Libur telah usai, Senin pagi Andrea menyetop angkot. Dia sudah tidak sabar, melihat atap sekolahan, pohon-pohon bunga kertas di depan kelasnya, dan lapangan basket tempatnya nongkrong sambil makan cilok.
Rambutnya berkibar terkena embusan angin kendaraan yang lewat, membawa debu-debu jalanan, beserta kuman-kumannya. Buru-buru dia ikat buntut kuda, biar tidak berantakan.
Ibunya sudah beberapa kali mengingatkan untuk segera mengenakan jilbab, tetapi Andrea belum siap. Dia masih merasa belum pantas mengenakannya karena sifatnya yang tomboi. Belum sanggup kegerahan, dan harus duduk manis menunduk seperti cewek berhijab kebanyakan.
Kalau bukan karena peraturan sekolah, dia juga enggan pakai rok panjang. Maunya pakai celana kodok atau jeans belel, pakaian kebesarannya.
Turun dari angkot Andrea segera memasuki sekolah dengan ceria. Dia melihat seseorang.
"Ren!"
Dia tidak didengar. Ren terus saja berjalan memasuki pintu gerbang.
“Sombong amat.” Andrea menarik ujung jilbabnya dari belakang.
“Eh, kena rambutku. Awas ya kalau ada yang rontok!” Ren meringis, rambutnya yang diikat di dalam jilbab ke tarik juga. Setelah lama pura-pura cemberut, dia memeluk Andrea yang merentangkan tangannya kangen.
“Seru di sana?” Ren merangkul pundak Andrea, mengajaknya berjalan bersama.
“Di mana?" Andrea balik bertanya dengan gaya bingung.
“Ditanya benar-benar,” gerutu Ren.
“Aku tahu, kamu basa-basi. Kan kita tiap hari kabar-kabari, kalah infotainment."
Ren membenarkan ujung jilbabnya yang tersibak terkena angin. "Oleh-oleh ...." Ren menengadahkan tangan.
Andrea menunjukkan tasnya. "Biasa, dodol."
"Mana?" Ren merebut tas di punggung Andrea. Andrea lari menjauh, Ren mengejarnya.
Ren adalah sahabat Andrea. Berteman sejak SMP, dan sekarang satu kelas dengannya. Siswi yang lumayan bener di kelasnya.
Walaupun tomboinya identik dengan Andrea, tetapi dia sahabat Andrea yang sudah memikirkan tobat dan akhirat, mengenakan jilbab sejak SMP.
Banyak cowok takut padanya. Makanya dia dipilih menjadi KM d kelasnya. Bingung kan ya kenapa ditakuti banyak cowok? Soalnya dia diam-diam jago karate, sudah ban hitam.
“Kaliaaan …!” Tiba-tiba suara cempreng memekakkan telinga, turun dari mobil sport mewah, lalu menubruk Andrea dan Ren yang sedang berebut tas, tepatnya berebut dodol.
Itu Zellina, sahabat kedua Andrea. Dia maunya dipanggil Zel atau Punzel, karena merasa mirip Rapunzel, puteri raja yang terasing dan baru ditemukan. Ren dan Andrea menutup kuping. Dia suka caper tidak ketulungan.
“Biasa aja kali, Zel. Gak ketemu seminggu kayak gak ketemu seabad," gerutu Andrea.
“Masa sih? dua minggu tauuuu ... Kangeeen, kalian emang enggak kangen aku?” Zellina mulai soak, libur seminggu dibilang dua minggu.
“Gak!!” jawab Andrea dan Ren, berbarengan.
Zellina merengut, bibirnya monyong beberapa centi. Tetapi wajah princesnya tetap memukau, terutama untuk cowok-cowok tanggung penghuni sekolah itu.
“Otok otok otok otok ... kangen dong Princes,” ujar Ren, kedua tangannya menggepit pipi Zellina dengan gemas.
“Kangen beloonnya,” samber Andrea sambil berlari. Zellina mencebik, mau mengejar Andrea tapi ditahan oleh Ren.
“Itu lihat, Si Andrehehanusa!” gerutu Zellina.
“Biari saja, kan memang iya kamu itu ....” Ren ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
“Apa?”
“Cantik, kaya Rapunzel kan.” Ren menyentuh bando imut di rambut Zellina.
Zellina mengedip-ngedipkan mata. Sifat aslinya keluar, manja, sok cantik dan kadang genit. Artis cetar juga tidak begitu-begitu amat. Dia membenarkan letak bando yang menghiasi rambut indahnya.
Sebenarnya Zellina itu cantik, sepadan dengan sifatnya yang sok Princes, dan tongkrongannya yang setiap hari antar jemput mobil pribadi karena ayahnya salah seorang pejabat penting di perusahaan Pertamina, tapi otaknya sedikit kurang menyambung dengan pikiran orang lain, sehingga banyak cowok yang illfeel setelah dekat dengannya.
Mungkin karena dia anaknya terlalu polos, jadi terkesan beloon. Ah, tapi teman-temannya tidak mempersalahkan itu. Orang kaya mah bebas, ngomong tidak nyambung juga ditanggapi terus.
Mereka bertiga bersama menyusuri lorong sekolahan bak Tri Angel. Semua yang ada di sana di sapa, ditanya. Tertawa-tawa tidak karuan segala diceritakan.
Banyak mata melihat mereka geli, bahkan ada yang sedikit mencibir, meskipun banyak juga yang suka dan menyapa mereka balik, yang ini kaum berkumis tipis tentunya.
Tiga sekawan itu lumayan populer di sekolah, walaupun populer karena kehebohannya, bukan prestasinya. Meski begitu, kemanisan mereka bertiga juga diam-diam menjadi primadona di hati para siswa yang menjadi kakak kelasnya. Dan ada yang penasaran.
"Hai, Ndre!" sapa Yadi, siswa kelas tiga yang hobi main basket. Ganteng, tinggi, berkelas.
"Pagi, Kak," jawab Andrea.
"Selamat belajar kembali ya semuanya." Yadi menatap ketiganya bergiliran.
Pandangan Yadi dan Zellina beradu. Membuat Zellina tersipu dan sedikit grogi. Yadi mengalihkan pandangan kepada Ren.
"Selamat bertugas, ya." Yadi tersenyum kepada Ren. Dia sudah lama tahu kalau Ren adalah ketua kelas. Mereka pernah kumpulan bareng.
"Iya, terima kasih." Ren, Andrea, dan Zellina berlalu sambil saling sikut. Yadi kembali membanting-banting bola basket ke lantai. Dari ketiganya dia hanya kenal dengan Andrea, karena pernah bareng dalam ekskul basket.
Tiba di kelas suasana sudah ramai, semuanya sedang kangen-kangenan setelah seminggu tidak bertemu. Gaduh tak menentu. Pemandangan biasa untuk kelas mereka.
Diantara teman-temannya yang mirip anak TK, hanya Fany, yang diam. Dia tidak terganggu dengan suasana gaduh pagi itu, asyik sendiri di pojokan membaca komik Jepang.
Fany sudah biasa begitu, tukang menyendiri, bahkan suka ngomong sendiri. Riasan igari menghiasi wajahnya. Dia memang terobsesi dengan Jepang. Aneh memang, tetapi tetap tidak terlalu cantik, malah mengerikan.
Zainal alias Zay, sedang dibully, kepalanya ditoyor-toyor Akri and the geng gara-gara mencoba mendaftarkan diri masuk ke dalam geng mereka.
Zainal hampir menangis ketika Andrea dan teman-temannya datang. Geng Akri berhenti setelah melihat Ren bertolak pinggang. Bukan karena takut, mereka gengsi saja harus berurusan dengan cewek. Akri memberi isyarat kepada gengnya untuk pergi. Sok ngebos.
"Ke mana, bos?" tanya Joni.
"Cari keong," jawab Akri.
"Jangan!" sergah Zainal, melambai. Membuat Andrea jijik.
"Suka-suka gue." Akri melengos, dia paling tidak suka dengan cowok lembek seperti Zainal.
Anak-anak yang lain tidak kalah riweuh, tidak ada yang diam. Ada yang main vlog, main game online sampai miring-miring, yang cewek cekikikan ngerumpiin cowok, yang lapar makan, bahkan ada yang sesang mengerjakan PR.
“Lu lagi apa?” tanya Andrea, merasa heran, baru masuk sekolah sudah mencatat saja, belajar saja belum.
“Ngecek PR," jawab temannya.
“PR apa? belajar saja belum." Andrea melirik buku temannya. "Bakwan, risol, agar-agar, jeruk, ... mau selametan, lu?"
"Ini PR Gue untuk kantin sekolah."
Andrea tepok jidatnya, lupa kalau temannya itu suka nitip jajanan di kantin.
