntai-juntai kedalam air sambil dipermainkan oleh arus deras sungai. Aku sejenak berpikir 'mengapa daun-daun itu tidak rusak dan mengembang? padahal selalu kena air, tentu ia bahan yang tidak menyerap air,' aku menjawab sendiri.
Dengan serta merta nalarku berjalan mencari-cari bahan atau kertas yang tidak menyerap air agar kalau dibikin sebagai pengganti kertas manila untuk layang-layang tidak rusak sekalipun terjun kesungai.
Sejenak aku tertegun, lantas, 'plastik!' bahan itu muncul dibenakku. Tidak sadar, aku tersenyum sendiri sambil mengayunkan langkah untuk pulang.
Sore itu begitu indah bagiku, karena aku sudah dapat ide, ya!, ide yang kuanggap cemerlang menurut ukuranku ketika itu.
Dilangkahku yang ringan menuju kampungku, aku teringat sebuah cerita Ibu, kalau Ayah bukanlah orang yang mudah menyerah kepada keadaan.
Aku sangat bangga kepada ibuku, Ibu yang juga sangat membanggakan sang Ayah.
Belum selesai rasanya aku bergumam membanggakan Ibu, rupanya aku sudah sampai dipinggir kampung.
Aku berjalan melalui jalan setapak yang ada disamping mesjid kampung kami, disitu saya masih berjumpa dengan salahsatu kawanku tadi, si Banuaran sedang asyik berendam mandi ditepian yang ada disamping mesjid itu.
Aku langsung memberitahu dia tentang penemuanku tadi sambil berjalan melewatinya yang sedang mandi.
Dia tampak gembira sekali, karena dengan penemuan itu akan mengurangi jadwal kami untuk meminta uang kepada orang tua untuk membeli kertas bagi keperluan layang-layang.
Selama ini sudah berpuluh-puluh layang-layang kami yang terjun dan mendarat di sungai, karena areal tempat kami bermain layang-layang memang adanya dipinggir sungai.
Ketika aku sudah sampai di rumah, si Banuaran juga rupanya sudah keluar dari tepian dan sudah bersama kawan-kawan kami yang tadinya bermain layang-layang dipinggir sungai Barumun itu.
Kulihat dari jauh, dia sangat gembira menyalami mereka satu-persatu sambil mengepalkan tinju keatas
sebagai pertanda atau isyarat menyatakan ada suatu keberhasilan.
Heran melihat gelagatnya karena tidak seperti biasa,
"tapi perduli amat" hatiku bicara.
Aku langsung saja menaiki tangga rumahku yang rumah panggung karena aku sudah lapar dan ingin makan.
NBesok harinya baru aku tahu mengapa kawanku si Banuaran begitu semangat menyalami mereka semua kawan-kawan kami itu sambil mengepalkan tinju keatas.
Rupanya dia bercerita kalau ia berhasil menemukan bahan plastik sebagai pengganti kertas manila untuk layang-layang agar kalau tercemplung kesungai kertasnya tidak mengembang dan koyak.
Kawanku si Mammad yang mencerita kan itu kepaku dengan semangat.
Aku tidak berminat untuk memprotes pengakuan kawanku si Banuaran itu, karena bagiku itu tidak terlalu perlu dipersoalkan. Yang paling penting bagiku adalah dimana aku dan kawan-kawan bisa mempraktekkan konsep yang baru ditemukan, hingga bisa menghemat pengeluaran untuk membeli bahan layang-layang kami.
Memang harus diakui bahwa sifat dan gayanya itu adalah merupakan salah satu embrio dari ketidak beresan dinegeri ini.
Tapi untuk ukuran pemikiran anak-anak seusiaku disaat itu, hal seperti itu bukanlah menjadi perhatian yang istimewa. Tidak begitu penting, bagi kami siapa diantara kami yang berhasil menemukannya.
Tipikal orang-orang seperti kawanku si Banuaran ini banyak terdapat di negeri ini dan mereka sudah menjadi dewasa sekarang dan justru sudah banyak yang mencapai kesuksesan.
Sekarang banyak orang-orang yang dengan tidak sedikitpun rasa malu dan sungkan membeberkan keberhasilan individunya sambil mengobral janji kepada masyarakat agar dia mendapat simpati. Terjadi degradasi moral dimana-mana, kalau ini terus berlanjut, bangsa ini akan mengalami stagnasi bahkan mungkin kemunduran disegala sektor. Sudah sangat susah mencari individu-individu sekaliber Soekarno, Hatta dan Pejuang-pejuang kemerdekaan kita dahulu. Idealisme menjadi sesuatu hal yang langka, jikalaupun masih ada, terkadang sudah dianggap menjadi sesuatu yang aneh.
Sore yang indah, dilangit hanya terlihat awan tipis yang sesekali dihiasi oleh segerombolan burung kalong terbang bersama menuju arah barat, karena dikaki Bukit barisan sana pohon durian sedang berbunga.
Angin berhembus masih perlahan, tapi seperti biasanya ketika hari semakin sore tiupan angin makin bertambah, hal inilah yang menjadi persoalan bagi layangan kami.
Perasaan cemas merasuki perasaan kami dan muncul kekhawatiran apakah layang-layang kami dengan konsep baru bisa terbang.
Karena lembaran-lembaran plastik yang kami beli adalah memakai uang orang tua yang didapat dengan
susah payah oleh mereka.
"Mammad!, tolong dulu aku menaikkan layanganku ini," si Banuaran memanggil.
Dengan sigap Mammad membantu, sehingga layang-layang milik Banuaran langsung meliuk-liuk diangkasa seolah-olah menantang ingin terjun ke sungai.
Layang-layang berikutnya yang mengangkasa adalah milikku, dan selanjutnya milik Mammad. Akhirnya layang-layang kami semuanya berhasil dengan sukses terbang diangkasa.
Awan tipis yang sebelumnya sudah ada, mulai membentuk variasi yang semakin indah dipadu dengan beberapa layang-layang kami yang masih meliuk-liuk diangkasa.
Hanya sekitar satu jam angin bersahabat, dengan tiba-tiba kecepatan angin mulai naik, daun-daun galoga yang tumbuh di pinggiran sungai Barumun itu mulai ribut terkibas-kibaskan dan condong empat puluh lima derajad kearah timur karena terpaan angin kuat yang datang dari punggung Bukit barisan disebelah barat.
Layang-layang kami sudah tidak karuan lagi, ada yang talinya putus dan layang-layangnya entah kemana terbang terbawa angin bergulung-gulung dan meringkuk seperti minta belas kasihan, ada juga layang-layang yang seperti melawan karena talinya cukup bagus tapi oleng menyambar kesana kemari yang pada akhirnya terjun terjerembab diatas sungai.
Nah!, yang terjun ini langsung menjadi semacam uji coba yang terpaksa. Memang berhasil juga, dimana layangannya tidak sobek atau hancur, tapi hanya lemnya tanggal karena tidak tahan air yang mengakibatkan kertas layangan lepas dari rusuknya. Karena kerusakannya hanya pada lem yang lepas, itu mudah diatasi, cukup fungsi lem diganti dengan cara menjahit pakai benang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments