NovelToon NovelToon

Senandung Anak Desa

Part. 1 Pohon itu tumbang

Awan warna kelabu pekat menggantung dilangit kecamatan Barumun, beberapa awan Comulunim

bus besar itu berjejer angkuh sejajar dengan bukit barisan. Atraksi alam akan segera dimulai yang diawali dengan hembusan angin secara perlahan menyapu lembah itu dimana sungai Barumun mengalir.

“Pak !!, pulanglah duluan dengan si Darwin, saya mau teruskan dulu menyiangi rumput sedikit lagi," ibu berteriak dari tengah sawah.

Mendengar itu, ayah yang sedang istirahat dipondok, langsung bergegas dan memanggil aku yang sedang asyik bermain dan menangkap belalang. Kampung kami hanya berjarak sekitar satu kilometer lebih sedikit dari sawah, akan tetapi dibatasi oleh sungai yang mengalir agak deras. Ibuku sebetulnya agak khawatir menyuruh ayah dan aku pulang duluan, karena ayah sudah kurang sehat, dan sering sakit-sakitan.

Tapi karena perobahan cuaca yang cukup drastis, sementara pekerjaannya tinggal sedikit, tanggung untuk di tinggalkan, biarlah ibu belakangan pulang.

Dalam perjalanan pulang ketika itu, ayah yang mengenakan baju warna merah kusam menempatkan aku dipundaknya untuk menyeberangi sungai. Jalannya agak gontai karena harus melewati jalan setapak berpasir dan bercampur kerikil yang berpadu dengan bebatuan. Aku menoleh kebelakang dengan maksud melihat ibu, tapi sudah tidak nampak lagi karena rimbunnya semak antara sawah kami dengan tebing sungai.

Setelah perjalanan kurang lebih dua puluh menit sampailah kami di tebing sungai dan aku melihat ada riak-riak air karena sapuan angin dipermukaannya.

Sepertinya aku tidak begitu menghiraukan keadaan ayah yang jalannya sudah gontai lalu masuk ke aliran sungai yang agak deras itu. Aku tersentak ketika kami hampir jatuh karena kaki ayah tersandung oleh batu di dalam sungai. Untung ayah dengan reflek membuat keseimbangan untuk bisa bertahan melawan arus sungai itu.

Ketika mendekati kampung, yang tadinya yang berhembus adalah angin semilir, berubah menjadi angin ganas yang siap menerjang apa saja yang di laluinya. Kilat yang disertai sambaran petir mulai muncul di arah hulu sungai Barumun. Lapisan dasar awan makin rendah seperti tidak sabar lagi hendak menumpahkan air hujan beribu-ribu ton ke bumi.

Ayah, dengan menakjubkan memacu kecepatan jalannya walaupun terhuyung-huyung sehingga akhir-nya kami sampai dirumah dengan selamat.

Ibu yang tadinya masih berada di sawah, sudah lari lintang pukang ke pondok yang ada disamping pohon mangga besar dipinggiran sawah. Dipondok itu sudah ada beberapa orang yang berlindung dengan rasa cemas. Kecemasan ibu berlipat- kali dari kecemasan mereka dan ditambah lagi dengan rasa bersalah karena telah menyuruh aku dengan ayah untuk pulang duluan. Ibuku kalut.

Ditengah kekalutan ibu, mendadak ada suara krekk, krekkk...., rupanya akar mangga yang besar itu tidak sanggup lagi menahan beban horizontal yang sangat dahsyat karena angin sudah semakin mengganas. Bruukk., pohon itupun tumbang. Untung tidak melindas pondok yang dihuni beberapa orang itu karena kebetulan pondok berada disamping batang pohon yang tidak kearah tumbangnya pohon.

Pondok itupun menyusul bergetar. Kita harus keluar cepat dari pondok! ibu yang lainnya mengambil insiatif. Merekapun lari ke semak-semak yang diselingi dengan rumpun pohon pisang dan langsung tiarap sambil menyiasati kondisi kapan angin melemah. Mereka harus cepat-cepat berlari pulang ke kampung karena ribuan ton air hujan yang akan tumpah bisa membuat permukaan air sungai yang deras itu akan naik secara drastis, yang pada akhirnya bisa membuat mereka akan terjebak dan tidak akan bisa pulang ke rumah sampai malam hari, malah mungkin bisa sampai besoknya, karena harus menunggu air sungai surut.

Dengan tiba-tiba, tiupan angin melemah, mereka harus berani mengambil keputusan yang cepat dan akurat layaknya seperti tentara di medan pertempuran.

Mereka, dengan tanpa pikir panjang lari menuju sungai untuk menyeberang. Untung permukaan sungai belum mengalami kenaikan yang berarti, karena hujan yang sudah turun di daerah hulu masih memerlukan waktu untuk sampai ke tempat penyeberangan mereka.

Begitulah cerita ibuku setelah dia sampai di rumah, sambil memeluk aku disamping ayah. Diapun tak lupa menyampaikan penyesalannya karena telah menyuruh kami pulang duluan dengan ayah.

Tapi kalaupun itu dibilang penyesalan, sebetulnya agak rancu. Coba bayangkan kalau aku yang masih kecil dan Ayah yang kondisinya agak sakit-sakitan ikut beserta mereka yang tinggal tadi di sawah untuk berjibaku menyelamatkan diri untuk pulang ke kampung, mungkin kisahnya sudah berbeda.

Hanya beberapa bulan setelah kejadian yang mengerikan itu, sakit ayah semakin bertambah. Kondisinya terus menurun, walaupun sudah berobat tapi sakitnya semakin parah. Akhirnya, dipagi yang sunyi dan hanya ada beberapa kerabat di rumahku, sang Ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.

Lagi-lagi ini menurut cerita ibuku, karena yang teringat olehku dengan samar-samar hanyalah ketika itu ada orang ramai dirumahku entah apa gerangan yang terjadi aku tidak mengerti. Tentu akupun tidak merasakan sedih apalagi menangis sebagaimana tangis ibu, kerabat-kerabat kami dan juga orang-orang kampungku yang berdatangan. Atau mungkin juga aku sengaja dijauhkan dari ayahku yang sudah terbujur kaku karena para kerabatku tidak sanggup melihat aku ikut menyaksikan kepedihan yang sedang terjadi itu.

Setelah Ayah dimakamkan, muncul masalah baru pada ibuku, karena dia harus menjawab pertanyaanku, sesuatu pertanyaan yang paling pelik untuk dijawab ibuku. Pertanyaannyapun sangat pendek,

"Dimana ayah, ibunda?" hanya itu pertanyaanku. Rupa-rupanya, selama proses pemakaman dan lain-lainnya belum selesai, aku sengaja dibawa oleh

keponakan ibu bermain-main di tempat yang dimana aku tidak bisa menyaksikan semuanya itu.

Aku tidak menangis ketika itu, tapi tangisku adalah muncul belakangan seiring dengan bertambahnya usiaku.

Tangiskupun tidak disertai air mata tapi tangis yang tertahan didalam jiwaku, aku tidak lagi pernah menyebut panggilanAyah, akupun tidak lagi merasakan belaian kasih sayang seorang Ayah dan aku tumbuh dan dibesarkan hanya oleh Ibu seorang diri. Kadang-kadang aku merasa seperti tersisih dari kawan-kawanku, karena merasa minder, rendah hati dan sebagainya.

“Astagfirullah, ampunilah hambamu ini ya Allah, hambamu ini bukanlah bermaksud untuk menyesali taqdir tapi hanya sekedar ingin mendekatkan diri kepadaMu sekaligus mengenang ibuku, ibu yang tabah dan kuat menahan segala terpaan problema hidup setelah sang Ayah tumbang seperti tumbangnya pohon mangga disawah kami."

*********

Kisah perjalanan hidupku ini dimulai dari aku berumur kurang lebih tiga setengah tahun sampai menjadi remaja dan seterusnya sampai dewasa.

Dalam hal ini didalamnya adalah yang menyangkut keluarga, pendidikan dan asmara. Juga ada didalamnya interaksi sosial, religi dan lain lain.

Penggambaran lingkugan dimulai dari desa sampai sa,at masuk ke situasi perjalanan menuju perantauan. Seterusnya sampai ketempat akhir petualangan kembali ke Sumatera.

Yang menyangkut dengan asmara, dimana kekasihnya si gadis mungil Naila akhirnya dipersunting oleh arjuna yang lain. Tapi tokohnya yaitu aku sendiri menemukan kembali seorang gadis lain yang benar benar mirip Naila melalui sebua mimpi.

Part.2 Bermain Layang layang

Dua setengah tahun sudah berlalu, Ayah meninggalkan aku dan Ibu, tidak terlalu banyak peristiwa yang aku ingat, karena hidupku dan Ibu sepertinya berjalan datar saja.

Namun, seiring dengan bertambahnya usiaku, pikiran dan perasaanku pun sudah mulai bisa meraba sesuatu hal.

Aku sudah mulai sedikit sensitif, kalau aku dimarahi ibu, sering aku tidak bisa menerimanya, entah kenapa, aku mulai menjadi seorang anak yang suka berontak dan susah menerima sesuatu hal yang bersifat nasehat, apalagi dikait-kaitkan dengan Ayah yang sudah meninggal.

Juga aku tidak senang dikasihani apalagi dengan berlebihan, mentang mentang aku seorang anak yatim. Betul-betul tidak suka.

Disisi lain, sifat rasa ingin tahuku terus meningkat layaknya anak-anak yang lain. Aku sering membongkar-bongkar sesuatu yang ada didalam kamar rumahku yang merangkap juga sebagai gudang.

Aku menemukan barang-barang kesayangan almarhum Ayah, seperti tanduk kerbau yang diukir menjadi semacam barang kerajinan.

Setiap barang yang kutemukan didalam rumahku, sudah pasti akan kutanyakan ke Ibu.

"Siapa pemilik barang ini?, untuk apa ini Ibu?

Setiap ada pertanyaanku seperti itu, Ibu selalu menerangkannya dengan sabar.

Tetapi, ketika beliau mulai menerangkannya kepadaku, wajah Ibu langsung berobah sendu, dan disaat dia menceritakannya, pikirannya seolah olah tidak lagi sedang berada duduk dihadapanku.

Kadang-kadang dia seperti menerawang memandang keatas dan sepertinya pikirannya terlempar kemasa lalu, disaat-saat Ayah masih sehat.

Tidak jarang air matanya mengalir ketika menceritakan apa-apa yang sedang kutanyakan. Saya tidak tahu persis mengapa Ibu selalu sendu bila aku menanyakan barang-barang peninggalan Ayah, apakah dia kasihan melihat aku yang kerap mengajukan pertanyaan yang polos dan selalu ingin tahu tentang benda-benda itu atau bila setiap aku mengajukan pertanyaan, sama saja memaksa dia untuk mengenang masa-masa ketika Ayah masih sehat dan disaat itu pula mereka saling bahu membahu untuk memperjuangkan kehidupan yang layak kelak, atau mungkin kedua-duanya.

Menurut ibuku, Ayah memang adalah sosok yang sangat kreatif, beliau selalu berusaha mandiri untuk membuat tentang apa-apa yang dibutuhkannya.

Seperti misalnya kalau dia ingin pergi mencari ikan dengan memakai peralatan jala atau jaring di sungai Barumun, dia berusaha agar bisa membuat jala itu bagaimanapun caranya.

Beliau tidak bosan berlama-lama memperhatikan jala yang sudah jadi, mulai dengan cara merajut benang-benang nilon dan cara membuat cincin-cincin kecil yang terbuat dari timah sebagai pemberatnya.

Bukan hanya sampai disitu, kata ibuku, rumah kami yang sekarang kami tempati ini adalah hasil karya sang Ayah.

Aku diam, terpaku, mendengar cerita Ibu, seperti layaknya mendengar sebuah dongeng dan tidak berkata apa-apa.

Gambar-gambar imaginer mulai bermunculan didepanku, kulihat Ayah memotong-motong kayu persegi lalu menyerutnya sendirian, mengukur papan-papan yang akan dijadikan sebagai dinding, memahat kayu-kayu persegi yang akan dijadikan sebagai tiang-tiang. Maklum, rumah kami adalah hampir sama dengan umumnya rumah-rumah tradisional yang ada didaratan sumatera yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng.

Pelan-pelan, darah Ayah terasa mengalir di tubuhku, aku semakin rindu ayah. Aku juga ingin rasanya seperti Ayah, aku ingin membuat mainanku sendiri, seperti membuat layang-layang, karena kebetulan sedang musimnya anak-anak dikampungku bermain layang-layang.

Menurut kebiasaan, ketika angin selalu berhembus dari puncak pegunungan bukit barisan menuruni lembah Barumun, angin itu biasanya akan berhembus berlama-lama, dan kondisi itulah yang membuat anak-anak mulai ramai bermain layang-layang.

Permainan anak-anak ketika itu dikampungku adalah permainan tradisional, tidak ada yang hasil dibeli ditoko atau pasar, semuanya bersifat lokal.

Aku dan kawan-kawanku adu kreatif dalam membuat layang-layang.

Pernah sekali, sepanjang hari itu angin bertiup lebih kencang dari biasanya, sehingga layangan yang kuterbangkan tidak bisa stabil dan oleng terus lalu menukik kebawah dan menyentuh rumput-rumput dan semak yang ada dipinggir sungai Barumun itu.

Selagi layang-layang milikku jatuhnya masih di semak-semak, tidak menjadi masalah, masih bisa kunaikkan atau kuterbangkan lagi. Akan tetapi ketika mendarat di permukaan sungai, itu jelas menjadi masalah karena bahannya terbuat dari kertas manila, ia langsung rusak karena kena air. Aku bingung.

Ditengah kebingungan yang menyelimuti, aku teringat cerita Ibu tentang almarhum Ayah.

Cerita tentang Ayah bagiku adalah sumber inspirasi, juga menjadi sumber energi bagi jiwaku. Ibu yang sering bercerita tentang Ayah bukanlah bermaksu untuk meratapi akan tetapi hanya sekedar menambah kegairahan untuk menjalani hidup ini terutama bagiku.

Sementara, aku istirahat bermain layang-layang, aku duduk sendirian dipinggir sungai, sementara kawan-kawanku sudah mulai berangsur pulang dan berhenti dulu main layang-layang karena tiupan angin terlalu kencang.

