Part.5 Bulan Puasa Ramadhan

Ketika bulan Ramadhan tiba, sudah barang tentu ummat muslim diseluruh dunia menyambutnya dengan sukacita, tidak terkecuali masyarakat kampungku, walaupun terletak dipedalaman, dikaki Bukit Barisan, nun jauh dijantung Sumatera.

Dalam menyambut Ramadhan, ada tradisi yang melekat dimasyarakat kami, disamping berziarah ke makam, banyak keluarga yang mengadakan sedekah dengan cara memanggil orang-orang terutama alim ulama, ustaz dan para orang tua dan yang sudah dewasa untuk makan bersama dirumah mereka. Keluarga-keluarga itu sengaja menyediakan masakan yang sedikit istimewa.

Panggil memanggil itu terjadi satu atau dua hari menjelang puasa. Maka pada hari-hari tersebut, kalau anda duduk-duduk dibangku halaman rumah atau sengaja mondar mandir dikampung itu, sudah pasti akan menjadi sasaran mereka. Kalau sudah sempat dipanggil mereka makan, jangan coba-coba kembali duduk-duduk ditempat terbuka, kecuali punya perut seperti karet, karena akan dipanggil kembali oleh keluarga yang lain. Mereka tidak perduli sekalipun anda baru dipanggil makan oleh sebuah keluarga, anda akan ditarik kembali kerumah mereka. Susah untuk menolak kalau sudah sempat dipanggil, karena itu menyalahi tata krama lokal.

Kalau kebetulan ada seseorang yang sudah dituakan dikampung itu, atau sudah dianggap sebagai ustaz,orang-orang seperti ini harus membuat kebijakan

personal, karena sekalipun ada dirumah atau ditempat yang agak tersembunyi, pasti dicari.

Kebijakan itu sangat mutlak harus dilakukan mereka, karena kalau tidak, resikonya adalah: perut akan menerima muatan diluar kapasitasnya.

Kebijakannya adalah: dimana pada panggilan pertama, makanlah sedikit saja atau dengan kata lain sediakan ruang diperut untuk menampung makanan berikutnya.

Banyak kebiasaan spesifik yang terjadi dikampungku ketika ada kesibukan menyambut bulan Ramadan. Cara bersedekah, itu hanya salahsatu dari sekian banyak kejadian yang terulang secara rutin begitu akan memasuki bulan Ramadan. Mandi berlimau atau orang kampungku menyebutnya ”marpangir” juga merupakan acara yang sudah pasti dilakukan sebagian besar orang-orang dikampungku. Jadi banyak orang dengan rajin menyediakan pangir untuk dibagi-bagikan kepada tetangga. Ramuan utama dari pangir itu adalah limau atau jeruk purut yang dipotong-potong, pandan, serei lalu direbus setelah dicampur dengan bebagai macam kembang dan bahan-bahan lainnya.

Tapi harus diingat sobat, kalau marpangir ini tidak identik dengan mandi kembang yang sering dilakukan oleh dukun pada pasiennya untuk tujuan tertentu, tidak sama sekali. Ini hanya tradisi saja dan tanpa embel-embel. Kegiatan marpangir ini dilaksanakan ditempat terbuka dan beramai-ramai sambil mandi ditepian.

Yang laki-laki tentu melakukannya ditepian tempat mandi khusus laki-laki dan yang perempuan melakukannya ditepian mandi khusus untuk perempuan.

Tepian yang airnya bening, karena bersumber dari sungai Barumun yang hulunya merambati kaki-kaki bukit tropis itu, mendadak jadi harum semerbak. Kulihat wajah-wajah orang kampungku yang mandi sore di hari H-1 menjelang Ramadhan itu begitu bahagia. Setiap wajah seakan mengisyaratkan bahwa tidak ada yang kurang sesuatu apapun dalam hidup mereka. Senyum dan tawa kecil menghiasi suasana mandi disore hari itu. Angin gunung yang mengalir pelan menerobos ketepian itu membuat anak-anak kecil menggigil kedinginan, tapi ketawa mereka meledak-ledak karena bahagia.

”Mungkin inilah yang dinamakan kebahagiaan kolektif."

Saat itu aku makin percaya, bahwa kebahagiaan itu tidak dapat diukur dan ditakar dengan berdasarkan standar tertentu. Tapi ia sangat relatif, tergantung kepada bagaimana cara menikmati sesuatu, baik ia yang berkaitan dengan materi atau non materi. Bukan tidak mungkin, kalau keluarga seorang kaya raya tidak begitu bahagia mengenderai sebuah mobil mercy, buktinya baru tiga bulan mobil mercy itu mereka pakai tapi sudah ingin menggantinya dengan mobil lain, dan sebaliknya ketika sebuah keluarga sederhana hanya mempunyai mobil butut tapi mereka mengendarainya dengan nikmat, karena mereka berpikir kalau mobil butut ini sudah lebih baik ketimbang mereka kalau pergi hanya naik angkot dan terkadang sering kehujanan kalau bepergian.

Daun-daun kelapa yang gemerisik diatas tepian karena terpaan angin, menambah keceriaan disore hari itu. Hari kian sore, bau harum semerbak semakin merebak ke seantero kampung, sehingga suasana menjelang Ramadhan menjadi semakin indah. Malamnya, sehabis salat isa, akan dimulai dengan salat tarawih. Begitu salat tarawih selesai, akan berlanjut dengan tadarus sampai larut malam.

Malam itu begitu cerah, tampak bertaburan bintang dilangit, hanya ada awan tipis beberapa helai. Sore tadi, begitu acara marpangir selesai, angin semakin kencang membawa awan hujan dari arah deretan Bukit Barisan dan menumpahkan hujan lumayan deras dikampung kami sebagai rahmat diawal Ramadhan. Akibat dari hujan yang turun tadi, membuat suhu udara cukup sejuk, tapi suasana dimesjid tempat tadarus berlangsung sedikit agak panas karena bang Yunus yang sedang mengaji sedang dihujani interupsi. Itulah interupsi yang menyoroti tajwid bacaan Alquran.

Tadarus dimesjid kami memang cukup keras, karena disitulah kemampuan mengaji Alquran diuji dan sekaligus diajari oleh para Qori yang mumpuni kemampuannya.

Baru dua ayat yang dilantunkan bang Yunus, ketukan dari para peserta tadarus sudah berjumlah lima kali, berarti sudah ada lima kesalahan. Begitu praktisnya sistem belajar itu, karena begitu disalahkan, maka peserta yang menjatuhkan ketukan itu langsung membacakan ulang bagian yang salah. Setelah itu bang Yunus mengulang lagi sampai menjadi benar bacaannya. Hal yang sama berlaku untuk semua peserta tadarus yang sudah duduk melingkar dimesjid kami yang sederhana dipinggir tepian.

Dimesjid kami, hanya orang-orang yang betul-betul mau belajarlah yang bisa ikut tadarus. Ajang ini bukanlah ajang pamer kemampuan, tapi bertujuan untuk mendapatkan cara mengaji Al-quran dengan benar melalui belajar bersama. Efektif sekali sistem tadarusan dimesjid kami itu, karena kemampuan mengaji peserta tadarus sangat bervariasi, maka yang kurang pandai bisa lebih pandai dan bertambah ilmunya, karena mendapatkan langsung transfer ilmu dari mereka yang lebih pandai.

Aku dan kawan-kawan sebaya hanya menjadi penonton, tapi kami juga menyimak karena kami juga ingin seperti Abang-abang dan Bapak-bapak yang sedang bertadarus, namun kami belum berani menjadi peserta tadarusan. Kami tentunya hanya sebatas sebagai penggembira.

Ketika giliran berlanjut ke Pak Usman, beliaupun mulailah melantunkan ayat-ayat suci itu dengan khusuknya. Sayang, Pak Usman yang sebetulnya ilmu tajwidnya sudah lumayan bagus, tapi

karena beliau terlalu ingin menampilkan lapaz yang aduhai, misalnya ketika malantunkan lapaz "ta" terdengar seperti "ca”.

Itu terjadi ketika Pak Usman melantunkan bagian dari salahsatu ayat, yaitu

”waiyyaka nas-taiin” tapi kedengarannya seperti "waiyyaka nas-caiin."

Dengan serta merta langsung mendapat ketukan dari peserta lain, yang menandakan itu salah. Pengucapan lapaz nas-taiin” terlalu lebai atau berlebihan, sehingga terdengar jelas seperti nascaiin. Pak Usman tidak terima, terjadi debat kecil diantara para peserta dengan Pak Usman.

Ketika perdebatan sedang berlangsung, Pak Idris keluar sebentar dari lingkaran duduk mereka untuk mengambil secangkir kopi lalu menyuguhkannya untuk Pak Usman, dengan maksud untuk membujuk, agar perdebatan bisa mereda. Sudah barang tentu sobat, perdebatan itu bukanlah bermaksud untuk menyakiti seseorang, tapi hanya untuk menyatukan pendapat tentang ilmu tajwid yang benar.

Tidak ada niat mereka sedikitpun untuk melukai perasaan Pak Usman, tidak sama sekali.

Setelah Pak Usman selesai menghirup kopi dingin itu, ia tampak sumringah dan merasa lega, yang pada akhirnya ia bisa menerima kesalahan yang ditujukan kepadanya.

Begitulah seterusnya, giliran membaca alquran itu berlanjut kepada peserta yang lainnya.

Ketika pandanganku mengarah kesalahsatu pojok didalam mesjid, ada tiga orang yang duduk berbincang sambil menghirup kopi, mereka keluar sejenak dari lingkaran untuk istirahat. Karena memang Mesjid, bagi orang-orang kampungku bukan hanya sekedar tempat beribadah tapi juga tempat berbincang dan berdiskusi mengenai kehidupan ini.

Malam semakin larut, seperti biasanya, mesjid kami sering kedatangan tamu dari mesjid kampung tetangga untuk meninjau dan ikut bergabung bertadarus. Tapi kali ini agak istimewa, karena yang datang adalah salah satu Qori yang sudah lumayan kondang.

Aku sangat berharap kalau sang Qori yaitu bang Salokot sudi melantunkan ayat-ayat dimalam yang sudah larut itu. Aku hitung, masih ada tiga orang lagi baru dia dapat giliran, aku tak sabar menunggu.

Ketika malam sudah sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar dan dari kejauhan suara timbul tenggelam orang mengobrol dibangku halaman rumah kampung, bang Salokot mendapat giliran untuk mengaji. Bang salokot menarik nafas, dan selanjutnya terdengarlah ayat-ayat suci dilantunkannya dengan apik. Suara merdunya pelan-pelan merayap menyelusup kecelah-celah jendela dan pintu rumah penduduk. Orang-orang yang ada didalam mesjid larut dalam alunan merdu suaranya dan membawa alam pikiranku pergi jauh menerabas melesat ke angkasa, mengembara dilingkaran orbit alam semesta, diantara bintang-bintang.

Terasa betapa kecilnya diri ini, bagaikan debu yang tak berarti.

Itulah awal kebahagiaan kami diawal bulan Ramadhan yang bermadu-madu. Kami, anak-anak kampung, menerjemahkan sendiri arti kebahagiaan itu menurut versi kami sendiri. Besoknya, ketika sore menjelang maghrib, ketika buka puasa yang perdana dimulai, merupakan kegembiraan lanjutan bagi kami yang nantinya akan beruntun sampai hari lebaran idulfitri tiba.

Dua hari menjelang Ramadhan, aku dan kawan-kawanku sengaja pergi ke hutan yang ada dikaki bukit Simartolu untuk mengambil rotan. Rotan itu besarnya kira-kira sebesar jempol kaki. Dengan sengaja rotan-rotan itu kami ambil sampai keakarnya. Dan biasanya masing-masing kami mengambil rotan itu sepanjang kira-kira satu meter.