Andrea pergi untuk duduk di bangkunya, yang berada di deretan pinggir menempel dengan jendela. Sudah terbiasa dengan keadaan kelasnya yang seperti itu. Kelas mereka kan terkenal kelas angin ribut, penghuninya tidak ada yang mau belajar, makanya tidak ada yang pintar. Guru-guru malas mengajar. Dari kelas satu, mereka kompak begitu. Aneh.
Tiba-tiba terdengar tepukan keras, Ren sang ketua kelas mulai beraksi.
“Teman-teman, selamat pagi, Good morning, Guten morgen. Mulai hari ini kita akan mulai belajar lagi, dimohon kerja samanya untuk terus menjadi pelajar yang baik dan selalu menaati peraturan yang akan dibacakan ini ….”
Tetapi semua tidak ada yang mendengar, tetap dengan kegiatan masing-masing, menggaduhkan kelas.
Ren koar-koar sendiri membacakan tata tertib kelas yang tiap hari juga menempel di tembok. Sampai dia frustrasi sendiri.
“Lagian, kamu mau aja ditunjuk jadi KM. Sudah tahu kelas ini sudah kayak kumpulan orang kesambet,” kata Andrea, ketika Ren menghampirinya dengan wajah mau menangis. Aksinya di depan kelas tidak ada yang menanggapi.
“Aku enggak enak sama Bu Anis. Bilangnya kelas ini butuh perhatian dan kelembutan, biar energi positifku menular kepada semua teman-teman di sini.” Ren menarik nafas berat.
Andrea tertawa. “Energi positif, yang ada energi kamu yang tersedot. Sudahlah, baru masuk sudah mau mewek, santuy,” lanjut Andrea.
Dia memandang ke luar jendela, melihat pembajak kalem sedang beraksi.
Pak Iwan sedang bekerja di sawahnya dengan beberapa pekerja. Kali ini sawahnya dalam tahap dibajak, setelah beberapa lama dibiarkan begitu saja seusai panen.
Pak Iwan adalah pemilik sawah yang berada pas di pinggir sekolahnya. Kota tempat tinggal Andrea memang terkenal dengan lumbung padinya, jadi pemerintah dan masyarakat masih mempertahankan sawah demi produksi padi dan beras sebagai pemasok terbesar negeri ini.
Entah kenapa di zaman semodern ini Pak Iwan tidak pernah mau membajak sawahnya dengan mesin. Beliau masih saja menggunakan kerbaunya itu untuk membajak.
Lelaki yang diketahui sudah menduda itu melihat ke arah kelas, lalu melambaikan tangan ketika mengetahui Andrea sedang memperhatikannya dari balik kaca jendela.
Andrea balas melambaikan tangan sambil tersenyum lalu berdiri untuk membuka jendela dan melongokkan kepalanya. “Semangat, Pak!” teriak Andrea, menyemangati.
Pak Iwan mengacungkan jempolnya tanda setuju. Kerbaunya terdengar melenguh, ikut setuju.
“Ciee, Andrea ketemu pembajak.” Zellina yang tiba-tiba nimbrung ikut membuka kaca jendela yang lainnya.
“Pakdeeee!! ada salam dari Andrea .… “ Hanya Zellina yang memanggil Pak Iwan Pakde, katanya sih Pak Iwan mengingatkan dia akan Pakdenya di Jawa yang mempunyai beberapa kerbau besar.
Pak Iwan tersenyum, Andrea ingin mencubit pinggang Zellina tapi sasarannya keburu kabur sambil cekikikan.
"Tidak sopan sama orang tua!" gumam Andrea.
Pengumuman upacara akan segera dimulai telah berkumandang dari pengeras suara, tapi tidak ada yang mendengar sama sekali.
Jedarrrr!!
Semua mendengar ketika ada gelegar, pukulan jidar panjang ke pintu kelas. Jidar siapa lagi kalau bukan jidarnya Bu Anis, wali kelas mereka, guru killer dengan sanggul cepol lengkap dengan tusuk konde yang menjadi ciri khasnya.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, semuanya berduyun-duyun menuju lapangan upacara diikuti sorot mata tajam wali kelas di mulut pintu.
Terima kasih yang sudah membaca, silakan lanjut di episode selanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Handaru Rayyi
suka thor...
2021-01-25
0
Mia Poei
semangat
2020-09-04
0
Yhu Nitha
aq mampir lagi
2020-08-26
1