"Pulanglah dulu kita Darwin!, anginnya terlalu kencang!" Mammad, salahsatu kawanku memanggil dari jauh.

Mereka yang lainnya adalah Makmur, Banuaran, Syahron dan Syarifuddin.

Aku hanya mengangguk dan membiarkan mereka pulang lebih dulu ke kampung.

Kampung kami hanya sekitar tiga ratus meter dari tepian sungai, jadi aku tidak takut sendirian disitu. Ingin aku rasanya duduk berlama-lama dipinggir sungai itu.

Gambar-gambar imaginer Ayah sepertinya muncul kembali dihadapanku seolah berbisik untuk mengajariku mencari ide agar aku bisa membuat layang-layang yang bagus dan tidak rusak walaupun terjun menukik kesungai.

Ketika duduk dipinggir sungai itu, tanganku tidak terasa menjatuhkan kerikil-kerikil yang ada di dekatku duduk satu persatu ke dalam sungai sambil memperhatikan arus sungai yang mengalir.

Aku masih terbayang ketika Ayah menjulangku menyeberangi sungai itu dua setengah tahun yang lalu. Pikiranku mengembara ke masa laluku yang samar, karena ketika itu umurku masih kurang lebih tiga setengah tahun. Hanya karena ibukulah yang sering bercerita tentang masa-masa itu maka bisa membantu ingatanku walaupun tertatih-tatih.

Masa itu tentulah masa-masa yang indah, terutama bagi Ibu. Tidaklah heran kalau Ibu sangat suka bercerita tentang masa-masa itu. Sedangkan aku menjadi satu-satunya pendengar setianya.

Ibu cerita, dikala kami belum punya rumah yang memadai, mereka bersama pergi ke hutan untuk mencari kayu yang bisa dipakai untuk bahan rumah kami. Seharian mereka memilah-milah pohon mana yang bagus dan tahan lama.

Ketika sudah bertemu pohon yang sesuai, mereka menebangnya lalu membawanya kepinggir hutan agar nanti bisa dibawa pedati (sejenis andong yang ditarik oleh kerbau) kekampung kami yang berjarak sekitar dua kilometer.

Begitu seterusnya sampai terkumpul beberapa batang. Rutinitas seperti itu bertahun-tahun mereka laksanakan dengan penuh kesabaran.

Ketika pandanganku kuarahkan kearah barat, matahari sudah mulai bersembunyi dibalik Bukit barisan, dan hari sudah sore, sementara aku belum dapat ide bagaimana caranya agar layang-layang milikku bisa survive dan tidak rusak walaupun tercemplung kedalam sungai.

Lalu secara tidak sengaja ketika aku bangkit dari dudukku, mataku melihat daun galoga (sejenis rumpun tebu) yang banyak tumbuh liar dipinggir sungai Barumun itu berjuntai-juntai kedalam air sambil dipermainkan oleh arus deras sungai. Aku sejenak berpikir 'mengapa daun-daun itu tidak rusak dan mengembang? padahal selalu kena air, tentu ia bahan yang tidak menyerap air,' aku menjawab sendiri.

Dengan serta merta nalarku berjalan mencari-cari bahan atau kertas yang tidak menyerap air agar kalau dibikin sebagai pengganti kertas manila untuk layang-layang tidak rusak sekalipun terjun kesungai.

Sejenak aku tertegun, lantas, 'plastik!' bahan itu muncul dibenakku. Tidak sadar, aku tersenyum sendiri sambil mengayunkan langkah untuk pulang.

Sore itu begitu indah bagiku, karena aku sudah dapat ide, ya!, ide yang kuanggap cemerlang menurut ukuranku ketika itu.

Dilangkahku yang ringan menuju kampungku, aku teringat sebuah cerita Ibu, kalau Ayah bukanlah orang yang mudah menyerah kepada keadaan.

Aku sangat bangga kepada ibuku, Ibu yang juga sangat membanggakan sang Ayah.

Belum selesai rasanya aku bergumam membanggakan Ibu, rupanya aku sudah sampai dipinggir kampung.

Aku berjalan melalui jalan setapak yang ada disamping mesjid kampung kami, disitu saya masih berjumpa dengan salahsatu kawanku tadi, si Banuaran sedang asyik berendam mandi ditepian yang ada disamping mesjid itu.

Aku langsung memberitahu dia tentang penemuanku tadi sambil berjalan melewatinya yang sedang mandi.

Dia tampak gembira sekali, karena dengan penemuan itu akan mengurangi jadwal kami untuk meminta uang kepada orang tua untuk membeli kertas bagi keperluan layang-layang.

Selama ini sudah berpuluh-puluh layang-layang kami yang terjun dan mendarat di sungai, karena areal tempat kami bermain layang-layang memang adanya dipinggir sungai.

Ketika aku sudah sampai di rumah, si Banuaran juga rupanya sudah keluar dari tepian dan sudah bersama kawan-kawan kami yang tadinya bermain layang-layang dipinggir sungai Barumun itu.