Rotan ini, adalah merupakan properti kami untuk bisa ikut memukul bedug ketika waktu berbuka puasa tiba. Memukul bedug, untuk menandakan berbuka puasa telah tiba, adalah kebahagiaan yang nyaris sempurna menurut kami. Alasannya sederhana saja, karena dengan memukul bedug itu, kami serasa bertindak untuk memberitahu warga untuk segera berbuka puasa, hanya itu.

Setiap kami yang sudah hadir di mesjid, akan mendapat giliran untuk memukul bedug itu. Mesjid kami adalah mesjid kecil, maka tidak memiliki perangkat mesjid sebagaimana pada umumnya seperti garin, jam dinding misalnya.

Sebagai patokan waktu, kawanku Banuaran yang mempunyai indra yang istimewa, bertugas untuk mendengarkan suara bedug dari mesjid besar yang memiliki jadwal waktu dan petugas khusus. Begitu suara sayup-sayup bedug dari mesjid besar didengarnya, dia langsung memberi aba-aba kepada kami. Maka pukulan bedug pertama yang ada di mesjid besar, pukulan keduanyan sudah pindah ke mesjid kami.

Agar bisa ikut menjadi anggota pemukul bedug, ada norma yang kami pegang, yaitu harus berpuasa. Karena tak pantas sobat, menyuruh warga untuk berbuka puasa sementara yang menyuruh sendiri tidak berpuasa. Jadi ketika itu, walaupun umur kami masih sekitar enam tahun sampai tujuh tahun, kami harus berpuasa. Ketentuan berikutnya, alat pemukul yang ujungnya berupa akar dari rotan, maka akar rotan itu harus dibuat semulus mungkin, karena kalau tidak, kulit atau membran dari beduk akan tergores dan cepat rusak.

Agar kami bisa berbuka dengan segera, maka kami membawa apa saja dari rumah, yang penting bisa digigit. Ada yang membawa gula merah milik ibunya yang tersimpan didapur rumah, padahal gula merah itu adalah bakal dipergunakan nanti untuk membuat dodol dari ketan. Ada juga yang memanjat pohon belimbing yang ada didekat mesjid, dan mengambil buahnya, padahal buah belimbing itu asamnya bukan main.

Maka tidak heran, begitu kawan-kawanku yang sudah dapat giliran memukul bedug, langsung lari terbirit-birit kerumahnya untuk makan dan minum.

Itulah salahsatu kegembiraan yang kami rasakan ketika bulan Ramadhan tiba, walaupun disaat yang bersamaan, ada saja orang-orang tua yang mempunyai penyakit rutin yang sepertinya sudah terjadwal. Sakit maagnya selalu kambuh jika Ramadhan tiba. Sakitnya ini mungkin juga benar, mungkin juga tidak. Kalau sakitnya dibuat-buat, berarti orangtua itu hanyalah untuk mencari alasan yang paling pas dan elegan untuk tidak berpuasa didepan keluarga, didepan anak-anaknya. Karena dengan cara seperti itu, orangtua dimaksud masih sangat etis menyuruh anak-anaknya untuk berpuasa.

Menyuruh anaka-anak agar berpuasa memang sangat baik, tapi kalau yang menyuruh sendiri tidak melaksanakannya, hal itu sangat tidak pantas dan aneh.

Tapi orang tua yang berhasil membohongi keluarganya tersebut, dengan tidak sadar juga telah sukses menipu dirinya sendiri.