Kulihat dari jauh, dia sangat gembira menyalami mereka satu-persatu sambil mengepalkan tinju keatas

sebagai pertanda atau isyarat menyatakan ada suatu keberhasilan.

Heran melihat gelagatnya karena tidak seperti biasa,

"tapi perduli amat" hatiku bicara.

Aku langsung saja menaiki tangga rumahku yang rumah panggung karena aku sudah lapar dan ingin makan.

NBesok harinya baru aku tahu mengapa kawanku si Banuaran begitu semangat menyalami mereka semua kawan-kawan kami itu sambil mengepalkan tinju keatas.

Rupanya dia bercerita kalau ia berhasil menemukan bahan plastik sebagai pengganti kertas manila untuk layang-layang agar kalau tercemplung kesungai kertasnya tidak mengembang dan koyak.

Kawanku si Mammad yang mencerita kan itu kepaku dengan semangat.

Aku tidak berminat untuk memprotes pengakuan kawanku si Banuaran itu, karena bagiku itu tidak terlalu perlu dipersoalkan. Yang paling penting bagiku adalah dimana aku dan kawan-kawan bisa mempraktekkan konsep yang baru ditemukan, hingga bisa menghemat pengeluaran untuk membeli bahan layang-layang kami.

Memang harus diakui bahwa sifat dan gayanya itu adalah merupakan salah satu embrio dari ketidak beresan dinegeri ini.

Tapi untuk ukuran pemikiran anak-anak seusiaku disaat itu, hal seperti itu bukanlah menjadi perhatian yang istimewa. Tidak begitu penting, bagi kami siapa diantara kami yang berhasil menemukannya.

Tipikal orang-orang seperti kawanku si Banuaran ini banyak terdapat di negeri ini dan mereka sudah menjadi dewasa sekarang dan justru sudah banyak yang mencapai kesuksesan.

Sekarang banyak orang-orang yang dengan tidak sedikitpun rasa malu dan sungkan membeberkan keberhasilan individunya sambil mengobral janji kepada masyarakat agar dia mendapat simpati. Terjadi degradasi moral dimana-mana, kalau ini terus berlanjut, bangsa ini akan mengalami stagnasi bahkan mungkin kemunduran disegala sektor. Sudah sangat susah mencari individu-individu sekaliber Soekarno, Hatta dan Pejuang-pejuang kemerdekaan kita dahulu. Idealisme menjadi sesuatu hal yang langka, jikalaupun masih ada, terkadang sudah dianggap menjadi sesuatu yang aneh.

Sore yang indah, dilangit hanya terlihat awan tipis yang sesekali dihiasi oleh segerombolan burung kalong terbang bersama menuju arah barat, karena dikaki Bukit barisan sana pohon durian sedang berbunga.

Angin berhembus masih perlahan, tapi seperti biasanya ketika hari semakin sore tiupan angin makin bertambah, hal inilah yang menjadi persoalan bagi layangan kami.

Perasaan cemas merasuki perasaan kami dan muncul kekhawatiran apakah layang-layang kami dengan konsep baru bisa terbang.

Karena lembaran-lembaran plastik yang kami beli adalah memakai uang orang tua yang didapat dengan

susah payah oleh mereka.

"Mammad!, tolong dulu aku menaikkan layanganku ini," si Banuaran memanggil.

Dengan sigap Mammad membantu, sehingga layang-layang milik Banuaran langsung meliuk-liuk diangkasa seolah-olah menantang ingin terjun ke sungai.

Layang-layang berikutnya yang mengangkasa adalah milikku, dan selanjutnya milik Mammad. Akhirnya layang-layang kami semuanya berhasil dengan sukses terbang diangkasa.

Awan tipis yang sebelumnya sudah ada, mulai membentuk variasi yang semakin indah dipadu dengan beberapa layang-layang kami yang masih meliuk-liuk diangkasa.

Hanya sekitar satu jam angin bersahabat, dengan tiba-tiba kecepatan angin mulai naik, daun-daun galoga yang tumbuh di pinggiran sungai Barumun itu mulai ribut terkibas-kibaskan dan condong empat puluh lima derajad kearah timur karena terpaan angin kuat yang datang dari punggung Bukit barisan disebelah barat.

Layang-layang kami sudah tidak karuan lagi, ada yang talinya putus dan layang-layangnya entah kemana terbang terbawa angin bergulung-gulung dan meringkuk seperti minta belas kasihan, ada juga layang-layang yang seperti melawan karena talinya cukup bagus tapi oleng menyambar kesana kemari yang pada akhirnya terjun terjerembab diatas sungai.

Nah!, yang terjun ini langsung menjadi semacam uji coba yang terpaksa. Memang berhasil juga, dimana layangannya tidak sobek atau hancur, tapi hanya lemnya tanggal karena tidak tahan air yang mengakibatkan kertas layangan lepas dari rusuknya. Karena kerusakannya hanya pada lem yang lepas, itu mudah diatasi, cukup fungsi lem diganti dengan cara menjahit pakai benang.

Psrt.3 Pusaran Arus Sungai Barumun

Siang itu panas terik matahari menghunjam dengan sempurna kepermukaan lembah Barumun, karena tidak ada selembar awanpun yang menghalangi, langit tampak biru. Angin hanya berhembus pelan dan malas lalu diam.

Perasaan gerah dan kepanasan dirasakan semua makhluk hidup dikampung kami: mulai dari orang tua, sampai anak-anak, bahkan sampai ternakpun seperti ayam berkumpul dibawah pohon belimbing dan pohon magga untuk berlindung dari panas teriknya matahari. Kambing-kambing asyik bergolek dikolong rumah-rumah panggung secara bergerombol, mereka bukanlah karena takut terkena sinar ultra violet tapi cuma karena tidak kuat menahan panas, itu saja.

Beruk pemanjat kelapa milik Pak Gani dibelakang rumahnya tidak henti-hentinya menguap sambil sekali-sekali menyeringai, karena disamping kepanasan yang membuatnya mengantuk,ia juga lapar.

Memang sering sekali Pak Gani terlambat memberi makan kepada beruknya, padahal sang beruk itulah salahsatu mitra setianya untuk mencari nafkah. Hidup terkadang memang tidak adil.

Masih beruntunglah bebek-bebek dan entok, ketika cuaca panas seperti itu mereka tidak terhalang melaksanakan aktifitasnya. Mereka asyik berenang ria di kali kecil dipinggir kampung sambil mencari makan. Bahkan mereka bisa sedikit lebih ceria karena disaat seperti itulah mereka bisa memamerkan

kepandain berenangnya kepada ayam dan kambing yang kebetulan nongkrong dipinggir kali. Mereka sesekali menyelam sekejap, kemudian muncul lagi lalu menggetarkan kepalanya diatas permukaan air dengan maksud untuk mengeringkan jambulnya.

Seperti halnya rombongan bebek dan entok itu, aku dan kawan-kawanku juga sangat beruntung, karena kami mempunyai arena bermain yang bisa menjadi penyeimbang dari panasnya cuaca. Arena itu banyak terdapat di beberapa tempat yang ada di sungai Barumun. Walaupun diwaktu musim kemarau, volume airnya masih tetap banyak, malah ditempat-tempat tertentu airnya masih sangat deras dan kedalamannya ada yang sampai dua hingga tiga meter, juga ada dijumpai beberapa pusaran air yang sangat menantang. Itulah kondisi sungai Barumun ketika itu, masih sangat bagus karena hutan tropis yang ada di Bukit Barisan sebagai penyangga masih sangat terpelihara dan tidak diganggu oleh para pembalak liar atau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hutan, dimana fungsinya sebagai reservoir raksasa merangkap sebagai mesin penjernih air yang alami, masih sangat sempurna. Ia masih banyak menampung dan menyimpan air hujan dikala musim penghujan dan mengeluarkannya secara baik dan teratur pada musim kemarau. Itulah salahsatu tanda-tanda kebesaran Tuhan, yang sering luput dari perhatian manusia itu sendiri.

"Barang siapa yang bisa membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan, mereka adalah orang-orang yang sangat pandai bersyukur, sehingga merekalah orang-orang yang bahagia sesungguhnya,” itulah ucapan-ucapan yang sering kudengar keluar dari mulut ustadz dikampungku ketika mengadakan ceramah bulanan.

Karena panasnya cuaca sungguh luar biasa, maka daya tarik sungaipun sangat terasa bagi kami, maka aku dan Adam langsung lari ke sungai. Tanpa dikomando, Mammad, Syarifuddin,Makmur, Banuaran dan Syahron mengikuti kami. Tempat yang kami pilih ini adalah bagian dari sungai yang berarus sangat deras dan cukup dalam, dan agak kehilir sedikit ada pusaran air yang bisa memutar setiap benda yang masuk area itu dan menyanderanya berlama-lama, maka jika kemampuan berenang belum bagus, jangan coba-coba masuk ke area itu.

Jadi harus ada teknik tersendiri agar bisa lepas dari genggaman pusaran air itu. Agaknya karena tidak menguasai teknik itulah maka aku sempat tersandera dipusaran itu.

Begitu sampai dipinggir sungai, Adam langsung membuka bajunya dan terjun bebas ke sungai yang ganas dan bergelombang, tentu tanpa pelampung, karena kami adalah anak-anak kampung yang tidak

memiliki peralatan renang berupa pelampung misalnya. Adam hilang, lenyap ditelan arus deras sungai, lalu muncul kembali setelah kira-kira sepuluh meter jauhnya kehilir dari tempat ia terjun, tapi yang muncul hanya bagian kepalanya saja sehingga persis seperti buah kelapa yang hanyut dari arah hulu sungai. Kadang-kadang kepalanya itupun masih timbul tenggelam karena busa air akibat gelombang. Selanjutnya, hanya selang beberapa detik Adam sudah berada dipusaran air dan tampak sekali dia biarkan dirinya diputar-putar seperti gasing disana. Tidak lama kemudian, Adam hilang kembali dari pusaran, namun setelah beberapa lama dia sudah muncul lagi jauh dihilir dan sudah berada ditebing sungai untuk mendarat.