Episodes
1 Part. 1 Pohon itu tumbang
2 Part.2 Bermain Layang layang
3 Psrt.3 Pusaran Arus Sungai Barumun
4 Part.4 Bermain Bola Kaki
5 Part.5 Bulan Puasa Ramadhan
6 Part.6 Pejuang pejuang Perempuan
7 Part. 7 Sungai dan Sekolahku
8 Part. 8 Gerombolan putri putri usil
9 Part. 9 Seniman Kampung
10 Part. 10 Indah itu Romantis
11 Part.11 Nama itu Terukir Dalam Hatiku
12 Part.12 Berhenti Sekolah
13 Part.13 Hari hari Yang Panjang
14 Part.14 Hari Jum,at Yang Indah
15 Part.15 Koran bekas Pembungkus Paket
16 Part. 16 Surat Untuk Naila
17 Part.17 Merayap dipunggung Bukit Barisan
18 Part.18 Deburan Ombak Laut Selat Malaka
19 Part.19 Bus Solo Bone Agung
20 Part. 20 Masuk SMP dan STM
21 Part.21 Gatot Subroto Hospital
22 Part.22 Akademi Meteorologi dan Geofisika.
23 Part. 23 Kembali ke Pedalaman Sumatera
24 Part.24 Bunga Pujaanku Dipetik Sang Arjuna
25 Part.25 Keajaiban itu Terjadi
26 Part.26 Lembah Barumun Indah Kembali
27 Part.27 Peristiwa Yang Menakjubkan
28 Part.28 Deklarasi Cinta di Pasar Sibuhuan
29 Part.29 Cintaku Dipenggal Adu domba
30 Part.30 Sang Bidadariku Kembali Lagi
31 Part.31 Kujemput Bidadariku
32 Part.32 Seberkas Sinar Dizona Gelap
33 Part.33 Pelayanan Meteorologi Penerbangan.
34 Part.34 Naila Datang Diresepsi Pernikahanku
35 Part.35 Kembali Ke Riau
36 Part.36 Bulan Purnama Belum Tiba
37 Part.37 Masih Adakah Bulan Purnama Untukku.
38 Part.38 Bulan Purnama itu Tiba
39 Part.39 Naik Pesawat Butut
40 Part.40 Naik perahu kecil
41 Part.41 Tiba di Sungai Pakning
42 Part.1 Pohon itu Tumbang
Episodes

Updated 42 Episodes

1
Part. 1 Pohon itu tumbang
2
Part.2 Bermain Layang layang
3
Psrt.3 Pusaran Arus Sungai Barumun
4
Part.4 Bermain Bola Kaki
5
Part.5 Bulan Puasa Ramadhan
6
Part.6 Pejuang pejuang Perempuan
7
Part. 7 Sungai dan Sekolahku
8
Part. 8 Gerombolan putri putri usil
9
Part. 9 Seniman Kampung
10
Part. 10 Indah itu Romantis
11
Part.11 Nama itu Terukir Dalam Hatiku
12
Part.12 Berhenti Sekolah
13
Part.13 Hari hari Yang Panjang
14
Part.14 Hari Jum,at Yang Indah
15
Part.15 Koran bekas Pembungkus Paket
16
Part. 16 Surat Untuk Naila
17
Part.17 Merayap dipunggung Bukit Barisan
18
Part.18 Deburan Ombak Laut Selat Malaka
19
Part.19 Bus Solo Bone Agung
20
Part. 20 Masuk SMP dan STM
21
Part.21 Gatot Subroto Hospital
22
Part.22 Akademi Meteorologi dan Geofisika.
23
Part. 23 Kembali ke Pedalaman Sumatera
24
Part.24 Bunga Pujaanku Dipetik Sang Arjuna
25
Part.25 Keajaiban itu Terjadi
26
Part.26 Lembah Barumun Indah Kembali
27
Part.27 Peristiwa Yang Menakjubkan
28
Part.28 Deklarasi Cinta di Pasar Sibuhuan
29
Part.29 Cintaku Dipenggal Adu domba
30
Part.30 Sang Bidadariku Kembali Lagi
31
Part.31 Kujemput Bidadariku
32
Part.32 Seberkas Sinar Dizona Gelap
33
Part.33 Pelayanan Meteorologi Penerbangan.
34
Part.34 Naila Datang Diresepsi Pernikahanku
35
Part.35 Kembali Ke Riau
36
Part.36 Bulan Purnama Belum Tiba
37
Part.37 Masih Adakah Bulan Purnama Untukku.
38
Part.38 Bulan Purnama itu Tiba
39
Part.39 Naik Pesawat Butut
40
Part.40 Naik perahu kecil
41
Part.41 Tiba di Sungai Pakning
42
Part.1 Pohon itu Tumbang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!