Adam yang sudah piawai dan sudah sangat tinggi kemampuan renangnya selalu menimbulkan rasa iri dalam hatiku, memang usianya juga lebih tua dari aku dan kawan-kawan lainnya, dan dia sudah bersekolah di Sekolah Dasar kelas dua sementara kami masih berumur kira-kira enam tahun dan kami belum bersekolah. Karena diwaktu itu, usia masuk sekolah harus tujuh tahun keatas tanpa kecuali, itu yang saya ingat.

Yang terjun berikutnya adalah Banuaran. Lain halnya dengan Banuaran, walaupun usianya sebaya dengan aku, tapi harus kami akui kalau dia memiliki kelebihan-kelebihan yang bisa membuat kami terkagum-kagum, pokoknya dia mempunyai banyak kemampuan individu termasuk kemampuan yang aneh-aneh seperti mengumpulkan air ludahnya dimulut lalu memelesatkannya setara dengan kecepatan anak panah dengan jarak yang cukup jauh. Kedengarannya memang konyol, tapi itulah dia, si Banuaran yang memiliki nama aneh, sama anehnya dengan karakternya.

Mengenai namanya ini aku tidak habis pikir, karena setahuku belum ada satu orangpun yang pernah memiliki nama Banuaran. Entah apa yang ada dipikiran bapaknya sewaktu memberikan nama itu kepadanya. Biasanya nama seseorang selalu mengandung ciri khas, mungkin bisa berdasarkan etnis, misalnya kalau orang Batak ada nama Tigor, Togar, Marataon dan kalau orang Batak Mandailing atau Padanglawas ada nama-nama seperti kawanku yang lain seperti Adam, Syahron dan Makmur, kalau orang melayu ada nama Abdul Karim, Said Umar misalnya.

Juga halnya Banuaran, begitu terjun ke arus derasnya sungai, ia juga hilang lenyap ditelan arus sungai dan muncul kembali, tapi yang muncul bukan pula kepalanya tapi kakinya, seperti orang yang betul-betul hanyut dan tidak berdaya diseret arus sungai. Tapi sebetulnya dia bukan apa-apa, karena kaki yang diperlihatkannya menyembul-nyembul dilereng gelombang besar yang berwarna biru itu hanyalah semacam pamer kemampuan. Banuaran juga melakukan atraksi yang sama dengan Adam tadi, yaitu sengaja masuk kepusaran air yang sangat berbahaya itu namun hanya kakinya yang tampak diputar-putar oleh pusaran air itu. Selanjutnya kaki-kaki itupun hilang lenyap ditelan air.

Setelah kurang lebih dua menit dia sudah merayap ditebing sungai mau naik keatas.

”Sialan si Banuaran ini!” hanya membuat kami bingung dan ketakutan saja.

Kawan-kawanku yang lain juga mulai beraksi yakni terjun satu-persatu kedalam gelombang sungai, mulai dari Mammad, Syarifuddin, Makmur dan Syahron. Tapi mereka menghindar dari pusaran dan selanjutnya mendarat ditebing sungai agak di hilir.

Selanjutnya tibalah giliranku untuk beraksi. Namun setelah menyaksikan semua atraksi mereka, muncul hal yang aneh pada diriku, hatiku bergolak, mendadak menjadi pemberani.

Aku sudah bosan melakukan atraksi-atraksi yang itu-itu saja setiap kali kami mandi disungai itu yaitu sama dengan yang dibuat oleh Mammad dan Syarifuddin. Disamping itu, agaknya aku terprovokasi dengan tingkah kawanku si Banuaran. Dengan sedikit perasaan marah dan tanpa perhitungan akal sehat, akupun mengambil ancang-ancang, lalu terjun ke sungai yang bergelombang itu dan layaknya seperti orang pemberani, kuarahkan diriku agar bisa masuk ke pusaran air yang menakutkan itu. Menjelang aku masuk kepusaran air itu, kupandangi seluruh kawan-kawanku yang sudah berdiri dipinggir sungai. Sekilas aku melihat kecemasan diwajah mereka tapi masih sempat tertawa kecut kapadaku.

Hanya hitungan detik setelah itu, kudapati diriku sudah berada digenggaman pusaran air. Aku melambaikan tangan kepada mereka, lalu mereka membalasnya dengan antusias. Rasa bangga seketika menyelinap dalam hatiku, sepertinya aku pada saat itu sedang mencapai suatu kemenangan, dan kemenangan itu terhadap siapa akupun tidak tahu.

Sekitar dua menit aku diputar-putar seperti gasing olah pusaran air rasanya masih enak dan santai saja. Tapi putaran terus berlanjut sampai mungkin sudah masuk menit ketiga kepalaku sudah mulai pusing dan aku mulai kelelahan.

Disaat kelelahan sudah makin meningkat, kurasakan air sudah mulai ada yang masuk kehidungku dengan tidak dapat kuhindarkan. Hidungku seperti ditusuk disaat kesadaranku sudah mulai hilang.

Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang sudah terjadi pada diriku. Begitu aku sadar, aku sudah berada di darat dan terlentang diatas batu-batu.

Masih dalam pandangan yang samar kulihat kekiri dan kekanan kawan-kawanku sudah mengelilingiku dan dibelakang mereka ada banyak orang-orang dari kampung.

Aku berpikir mengapa dibelakang kawan-kawanku banyak orang? aku bingung. Seterusnya kucoba fokuskan lagi pandanganku Oh Tuhan...! diantara mereka ada ibuku. Begitu tatapanku mengarah pada Ibu, balas ditatapnya aku dengan tatapan jengkel sambil mendekatiku. Ibuku marahnya bukan main kepadaku.

Setelah Ibu puas memaki-maki aku, ia terdiam beberapa saat. Dengan tiba-tiba Ibu menengadahkan tangannya keatas sambil berdo,a mengucapkan syukur kepada Tuhan karena aku masih selamat.

Setelah itu Ibu memelukku sambil menangis dan kurasakan air matanya mengalir kepipiku.

Sebetulnya ibuku bisa bersikap seperti itu, adalah karena setelah Ayah meninggalkan kami, Ibu selalu dilanda kegamangan dalam hidup ini, sebab hidup kami tentu sangat riskan dimana bila saya mendapat celaka yang mungkin bisa-bisa membuat dia akan hidup sebatang kara, karena Abangku satu-satunya sudah tidak tahu lagi dimana rimbanya setelah pergi merantau ketika Ayah masih sakit dahulu.

Padahal Abang pergi merantau kata Ibu, masih sangat muda, baru saja lulus SMP, tapi karena niatnya yang sangat kuat untuk mengembangkan bakat melukisnya, Ayah dan Ibu waktu itu tidak bisa menghalanginya.

Umur, jodoh dan rejeki seseorang hanyalah Tuhan yang tahu. Ketika aku mulai bersikap dengan sekonyong-konyong menjadi pemberani dan sedikit sombong, rupanya Tuhan masih tetap menyayangiku melalui digerakkannya hati seseorang yang datang ke tempat kami mandi. Anak dari kampungku juga yang bernama Tamin inilah yang datang ketempat kami mandi dan ingin bergabung dengan kami, dan ketika dia tiba persis ketika kawan-kawanku sudah panik melihat aku sudah megep-megap dipusaran air. Tamin ini usianya sudah remaja, maka dia sudah mempunyai kemampuan untuk menyelamatkanku.

Begitu aku dilihatnya dalam kondisi darurat, mungkin sudah setengah pingsan, dia dengan sigap meloncat langsung kepusaran air lalu menyeret aku kekedalaman dan merayap didasar sungai agar lepas dari energi pusaran air di lapisan atas, lalu menariknya ke tebing sungai.

Dengan cara seperti itulah aku bisa diselamatkannya. Ketika aku sedang dalam proses penyelamatan, kawanku Syarifuddin dengan insiatif gerak cepat langsung lari ke kampung memberitahu orang-rang di kampung tentang kejadian itu, itulah rupanya yang menyebabkan orang-orang dikampungku dan termasuk ibu mengetahui kejadian tersebut.

Setelah kondisiku sudah pulih dan sudah bisa berjalan, aku dan Ibu juga termasuk kawan-kawanku dan orang-orang kampung kembali ke kampung. Dalam perjalanan ke kampung, begitu senyap karena tidak ada yang bicara seorangpun, mungkin mereka sibuk dengan pikiran masing-masing tentang kejadian barusan yang menakutkan itu.

Setelah sampai dirumah, Ibuku bicara sangat lembut kepadaku, itulah mungkin sebagai isyarat penyesalannya, karena sudah terlanjur memarahiku.

Walaupun Ibu sering memarahi aku, sebetulnya jauh didalam lubuk hatinya ia sangat menyayangiku. Misalnya ketika Ibu mendapat buah mangga yang jatuh disawah kami karena matang, jikalaupun hanya satu buah, Ibu tidak akan memakannya, tapi akan dimasukkannya kedalam tampanya (sejenis keranjang yan dianyam terbuat dari sejenis daun pandan), nanti untuk diberikan kepadaku. Ibu tidak akan sanggup memakan makanan yang tanpa aku bisa ikut memakannya, begitulah kasih sayang Ibu kepadaku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!